BUKEK SIANSU : Seri Ketujuh - Lanjutan Kho ping Hoo Bukek Siansu Seri Keenam
penasaran. Dia sendiri adalah seorang
manusia yang dikenal sebagai iblis, jarang menemui tandingan dan ditakuti
banyak orang dari semua golongan. Akan
tetapi malam ini dia, Raja Pengemis yang menjadi ketua Pat-jiu Kai-pang
yang terkenal, memiliki anggauta
ratusan orang banyaknya, seorang di atara datuk kaum sesat atau golongan hitam
yang ditakuti orang, dia dipermainkan
orang! Dan orang
itu, kalau melihat namanya sebagai ratu tentulah seorang
wanita! Apa lagi dia melihat bahwa
bekas jari tangan di dahi para korban itu pun jari tangan wanita yang kecil
meruncing! "Hem, pengecut benar
dia, "katanya kepada tiga orang pengawalnya yang diam-diam telah
kehilangan
separuh dari nyali mereka. "Kita
harus menggunakan pancingan. Biar aku mengintai dari atas, kalian
berjalan-jalan di sini. kalau dia
muncul menyerang, aku tentu dapat melihatnya dan aku akan meloncat turun.
Bersiaplah kalian!" Setelah
berkata demikian, dengan gerakan ringan seperti seekor kelelawar, Pat-jiu
Kaiong
melompat ke atas genteng dan mendekam
di wuwungan sambil mengintai. Dia melihat tiga orang pengawalnya itu
masing-masing telah mencabut senjata
mereka. Si Brewok menggunakan sebatang tombak panjang yang ujungnya
berkait, orang ke dua mengeluarkan
golok besar dan orang ketiga sebatang pedang. Mereka berdiri saling
membelakangi dan mata mereka memandang
tajam ke depan, telinga mereka memperhatikan setiap suara. Akan tetapi
sunyi saja sekeliling tempat itu.
Tiba-tiba Pat-jiu Kai-ong melihat sesosok bayangan melayang turun dari atas
pohon! Celaka pikirnya. Kiranya si
laknat itu bersembunyi di dalam pohon yang tumbuh di depan gedung. Bayangan
itu sukar di lihat bentuknya karena
cepat sekali gerakannya, tahu-tahu telah berada di depan Si Brewok. Tiga
orang pengawal itu menggerakan senjata, akan tetapi anehnya, tampak oleh
Pat-jiu Kai-ong betapa tiga buah
senjata mereka itu telah berpindah
tangan! entah bagaimana caranya karena dari atas genteng itu dia tidak dapat
melihat jelas. Yang dia ketahuinya
hanyalah betapa tiga orang pengawalnya itu kini lari ketakutan!
"Hik-hik-hik!" Suara ketawa
ini membuat bulu tengkuk Pat-jiu Kai-ong berdiri dan dia melihat sinar-sinar
menyambar ke arah tiga orang pengawal
yang lari, melihat mereka roboh dan memekik, terjungkal tak bergerak lagi
karena punggung mereka ditembus oleh
senjata mereka masing-masing! "Keparat jangan lari kau!" Pat-jiu
Kai-ong
sudah melayang turun dan tongkatnya
sudah diputar-putar. Akat tetapi bayangan itu melesat dan lenyap dari
tempat itu! Pat-jiu Kai-ong menoleh ke
kanan kiri, akan tetapi tidak tampak gerakan sesuatu. Dia makin
penasaran. Dihampirinya tiga orang
pengawalnya. Mereka telah tewas dan hanya mereka bertiga yang tidak dicap
dahinya dengan tiga buah jari tangan
hitam akan tetapi kematian mereka cukup mengerikan. Tombak golok dan
pedang itu menembus punggung pemilik
masing-masing sampai ujungnya keluar dari hulu hati! Dan sambitan tiga
buah senjata yang berlainan bentuknya itu
dilakukan secara berbareng dari jarak yang cukup jauh, tepat mengenai
tiga sasarannya yang sedang berlari.
Hal ini saja membuktikan pula betapa hebatnya kepandaian orang aneh itu
Mendadak Pat-jiu Kai-ong tersentak
kaget. Di dalam gedung! Betapa tololnya dia! Semua pengawalnya yang
berjumlah dua belas orang telah tewas
semua. Tentu sekarang musuh itu masuk ke dalam gedung untuk membunuh
orang-orang di dalam gedung. Secepat
kilat dia meloncat dan lari memasuki gedung. Benar saja, terdengar pekik
susul-menyusul dan begitu melewati
pintu depan, dia sudah melihat para pelayannya telah menjadi mayat dan
berserakan di sana-sini. Cepat dia lari
ke dalam kamarnya dan dengan mata terbelalak dia melihat lima orang
selirnya telah mati semua, dahi mereka
juga ada bekas tanda tapak tiga jari tangan dan semua lubang di muka
mereka mengalirkan darah hitam! Sunyi
sekali di dalam gedung itu, kesunyian yang penuh rahasia. Lu-san Lo-jin!
Pat-jiu Kai-ong teringat dan dia cepat
lari ke dalam tempat tahanan, hanya untuk melihat bahwa kakek itu pun
telah tewas dan di dahinya terdapat
pula tanda tapak tiga jari tangan dan semua lubang di muka mereka
mengalirkan darah hitam! Kini dia
benar-benar bingung. Jelas bahwa musuh ini bukanlah kawan Lu-san Lojin
seperti yang disangkanya semula! Makin
bingunglah dia dan dia lari pula ke dalam ruangan besar di mana dia tadi
makan minum dengan Lu-san Lojin dan dua
anaknya, di mana dia tadi menanti datangnya musuh rahasia. Dan begitu
memasuki ruangan itu, dia tertegun!
Ruangan itu kini terang sekali, agaknya ada yang menambah lampu penerangan.
Ketika dia melihat, benar saja bahwa di
situ terdapat banyak lampu, banyak sekali karena agaknya semua lampu
penerangan dibawa dan dikumpulkan di
ruangan itu. Dan di atas kursinya yang tadinya ditinggalkan kosong, kini
tampak duduk seorang wanita! Di depan
wanita itu, juga duduk di atas kursi, tampak seorang anak laki-laki
berusia sepuluh tahun yang memandangnya
dengan mata penuh selidik. Wanita itu cantik, pakaiannya mewah dan
indah, anak itu pun tampan dan bersih
serta mewah pakaiannya. Wanita itukah yang membunuh semua orang di
gedungnya? Tak mungkin agaknya. wanita
itu usianya paling banyak tiga puluh lima tahun, cantik dan kelihatan
halus gerak-geriknya, hanya sepasang
matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan dingin sekali. "Ibu, dia inikah
orangnya?" Tiba-tiba anak kecil
itu bertanya, suaranya nyaring, memecahkan kesunyian yang sejak tadi mencekam.
"Benar, dialah Si Bedebah Pat-jiu
Kai-ong." Wanita itu berkata, suaranya halus akan tetapi dingin
menyeramkan.
"Kalau begitu, mengapa ibu tidak lekas
membunuhnya?" Wanita itu tersenyum dan wajah yang cantik itu makin
cantik, akan tetapi juga makin dingin
menyeramkan, kemudian bangkit berdiri berlahan-lahan. "Kau lihat sajalah
ibumu menundukan Si jembel busuk
ini." Wanita itu ternyata bertubuh tinggi ramping dan ketika melangkah
maju,
tampak gerakan kedua kakinya lemah
lembut. Pat-jiu Kai-ong sudah dapat menguasai hatinya dan timbul
keberaniannya setelah melihat bahwa
orang itu hanyalah seorang manusia biasa, wanita yang kelihatan lemah pula,
bukan seorang iblis yang menyeramkan
sama sekali. "Siapakah engkau? Siapa pembunuh orang-orangku dan apa
hubunganmu dengan Ratu Pulau Es yang
mengancamku?" Wanita itu kini tiba di depan Pat-jiu Kai-ong sehingga raja
pengemis ini dapat mencium bau harum
semerbak yang keluar dari rambut dan pakaian wanita itu. "Akulah Ratu
Pulau Es, aku pula yang telah membunuh
semua mahluk hidup di dalam gedungmu, semua telah kubunuh kecuali
engkau, Pat-jiu Kai-ong. Aku harus
membunuhmu berlahan-lahan, menyiksamu sampai puas hatiku." Mendengar
ancaman
ini, Raja Pengemis yang biasanya
berhati kejam dan keras itu, menjadi berdebar juga. Akan tetapi kemarahannya
melenyapkan semua rasa jerih dan dia
membentak, "Perempuan sombong! Siapakah engkau dan mengapa engkau memusuhi
Pat-jiu Kai-ong?" Pat-jiu Kai-ong,
agaknya kejahatanmu sudah begitu bertumpuk-tumpuk sehingga engkau tidak
dapat mengenal korban-korbanmu lagi.
Pandanglah aku baik-baik dan kumpulkan ingatanmu! Lupakah kau apa yang
terjadi di kaki pegunungan Jeng-hoa-san
sepuluh tahun yang lalu?" Pat-jiu Kai-ong memandang dan terbayanglah
peristiwa di Jeng-hoa-san sebelum dia
naik ke puncak gunung itu untuk mencari Sin-tong. Kini dia dapat mengenal
wajah ini, wajah cantik yang pernah
merintihrintih dan memohon pembebasan, namun yang dia permainkan secara
kejam. "Kau... kau... Cap-she
Sin-hiap...?" Tanyanya ragu-ragu. "Benar. Aku adalah anggauta paling
muda dari
Cap-sha Sin-hiap. Dua belas orang
suhengku telah kaubunuh. Ingatkah sekarang kau?" Pat-jiu Kai-ong tertawa.
Hatinya lega. Kalau hanya wanita muda
itu, yang telah diperkosanya dan yang hanya menjadi orang ke tiga belas
dari Cap-sha Sin-hiap, perlu apa dia
takut? Biar perempuan ini agaknya telah memperdalam ilmunya selama sepuluh
tahun ini, akan tetapi perlu apa dia
takut? "Ha-ha-ha, kiranya engkaukah ini, manis? Tentu saja aku masih ingat
kepadamu, siapa bisa melupakan
kenang-kenangan manis selama tiga hari itu? Ha-ha-ha, betapa mesranya!"
Jahanam!
Kematian sudah di depan mata dan kau
masih berlagak? Pat-jiu Kai-ong, aku telah datang dan rasakanlah
pembalasanku, aku akan membuat kau
menyesal mengapa kau pernah dilahirkan ibumu!" "Perempuan sombong,
mampuslah!" Pat-jiu Kai-ong sudah
menerjang dengan tongkatnya melakukan penyerangan dengan dahsyat, menusukan
tongkatnya yang tentu akan menembus
dada wanita itu kalau tidak depat wanita itu mengebutkan ujung lengan
bajunya menangkis. "Trakk!"
Tongkat itu menyeleweng dan terkejutlah Pat-jiu Kai-ong. Ternyata lawannya ini
benar-benar telah memperoleh kemajuan
hebat dan telah memiliki sinkang yang tak boleh dipandang ringan. Tentu
saja! Wanita itu bukan lain adalah The
Kwat Lin yang selama sepuluh tahun ini menjadi istri atau permaisuri
Raja Pulau Es, Han Ti Ong yang sakti!
Wanita ini selama sepuluh tahun telah menggembleng diri, di bawah
petunjuk suaminya yang amat
mencintainya. Bahkan suaminya telah menurunkan ilmu-ilmu yang khusus untuk
menghadapi ilmu tongkat Pat-jiu Kai-ong
dan ilmu mujijat Hiat-ciang Hoat-sut dari Raja Pengemis ini atas
permintaan The Kwat Lin. Karena itu,
biarpun ada sebatang pedang menepel di punggungnya, The Kwat Lin tidak
menggunakan senjata melainkan ujung
lengan bajunya untuk menghadapi tongkat dan memang kedua ujung lengan baju
ini yang merupakan sepasang senjata yang dilatihnya khusus untuk
mengatasi tongkat Raja Pengemis itu. Seperti
telah dituturkan di bagian depan, The
Kwat Lin menggunakan kesempatan selagi Han Ti Ong pergi menyerbu Pulau
Neraka, untuk meninggalkan Pulau Es.
Hal ini sudah bertahun-tahun dia citacitakan. Dia menjadi istri Han Ti Ong
hanya karena ingin mewarisi ilmu
kepandaiannya, akan tetapi setelah menjadi permaisuri, dia pun ingin memiliki
pusaka Pulau Es dan benda-benda
berharga lainya. Maka dia menanti kesempatan baik untuk meninggalkan pulau,
tentu saja meninggalkan untuk selamanya
karena pada hakekatnya dia tidak suka tinggal di pulau itu. Siapa suka
tinggal di Pulau Es yang membosankan
itu, jauh dari dunia ramai? Pergilah dia mengajak puteranya, Han Bu Hong,
meninggalkan Pulau Es sewaktu suaminya
tidak ada, membawa pusaka Pulau Es. Dengan alasan akan menyusul suaminya
yang menyerbu Pulau Neraka, tidak ada
seorang pun berani menghalangi kepergiannya dan akhirnya, dengan
kepandaiannya yang sudah tinggi, dia
berhasil mendarat. Berbulan-bulan dia menyelidiki dan akhirnya dia dapat
menemukan tempat tinggal musuh besarnya
di lereng Heng-san. Dia mengajak puteranya dan setelah menyembunyikan
puteranya, dia menyelidiki istana Raja
Pengemis itu. Melihat Swi Liang dan Swi Nio, dia tertarik sekali, maka
dia menculik mereka dan membawa mereka
ke dalam hutan di mana Bu Hong menanti ibunya. "Kalian kuselamatkan
dengan maksud untuk mengangkat kalian
berdua menjadi muridku ," dia berkata tanpa banyak cerita lagi.
"Tinggal
kalian pilih, mati atau hidup. Kalau
ingin mati, kalian semestinya mati karena kalian berada di gedung Pat-jiu
Kai-ong. karena sekarang belum malam,
maka kalian belum mestinya dibunuh dan karenanya boleh pula kukeluarkan
dari sana. Kalau kalian ingin hidup
harus suka menjadi muridku. Bagaimana?" Tentu saja dua orang muda itu
ingin
hidup dan segera berlutut di depan
calon Subo (ibu guru) mereka. "Harap subo sudi menolong Ayah
kami...." kata
Swi Liang. "Kalian tinggal saja di
sini menemani sute kalian ini. Tentang Ayahmu, kita lihat saja nanti." The
Kwat Lin meninggalkan dua orang murid
itu bersama puternya, kemudian mulailah dia turun tangan membunuh-bunuhi
semua binatang peliharaan gedung raja
Pengemis itu lalu membunuhi semua pengawal, pelayan, selir dan juga Lusan
Lojin dibunuhnya karena dia sudah
berjanji akan membunuh semua orang di dalam gedung itu, apalagi dia tahu
bahwa kalau tidak dibunuh, kakek itu
tentu akan menjadi penghalang baginya mengambil murid Swi Liang dan Swi
Nio yang menarik hatinya. Akhirnya dia
keluar dari gedung, menyuruh kedua orang muridnya menanti di hutan.
Akhirnya bersama puteranya, dia dapat
berhadapan dengan musuh besarnya itu setelah membunuh semua orang di
dalam gedung. Han Bu Ong anak laki-laki
yang baru berusia sepuluh tahun itu, duduk di kursi dan menonton
pertandingan dengan mata terbelalak dan
jarang berkedip. Dia sama sekali tidak merasa takut atau khawatir. Dia
percaya penuh kepada kelihaian ibunya
dan memang sejak kecil anak ini memiliki keberanian luar biasa dan
kekerasan hati yang amat aneh bagi
seorang anak sebesar itu. Melihat kekejaman-kekejaman yang terjadi, dia
tidak pernah merasa ngeri, bahkan
merasa gembira! Barulah hati Pat-jiu kai-ong terkejut sekali setelah selama
lima puluh jurus dia mainkan tongkatnya
dia tidak mampu menembus pertahanan sepasang ujung lengan baju
lawannya. Bahkan lawannya
terkekeh-kekeh mengejeknya dan biarpun lawannya hanya mainkan ujung lengan
baju,
namun ternyata tongkat yang biasanya
dia andalkan itu sama sekali tidak berdaya! "Keparat, mampuslah!"
Tiba-tiba Pat-jiu Kai-ong berseru
keras, disusul dengan gerengan dahsyat yang menggetarkan seluruh ruangan itu.
Han Bu Ong terplanting jatuh dari
kursinya, akan tetapi bocah ini sudah duduk bersila dan mengatur pernapasan,
menutup pendengaran. Ternyata sekecil
itu, Bu Ong telah digembleng hebat oleh ayahnya sehingga dengan dasar
latihan sinkang Inti Salju, dia kini
mampu menulikan telinga dan menghadapi auman Sai-cu Ho-kang dari Pat-jiu
Kai-ong! Padahal lawan yang tidak
begitu kuat sinkangnya, mendengar auman Sai-cu Ho-kang yang berdasarkan
Khi-kang yang amat kuat ini, sudah akan
roboh. Sementara itu, The Kwat Lin yang melihat puteranya dapat
menyelamatkan diri, sudah mengeluarkan
suara terkekeh-kekeh dan lawannya terkejut bukan main karena dari suara
ini keluar getaran yang menghancurkan
ilmunya bahkan menyerangnya dengan hebat. Terpaksa dia menghentikan auman
Sai-cu Ho-kang dan mempercepat gerakan
tongkatnya dengan ilmu Tongkat Pat-mo-tung-hoat (Ilmu Tongkat Delapan
Iblis) yang dahsyat. The Kwat Lin
memang hendak mempermainkan lawannya, maka dia hanya menangkis dan mengelak.
Hal ini sengaja dilakukannya untuk memamerkan
kepandaiannya dan untuk meyakinkan lawan bahwa akhirnya lawan
akan roboh olehnya sehingga lawannya
yang amat dibencinya itu akan ketakutan setengah mati! Dan memang usahanya
ini berhasil. Keringat dingin membasahi
muka pat-jiu Kai-ong dan tahulah kake ini bahwa mengandalkan ilmu silat
saja, dia tidak akan menang melawan
wanita yang pernah dipermainkannya dan diperkosanya selama tiga hari tiga
malam itu. Maka dia lalu mengerahkan
tenaganya, menggerakan sinkang dan tiba-tiba dia memekik dan menghantamkan
tangan kirinya dengan telapak tangan
terbuka. The Kwat Lin sudah menduga bahwa lawannya tentu akhirnya akan
menggunakan ilmu Hiat-ciang Hoatsut
ini. Dan dia sudah mendengar dari suaminya akan ilmu mujijat ini, maka dia
bersikap hati-hati dan tidak berani
memandang rendah. Bahkan ketika menyaksikan cahaya merah menyambar keluar,
merasakan getaran mujijat dan mencium
bau amis darah yang memuakan, dia terkejut sekali dan cepat dia menekuk
kedua lututnya sedikit, kemudian
mendorongkan telapak tangan kanannya dengan tiga buah jari tangan diluruskan.
Hawa dingin meluncur keluar dari
telapak tangannya menyambut hawa pukulan Hiat-ciang Hoat-sut.
"Dess!"dua
benturan tenaga mujijat bertemu dan
tubuh kedua orang itu tergetar hebat! Kiranya tenaga Hiatciang Hoat-sut
sudah sedemikian ampuhnya sehingga
dalam benturan tenaga ini, Pat-jiu Kai-ong dapat mengimbangi tenaga The Kwat
Lin. Kalau kakek itu merasa betapa
tubuhnya mendadak menjadi dingin sekali, sebaliknya The Kwat Lin merasa
tubuhnya panas! Namun keduanya dapat
melawan hawa ini dan berkali-kali mereka mengadu tenaga sinkang lewat
telapak tangan mereka . Tiba-tiba ujung
lengan baju kiri The Kwat Lin menyambar kearah ubun-ubun kepala kakek
itu yang menjadi terkejut sekali dan
menangkis dengan tongkatnya. Ujung lengan baju melihat dan tangan The Kwat
Lin menyambar ke depan dari dalam
lengan baju itu, menangkap tongkat. Pat-jiu Kai-ong cepat menghantamkan
tangan kirinya lagi dengan tenaga
Hiat-ciang Hoat-sut sekuatnya, mengarah kepala lawan. Namun hal ini sudah
diperhitungkan oleh wanita itu yang
cepat sekali menarik tongkat yang dicengkramnya menangkis. "Krekkkk!"
Tongkat raja pengemis itu hancur
terkena pukulannya sendiri dan selagi dia terkejut bukan main, tahu-tahu ujung
lengan baju kanan wanita itu sudah
menyambar ke arah matanya! Dia berteriak kaget, miringkan kepala, akan
tetapi ternyata ujung lengan baju itu tidak
menyerang mata, melainkan menyeleweng ke bawah dan menotok
lehernya. "Auggghh...!" Kalau
orang lain yang terkena totokan yang tepat mengenai jalan darah, tentu akan
roboh
dan tewas. Akan tetapi tubuh Pat-jiu
Kai-ong sudah kebal, maka totokan yang kuat itu hanya membuat ia terhuyung
ke belakang. Melihat ini, The Kwat Lin
tertawa terkekeh, kedua tangannya bergerak dengan cepat sekali dan
biarpun raja pengemis itu sudah berusaha
mati-matian membela diri, namun karena totokan pertama membuat
pandangan matanya berkunang sehingga
gerakannya menjadi kurang cepat, dua kali totokan lagi dan sebuah tamparan
dengan tiga jari tangan yang tepat
mengenai punggungnya membuat dia roboh pingsan! Ketika dia siuman. Pat-jiu
Kai-ong mendapatkan dirinya sudah rebah
terlentang di atas lantai dan dia tidak mampu menggerakan kaki
tangannya, bahkan tidak mampu
mengeluarkan suara karena selain tertotok jalan darah yang membuatnya menjadi
lumpuh, juga urat ganggu di lehernya
telah ditotok. Tahulah dia bahwa dia tak berdaya lagi dan nyawanya berada
di tangan lawan, dan dia pun maklum
bahwa wanita ini tidak akan mungkin mengampuni kesalahannya.Maka dia
memejamkan mata menanti datangnya
kematian. "Bret-bret-brettt..., hi-hik! lihatlah, Bu Ong, lihat binatang
ini!" Pat-jiu Kai-ong memaki dalam
hatinya. Apa maunya perempuan ini? Seluruh pakaiannya direnggut lepas semua
sehingga dia terlentang dalam keadaan
telanjang bulat sama sekali! Karena ingin tahu, bukan karena jerih sebab
seorang datuk macam Pat-jiu Kai-ong
juga tidak mengenal takut, dia menggerakan pelupuk mata dan mengintai dari
balik bulu matanya. Dia melihat anak
laki-laki turun dari kursinya, memandanginya dan tertawa. "Heh-heh,
ibu,dia lucu sekali! Lucu dan amat
buruk... eh, menjijikkan!" The Kwat Lin tertawa-tawa, kemudian sekali
ujung
lengan bajunya bergerak menyambar ke
arah leher Patjiu Kai-ong, kakek ini terbebas dari totokan urat ganggunya
dan dapat mengeluarkan suara.
"Perempuan hina, mau bunuh lekas bunuh! Aku tidak takut mati!"
teriaknya marah.
"Hi-hik, enak saja! Ingatkah kau
betapa aku dahulupun minta-minta mati kepadamu? Tidak, engkau harus mengalami
siksaan, mati sekarat demi sekarat! Bu
Ong, dia inilah yang membunuh dua belas orang Supekmu secara kejam .
Maukah kau membalaskan sakit hati dan
kematian para Suoekmu?" "Tentu saja! Akan kubunuh anjing tua
ini!" Bu Ong
sudah melangkah maju dan anak ini
memandang dengan muka bengis. "Nanti dulu, Bu Ong.Terlampau enak baginya
kalau dibunuh begitu saja. Tidak, untuk
setiap orang dari suhengku, dia harus menderita satu macam siksaan.
Jari tangannya. Hi-hak, jari-jari
tangannya berjumlah sepuluh, itu untuk sepuluh orang suheng! Dan dua buah
daun telinganya itu untuk kedua suheng
yang lain," The Kwat Lin mencabut pedangnya, menyerahkan kepada
puteranya sambil tertawa-tawa, kemudian
dia menggerakan khikangnya, "mengirim suara" dengan ilmunya yang
tinggi
ini sehingga suaranya hanya terdengar
oleh Pat-jiu Kai-ong, akan tetapi sama sekali tidak terdengar oleh
anaknya, "Pat-jiu Kai-ong ,
tahukah kau siapa bocah ini? Dia ini adalah puteramu! Keturunanmu! hasil kotor
dari
perkosaanmu atas diriku. Nah, sekarang
kaulihatlah anakmu, darah dagingmu sendiri yang akan menyiksa dirimu!"
Sepasang mata Pat-jiu Kai-ong
terbelalak lebar, mukanya pucat sekali. Puluhan tahun dia ingin sekali
memperoleh
keturunan, terutama seorang putera,
akan tetapi biarpun dia sudah berganti-ganti selir sampai ratusan kali,
tetap saja para selir itu tidak pernah
memperoleh keturunannya. sekarang, secara tidak sengaja dia telah
memperoleh seorang putera! dan
puteranya itu dengan pedang di tangan menghampirinya, siap untuk menyiksanya!
Tadi dia terheran melihat betapa bekas
anggauta Cap-sa Sin-hiap, murid Bu-tong-pai yang terkenal gagah itu
menjadi begitu keji, mengajar putera
sendiri melakukan kekejaman. Kira-kira wanita itu memang sengaja hendak
menyiksanya dengan menggunakan tangan
keturunanya sendiri! Kiranya wanita itu juga membenci anak itu seperti
juga membencinya, maka sengaja membiarkan
anak itu menyiksa dan membunuh ayah sendiri! "Anak...
jangan...dengarkanlah...."
"Pratttt...!" Pat-jiu Kai-ong tidak dapat melanjutkan kata-katanya
yang tadinya
hendak mmperingatkan anak laki-laki itu
karena urat ganggunya dileher telah ditotok oleh lengan baju The Kwat
Lin yang terkekeh menyeringai.
"Pat-jiu Kai-ong, begini pengecutkah engkau? Haiii... di mana kegagahanmu
sebagai seorang datuk? Lihatlah
baik-baikdan nikmatilah siksaan anak ini! Bu Ong, pergunakan pedang itu .
Pertama buntungi kedua daun telinganya
untuk Twa-supek dan Ji-supekmu!" "Baik, Ibu!"Bu Ong lalu
melangkah maju
dan dua kali pedang itu berkelebat
karena anak itu ternyata sudah pandai menggunakan pedang itu dan buntunglah
kedua daun telinga Pat-jiu Kai-ong !
Dapat dibayangkan betapa nyeri, perih dan pedih rasa badan dan hati kakek
itu. Air matanya meloncat keluar
membasahi pipinya! "Ha-ha, ibu! Lihat, dia menangis !" Anak itu
bersorak dan
mengambil dua buah daun telinga itu.
"He-he, seperti teling babi!" Memang Pat-jiu Kai-ong menangis! Akan
tetapi
bukan menangis karena rasa nyaeri dan
pedih karena kedua daun telinganya buntung, melainkan nyeri di hati yang
lebih hebat lagi melihat betapa anaknya
sendiri yang sejak puluhan tahun yang lalu dirindukannya, kini bersorak
girang melihat penderitaannya! Dia
tidak takut mati, tidak takut sakit, akan tetapi melihat betapa dia
menghadapi siksaan dan kematian di
tangan anaknya sendiri, benar-benar merupakan tekanan batin yang hampir tak
kuat dia menanggungnya .
"Teruskan,Bu Ong.Masih ada sepuluh orang Supekmu yang belum dibalaskan
sakit
hatinya.Jari-jari tangannya yang sepuluh
itu! Perlahan-lahan saja, satu demi satu buntungkan!" Mulailah
penyiksaan yang amat mengerikan itu
dilakukan oleh Bu-ong. Anak ini seolah-olah telah menjadi gila, dengan
tertawa-tawa dia membuntungi semua jari
tangan kakek itu satu demi satu dan setiap buntung sebuah jari, dia
bersorak kegirangan. Memang sejak dapat
mengerti omongan, anak ini dijejali dendam oleh ibunya, dendam terhadap
Pat-jiu Kai-ong dan diceritakan betapa
Pat-jiu Kai-ong telah membunuh dua belas orang suhengnya dan betapa raja
pengemis itu menyiksanya dan Bu Ong
kelak harus membalas dendam itu. Maka kini anak itu samasekali tidak
menaruh rasa kasihan, bahkan hatinya
puas sekali dapat menyiksa kakek itu. Dapat dibayangkan betapa hebat
penderitaan Pat-jiu Kai-ong. Namun dia
tidak menyesali nasibnya karena dia maklum bahwa dia pun telah melakukan
perbuatan sewenang-wenang atas diri The
Kwat Lin sehingga pembalasan ini sudah jamak. Hanya satu hal yang
membuat air matanya bercucuran adalah
melihat betapa dia disiksa dan akan dibunuh oleh darah dagingnya sendiri.
Dia menangis melihat darah dagingnya
sendiri itu, yang baru berusia sepuluh tahun, telah menjadi seorang iblis
cilik yang demikian kejam! Kini The
Kwat Lin membebaskan totokan yang membuat kaki tangannya lumpuh. Begitu
kaki tangannya dapat bergerak, Pat-jiu
Kai-ong meloncat dan menerkam ke arah Bu Ong dengan ke dua tangan yang
sudah tak berjari lagi itu, yang
berlumuran darah. Niat hatinya untuk membunuh saja anaknya itu agar kelak
tidak dijadikan iblis cilik oleh ibu
yang membencinya. Akan tetapi sebuah tendangan dari samping yang dilakukan
oleh The Kwat Lin membuat dia terguling
lagi. Rasa nyeri pada kedua ujung tangannya membuat kakek itu
menggeliat-geliat. "Mundurlah,
Bu-ong. lihat sekarang ibumu yang akan turun tangan. Aku akan membalas sendiri
perbuatannya kepadaku terdahulu!"
The Kwat Lin menghampiri musuhnya dengan pedang di tangan. "Pat-jiu
Kai-ong,
ingatlah engkau akan peristiwa dahulu
itu? Bayangkanlah,hi-hik, bayangkanlah betapa nikmatnya bagimu dan betapa
menyiksa dan sengsaranya bagiku.
Sekarang aku yang menikmati dan kau yang menderita . Sudah adil bukan? Nah,
terimalah ini... ini... ini...!"
Bertubi-tubi pedang di tangan The Kwat Lin bergerak dan tubuh kakek itu
bergulingan, berkelojotan karena rasa
nyeri yang amat hebat ketika ujung pedang itu membabat keseluruh
tubuhnya, dengan tepat sekali membabat
ujung semua jari kakinya, hidungnya, dagunya. Babatan itu hanya mengenai
ujung sedikit, tidak membahayakan
keselamatan nyawa namun menimbulkan rasa nyeri yang hebat. Seluruh tubuh
kakek itu kini berlepotan darah, mukanya
dipenuhi oleh kerut-merut menahan nyeri. "Hi-hik, bagaimana? Masih
kurang? Nah, rasakanlah ini!"
Kembali pedang itu digerakan, kini menusuknusuk dan seluruh tubuhnya ditusuki
ujung pedang bertubi-tubi. Ujung pedang
hanya menusuk dua senti saja sehingga menembus kulit daging akan tetapi
tidak membunuh dan darah keluar makin
banyak lagi, rasa nyeri makin menghebat sehingga tubuh kakek itu
berkelojotan seperti dalam sekarat.
"Ini yang terakhir!" The Kwat Lin berkata dan ujung pedangnya
membabat ke
bawah pusar. Wanita itu tertawa
bergelah, tertawa puas, wajahnya yang cantik itu pucat sekali dan dia tertawa
sambil berdongak ke atas. "suheng
sekalian, terutama Twa-suheng, lihatlah musuhmu. Sudah puaskah kalian?"
Dan
dia terisak, lalu menghampiri tubuh
yang berkelojotan itu. "akan tetapi aku belum puas! kau harus tidur dalam
keadaan tersiksa di antara mayat-mayat
yang membusuk, selama tiga hari tiga malam!" The Kwat Lin menengok
kepada anaknya dan berkata, "Bu Ong,
kautunggu di sini sebentar!" Tubuhnya berkelebat meninggalkan ruangan itu
dan dengan cepat dia telah datang
menyeret mayat-mayat para pengawal, selir dan pelayan sampai ruangan itu
penuh dengan mayat-mayat yang dia
lemparkan ke sekeliling tubuh Pat-jiu Kai-ong yang mandi darah.
</P>
<P>
"Nah, nikmatilah sekaratmu selama
tiga hari!" The Kwat Lin lalu menggandeng tangan anaknya dan mengajak
pergi
meninggalkan gedung itu. Ketika mereka
berdua tiba di dalam hutan di depan gedung, Swi Liang dan Swi Nio
menyambut mereka dengan mata penuh
harapan. "Mana Ayah, Subo?" Swi Liang bertanya. "Bagaimana
dengan dia?" Swi
Nio juga bertanya. "Ayah kalian
telah tewas...." Dua orang muda itu mengeluh dan menangis. Swi Liang
mengepal
tinjunya dan berkata, "Si jahanam
Patjiu Kai-ong! aku harus membalas kematian Ayah!" "Subo, bantulah
kami..."
kata pula Swi Nio, "kami harus
menuntut balas!" "Heh-heh, Suheng dan Suci, tenangkanlah hati kalian.
Pat-jiu
Kai-ong telah di balas dan sekarang
sedang sekarat di antara tumpukan mayat, he-he-heh! Wah, aku mendapat
bagian pesta tadi. Akulah yang
membuntungi kedua telinganya dan sepuluh jari tangannya. Menyenangkan
sekali!"
Swi Liang dan Swi Nio terbelalak
memandang "sute" ini. Ucapan anak itu benar-benar membuat mereka
merasa serem.
Memang, mendengar kematian ayah mereka
yang tanpa keraguan lagi mereka yakin tentu dilakukan oleh Pat-jiu
Kai-ong, mereka pun merasa sakit hati
dan ingin membalas dendam. Akan tetapi apa yang dilakukan oleh sute
mereka menurut pengakuan anak itu,
sungguh luar biasa sekali. Membuntungi kedua daun telinga dan sepuluh jari
tangannya, dan perbuatan itu dianggap
menyenangkan sekali dan berpesta, benar-benar membuat mereka bergidik!
"Musuhmu sedang menanti saat
kematian, harap kalian tenang dan tidak memikirkannya lagi. Ayahmu telah tewas,
dan kalian akan kuajak bersamaku
sebagai muridku . Akulah pengganti ayah kalian." Swi Liang dan Swi Nio
menjatuhkan diri dan berlutut di depan
subo mereka sambil bercucuran air mata. "Terima kasih subo..." Kata
mereka di antara tangis mereka.
"Perkenankan kami mengubur jenasah Ayah, "kata pula Swi Liang.
"Tidak perlu.
Kita menanti di sini sampai tiga hari,
setelah itu aku akan membakar gedung itu." Biarpun merasa heran dan
kasihan kepada mayat ayah mereka, kedua
orang yang sudah merasa ditolong dan dibalaskan sakit hati itu tidak
membantah. Mereka tentu saja tidak tahu
betapa mayat ayah mereka itu ikut pula di lempar oleh The kwat Lin di
dekat tubuh Pat-jiu Kai-ong untuk ikut
menyiksa musuh besar ini! Memang Pat-jiu Kai-ong tersiksa hebat bukan
main. Ketika tadi anaknya membuntungi
jari-jari tangannya, dia melihat muka anaknya itu berubah-ubah menjadi
muka banyak anak laki-laki yang menjadi
korbanya. Puluhan, bahkan ratusan anak laki-laki yang menjadi korbannya
itu seolah-olah mengeroyoknya, memaki dan
mengejeknya, dan kini, setelah tubuhnya mandi darah dan rasa nyeri
sampai menusuk-nusuk tulang, dia
ditinggalkan di antara mayat-mayat itu. Celaka baginya, tubuhnya yang terlatih
memiliki daya tahan yang amat kuat
sehingga dia tidak menjadi pingsan oleh rasa nyeri itu. Kalau saja dia dapat
pingsan atau mati sekali, tentu dia
tidak akan menderita sehebat itu. Mayat-mayat itu mulai mengeluarkan bau
yang memuakan pada hari ke dua. Bau
darah yang mengering dan membusuk, ditambah rasa nyeri di sekujur tubuhnya,
masih diganggu lagi oleh bayangan
anak-anak yang dahulu menjadi korbanya, membuat Pat-jiu Kai-ong menangis di
dalam hatinya, menyesali perbuatannya
yang mengakibatkan dia mati dalam keadaan tersiksa seperti itu. Tiga hari
kemudian, The Kwat Lin muncul dan
perempuan ini tertawa bergelak melihat musuh besarnya masih belum mati.
Senang sekali hatinya. Dahulu, dia
diperkosa dan dipermainkan di antara mayat-mayat suhengnya selama tiga hari
tiga malam, dan kini dia dapat membalas
secara memuaskan sekali. "Hi-hik, kau sudah puas sekarang?" ejeknya.
"Nah, mampuslah kau. Pat-jiu
Kai-ong!" pedangnya berkelebatan dan seluruh bagian tubuh di bawah pusar
kakek itu
dicincang hancur oleh pedang di tangan
The Kwat Lin. Setelah merasa puas melihat mayat musuh besarnya, barulah
dia membuat api dan membakar gedung
itu, lalu berlari keluar. Dengan air mata bercucuran, Swi Liang dan Swi Nio
memandang nyala api yang membakar
gedung, maklum bahwa mayat ayah mereka ikut terbakar. "Ayahmu telah
sempurna," kata The Kwat Lin.
"Tak perlu menangis lagi, hayo kalian ikut bersamaku. Kalau kalian rajin
mempelajari ilmu, kelak kalian tidak
akan mengalami penghinaan orang lagi." Dengan hati berat namun karena
tidak ada orang lain yang mereka
pandang setelah ayah mereka meninggal, dua orang muda itu terpaksa mengikuti
The Kwat Lin bersama Han Bu Ong pergi
meninggalkan Hen-san. Bu-tong-pai adalah sebuah perkumpulan silat yang
besar, merupakan sebuah di antara
"partaipartai" persilatan yang terkenal. Akan tetapi pada saat itu,
Bu-tong-pai sedang berkabung. Di markas
perkumpulan itu yang letaknya di lereng pegunungan Bu-tong-san, dari
pintu gerbang sampai rumah-rumah para
tokoh dan murid kepala, tampak kibaran kain-kain putih menghias pintu,
tanda bahwa Bu-tong-pai sedang
berkabung. Siapakah yang meninggal dunia? Bukan lain adalah ketua Bu-tong-pai
yang sudah berusia lanjut, yaitu Kiu
Bhok San-jin yang meninggal dunia dalam usia delapan puluh tahun. Baru
saja upacara penguburan selesai
dilakukan oleh para anak murid Bu-tong-pai, para tamu telah meninggalkan
Pegunungan Bu-tong-san, akan tetapi
semua anak buah murid Bu-tong-pai masih berkumpul di sekitar kuburan baru
itu. Suasana penuh pergabungan dan
masih tampak beberapa orang murid yang mengusap air mata. Kui Bhok San-jin
terkenal sebagai seorang ketua dan guru
yang baik dan yang dicintai oleh para anak murid Bu-tong-pai.
"Suhu...!" Seruan ini membuat
semua orang menengok dan tampaklah seoang wanita cantik berlari mendatangi,
diikuti oleh seorang muda-mudi remaja
dan seorang anak laki-laki. Wanita itu tidak menoleh ke kanan kiri,
melainkan langsung berlari menghampiri
kuburan baru dan menjatuhkan diri berlutut di depan batu nisan sambil
menangis. "Ahh, bukankah dia Sumoi
The Kwat Lin....?" Seorang murid Kui Bhok San-jin yang usianya lima
puluhan
berseru. Semua orang memandang dan kini
mereka pun mengenal wanita yang berpakaian indah seperti seorang nyonya
bangsawan itu. The Kwat Lin! Tentu saja
mereka semua kini teringat. Bukankah The Kwat Lin merupakan seorang
anak murid Bu-tong-pai yang amat
terkenal, sebagai orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap yang sudah
bertahun-tahun lenyap tanpa
meninggalkan jejak? "Benar, dia orang termuda dari Cap-Sha Sin-hiap!"
terdengar
seruan-seruan setelah mereka mengenal
wanita cantik itu. Mendengar suara-suara itu, wanita ini lalu bangkit
berdiri, menyusuti air matanya,
kemudian memandang kepada mereka sambil berkata, "Benar, aku adalah The
Kwat
Lin, orang termuda dari Cap-Sha
Sin-hiap. Masih baik kalian mengenalku! Sekarang suhu telah meninggal dunia,
siapakah yang akan menggantikannya
sebagai ketua Bu-tong-pai?" Para tokoh Bu-tong-pai terkejut menyaksikan
sikap angkuh ini. Di antara mereka,
terdapat delapan orang yang terhitung suheng-suheng dari The Kwat Lin, dan
orang tertua di antara mereka adalah
seorang kakek berpakaian seperti pendeta tosu. Sejak tadi kakek tosu ini
mengerutkan alisnya setelah mendengar
bahwa wanita itu adalah seorang muda dari Cap-sha Sin-hiap, maka kini
mendengar pertanyaan Kwat Lin, dia
melangkah maju dan berkata, "Sian-cai..., tak pernah pinto sangka bahwa
anggauta termuda dari Cap-sha Sin-hiap
akan muncul hari ini. Berarti engkau adalah murid termuda dari mendiang
suheng, dan kalau engkau ingin
mengetahi, pinto yang dipilih oleh anak murid Bu-tong-pai, juga telah ditunjuk
oleh mendiang suheng menjadi ketua di
Bu-tong-pai." Kwat Lin mengangkat mukanya memandang. Tosu itu bertubuh
kecil sedang, dan biarpun mukanya penuh
keriput, namun matanya bersinar terang dan jenggotnya yang terpelihara
baik mengitari mulutnya itu masih hitam
semua, demikian pula rambutnya yang diikat dan diberi tusuk konde dari
perak. Pakaiannya sederhana saja,
pakaian seorang pendeta To yang longgar. "Siapakah Totiang?"
"Ha-ha-ha-ha,
sungguh lucu kalau seorang murid
keponakan tidak mengenal susioknya sendiri. Ketahuilah bahwa pinto adalah Kui
Tek Tojin, satu-satunya saudara
seperguruan dari mendiang Kui Bhok San-jin." Kwat Lin sudah pernah
mendengar
nama susioknya (paman gurunya) ini,
seorang tosu perantau, sute termuda dan satu-satunya yang masih hidup dari
mendiang suhunya. Dia mencibirkan
bibirnya yang merah dengan gaya mengejek, kemudian berkata dengan suara
lantang, "Ah, kiranya Susiok Kui
Tek Tojin yang menggantikan Suhu menjadi ketua Bu-tong-pai? Sungguh keputusan
yang sama sekali tidak tepat! Aku tidak
setuju sama sekali kalau Susiok yang menjadi ketua!" Tosu itu
membelalakan matanya dan memandang
kaget, heran dan penasaran. Akan tetapi sebelum dia mengeluarkan kata-kata,
seorang tosu lain yang bernama Souw Cin
Cu, murid tertua dari Kui Bhok San-jin, melangkah maju dan berkata,
"Sumoi, apa yang kaukatakan ini?
Betapa beraninya engkau mengatakan demikian! Keputusan ini tidak saja sesuai
dengan petunjuk suhu, juga telah
menjadi keputusan kami semua. Pula, Susiok merupakan satu-satunya saudara
seperguruan mendiang Suhu, sehingga
kedudukannya paling tinggi dan usianya paling tua di antara kita. Siapa
lagi kalau bukan Beliau yang
menggantikan Suhu menjadi ketua kita?" "Siancai, kedatangan yang
mendadak dan tak
tersangka-sangka, juga pendapat yang mengejutkan. Betapapun juga,
sebagai murid mendiang Suheng, dia berhak
berbicara untuk kepentingan dan
kebaikan Bu-tong-pai. The Kwat Lin, bukankah demikian namamu tadi? Kalau
menurut pendapatmu, siapa gerangan yang
patut dijadikan ketua Bu-tong-pai menggantikan Suheng yang telah tidak
ada?" "Harap maafkan aku,
Susiok. Bukan sekali-kali aku memandang rendah kepada Susiok, akan tetapi
penolakanku
itu berdasarkan perhitungan yang matang."
Kwat Lin berkata kepada calon ketua Bu-tong-pai itu, mengejutkan dan
mengherankan semua orang yang mendengar
dan melihat sikap tidak menghormat dari wanita itu. "Pertama-tama sejak
dahulu Susiok selalu merantau, tidak
pernah memperdulikan keadaan Bu-tong-pai, apalagi Susiok adalah seorang
tosu sehingga kalau Susiok yang menjadi
ketua Bu-tong-pai, ada bahayanya Bu-tong-pai akan berubah menjadi
perkumpulan Agama To! Berbeda sekali
dengan pendirian mendiang Suhu yang bebas sehingga murid suhu pun terdiri
dari bermacam-macam golongan. Selain
itu, selama ini Bu-tong-pai makin kehilangan sinarnya, menjadi bahan
ejekan dan bahan penghinaan orang
lain." "Ahhhh...!" terdengar suara memprotes dari sana-sini dan
Souw Cin Cu
kembali berkata penasaran, "Sumoi
aku benar-benar merasa heran mendengar kata-katamu dan melihat sikapmu.
Sepuluh tahun engkau dan para suhengmu
menghilang dan kini engkau muncul seperti seorang yang lain. Seperti
langit dengan bumi bedanya antara engkau
dahulu dan engkau sekarang! Sumoi, kau mengatakan bahwa Bu-tong-pai
menjadi lemah dan menjadi bahan ejekan
dan penghinaan orang lain. Apa artinya ini?" "Souw Cin Cu Suheng,
selama
bertahun-tahun ini Cap-sha Sin-hiap
telah lenyap, tahukah engkau apa yang terjadi dengan mereka?" "Kami
telah
berusaha menyelidiki namun tidak dapat
menemukan kalian." "Hemm, itulah tandanya bahwa Bu-tong-pai amat
lemah,
sehingga semua suhengku, tokoh-tokoh
Cap-sha Sin-hiap, dibunuh orang tanpa diketahui oleh Bu-tong-pai!" Semua
orang terkejut sekali mendengar bahwa
dua belas orang dari Cap-sha Sin-hiap telah dibunuh orang! "Siapa yang
membunuh mereka?" Souw Cin Cu
bertanya dengan suara marah sekali. Hati siapa yang takkan menjadi panas dan
marah mendengar bahwa dua belas orang
saudara seperguruannya dibunuh orang? "Hemm, terlambat sudah! Dua belas
orang Suheng dibunuh oleh Pat-jiu
Kai-ong ketua Pat-jiu Kai-pang di Heng-san." "Ohhh...!" kini Kui
Tek Tojin
berseru kaget, "Pat-jiu
Kai-ong...?? Mengapa...??" Kwat Lin tersenyum mengejek. "Ahhh, tentu
Susiok pernah
mendengar nama besarnya dan menjadi
gentar, bukan? Memang dialah datuk sesat yang terkenal itu, yang telah
membunuh dua belas orang Suhengnya. dan
peristiwa itu berlalu begitu saja! Tiga belas orang tokoh Bu-tong-pai
mengalami penghinaan, dan Butong- pai
sendiri diam saja. Apalagi berusaha membalas dendam, bahkan tahupun tidak
akan peristiwa itu! Ini tandanya bahwa Bu-tong-pai lemah! Kini
Bu-tong-pai hendak diketahui oleh Susiok, apakah
akan dijadikan markas kaum pendeta Tosu
dan menjadi makin lemah lagi? Aku sendirilah yang harus turun tangan
membunuh musuh-musuh besar kami,
membunuh Pat-jiu Kai-ong dan membasmi Pat-jiu Kai-pang di Heng-san. Melihat
kelemahan Bu-tong-pai, aku tidak setuju
kalau mendiang Suhu digantikan kedudukannya oleh Susiok Kui Tek To-jin
harus diganti oleh orang yang memiliki
kepandaian tinggi dan dapat memajukan dan memperkuat Bu-tong-pai,
barulah tepat!" Kwat Lin bicara
penuh semangat, mukanya yang cantik dan berkulit halus itu kemerahan, sepasang
matanya bersinar-sinar dan dengan
tajamnya menyapu wajah semua anak murid Bu-tong-pai yang hadir di situ.
Pandang mata bekas orang termuda
Cap-sha Sin-hiap ini membuat banyak anak murid Butong- pai merasa gentar dan
mereka hanya menunduk untuk
menghindarkan pandang mata Kwat Lin. Akan tetapi, delapan orang suheng dari
Kwat
Lin memandang dengan marah dan
penasaran. Adapun Kui Tek Tojin hanya tersenyum dan mengelus jenggotnya sambil
mengangguk-angguk, matanya memandang
wajah wanita itu penuh selidik. "The Kwat Lin, omonganmu penuh semangat
terhadap kedudukan Bu-tong-pai.
Andaikata benar semua kata-katamu itu, habis siapakah yang kaupandang tepat
untuk menjadi ketua Bu-tong-pai?"
Kui Tek Tojin berkata lagi dengan sikap tenang. "Untuk waktu ini, kiranya
tidak ada orang lain lagi dari Bu-tong-pai
kecuali aku sendiri!" Kini benar-benar terkejut dan
terheran-heranlah semua anak murid
Bu-tong-pai yang berada di situ. Begitu beraninya wanita ini. Biarpun tak
dapat disangkal lagi bahwa The Kwat Lin
merupakan murid utama pula dari mendiang Bhok Sanjin dan orang termuda
Cap-sha Sin-hiap, akan tetapi pada
waktu itu dia bukanlah orang yang memiliki tingkat tertinggi di Bu-tong-pai.
Sama sekali bukan! Di atas dia masih
ada delapan orang suhengnya, murid-murid Kui Bhok San-jin yang lebih tua,
dan lebih lagi di situ masih ada Kui
Tek Tojin yang tentu saja memiliki tingkat jauh lebih tinggi karen tosu
ini adalah paman gurunya! "Murid
Murtad!!" Tiba-tiba Souw Cin Cu membentak garang dan meloncat maju,
diikuti
pula oleh sutesutenya. Telunjuk kirinya
menuding ke arah muka The Kwat Lin. "The Kwat Lin, engkau sungguh tidak
patut menjadi murid Bu-tong-pai!
Kiranya engkau menghilang sepuluh tahun hanya untuk pulang sebagai iblis
wanita yang murtad terhadap perguruanya
sendiri. Dan kami berkewajiban untuk mengajar seorang murid murtad!"
Sambil berkata demikian, Souw Cin Cu
menerjang ke depan dengan dahsyat. Souw Cin Cu merupakan murid pertama
atau paling tua dari Kui Bhok San-jin.
sungguhpun tidak dapat dikatakan bahwa dia memiliki tingkat ilmu silat
paling tinggi, akan tetapi setidaknya
tingkatnya sejajar dengan orang-orang tertua dari Cap-sha Sin-hiap dan
sebenarnya masih lebih tinggi setingkat
jika dibandingkan dengan ilmu kepandaian The Kwat Lin ketika masih
menjadi orang termuda Cap-sha Sin-hiap
dahulu. Akan tetapi, Kwat Lin sekarang sama sekali tidak bisa disamakan
dengan Kwat Lin sepuluh tahun yang
lalu. Dia telah mewarisi ilmu, silat ilmu silat tinggi dan mujijat dari
Pulau Es! Tingkatnya sudah tinggi
sekali dan dengan tenang saja dia memandang ketika suhengnya itu
menerjangnya. Apalagi karena dia
mengenal benar jurus yang dipergunakan oleh suhengnya, jurus dari ilmu silat
Ngo-heng-kun. Ketika tangan kiri Souw
Cin Cu mencengkeram ke arah lehernya dan tangan kanan tosu itu menampar
pelipis, dia diam saja seolah-olah dia
hendak menerima dua serangan ini tanpa melawan. Akan tetapi setelah hawa
sambaran pukulan itu sudah terasa
olehnya, tiba-tiba tangan kirinya bergerak dari bawah ke atas.
"Plak-plak-plak!!" Kedua
lengan Souw Cin Cu telah terpental, bahkan tubuh tosu ini terpelanting ketika tangan
Kwat Lin yang tadi sekaligus menangkis
kedua lengan itu melanjutkan gerakannya dengan tamparan pada pundaknya.
Tamparan yang perlahan saja, akan
tetapi sudah cukup murid pertama mendiang Kui Bhok San-jin terpelanting!
Diam-diam Kui Tek Tojin terkejut heran
menyaksikan gerakan tangan wanita itu, gerakan yang amat cepat dan aneh,
gerakan yang sama sekali tidak
dikenalnya dan tentu saja bukan jurus ilmu silat Butong- pai! Akan tetapi tujuh
orang sute dari Suow Cin Cu sudah
menjadi marah dan tanpa dikomando lagi mereka menerjang maju. Akan tetapi The
Kwat Lin tertawa, tubuhnya bergerak
sedemikian cepatnya dan berturut-turut tujuh orang ini pun terguling roboh
di dekat Suow Cin Cu! Mereka sendiri
tidak tahu bagaimana mereka dirobohkan, akan tetapi tahu-tahu terpelanting
dan bagian yang tertampar tangan Kwat
Lin, biarpun tidak sampai patah tulang, akan tetapi amat nyeri. Padahal
tamparan itu perlahan saja. Bagaimana
andaikata wanita itu menampar dengan pengerahan tenaga sekuatnya, sukar
dibayangkan akibatnya. Betapapun juga,
delapan orang murid utama dari Bu-tong-pai ini tentu saja tidak sudi
menyerah begitu mudah dan mereka sudah
meloncat bangun dan mencabut senjata masing-masing! "Ibu, mengapa tidak
dibunuh saja tikus-tikus menjemukan
ini?" Tiba-tiba Bu Ong berteriak. Anak ini sudah bertolak pinggang dan
memandang marah kepada para pengeroyok
ibunya. Kalau saja tangannya tidak dipegang erat-erat oleh Swi Liang dan
Swi Nio, suheng dan sucinya, tentu dia
sudah menerjang maju membantu ibunya. Akan tetapi memang sebelumnya, Swi
Liang dan Swi Nio sudah dipesan oleh
subo mereka untuk menjaga Bu Ong, dan terutama sekali mencegah bocah ini
mencampuri urusannya dengan orang-orang
Bu-tong-pai. Kwat Lin tersenyum mengejek melihat delapan orang
suhengnya itu mengeluarkan senjata.
"Hemmm, apakah kalian ini sudah buta? Apakah para suheng tidak melihat
bahwa tingkat kepandaianku jauh
melebihi kalian, dan bahkan andaikata Suhu masih hidup, beliau sendiri tidak
akan mampu menandingi aku."
"Keparat...!" Souw Cin Cu dan tujuh orang sutenya menerjang maju,
akan tetapi
tiba-tiba Kui Tek Tojin berseru,
"Tahan senjata! Mundur kalian!" Mendengar teriakan ini, delapan orang
ini
serentak mundur mentaati perintah calon
ketua mereka. Kui Tek Tojin melangkah maju menghampiri wanita yang
tersenyum-senyum itu. "Siancai...
kiranya engkau telah memiliki kepandaian tinggi maka berani menentang
Bu-tong-pai! The kwat Lin, selama ini
engkau telah mempelajari ilmu silat dari luar Bu-tong-pai, tidak tahu
dari perguruan manakah?"
"Memang benar dugaanmu, Susiok, akan tetapi tidak perlu aku menceritakan
kepada
siapapun juga." "Hei, tosu
bau! Ibu adalah Ratu dari Pulau Es, tahukah engkau?" "Bu
Ong...!" Kwat Lin membentak
puteranya, akan tetapi anak itu sudah
terlanjur bicara dan bukan main kagetnya Kui Tek Tojin dan para anak
murid Bu-tong-pai mendengar ini. Pulau
Es hanya disebut-sebut dalam dongeng saja, dan memang nama besar tokoh
Pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es amat
terkenal di dunia kang-ouw. Timbul keraguan di dalam hati Kui Tek Tojin,
akan tetapi karena wanita di hadapannya
itu juga merupakan anak murid Bu-tong-pai, maka dia menekan perasaannya
dan berkata, "The Kwat Lin, kalau
engkau masih mengaku sebagai murid Bu-tong-pai, betapapun tinggi ilmu
kepandaianmu, engkau harus tunduk
kepada pimpinan Bu-tong-pai. Sebaliknya, kalau engkau sudah mempelajari ilmu
silat dari golongan lain dan tidak lagi
merasa sebagai orang Bu-tong-pai, engkau tidak berhak mencampuri urusan
dalam dari Bu-tong-pai." Kwat Lin
tersenyum mengejek. " Susiok, tidak perlu kupungkiri lagi bahwa aku telah
membelajari ilmu silat dari golongan
lain dan tingkat kepandaianku menjadi jauh lebih tinggi daripada semua
tokoh Butong- pai. Akan tetapi aku
bukan saja masih mengaku orang Bu-tong-pai, bahkan ingin memimpin Bu-tongpai
menjadi perkumpulan terkuat di dunia.
Akan kuperbaiki dan kupertinggi mutu ilmu silat Bu-tong-pai agar tidak
ada lagi golongan lain yang berani
memandang rendah Bu-tong-pai, apalagi menghina anak murid Bu-tong-pai
seperti yang terjadi kepada Cap-sha
Sin-hiap sepuluh tahun yang lalu." "Hemm, kalau begitu, pinto sebagai
calon
ketua Bu-tong-pai, terpaksa melarang
dan menentang kehendakmu, The Kwat Lin." "Dengan cara bagaimana kau
hendak
menentangku, Susiok?" "Dengan
mempertaruhkan nyawaku. Kehormatan Bu-tong-pai lebih penting dari pada nyawa
seorang ketuanya. Majulah dan mari kita
putuskan persoalan ini dengan kepandaian kita ." The Kwat Lin
tersenyum. "Susiok, betapapun
mudahnya bagiku membunuhmu, membunuh para suheng dan membunuh semua orang yang
menentangku. Akan tetapi, aku bahkan
ingin menolong kalian, ingin mengangkat nama Bu-tong-pai, maka biarlah aku
hanya akan mengalahkan Susiok tanpa
membunuhmu." Ucapan ini malah merupakan penghinaan yang luar biasa sekali,
karena mengalahkan lawan tanpa
membunuhnya merupakan hal yang amat sukar dan hanya dapat dilakukan oleh orang
yang memiliki tingkat kepandaian yang
jauh lebih tinggi dari lawannya! Merah muka tosu tua itu. Dia dipandang
rendah oleh murid keponakannya sendiri!
Bukan hanya itu saja. Dia sebagai orang tertua dari Bu-tong-pai,
sebagai calon ketua Bu-tong-pai, dihina
oleh seorang anggauta muda Bu-tong-pai! Oleh karena itu, tosu tua ini
mengambil keputusan untuk mengadu nyawa
dengan wanita yang kini dipandangnya bukan sebagai anggauta Bu-tong-pai
lagi, melainkan sebagai seorang musuh
yang hendak mengacau Bu-tong-pai. "The Kwat Lin sebagai seorang ketua
Bu-tong-pai, pinto menyediakan nyawa
untuk mempertahankan kehormatan Bu-tong-pai terhadap siapapun juga , dan
saat ini pinto akan mempertahankannya
terhadap engkau! Majulah!" sambil berkata demikian tosu tua berjenggot
lebat ini meloncat ke depan, tongkatnya
di tangan kanan dan ujung lengan bajunya melambai panjang. Kwat Lin
mengenal tongkat itu. Tongkat kayu
cendana yang harum dan menghitam saking tuanya, tongkat yang menjadi tongkat
pusaka para ketua Bu-tong-pai sejak
dahulu. Dia maklum pula bahwa tongkat itu hanya sebagai lambang kedudukan
ketua belaka, namun dalam hal ilmu
silat bersenjata, ujung lengan baju kakek itu jauh lebih barbahaya dari pada
tongkatnya. Dia dapat menduga bahwa
tentu kakek ini sudah memiliki tingkat tertinggi dari Bu-tong-pai, dan
telah memiliki sinkang yang amat kuat
sehingga kedua ujung lengan bajunya dapat dipergunakan sebagai senjata
ampuh yang dapat menghadapi senjata
apapun juga dari lawan, dapat dibikin kaku keras seperti besi dan lemas
seperti ujung cambuk yang dapat
melakukan totokan-totokan maut keseluruh jalan darah di tubuh lawan! Karena
itu, dia tidak berani memandang rendah,
cepat dia mengeluarkan pekik melengking, dan tubuhnya sudah bergerak
maju, tangan kananya melakukan pukulan
dorongan dengan telapak tangan sambil mengerahkan tenaga sinkang Swat-im
Sin-jiu. Hawa yang amat dingin
menghembus ke depan menyerang kakek itu. Swat-im Sin-jiu adalah tenaga dalam
inti salju yang dilatihnya di Pulau Es,
kekuatannya dahsyat bukan main karena hawa yang menyambar ini
mengandung tenaga sakti yang
mendatangkan rasa dingin. "Siancai...!!" Tosu itu berseru kaget
ketika merasa
betapa hawa yang menyambar dari depan
amat dinginnya, membuat tangannya ketika mendorong kembali terasa
membeku. Maka dia lalu mengerakan
tongkat di tangan kanannya, mengambil keuntungan dari ukuran tongkat yang
panjang, menghantam ke arah kepala
wanita itu dari samping. "Wuuuuttt... plakkkk!" Dengan berani sekali
Swat
Lin menggunakan tangan kiri yang dibuka
untuk memapaki sambaran tongkat dari samping, terus mencengkram tongkat
itu dan mengerahkan sinkang, menyalurkannya
lewat getaran tongkat dan kembali tosu itu berseru kaget ketika
merasa betapa lengan kanannya yang
memegang tongkat terasa dingin dan lumpuh! Kesempatan baik ini, dalam satu
detik pada saat lawan masih terkejut
dan belum sempat mengerahkan sinkang, dipergunakan oleh Kwat Lin dengan
jalan menarik ke bawah, bergulingan ke
depan dan menghantam ke arah lawan dengan tangan kananya, kini
menggerakan tenaga sinkang yang berhawa
panas! "Ouhhh...!" Kui Tek Tojin berteriak, cepat meloncat ke
belakang
dan tentu saja tongkatnya dapat
dirampas. Dia tadi sudah mengerahkan sinkang melawan getaran melalui tongkat,
dengan niat merampasnya kembali, akan
tetapi pukulan lawannya dari bawah yang ditangkis dengan tangan kanan,
ternyata luar biasa kuat dan panasnya,
mengejutkannya karena perubahan sinkang yang berlawanan itu tidak
disangka-sangkanya, maka untuk
menyelamatkan diri, terpaksa dia meloncat ke belakang dan mengorbankan
tongkatnya. Kwat Lin sudah melompat
kebelakang pula, memegang tongkat itu dengan kedua tangan di atas kepala
sambil tertawa dan berkata,
"Hi-hik, tongkat pusaka telah berada di tanganku, berarti akulah ketua
Bu-tong-pai!
"Kembalikan tongkat!" Kui Tek
Tojin berteriak marah dan kedua lengannya bergerak ketika tubuhnya menerjang
maju. Dengan amat cepatnya kedua ujung
lengan bajunya bergerak seperti kilat menyambar-nyambar dan dalam
segebrakan itu, Kwat Lin telah dihujani
sembilan kali totokan yang amat berbahaya! Sukarlah membebaskan diri
dari ancaman totokan yang hebat ini dan
andaikata Kwat lin bukan seorang pewaris ilmu-ilmu dari Pulau Es, tidak
mungkin dia dapat menghindarkan diri
lagi. Dia menggunakan ginkangnya berloncatan menghindar, akan tetapi
sebuah totokan yang meleset masih
mengenai pergelangan tangannya, membuat tongkat pusaka itu terlepas dari
peganganya! Kwat Lin menjerit marah,
pedangnya sudah dicabutnya, yaitu pedang Ang-bwe-kiam dan tampak sinar
merah berkeredepan dan
menyambar-nyambar dahsyat. "Bret-brettttt...!!" Kui Tek Tojin
berteriak kaget, meloncat
mundur dan ternyata bahwa ujung lengan
bajunya telah terbabat buntung oleh pedang di tangan Kwat Lin, dan
sekarang wanita itu telah mengambil
lagi tongkat pusaka yang tadi terpaksa dilepaskan oleh tangannya yang
tertotok. "Susiok! Dan kalian para
suheng semua! Kalau kalian mendesak, terpaksa aku akan mematahkan tongkat
pusaka ini kemudian membunuh kalian dan
merampas Bu-tong-pai dengan kekerasan!" Dia mengangkat tongkat itu
tinggi-tinggi. "Aku hanya menuntut
hak seorang murid Bu-tong-pai yang memiliki tingkat tinggi dan memegang
tongkat wasiat itu, hak menjadi ketua
dengan niat untuk mempertinggi tingkat Butong- pai!" Delapan orang suheng
itu masih penasaran dan mereka hendak
menyerbu ke depan, akan tetapi Kui Tek Tojin mengangkat tangan ke atas
dan berkata, "Mundurlah kalian.
Dia benar, kita tidak boleh melawan pemegang tongkat pusaka!" Kemudian dia
berkata kepada Kwat Lin, "Baiklah,
melihat tongkat pusaka di tanganmu, kami tidak akan melawan. Akan tetapi,
betapapun juga kami tidak dapat
menerima engkau menjadi ketua kami dan kami harap engkau tidak memaksa anak
murid Bu-tong-pai yang tidak mau tunduk
kepadamu dan meninggalkan tempat ini." Kwat Lin tersenyum. Memang bukan
kehendaknya untuk memusuhi anak murid
Bu-tong-pai. Dia tidak membenci Bu-tong-pai, melainkan hendak mencarikan
kemuliaan bagi puteranya dengan
perantaraan sebuah perkumpulan besar dan dia akan mengusahakan agar Bu-tong-pai
menjadi sebuah perkumpulan yang paling
kuat dan paling besar. "Terserah kepadamu, Susiok." dia lalu
memandang
ke sekeliling, kepada para anak murid
Bu-tong-pai, "Haiii, semua anggauta dan murid Bu-tong-pai, dengar lah
baik-baik! Betapapun juga aku adalah
murid Bu-tong-pai sejak kecil, dan di dalam sepak terjang Cap-sha
Sin-hiap, kalian juga sudah tahu betapa
aku dan para suheng telah menjunjung tinggi nama Bu-tong-pai dan aku
ingin menyebarkan ilmuku kepada kalian
semua agar kalian menjadi orang-orang yang lihai dan Bu-tong-pai menjadi
perkumpulan yang paling kuat di dunia
ini. Terserah kepada kalian apakah hendak besetia kepada nama Bu-tong-pai
dan menjadi murid-muridku, ataukah
hendak bersetia kepada tosu Kui Tek Tojin dan delapan orang suhengku ini
yang hendak membelakangi
Bu-tong-pai!" Berisiklah keadaan di situ setelah Kwat Lin mengeluarkan
kata-kata ini.
Para anak murid Bu-tong-pai saling
bicara sendiri, saling berbantahan dan akhirnya hanya ada dua puluh orang
termasuk Kui Tek Tojin yang
meninggalkan tempat itu, menuruni bukit dan memasuki sebuah hutan di kaki bukit
yang dipilih oleh Kui Tek Tojin untuk
menjadi tempat tinggal mereka sementara waktu sambil menanti perkembangan
selanjutnya. Sisanya semua suka
mengangkat Kwat Lin menjadi ketua mereka setelah mereka tadi menyaksikan betapa
lihainya Kwat Lin dan mereka semua
ingin memperoleh bagian pelajaran ilmu silat yang tinggi. Demikianlah, mulai
hari itu, The Kwat Lin menjadi ketua
yang baru dari Bu-tong-pai yang dipimpinnya dengan gaya dan bentuk yang
baru pula. Dengan harta benda berupa emas
permata yang amat mahal, yang didapatkan dan dilarikannya dari Pulau
Es, dia membangun markas Bu-tong-pai
menjadi bangunan yang megah, mewar dan kuat. Bahkan dalam keinginan
hatinya untuk lekas-lekas melihat
Butong- pai menjadi perkumpulan yang kuat dan banyak anggautanya, dia
menerima anggauta-anggauta baru.
Anggauta baru diterima dari golongan apapun juga, syaratnya hanya satu bahwa
mereka itu haruslah memiliki kepandaian
yang sampai pada tingkat tertentu, dan bersumpah setia sampai mati
kepada Bu-tongpai. Karena mendengar
bahwa ketua Bu-tong-pai yang baru adalah seorang wanita yang cantik yang
memiliki kesaktian hebat, juga amat
kaya raya, maka banyaklah orang-orang kang-ouw dan golongan kaum sesat yang
tadinya hidup sebagai perampok dan
bajak-bajak yang tidak tertentu penghasilanya, berdatanganlah dan masuk
menjadi anggauta Bu-tong-pai! Mulai
pulalah The Kwat Lin mengatur dan merencanakan cita-citanya untuk
puteranya. Dengan kerja sama antara dia
dan para anggauta baru yang berpengalaman mulailah dia diam-diam
mengadakan kontak dan mencari
kesempatan untuk menghubungi para pembesar tinggi yang merupakan kekuatan
rahasia
untuk membrontak terhadap kaisar. Inilah
cita-cita The Kwat Lin. Dia pernah menjadi ratu, menjadi istri seorang
raja, biarpun hanya raja kecil yang
menguasai Kerajaan Pulau Es, karena itu, dia menganggap bahwa puteranya,
Han Bu-ong, adalah seorang pangeran!
Seorang pangeran haruslah bercita-cita menjadi raja. Bukan raja kecil yang
hanya menguasai sebuah pulau, melainkan
raja besar! Dan satu-satunya jalan untuk dapat mencapai ini, hanyalah
menggulingkan kaisar sehingga kelak ada
kesempatan bagi puteranya untuk menjadi kaisar! Tentu saja untuk
membrontak sendiri dengan mengandalkan
kekuatanBu-tong-pai merupakan hal yang tak masuk diakal dan hanya
merupakan bunuh diri, maka dia mencari
kesempatan mengadakan kontak dengan para pembesar tinggi yang berambisi
seperti dia sehingga mungkin bagi
mereka untuk menggunakan bala tentara yang dapat dikuasai untuk mencapai
cita-cita mereka itu. Memang
sesungguhnyalah bahwa kemuliaan duniawai atau alam benda merupakan keadaan yang
amat berbahaya. Tak dapat disangkal
pula bahwa hidup memang memerlukan kebendaan sebagai pelengkap dan
pelangsung hidup, dan amat baiklah
kalau orang dapat menggunakan keduniawian itu pada tempat sebenarnya. Akan
tetapi, akan celakalah dan hanya akan
menimbulkan malapetaka bagi diri sendiri dan bagi orang lain kalau
manusia sudah dikuasai oleh duniawi
yang merupakan harta benda, kedudukan, nama besar, kepandaian dan lain-lain
sebagainya. Alam kebendaan ini
mempunyai sifat seperti arak. Diminum dengan kesadaran dan pengertian akan
menjadi obat, tapi di lain saat dalam
keadaan lalai akan menjadi minuman yang memabokan. Dan sekali orang mabok
oleh duniawi, akan timbullah perbuatan
sombong, sewenang-wenang, dan lupa segala. yang ada hanyalah keinginan
memenuhi segala kehendaknya dengan cara
apapun juga tanpa mengharamkan dengan segala cara. Demikian pula
terjadi dengan The Kwat lin. Dahulu,
belasan tahun yang lalu, The Kwat Lin merupaka seorang pendekar wanita
yang gagah perkasa menentang kejahatan
yang gigih sehingga namanya bersama dua belas orang suhengnya sebagai
Cap-sha Sin-hiap amatlah terkenal. Akan
tetapi setelah malapetaka menimpa Cap-sha Sin-hiap, dendam menaburkan
bibit yang merobah seluruh pandangan
hidupnya. Setelah dia berhasil membalas dendam secara keji dan kejam
sekali, bibit itu masih berkembang biak
dan merobah sifat, dari dendam kepada pengejaran kemuliaan yang tanpa
batas. Sudah terlalu lama kita
meninggalkan Han Swat Hong. puteri dari Raja Han Ti Ong dan sebaiknya kita
mengikuti pengalamanya agar tidak
tertinggal terlampau jauh. Seperti kita ketahui, Swat Hong yang berwatak
keras itu marah-marah ketika melihat
betapa Sin Liong menolong seekor biruang dan tidak mempedulikan
dia.Dianggapnya Sin Liong sengaja
mencari-cari alasan untuk menghambat perjalanan, padahal dia ingin sekali
segera mencari dan menemukan ibunya
yang tidak ia diketahui kemana perginya dan bagaimana nasibnya setelah
badai yang amat dahsyat mengamuk
disekitar lautan itu. Akan tetapi tentu saja bukan dengan hati yang
sesungguhnya dia hendak meninggalkan
Sin Liong di pulau kosong itu, melainkan hanya untuk sekedar menunjukan
kemarahan hatinya saja. Karena itu
setelah perahunya jauh meninggalkan pulau itu sehingga pulau dimana Sin
Liong mengobati biruang itu tidak
nampak lagi, dara itu memutar lagi perahunya dan hendak kembali kepada Sin
Liong. Sudah dibayangkannya betapa Sin
Liong yang selalu sabar dan selalu mengalah kepadanya itu akan minta
maaf dan menyatakan penyesalan hatinya,
dan dia yang akan memaafkannya! Saat - saat seperti itu mendatangkan
keharuan, kebanggan dan kemenangan di
dalam hatinya. Betapa bingung dan kagetnya ketika kemudian dia mendapat
kenyataan bahwa dia tersesat jalan dan
tidak tahu lagi dimana dia meninggalkan Sin Liong tadi! Demikian
banyaknya pulau yang sama bentuknya di
lautan itu, banyak sekali bongkahan es yang datang dan pergi seperti
hidup saja! Setelah berputar putar
tanpa hasil dan yakin bahwa dia berada makin jauh dari tempat dimana Sin
Liong berada, setelah berteriak -
teriak memanggil dengan pengerahan khikang tanpa ada jawabannya dan memutar
perahu keluardari daerah penuh pulau
kecil yang membingungkan itu. Biarlah, dia akan pergi saja melanjutkan
perjalanan seorang diri mencari ibunya.
Dia merasa yakin bahwa suhengnya itu tentu akan dapat menyelamatkan
diri. Suhengnya memiliki ilmu
kepandaian yg amat tinggi. Swat Hong tidak tahu bahwa perahunya menuju ke
selatan, bukan menuju ke daerah Pulau
Es lagi. Namun karena maksudnya untuk mencari ibunya, dara ini seolah -
olah berlayar tanpa tujuan dan
membiarkan saja kemana perahu yang terdorong angin itu membawanya. Pada suatu
hari , tampaklah olehnya garis hitam di
sebelah kanan, masih jauh sekali, akan tetapi dengan girang dia dapat
mengenal bahwa garis hitam yang amat
panjang membujur dari kanan kiri itu adalah sebuah daratan yang agaknya
tiada bertepi. Itulah daratan besar,
pikirnya dengan girang dan dia segera membelokan perahunya menuju ke garis
hitam itu. Ketika perahunya sudah tiba
di dekat pantai yang sunyi, dia melihat ada sebuah perahu lain yang
meluncur cepat dari sebelah kirinya.
Perahu kecil dan yang berada di perahu itu seorang laki-laki muda yang
kelihatannya gagah dan tampan. Pemuda
itu pun memandang kepadanya sehingga dua pasang mata saling pandang
sejenak. Akan tetapi Swat Hong membuang
muka dan tidak mempedulikan orang yang tidak dikenalnya itu, terus saja
mendayung perahunya ke tepi. Begitu
perahunya mendekati daratan, dia lalu meloncat ke daratan, tidak
menghiraukan perahunya lagi. Memang dia
tidak berpikir untuk kembali ke tempat itu dan berperahu lagi. Untuk
apa berlayar? Pulau Es sudah kosong.
Dia akan mencari ibunya di daratan besar, karena kalau ibunya berada di
suatu pulau, agaknya tentu tidak akan
dapat terlepas dari amukan badai yang dahsyat itu. Kalau ibu berada di
daratan besar , dan ini mungkin saja
terjadi, barulah ada harapan bahwa ibunya masih hidup dapat bertemu
dengannya. Andaikata tidak, dia pun
akan merantau di daratan besar, tidak kembali kelaut. Dan dia tahu bahwa
demikian pula agaknya pendapat
suhengnya karena sebelum berpisah mereka sudah membicarakan hal ini
berkali-kali. Nenek moyangnya yang selama
ini menjadi raja di Pulau Es juga berhasal dari daratan besar!
Setelah kini Kerajaan Pulau Es terbasmi
badai dan tidak ada lagi, sepatutnya kalau dia sebagai ahli waris
satu-satunya kembali pula ke daratan
besar! "Heiii... Nona! Tunggu...!!" Swat Hong mengerutkan alisnya dan
berhenti melangkahkan kakinya, membalik
dan melihat betapa pemuda yang berada di dalam perahu tadi sudah
menambatkan perahunya dan juga perahu
yang ditinggalkanya meloncat tadi, di pantai. Kini pemuda itu berlari
mengejarnya. "Mau apa engkau
mengejar dan memanggil aku?" Swat Hong bertanya, matanya memandang penuh
selidik.
Pemuda itu usianya tentu hanya lebih
tua dua tiga tahun darinya, seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah,
yang perawakanya tinggi besar dan
matanya menyorotkan kejujuran dan membayangkan kekerasan dan keberanian.
Kedua lengan yang tampak tersembul
keluar dari lengan baju pendek itu kekar berotot membayangkan tenaga yang
hebat, juga bajunya yang terbuat dari
kain tipis membayangkan dada yang bidang, terhias sedikit rambut, berotot
dan kuat sekali. Melihat bahan
pakaiannya dapat di duga bahwa pemuda ini seorang yang beruang, namun melihat
dari keadaan tubuhnya dan kaki
tangannya, agaknya dia biasa dengan pekerjaan berat. Seorang petani atau
seorang
nelayan, pikir Swat Hong, kagum juga
memandang tubuh yang kokoh kuat itu. Pemuda itu tersenyum. Senyumnya lebar
memperlihatkan deretan gigi yang kokoh kuat
pula, senyum terbuka seorang yang berwatak jujur dan bersahaja.
Akan tetapi sikapnya ketika mengangkat
kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan, membuktikan bahwa dia
pernah"makan sekolahan" alias
terpelajar, terbukti pula dari kata-katanya yang biarpun ringkas dan singkat
akan
tetapi tetap sopan. "Maafkanlah,
Nona meninggalkan perahu begitu saja, aku merasa sayang dan membantu
meminggirkannya. Melihat gerakan Nona
ketika meloncat, jelas bahwa Nona berkepandaian tinggi. Aku ingin sekali
belajar kenal." Swat Hong
mengerutkan alisnya. Hatinya sedang tidak senang, karena selain kegagalannya
mencari
ibu, juga perpisahanya dengan Sin Liong
setidaknya mendatangkan rasa gelisah di hatinya. Kini ada pemuda yang
amat lancang ingin "belajar
kenal", sungguh menggemaskan. "Aku tidak membutuhkan perahu itu lagi,
dan aku tidak
peduli apakah kau meminggirkannya atau
hendak memilikinya, aku tidak minta bantuanmu. Tentang belajar kenal
biasanya hanya pedang, kepalan tangan
dan tendangan kaki saja yang mau belajar kenal dengan orang asing
lancang!" Sepasang mata lebar itu
terbelalak seolah-olah memandang sesuatu yang amat aneh, namun membayangkan
kekaguman yang luar biasa. Dan memang,
di luar dugaan Swat Hong sendiri, sikap dan kata-katanya tadi
mendatangkan rasa kagum yang amat besar
di dalam hati pemuda ini. Telah menjadi ciri khas pemuda ini yang
mengagumi sikap orang yang terbuka,
jujur, kasar dan tanpa pura-pura seperti sikap Swat Hong yang baru saja
diperlihatkan. "Ha-ha-ha-ha!"
Pemuda itu tertawa bergelak dan kedua matanya menjadi basah oleh air mata. Ini
pun ciri khasnya. Kalau dia tertawa,
air matanya keluar seperti orang menangis. Dengan punggung tangannya yang
besar dan berotot dia menghapus air
matanya. "Nona hebat sekali! Ha-ha-ha , aku Kwee Lun selama hidupku baru
sekarang ini bertemu dengan seorang
nona yang begini hebat! Diantara seribu orang gadis, belum tentu ada satu!
Nona, kalau sudi, perkenalkanlah aku
Swee Lin, biarpun jelek dan kasar bukanlah tidak terkenal. Ayahku adalah
seorang pelaut biasa dan sudah
meninggal, demikian pula Ibuku. Aku anak pelaut akan tetapi sejak kecil aku
sudah ikut kepada guruku. Guruku inilah
yang terkenal. Guruku adalah Lam Hai Sen-jin, pertapa yang amat
terkenal di dunia kang-ouw, dan kami
berdua tinggal di Pulau Kura-kura di laut selatan." Melihat sikap terbuka
ini, geli juga hati Swat Hong. Kini dia
melihat jelas bahwa pemuda ini sama sekali tidak kurang ajar. Kasar
memang, akan tetapi kekasaran yang
memang menjadi wataknya yang terbuka. Orang macam ini baik dijadikan
sahabat, pikirnya. Akan tetapi harus
dibuktikan dulu apakah pemuda ini pantas menjadi sahabatnya, sungguhpun
menurut pengakuannya dia murid seorang
pertapa yang namanya terkenal di dunia kang-ouw! Swat Hong tersenyum.
"Aihh, engkau lebih pantas menjadi
seorang penjual jamu! Setelah engkau memperkenalkan semua nenek moyangmu
kepadaku, dengan maksud apakah engkau
seorang pria minta perkenalan dengan seorang wanita?" Kwee Lun
mengerutkan alisnya yang sangat lebat
seperti dua buah sikat ditaruh melintang di dahinya itu, dan dia
menggeleng-geleng kepalanya.
"Memang, sebelumaku berangkat merantau, suhu berpesan dengan sungguh bahwa
aku
tidak boleh mendekati wanita cantik
yang katanya amat berbahaya melebihi ular berbisa! Akan tetapi, biarpun
Nona cantik sukar dicari cacatnya,
namun kepandaian Nona tinggi dan sikap Nona jujur menyenangkan. Aku ingin
bersahabat, karena sekarang ini baru
pertama kali aku merantau seorang diri, aku membutuhkan seorang sahabat
yang pandai seperti Nona untuk memberi
petunjuk kepadaku. Untuk budi Nona ini, tentu aku akan berusaha
menyenangkan hatimu." Swat Hong
makin terheran. Dia tidak tahu apakah pemuda ini pintar atau bodoh. Sikapnya
terbuka akan tetapi biarpun
kata-katanya teratur, ada bayangan ketololan. "Hemm, kau bisa apa sih?
Bagaimana
engkau bisa menyenangkan hatiku?"
Dia menyelidik. "Aku? Wah, aku bodoh akan tetapi kalau ada orang-orang
kurang
ajar kepadamu, tanpa Nona turun tangan
sendiri, aku sanggup menghajar mereka! Dia melonjorkan kedua lengannya
yang kekar berotot itu. "Dan
jangan Nona sangsi lagi, biar ada lima puluh orang, aku masih sanggup
menghadapi
mereka, kalau perlu dibantu sengan
senjataku kipas dan pedang. Kalau Nona senang sajak, aku banyak mengenal
sajak kuno yang indah dan di waktu Nona
kesepian, aku dapat menghibur Nona dengan nyanyian! Aku suka sekali
bernyanyi." Hampir saja Swat Hong
tertawa geli orang yang kekar seperti seekor singa buas ini membaca sajak,
bernyanyi dan senjatanya kipas?
Benar-benar seorang pemuda yang aneh, akan tetapi tentu saja dia belum mau
percaya begitu saja. Sambil memandang
tajam dia berkata, "Hemm, kau bicara tentang pedang dan kipas sebagai
senjata, akan tetapi aku tidak melihat
engkau membawa senjata apa-apa." Ahh, tunggu dulu, Nona. Aku memang
sengaja meninggalkanya di perahu!"
Setelah berkata demikian, Kwee Lun membalikan tubuhnya dan berlari cepat
sekali ke perahunya dan ketika dia
sudah kembali ke depan Swat Hong, benar saja dia telah membawa sebatang
pedang yang sarungnya terukir indah dan
sebuah kipas bergagang perak yang diselipkan di ikat pinggangnya!
"Mengapa baru sekarang kau
memperlihatkan senjata-senjatamu?" "Aih, kalau tadi aku membawa
senjata, tentu akan
menimbulkan dugaan yang bukan-bukan dan
untuk berkenalan dengan seorang gadis, bagaimana aku berani membawa
senjata? Tentu disangka perampok atau
bajak!" Mau atau tidak, Swat Hong tersenyum. Timbul rasa sukanya kepada
pemuda kasar yang aneh ini.
"Betapapun juga, aku adalah seorang wanita dan engkau seorang pria, mana
mungkin
menjadi sahabat? Tidak patut dilihat
orang." Mata yang lebar itu kembali terbelalak penuh penasaran dan tangan
kirinya dikepalkan. "Apa peduli
katakata orang? Kalau ada yang berani mengatakan yang bukan-bukan tentu akan
kuhancurkan mulutnya! Wanita adalah
seorang manusia, pria pun seorang manusia. Apa salahnya berkenalan dan
bersahabat? Nona, aku Kwee Lun bukan
seorang yang berpikiran kotor, juga aku tidak akan sembarangan memilih
kawan! Aku kagum melihat Nona, maka
kalau Nona sudi, harap memperkenalkan diri." Swat Hong makin tertarik,
akan
tetapi dia masih ragu-ragu apakah orang
ini patut dijadikan seorang teman. Biarpun lagaknya seperti jagoan,
siapa tahu kalau kosong belaka?
"Kau bilang tadi murid seorang tosu yang terkenal?" "Ya, Suhu
Lam Hai Seng-jin
merupakan tokoh yang paling terkenal di
daerah selatan!" "Kalau begitu, ilmu silatmu tentu lebih lihai
daripada
bicaramu sepeti penjual jamu?"
"Ihhh, harap jangan mentertawakan! Biarpun tidak selihai Nona yang dapat
kulihat
dari gerakan meloncat dari perahu tadi,
akan tetapi masih tidak terlalu orang di dunia ini yang akan sanggup
mengalahkan Kwee Lun!" "Tidak
ada artinya kalau hanya disombongkan dan dibanggakan tanpa ada buktinya! Aku
juga
tidak sembarangan memperkenalkan diri
kepada orang lain. Untuk membuktikan apakah kau patut menjadi kenalanku,
cabut kedua senjatamu, dan coba kau
hadapi pedangku!" Sambil berkata demikian, Swat Hong sudah mencabut
pedangnya perlahan-lahan dan tampaklah
sinar pedang ketika sinar matahari menimpanya. "Akan tetapi,
Nona...."
Kwee Lun meragu. Biarpun dia tadi
menyaksikan betapa gesit dan ringannya tubuh nona itu melayang ke daratan,
namun dia tidak percaya apakah nona ini
mampu menandingi pedang dan kipasnya! "Tidak usah banyak ragu. Kalau
kau tidak mau, pergilah dan jangan
menggangguku lebih lama lagi!" "Srat...!!" Pedang terhunus sudah
berada di
tangan kanan Kwee Liu dan sarung
pedangnya dilempar ke atas tanah, sedangkan tangan kirinya sudah mencabut
kipas gagang perak yang telah
dikembangkan dan melindungi dadanya, adapun pedang itu dilonjorkan ke depan.
"Aku
telah siap, Nona." Swat Hong
memang ingin sekali melihat sampai di mana kepandaian pemuda yang aneh ini, maka
tanpa banyak kata lagi dia sudah
meloncat ke depan dan menggerakan pedangnya dengan hebat sekali. Pedang di
tangannya itu adalah pedang biasa saja,
akan tetapi karena yang menggerakan adalah tangan yang mengandung
tenaga sinkang istimewa dari Pulau Es,
maka pedang itu lenyap bentuknya berubah menjadi gulungan sinar yang
menyilaukan mata dan tubuh dara itu
juga tertutup oleh gulungan sinar pedang saking cepatnya tubuh itu
berloncatan. "Aihhh...!!"
Kwee Lun berseru keras dan cepat dia menggerakan pedang dan kipas. Memang sudah
diduganya bahwa dara itu lihai sekali,
akan tetapi menyaksikan gerakan pedang yang demikian luar biasa, dia
menjadi kaget, kagum, heran dan juga
gembira. Tanpa ragu-ragu dia lalu mengerahkan tenaga dan mengeluarkan
semua ilmu silatnya untuk menandingi
dara yang mengagumkan hatinya ini. Seperti telah kita kenal di permulaan
cerita ini ketika terjadi para tokoh
kang-ouw memperebutkan Sin Liong yang ketika itu dikenal sebagai Sin-tong
(bocah ajaib), guru pemuda itu, Lam Hai
Seng-jin, adalah seorang tosu yang selain ahli dalam Agama To, juga
pandai bernyanyi, dan lihai sekali ilmu
silatnya. Namun terkenal sebagai pertapa atau pemilik Pulau Kura-kura
di Lam-hai dan senjatanya yang berupa
hudtim dan kipas mengangkat tinggi namanya di dunia kang-ouw. Agaknya
kepandaian itu telah diturunkan semua
kepada murid tunggalnya ini, namun tentu saja karena muridnya bukanlah
seorang tosu, senjata hudtim diganti
dengan pedang. Pedang dan kipas adalah senjata yang ringan, kini dimainkan
oleh kedua lengan Kwee Lun yang
mengandung tenaga gajah, tentu saja dapat dibayangkan betapa cepatnya kedua
senjata itu bergerak sampai tidak
tampak lagi sebagai senjata kipas dan pedang, melainkan tampak hanya gulungan
sinar yang berkelebatan dan saling
belit dengan sinar pedang di tangan Swat Hong. "Cringgg...!"
Tiba-tiba
pemuda itu berseru kaget dan pedangnya
mencelat ke atas terlepas dari tangannya. Swat Hong tersenyum. Dia tadi
sudah menyaksikan bahwa ilmu pedang
pemuda itu cukup lihai, bahkan dalam hal kecepatan dan tenaga tidaklah
kalah banyak dibandingkan dengan
kepandaiannya sendiri. Adanya dia dapat membuat pemuda itu terlepas dalam
waktu tiga puluh jurus, hanyalah karena
selain dasar ilmu silatnya lebih tinggi daripada pemuda itu, juga
kenyataan bahwa pemuda itu tidak mau
menyerangnya dengan sungguh-sungguh dan mendasarkan permainannya pada
tingkat penguji dan berlatih saja.
Kalau pemuda itu merupakan lawan sungguh-sungguh, dia sendiri sangsi apakah
akan dapat merobohkannya dalam waktu
seratus jurus. "Wah, kau hebat sekali, Nona! Aku mengaku kalah!" Kwee
Lun
menjura dan menyimpan kipasnya.
Suaranya bersungguh-sungguh, karena memang pemuda ini walaupun tadi tidak mau
menyerang sungguh-sungguh, namun dari
gerakan lawannya dia sudah dapat melihat bahwa dara itu benar-benar
memiliki ilmu silat yang amat aneh dan
amat kuat. "Aku terlalu rendah untuk menjadi sahabatmu."
"Kwee-twako,
kau terlalu merendah. Ilmu kepandaianmu
hebat! Perkenalkanlah, aku bernama Hat Swat Hong...." Sampai di sini,
dara itu meragu karena dia masih sangsi
apakah dia akan memperkenalkan diri sebagai seorang puteri dari
Kerajaan Pulau Es yang asing dan yang
telah terbasmi habis oleh badai itu. "Ilmu pedang Nona hebat bukan main,
juga amat aneh gerakannya, Selama
melakukan peratauan dengan Suhu, dan mendengar penjelasan Suhu, sudah
banyaklah aku mengenal dasar ilmu silat
perkumpulan besar di dunia kang-ouw akan tetapi melihat gerakan
pedangnya tadi, aku benar-benar tidak
tahu lagi, sedikit pun tidak mengenalnya. Maukah Nona Han Swat Hong
memperkenalkannya kepadaku?"
"Kwee-twako, sebenarnya aku akan merahasiakan keadaanku, Baru pertama kali
ini aku
menginjak daratan besar dan aku tidak
ingin melibatkan diri dengan urusan di dunia kang-ouw, apa lagi
memperkenalkan diriku. Akan tetapi
memang sudah nasib, begitu mendarat bertemu dengan engkau, dan sikapmu
menarik hatiku, membuat aku tidak dapat
menyembunyikan diri lagi. Aku akan menceritakan keadaanku hanya dengan
satu janji darimu, Twako." Kwee
Lun memunggut pedangnya, mengikatkan sarung pedang di punggung lalu
membusungkan dadanya yang sudah
membusung tegap itu sambil menepuk dada dan berkata, "Nona Han...."
"Kwee-twako, sekali mau mengenal
orang, aku tidak mau bersikap kepalang. Aku menyebutmu Twako (kakak), berarti
aku sudah percaya kepadamu. Maka
janganlah kau masih bersikap sungkan menyebutku Nona. Namaku Swat Hong dan tak
perlu kau menyebutku Nona seperti orang
asing." "Hemm, bagus sekali!" Kwee Lun bertepuk tangan dan
memandang ke
langit. "Bukan main! Aku
benarbenar berbahagia dapat memperoleh adik seperti engkau! Nah, Hong-moi (adik
Hong),
kauceritakanlah kepada kakakmu ini.
Ceritakan semuanya, kalau ada penasaran, akulah yang akan membereskan
untukmu! Kakakmu ini sekali bicara
tentu akan dipertahankan sampai mati!" Diam-diam Swat Hong merasa girang
dan
kagum. Inilah seorang laki-laki sejati!
Seorang jantan! Sekaligus dia memperoleh seorang sahabat yang boleh
dipercaya seorang kakak dan sebagai
pengganti seorang keluarga setelah dia kehilangan segala-galanya. Dia telah
kehilangan ibunya, ayahnya, keluarga
ayahnya, bahkan akhirnya dia kehilangan suhengnya dan dalam keadaan
seperti itu tiba-tiba muncul seorang
seperti Kwee Lun! "Kwee-twako aku baru saja meninggalkan tempat tinggalku
di tengah-tengah laut di sekitar
sana!" Dia menuding ke arah laut bebas. "Di manakah tempat tinggalmu
itu? Di
sebuah pulau?" Swat Hong
mengangguk, masih agak ragu-ragu. "Pulau apa, Hong-moi?" "Pulau
Es..." "Hah...?" Benar
saja seperti dugaannya, nama Pulau Es
mendatangkan kekagetan luar biasa, bahkan wajah pemuda itu berubah
menjadi agak pucat dan dia memandang dara
itu seperti orang melihat iblis di tengah hari! "Pulau... Pulau
Es...??" Seperti juga semua orang
di dunia kang-ouw, Pulau Es hanya didengarnya seperti dalam dongeng saja, dan
pangeran Han Ti Ong yang pernah
menggegerkan dunia kang-ouw disebut sebagai seorang dari Pulau Es, seorang yang
memiliki kepandaian seperti dewa! Dan
kini pemuda itu mendengar bahwa dara itu dari Pulau Es. "Kwee-twako!
Jangan memandangku seperti memandang
siluman begitu...!" "Ohh... eh...., maafkan aku, Moi-moi! Hati siapa
yang
mau percaya? Akan tetapi aku percaya
padamu, Moimoi! Wah! aku percaya sekarang! Kau pantas kalau dari Pulau Es.
Ilmu kepandaianmu luar biasa, bukan
seperti manusia lumrah. Mana ada gadis biasa mampu mengalahkan Kwee Lun
dalam beberapa jurus saja? Aku malah
bangga! Seorang penghuni Pulau Es menyebutku twako dan kusebut Moi-moi!
Ha-ha-ha-ha, Suhu tentu akan tercengang
saking kagetnya kalau mendengar ini!" Melihat pemuda itu petentang-
petenteng mengangkat dada seperti orang
membanggakan diri sebagai seorang sahabat baik penghuni Pulau Es, Swat
Hong menjadi geli hatinya.
"Hong-moi, engkau tidak tahu betapa bangga dan besarnya hatiku. Aihh,
sekali ini,
baru saja meninggalkan Suhu untuk
merantau seorang diri, aku telah bertemu dan dapat bersahabat denganmu.
Betapa bangga hatiku!" Swat Hong
terkejut. Baru teringat olehnya bahwa dia tadi belum melanjutkan syaratnya,
maka cepat dia berkata, "Kalau
begitu, berjanjilah bahwa engkau tidak akan menceritakan kepada siapapun juga
tentang keadaan diriku, kecuali namaku
saja. Berjanjilah Twako!" Kwee Lun memandang kecewa. "Tidak
menceritakan
kepada siapapun juga bahwa engkau
adalah penghuni Pulau Es? waaahhh... ini..." Tentu saja hatinya kecewa
karena
hal yang amat dibanggakan itu tidak
boleh diceritakan kepada orang lain. Mana bisa dia berbangga kalau begitu?
"Kwee Lun."tiba-tiba Swat
Hong berkata dengan lantang. "Hanya ada dua pilihan bagimu. Berjanji
memenuhi
permintaanku dan selanjutnya menjadi
sahabat baiku, atau kau tidak mau berjanji akan tetapi kuanggap sebagai
seorang musuh!" "Wah-wah...
aku berjanji! Aku berjanji! Bukan karena takut kepadamu, Hong-moi, aku bukan
seorang penakut dan juga tidak takut
mati, akan tetapi karena memang aku merasa suka sekali kepadamu. Aku tidak
sudi menjadi musuh! Nah, aku berjanji,
biarlah aku bersumpah bahwa aku tidak akan menceritakan kepada siapapun
juga tentang asal-usulmu, kecuali... hemm,
tentu saja kalau... kalau kau sudah mengijinkan aku. Siapa tahu..."
Sambungnya penuh harap. Swat Hong
tersenyum lega. "Baiklah, Kwee-twako. Aku percaya bahwa engkau akan
memegang
teguh janjimu. Sekarang dengarlah
cerita singkatku dan kuharap kau suka membantuku. Aku adalah puteri dari Raja
Pulau Es..."
"Aduhhhh...." Kembali mata itu terbelalak dan kwee Lun segera
membungkuk, agaknya malah akan
berlutut! "Twako, kalau kau berlutut
atau melakukan hal yang bukan-bukan lagi, aku takan sudi bicara lagi
kepadamu!" Kwee Lun berdiri tegak
lagi. "Hayaaaa... siapa bisa menahan datangnya hal-hal yang mengejutkan
secara bertubi-tubi ini? Baiklah, aku
taat... eh, benarkah aku boleh menyebutmu Moi-moi?" "Siapa bilang
tidak
boleh ! Aku hanya bekas puteri raja!
Ayahku telah meninggal dunia dan Ibuku..., ah, aku sedang mencari Ibuku
yang pergi entah kemana. Kwee-twako,
aku tidak bisa menceritakan lebih banyak lagi. Yang penting kauketahui
hanya bahwa Ibuku telah berbulan-bulan
meninggalkan Pulau Es, entah ke mana perginya dan aku sedang mencarinya.
Juga aku telah saling berpisah dengan
Suhengku. aku sedang pergi merantau dan sekalian mencari Ibuku dan
Suhengku." "Aku akan
membantumu!" Kwee Lun menggulung lengan bajunya yang memang sudah pendek
sampai kebawah
siku itu. "Jangan khawatir!"
"Terima kasih, Twako. Dan sekarang, engkau hendak ke manakah?"
"Sudah kukatakan
tadi bahwa aku meninggalkan Pualu
Kura-kura untuk pergi merantau meluaskan pengalaman, sekalian memenuhi
permintaan penduduk kota Leng-sia-bun
yang berada tak jauh dari pantai ini." "Permintaan apa, Twako?"
"Beberapa
orang penduduk bersusah payah mencari
Suhu di Pulau Kura-kura, dan mereka mohon pertolongan Suhu untuk
menghancurkan komplotan busuk yang
merajalela di kota ini. Suhu lalu memerintahkan aku pergi, dan sekalian aku
diberi waktu setahun untuk merantau
sendirian. Kebetulan sekali aku bertemu denganmu di sini. Marilah kau ikut
bersamaku ke Leng-sia-bun, tentu kau
akan gembira melihat keramaian ketika aku menghadapi komplotan itu.
Setelah selesai urusanku di sana,aku
menemanimu mencari Suhengmu dan Ibumu." Swat Hong mengangguk setuju. Lega
juga hatinya, karena kini ada seorang
teman yang setidaknya lebih banyak mengenal keadaan daratan besar dari
pada dia yang asing sama sekali.
"Baik, Twako. Akan tetapi perutku...." "Eh, perutmu mengapa?
Sakit...."
"Sakit.... lapar...!"
</P>
<P>
Kwee Lun tertawa-tawa bergelak dan Swat
Hong juga tertawa. Keduanya merasa lucu dan gembira karena mendapatkan
seorang teman yang cocok wataknya!
"Kalau begitu, tidak jauh bedanya dengan perutku! mari kita cepat pergi.
Leng-sia-bun terdapat banyak makanan
enak!" "Tapi .... perahumu itu? Bagaimana kalau ada yang curi nanti
?"
"Hemm, siapa berani mencurinya?
Lihat, bentuk perahuku itu. Bentuknya seperti seekor kura-kura, lengkap dengan
kepalanya dan ekornya. Melihat itu,
semua orang tahu bahwa itu milik Pulau Kura-kura, siapa berani
mengganggunya? Perahumu yang berada di
dekat perahuku juga aman." "Wah, kalau begitu nama Suhumu sudah terkenal
sekali!" Memang, dan sekarang aku
akan membuat nama agar sama terkenalnya dengan nama suhu!" Berangkatlah
kedua
orang muda itu menuju ke utara, melalui
sepanjang pantai itu lalu mendekati sebuah daerah pegunungan, menuju ke
kota Leng-sia-bun yang letaknya tidak jauh
dari pantai laut, tak jauh dari muar sungai Huai. Kota Leng-sia-bun
merupakan kota pantai yang ramai dan
padat penduduknya. Karena daerah ini merupakan daerah perdagangan yang
menampung datangnya hasil bumi dari
pedalaman untuk dibawa oleh perahu-perahu ke pantai laut yang lain, juga
merupakan pasar besar pagi para
nelayan, maka penduduknya cukup makmur. Rumah-rumah besar, toko-toko,
hotel-hotel dan restoran-restoran
membuktikan kemakmuran kota itu. Akan tetapi, seperti biasa terjadi dimanapun
juga di penjuru dunia dan di jaman apa
pun, di kota Leng-sia-bun muncul juga manusia-manusia yang mempergunakan
kesempatan untuk mencari keuntungan dan
menumpuk harta benda dengan cara yang tidak layak, tidak halal, bahkan
tidak mempedulikan lagi nilai-nilai
kemanusiaan.Telah bertahun-tahun, di kota itu merajalela komplotan yang
dipimpin oleh seorang hartawan bernama
Ciu Bo jin dan terkenal dengan sebutan Ciu- wangwe (Hartawan Ciu).
Sebenarnya, tanpa diketahui oleh siapa
pun di kota itu, Ciu-wangwe adalah bekas seorang perampok tunggal yang
memiliki kepandaian tinggi. Setelah
rambutnya mulai putih dan dia berhasil mengumpulkan kekayaan, tinggallah
dia di kota Leng-sia-bun menjadi
seorang pedagang. Mula-mula dia mendirikan sebuah rumah makan. Setelah rumah
makannya maju, dia membuka rumah judi
dan rumah penginapan. Tentu saja dia mengumpulkan bekas teman-temannya
dari kalangan hitam untuk bekerja kepadanya
dan merangkap menjadi tukang pukul, akan tetapi Ciu-wangwe melarang
keras kepada anak buahnya untuk
memperlihatkan sikap kasar dan sewenang-wenang karena dia maklum bahwa itu
bukan merupakan cara untuk mengumpulkan
kekayaan di sebuah kota. Dengan licin sekali, Ciu-wangwe mempengaruhi
para pembesar kota itu dengan jalan
seringkali mengirimkan hadiah kepada mereka. Bahkan bukan uang saja yang
dijadikan umpan untuk memancing ikan besar
dan menjinakan haimau, akan tetapi dia juga mempergunakan
wanita-wanita muda! Terkenallah hotel
dan rumah judi yang didirikan Ciu-wangwe karena kedua tempat ini juga
merupakan tempat berpelesir di mana
disediakan perempuan muda sebagai pelacur-pelacur kelas tinggi! Bahkan
restorannya juga amat laris karena
disitu bercokol pula beberapa orang pelacur cantik yang melayani para tamu
makan minum dan memberi kesempatan
kepada para tamu sambil makan minum untuk colek sana sini! Biarpun banyak
penduduk Leng-sia-bun yang menjadi
korban judi, banyak rumah tangga berantakan, namun tidak ada orang yang
mampu menyalahkan Ciu-wangwe karena
rumah judi, hotel dan restoran yang dibukanya adalah sah dan mendapat restu
serta perlindungan dari para pembesar
setempat. Bahkan secara terang-terangan, hampir semua pembesar di kota
itu menjadi langganan Ciu-wangwe.
Mereka yang gemar berjudi menjadi langganan pokoan ( tempat judi) di mana
mereka dapat berjudi apa saja sepuasnya
dan tentu saja dalam melayani para pembesar berjudi, orang-orang
kepercayaan Ciuwangwe tidak berani main
curang, tidak seperti jika melayani umum di situ dilakukan
kecurangankecurangan yang menjamin
kemenangan bagi si bandar judi. Bagi para pembesar yang senang pelesir
dengan wanita, mereka mendatangi likoan
(hotel) di mana tersedia kamar yang mewah berikut pelacurnya yang
tinggal pilih dan mereka memperoleh
pelayanan istimewa! Bagi yang mengutamakan lidah dan mulut, tersedia
restoran yang menyediakan atau mengirim
arak wangi dan masakan lezat! Kesewenang-wenangan Ciu-wangwe tidaklah
tampak atau terasa secara langsung oleh
penduduk. Hanya apabila ada orang berani mendirikan tempat judi,
restoran atau hotel baru yang menyaingi
perusahannya, maka diam-diam tukang pukulnya akan bertindak dan memaksa
si pemilik perusahan itu untuk menutup
pintu dan menurunkan papan nama perusahan! Boleh orang lain membuka akan
tetapi harus kecil-kecilan dan mengirim
"pajak" sebagai penghormatan kepada Ciu-wangwe! Akan tetapi, beberapa
bulan belakangan ini terjadilah
kegemparan-kegemparan di daerah kota Leng-sia-bun. Kegemparan yang terasa oleh
kaum pria yang doyan pelesir di
restoran dan hotel milik Ciuwangwe. Hanya bedanya, kalau kegemparan para
penduduk dusun disertai tangis, adalah
kegemparan di hotel-hotel itu diiringi suara ketawa gembira sungguhpun
di malam hari juga mengakibatkan tangis
mnyedihkan. Apakah yang terjadi di kedua tempat itu? Di kota
Leng-sia-bun, di dalam hotel milik
Ciuwangwe, kini seringkali terdapat "barang baru", yaitu
pelacur-pelacur
muda yang baru, dan daun-daun muda
seperti ini paling disuka oleh bandot-bandot tua yang tidak segan-segan
membuang uang sebanyaknya untuk memetik
daun-daun muda itu! dan di dalam tempat-tempat rahasia di belakang
hotel, di dalam kamar-kamar gelap
sering kali terjadi hal yang mengerikan di mana seorang gadis remaja dipaksa
dan dicambuki, disiksa sampai mereka
itu terpaksa menyanggupi untuk dijadikan pelacur dan melayani kaum pria!
Dan sekali dara remaja ini melayani
seorang tamu, segala akan berjalan lancar dan beberapa bulan kemudian
perempuan remaja itu akan menjadi
seorang pelacur kelas tinggi yang dijadikan rebutan! Pada waktu yang
bersamaan, terjadi geger di dusun-dusun
di sekita daerah itu. Banyak terjadi pembelian gadis-gadis muda, bahkan
banyak terjadi penculikan dan
perampokan secara terang-terangan dilakukan oleh gerombolan perampok ganas!
Keluarga gadis ini melakukan
penyelidikan dan mereka akhirnya dapat menemukan anak gadis mereka di
Leng-sia-bun, dalam keadaan yang
menyedihkan karena sudah menjadi pelacur-pelacur! Ada yang lenyap sama sekali,
bahkan ada yang terlunta-lunta sebagai
seorang wanita gila! Mereka ini adalah gadis-gadis yang berkeras tidak
mau menjadi pelacur. ada yang disiksa
sampai mati, dan ada yang diperkosa dan akhirnya menjadi gila! Tentu saja
banyak di antara mereka yang melapor
kepada pembesar di Leng-sia-bun, akan tetapi mereka itu malah dimaki-maki
karena dianggap menghina Ciu-wangwe.
Dikatakan bahwa anak mereka menjadi pelacur, hal ini adalah orang tua
mereka yang tidak tahu malu dan tak
dapat mendidik anak, sekarang ada Ciu-wangwe yang menampung mereka sehingga
tidak kelaparan, mengapa mereka itu
malah melapor dan menuntut Ciu-wangwe? Mereka melaporkan bahwa anak gaisnya
di culik orang yang ternyata anak gadis
mereka itu tahutahu telah menjadi pelacur di hotel milik Ciu-wangwe,
malah dijatuhi hukuman rangket karena
menghina Ciu-wangwe, dan pelaporan mereka itu dianggap fitnah karena
tidak ada bukti bahwa anak mereka
diculik! Memang ada saja jalan dan alasan para penegak hukum yang telah
diperbudak oleh harta yang mereka
terima dari Ciu-wangwe itu, disamping suguhan anak-anak perawan hasil
penculikan! Untuk melakukan penculikan
sendiri, tentu saja para pembesar ini merasa malu. Kini ada yang
menculikan untuk mereka, hati siapa
yang takkan senang? Karena sudah merasa tersudut dan tidak berdaya lagi,
akhirnya mereka teringat akan nama
besar Lam-hai Seng-jin, Majikan pulau kura-kura yang terkenal sebagai
seorang pertapa yang suka menolong
kesukaran orang lain yang memerlukan pertolongan. Terutama sekali mereka
yang mempunyai anak perempuan dan yang
merasa gelisah kalau-kalau pada suatu malam akan tiba giliran mereka
didatangi penculik yang akan melarikan
anak mereka, segera bermufakat untuk mita pertolongan pertapa itu dan
akhirnya berangkatlah serombongan orang
menuju ke pulau Kura-kura. Lam-hai Seng-jin menerima pelaporan mereka
dan merasa kasihan, maka dia mengutus
murid tunggalnya yang sudah mewarisi ilmu kepandaiannya untuk mewakilinya
menyelidiki dan memberi hajaran kepada
komplotan penjahat itu. Juga dia memberi ijin kepada muridnya untuk
merantau selama satu tahun. Setelah memberi banyak nasihat, berangkatlah
Kwee Lun seorang diri naik perahu
menuju ke daratan besar dan tanpa
disangkanya, dia telah berjumpa dengan Han Swat Hong puteri kerajaan Pulau
Es! Pada hari itu kota Leng-sia-bun
sibuk seperti biasa. Keadaan tetap ramai dan biasa seperti tidak terjadi
sesuatu dan seperti tidak akan terjadi
sesuatu. Tidak ada seorang pun yang tahu, di antara sebagian besar
penduduk yang memang tidak memikirkan lagi,
bahkan malam tadi telah terjadi seperti biasa, yaitu pemerkosaan
dara-dara culikan baru seperti
seklompok domba disembelih, dan tidak ada pula yang tahu bahwa pagi hari itu
muncul dua orang yang akan mendatangkan
perubahan besar di kota itu, menimbulkan geger yang akan menggemparkan
kota dan akan menjadi bahan cerita
sampai bertahun-tahun lamanya. Setelah menyelidiki di mana letaknya rumah
makan milik Ciu-wangwe, Kwee Lun
mengajak Swat Hong mendatangi rumah makan itu. Sebuah rumah makan yang
bangunannya indah dan besar, dengan cat
baru dan di depan rumah makan terdapat tulisan dengan huruf besar
"RUMAH ARAK" yang berarti
restoran. "Hong-moi, engkau lapar bukan? Mari kita makan dan minum di
sini." Swat
Hong memandang heran. Bukankah ini
rumah makan milik Hartawan Ciu yang menjadi pemimpin komplotan penjahat di
kota ini yang akan dibasmi Kwee Lun?
Dia memandang dan melihat mata pemuda itu bersinar, kemudian Kwee Lun
memejamkan sebelah mata penuh arti.
Swat Hong tersenyum geli. Mengertilah dia kini. Pemuda itu hendak
mengajaknya makan sampai kenyang lebih
dulu sebelum turun tangan. Dan memang dia merasa lapar sekali! "Aku
tidak bisa bekerja tanpa makan lebih dulu,"
pemuda itu berkata lirih ketika mereka memasuki rumah makan dan
Swat Hong tersenyum-senyum. Sepagi itu,
rumah makan sudah terisi setengahnya oleh mereka yang beruang, karena
rumah makan ini terkenal sebagai rumah
makan mahal. Dua orang pelayan, pria dan wanita, yang wanita masih muda
dan genit, dengan wajah yang ditutup
warna putih dan merah yang tebal seperti tembok dikapur dan digambar,
menyambut mereka dengan sikap manis.
Kwee Lun dan Swat Hong diantar ke sebuah meja kosong di sudut dan dengan
suara lantang Kwee Lun memesan makanan
dan minuman yang paling lezat, dalam jumlah banyak sekali. Para pelayan
menjadi terheran-heran mendengar
pesanan masakan yang pantasnya untuk menjamu sepuluh orang! Akan tetapi
melihat sikap kasar dari pemuda tinggi
besar itu, pula melihat dua batang pedang dan kipas yang diletakan di
atas meja, mereka tidak berani banyak
cakap dan melayani mereka. Diam-diam seorang pelayan memberi tahu kepada
kepala tukang pukul yang berada di dalam. Dua
orang tukang pukul yang berpakaian biasa, dan dengan sikap biasa
pula, keluar dari dalam dan berjalan
lewat dekat meja Kwee Lun dan Swat Hong. Kedua orang tidak perduli dan
berpura-pura tidak melihat. Juga Swat
Hong melanjutkan makan sambil kadang -kadang tersenyum geli menyaksikan
betapa temannya itu makan dengan
lahapnya. Dia belum menghabiskan setengah mangkok, Kwee Lun sudah menyapu
bersih lima mangkok. Ketika dua orang itu
lewat, Swat Hong hanya melirik sebentar dan mengerahkan ilmu sehingga
telinganya terbuka dan dapat menangkap
dengan ketajaman luar biasa ke arah kedua orang itu yang masih
berjalan-jalan di ruangan itu,
seolah-olah sedang memriksa dan kadang-kadang membenarkan letak kursi dan meja
yang kosong. "Aku tidak mengenal
mereka," terdengar yang kurus pucat berkata. "Tapi gadis itu
hebat....," kata
orang ke dua yang pendek dan berperut
gendut. "Kalau dia bisa didapatkan, tentu Loya (Tuan Tu) akan memberi
banyak hadiah kepada kita."
"Hushh... apa kau mau menyaingi pekerjaan Tian-ci-kwi (Setan Berjari
Besi)?" "Ah,
siapa tahu, dengan cara halus bisa
mendapatkan dia...." "Tapi pemuda itu kelihatan jantan!"
"Huh, takut apa?
Orang kasar seperti itu...."
"Tapi jangan memancing keributan, Lote, kita nanti tentu dimarahi
Loya." "Aku
tidak bodoh, mari kita pergunakan cara
halus. Lihat, mereka telah selesai makan. Raksasa itu makannya melebihi
babi!" Swat Hong yang sedang minum
hampir tersedak karena geli hatinya mendengar temannya yang gembul itu
dimaki seperti babi. Akan tetapi Kwee
Lun agaknya tidak mempedulikan sesuatu dan tidak melakukan penyelidikan
seperti Swat Hong, tidak mendengar
makian itu dan mengelus-elus perutnya yang kenyang. Dia kelihatan puas
sekali telah dapat makan minum
secukupnya di dalam restoran itu. Pada saat itu dua orang tukang pukul tadi
sudah menghampiri mereka. Yang kurus
pucat sudah menjura sambil berkata, "kami mewakili Ciu-wangwe pemilik
restoran ini menghaturkan selamat
datang kepada Jiwi." Sebelum Kwee Lun yang terheran-heran menjawab, Si
Gendut
pendek sudah menyambung sambil
menyeringai dalam usahanya untuk tersenyum ramah. "Tentu Jiwi datang dari
jauh
dan lelah. Majikan kami juga memiliki
hotel yang paling besar, paling bersih dan paling baik di kota ini,
letaknya di sebelah kiri rumah makan
ini. Jiwi akan dapat mengaso dengan enak di hotel kami dan kalau Loya kami
mendengar bahwa Jiwi adalah tamu dari
jauh, tentu biayanya akan diberi potongan separuhnya." Kwee Lun sudah
mengerutkan alisnya, mukanya merah dan
dia seakan-akan memperoleh kesempatan mulai beraksi. "kalian berani
mengganggu kami yang sedang
makan?" Mendadak kakinya tertendang ujung kaki Swat hong dan ketika dia
memandang,
dia melihat isyarat dalam sinar mata
gadis itu, maka dia hanya mengerutkan alis dan tidak melanjutkan
kata-katanya. Swat Hong sendiri segera
berkata kepada dua orang itu dengan suara ramah dan sikap manis, "Kalian
sungguh ramah, tentu majikan kalian
adalah seorang yang mengenal pribudi. Baik, kami memang hendak bermalam
barang dua hari di kota ini. Akan tetapi
melihat keramahan kalian, aku ingin bertemu dengan majikan kalian
untuk menghaturkan terima kasih."
Dua orang itu saling pandang. "Marilah kami antarkan Nona dan Tuan agar
memperoleh kamar yang paling baik di
hotel, kemudian kami akan melapor kepada majikan kami...." "Tidak
usah
repot-repot!" Swat Hong berkata
cepat. "Temanku ini masih hendak melanjutkan makan minum....heiii! Pelayan
tambah araknya! Biarlah saya yang
menemui majikan kalian dan memilih kamar di hotel sebelah. Kami sudah
mendengar tentang kebaikan hati majikan
kalian dari pembesarpembesar di kota ini, dan kami memang ingin minta
pekerjaan. Aku ingin bekerja apa saja
yang pantas dan temanku itu.... dia tentu bisa menjadi seorang penjaga
keselamatan. Dapat dibayangkan betapa
girangnya hati kedua orang itu. Sudah terbayang di depan mata betapa
mereka akan menerima pujian berikut
hadiah dari Ciu-wangwe. Seorang nona begini cantik jelita seperti bidadari,
tanpa susah payah datang sendiri ke
depan mulut, tinggal membuka mulut dan mencaplok saja! Ciuwangwe tentu
senang sekali, bukan untuk hartawan itu
sendiri yang kesenangannya bukan memeluk wanita cantik, melainkan untuk
menyenang hati para pembesar setempat.
Ciu-wangwe sendiri kesenangannya hanya satu, yaitu uang dan kedudukan!
"Bagus sekali kalau begitu, Nona!
Kebetulan pada saat ini Ciu-wangwe sedang menjamu pembesar yang paling
terhormat di kota ini. Mereka sedang
berpesta di ruangan belakang hotel kami. Mari kami antar Nona ke sana!"
"Tidak usah, kalian di sini saja
melayani temanku!" Sambil berkata demikian Swat Hong sudah bangkit berdiri
dan
cepat laksana kilat kdua tangannya
bergerak seperti seorang wanita yang menepuk-nepuk pundak kedua orang itu
dengan ramahnya, akan tetapi dapat
dibayangkan betapa kaget rasa hati kedua orang tukang pukul itu ketika
tiba-tiba tubuh mereka menjadi lemas
dan kaki tangan mereka tak dapat digerakan lagi. "Ha-ha, duduklah kalian,
mari temani aku minum arak!" Kwee
Lun yang dapat melihat gerakan temannya itu cepat bangkit berdiri, kakinya
bergerak dan kedua lutut mereka telah
terkena tendangan ujung sepatunya sehingga terlepas sambungannya. Sambil
tersenyum Kwee Lun sudah mendudukan
mereka di atas bangku di kanan kirinya! Para tamu hanya melihat empat orang
itu seperti beramah tamah, maka mereka
tidak tertarik lagi, hanya tertarik kepada Swat Hong yang memang sejak
tadi telah menjadi perhatian pandang
mata para tamu pria yang berada di dalam restoran. Mereka menahan napas
melihat dara cantik jelita itu dengan
langkah gontai meninggalkan restoran, membawa dua batang pedang dan
sebuah kipas, "Aku pinjam dulu
ini!" kata Swat Hong tadi kepada Kwee Lun yang hanya memandang dengan
terheran-heran melihat kedua senjatanya
dibawa pergi oleh Swat Hong. "Agar kau tidak kesalahan membunuh
orang!"
kata pula Swat Hong dan Kwee Lun
tersenyum. Kiranya gadis itu tidak ingin melihat dia membunuh orang, maka
sengaja membawa pergi kedua senjatanya.
Di dalam hatinya dia mentertawakan Swat Hong. Apakah tanpa kedua
senjata itu kaki dan tanganku tidak
mampu membunuh orang? Pula, apakah dia seekor harimau yang haus darah?
Biarlah, pikirnya. Gadis itu masih
belum percaya kepadanya, dan dia akan memperlihatkan kelihaianya tanpa
bantuan senjata. Sambil tertawa-tawa
kepada dua orang tukang pukul yang duduk seperti boneka dan tak mampu
bergerak itu, Kwee Lun melanjutkan
minum arak. Karena hawa mulai panas disebabkan oleh hawa arak, pemuda
perkasa ini melepaskan kancing bajunya
sehingga tampak rambut halus ditengah dadanya yang bidang dan kokoh kuat
itu. Tiba-tiba seorang pelayan
menghampiri meja Kwee Lun. pelayan ini tadi melihat ketidak wajaran pada kedua
tukang pukul yang duduk berhadapan
dengan pemuda itu. Mengapa mereka tidak bergerak-gerak dan duduk dengan
lemas, dan ketika dia bertemu pandang,
tukang pukul yang gendut pendek itu mengejapkan mata kepadanya sedangkan
dari kedua mata tukang pukul kurus
pucat itu keluar dua titik air mata. Maka dia cepat menghampiri dan melihat
dari dekat. "mau apa kau?
pergi!" Kwee Lun membentak dan pelayan itu kaget sekali, lalu lari pergi
masuk ke
dalam untuk melaporkan keanehan itu
kepada kepala tukang pukul yang lain. Kwee Lun bukanlah seorang yang bodoh.
Dan maklum bahwa pelayan itu telah
melihat keadaan dan tentu akan melapor ke dalam. Maka dia memandang ke
sekeliling dan mencari akal. Ketika dia
melihat segulung tambang yang besar dan kuat, timbullah akalnya. Dia
bangkit berdiri, melangkah lebar ke
dekat meja pengurus, menyambar gulungan tambang itu dan berkata dengan
suara lantang yang ditujukan kepada
para tamu yang duduk di ruangan restoran itu, "Semua orang yang berada di
dalam restoran ini harap lekas pergi!
Restoran ini akan ambruk!" Kemudian sekali melompat tubuhnya telah berada
di luar restoran. Di ikatkan ujung
tambang ke pilar di depan, pilar yang ikut menyangga atap, kemudian dia
membawa ujung tambang yang lain ke
jalan depan restoran. Dengan memegang ujung tambang, mulailah pemuda raksasa
ini menarik tambang, melalui atas
pundak kanannya yang menonjolkan otot besar yang amat kuatnya. Tambang besar
itu menegang, kemudian terdengar suara
berkerotok. Orang-orang sudah mulai lari keluar rumah makan itu dan
mereka ada yang ketawa-tawa geli
menyaksikan pemuda itu menarik tambang. Tentu pemuda itu sudah mabok, pikir
mereka. Mana mungkin merobohkan
bangunan yang besar itu dengan cara demikian? Menarik tambang yang diikatkan
pada pilar yang demikian besar dan
kuatnya. Kalau tidak mabok tentu sudah gila! Memang membutuhkan tenaga gajah
untuk dapat menumbangkan pilar yang
sedemikian kokohnya. Kwee Lun mengerahkan tenaga, matanya terbelalak,
dahinya penuh keringat dan mulutnya
mengeluarkan gerengan yang langsung keluar dari dalam pusarnya, seluruh
tubuhnya menarik tambang dengan
pemusatan perhatian dan tenaga. "Krakkk....!" Pilar yang kokoh kuat
itu patah
tengahnya! Orang-orang berteriak kaget
dan mulai berlari-lari ketakutan. Terdengar bunyi hiruk pikuk ketika
akhirnya, atap rumah makan itu runtuh
ke bawah dan menyusul debu mengebul tinggi dibarengi teriakan-teriakan
mengerikan dari dalam di mana masih
banyak pekerja restoran itu yang teruruk. Di antara suara hiruk pikuk ini
terdengar suara ketawa dari Kwee Lun
yang masih memegang tamban besar itu di kedua tangannya. Tali besar itu
sudah terlepas dari pilar dan kini
menjadi senjata di kedua lengan yang dilingkari otot itu. Tempat itu menjadi
sunyi dan biarpun banyak sekali
penduduk kota yang berlari-larian datang, mereka hanya menonton dari jauh saja,
tidak ada yang berani mendekati
restoran yang sudah runtuh itu. Belasan orang tukang pukul datang berlarian,
dari belakang restoran yang roboh dan
dari rumah judi yang berada di sebelah kanan restoran. "Itu
orangnya....!" Seorang pelayan
restoran yang berhasil menyelamatkan diri menuding ke arah Kwee Lun.
"Tangkap
penjahat....!"
"Serbu....!" "Bunuh....!" Lima belas orang tukang pukul
dengan bermacam senjata di tangan
mereka, belari-lari datang menyerbu dan
mengurung Kwee Lun. Pemuda ini masih tersenyum lebar, tali tambang tadi
masih melingkar-lingkar di kedua
lengan, kdua kakinya terpentang lebar dan sikapnya gagah sekali, membuat lima
belas orang tukang pukul itu merasa
gentar dan ragu-ragu untuk mendahului maju menyerang. Seorang yang telah
meruntuhkan sebuah bangunan seperti
restoran itu, sudah jelas memiliki tenaga gajah! Apalagi melihat sikap yang
demikian gagah. "Ha-ha-ha, hayo
majulah! Mengapa ragu-ragu? Hayo keroyoklah aku! Memang aku datang untuk
membasmi komplotan yang merajalela di
Leng-sia-bun. Kalian ini anak buah si keparat Ciu Bo Jin, bukan? Mana itu
hartawan Ciu jahanam, si penculik gadis
orang! Suruh dia keluar, biar kuhancurkan kepalanya!"
"Serbu....!!"
Kepala tukang pukul, seorang she Ma
yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi dan menjadi tangan kanan
Ciu-wangwe, berseru setelah diam-diam
dia mengutus seorang anak buahnya untuk melaporkan kepada Ciu-wangwe di
hotel, dan seorang anak buah lagi
disuruh minta bala bantuan di markas keamanan! Tiga belas orang tukang pukul,
dipimpin oleh Ma Siu menyerbu dengan
senjata mereka. Akan tetapi, Kwee Lun tertawa bergelak dan begitu kedua
lengannya bergerak, tali besar yang
panjang menyambar dan menjadi gulungan sinar yang besar panjang. Setiap
senjata pengeroyok yang terbentur tali
itu terlepas dari pegangan pemiliknya sehingga terdengarlah
teriakan-teriakan kaget karena dalam
segebrakan saja, lima orang tukang pukul kehilangan senjata mereka dan dua
orang lagi terpelanting roboh dan tak
dapat bangun kembali karena tulang punggung dan tulang iga mereka patah
oleh hantaman tambang! Ma Siu menjadi
marah sekali dan dengan nekat dia bersama sisa anak buahnya menyerbu dan
menghujankan senjata mereka kepada Kwee
Lun. Namun pemuda Pulau Kura-kura ini sambil tertawa melakukan
perlawanan seenaknya. Teringat dia oleh
perbuatan Swat Hong yang menyingkirkan pedang dan kipasnya, karena
andaikata dia menggunakan dua senjata
itu, agaknya sekarang semua tukang pukul sudah roboh kehilangan nyawa
mereka! Dan dia tahu bahwa biang keladi
semua kejahatan adalah orang She Ciu, adapun para tukang pukul ini
hanya orang-orang yang mencari nafkah
mengandalkan ilmu silat mereka! Biarpun cara mencari nafkah dengan
menjadi tukang pukul adalah perbuatan
sesat yang menimbulkan kekejaman, namun andaikata tidak ada Hartawan Ciu
yang menjadi sumber maksiat, agaknya
mereka tidak akan berani mengacaukan sebuah kota besar seperti
Leng-sia-bun. Diam-diam dia membenarkan
tindakan Swat Hong dan teringat dia akan nasehat suhunya bahwa di dalam
perantauannya, dia tidak boleh
sembarangan membunuh orang! Sementara itu, di dalam hotel juga terjadi
keributan
hebat. Dengan dua batang pedang
tergantung di punggung dan kipas gagang perak di tangan, Swat Hong memasuki
hotel besar di sebelah kiri restoran.
Gedung yang lebih megah dan besar daripada restoran itu. Dengan sikap
tenang dia berjalan menaiki anak tangga
di depan hotel. Beberapa orang pelayan segera menyambutnya dengan wajah
berseri. Biarpun dara ini membawa
pedang di punggung namun kecantikannya yang luar biasa menyenangkan hati para
pelayan. "Apakah Nona mencari
kamar,?" tanya seorang pelayan dengan senyum manis. "Bukan mencari
kamar, akan
tetapi aku mencari Ciu-wangwe,"
jawab Swat Hong tanpa memperdulikan senyum itu. Wajah para pelayan itu berubah
dan pandang mata mereka membayangkan
kecurigaan, "Tidak semudah itu mencari Loya, Nona,. Pula, kami tidak tahu
dimana adanya Ciu-wangwe sekarang
ini...." kata seorang di antara mereka dengan suara hati-hati.
"Aihhh, kalian
tidak perlu membohong lagi. Aku
mengenal Ciu-wangwe dan kedatanganku adalah atas undangannya. Aku tahu bahwa
dia sedang menjamu kepala Daerah di
ruangan belakang hotel ini, bukan? Kalau kalian tidak membawaku menemuinya
sekarang juga, bukan hanya dia akan
marah kepada kalian, akan tetapi aku pun akan kehabisan sabar!" Mendengar
ini, para pelayan itu saling pandang,
lalu seorang di antara mereka memanggil tukang pukul. Dua orang tukang
pukul datang berlari. Mereka adalah
bekas-bekas perampok yang tentu saja dapat menduga bahwa wanita ini
tentulah seorang kang-ouw, maka mereka
segera memberi hormat dan bertanya, "Ada urusan apakah Lihiap hendak
bertemu dengan Ciu-wangwe?" Swat
Hong memandang tajam dan mengambil sikap marah. Eh, pangkat kalian di sini apa
sih berani bertanya-tanya urusan antara
aku dan Ciu-wangwe? Lekas bawa aku menemuinya!" "Tapi... tapi....
Loya
sedang menjamu Tai-jin, tidak boleh
diganggu!" "Siapa mau mengganggu? Aku justru datang memenuhi
panggilannya
untuk meramaikan pesta! Kalau dia
marah, biar aku yang tanggung jawab, akan tetapi kalau kalian berani menolak
aku, dia akan marah kepada
kalian!" Dua orang tukang pukul itu saling pandang, kemudian mereka
berkata,
"Baiklah mari kami antarkan Lihiap
ke dalam." Mereka telah mengambil keputusan dengan isyarat mata untuk
mengawal dan menjaga wanita cantik ini.
Kalau wanita ini mempunyai niat buruk, masih belum terlambat untuk
merobohkannya. Siapa tahu, melihat
kecantikannya yang luar biasa, sangat boleh jadi kalau dia ini adalah
seorang yang dikenal oleh Ciu-wangwe dan
benar-benar dipesan datang untuk menghibur pembesar! Dengan langkah
tenang sambil mengipasi lehernya dengan
kipas gagang perak, Swat Hong diiringkan dua orang tukang pukul itu
melalui gang yang berliku-liku, melalui
kamar-kamar di mana terdapat wanitawanita cantik yang rata-rata wajah
layu dan bermata sayu, ada yang duduk
sendiri, ada pula yang sedang berduaan dengan seorang tamu pria karena
terdengar suara ketawa laki-laki di
dalam kamar itu, kemudian tibalah mereka di ruangan belakang yang luas dan
terjaga oleh belasan orang prajurit
pengawal yang bercampur dengan para tukang pukul. Ketika mereka bertiga
muncul, tentu saja para penjaga dan
pengawal itu memandang Swat Hong dengan penuh perhatian. Dua orang tukang
pukul itu agaknya bangga dapat mengawal
nona cantik jelita ini maka sambil mengacungkan ibu jari, mereka
berkata, "Barang baru! Pesanan
khusus!" Maka tertawa-tawalah para pengawal dan tukang pukul itu memasuki
pintu
besar yang menembus ke dalam ruangan.
Karena mereka yang duduk mengitari meja besar terdiri dari belasan orang
berpakaian serba indah dan
masing-masing dilayani dan dirubung wanita-wanita muda dan cantik, Swat Hong
tidak
mau bertindak sembrono. Dia tidak tahu
siapa Ciu-wangwe dan yang mana pula kepala daerah, maka dia menanti dan
membiarkan dua orang tukang pukul itu
melapor. Akan tetapi sebelum kedua orang yang sudah menjura penuh hormat
itu sempat membuka mulut, seorang yang
berpakaian serba biru, berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus
dan matanya besar sebelah, telah
bangkit berdiri dan membentak, "Haii! Mengapa kalian lancang....?"
Dia tidak
melanjutkan ucapannya karena matanya
telah dapat melihat Swat Hong dan kini dia memandang heran. Swat Hong
sudah melangkah ke dalam, mendekati
meja lalu bertanya kepada laki-laki berpakaian biru itu, "Apakah aku
berhadapan dengan Ciu-wangwe?"
Laki-laki itu memang benar Ciu Bo Jin. Dia merasa curiga sekali, akan tetapi
karena dia mengandalkan ilmu
kepandaiannya sendiri, pula dia berada di tempatnya sendiri yang terjaga oleh
para
anak buahnya, bahkan disitu terdapat
pula pasukan pengawal Gu-taijin, maka sambil tersenyum lebar dia melangkah
maju dan berkata, "Benar, aku
adalah orang she Ciu yang kau cari. Nona siapakah dan .... heiiittt...."
Dia
cepat mengelak ke kiri ketika melihat
nona cantik itu sudah menerjang maju, menggunakan tangan kirinya
mencengkeram ke arah pundaknya. Gerakan
Ciu-wangwe cukup cekatan dan memang dia telah memiliki ilmu kepandaian
tinggi. Akan tetapi sekali ini dia
berhadapan dengan seorang dara perkasa yang luar biasa lihainya, maka baru
saja dia mengelak, tahu-tahu ujung
gagang kipas terbuat dari perak itu telah menotok jalan darah di punggungnya
dan dia terpelanting roboh dengan tubuh
lemas! Peristiwa ini terjadi sedemikian cepatnya sehingga tidak terduga
sama sekali, maka terjadilah keributan
hebat. Seorang yang tubuhnya gendut dan mukanya merah sekali, agaknya
sudah mabok, bangkit berdiri dengan
tiba-tiba sehingga dua orang pelacur cantik yang tadinya duduk di atas
kedua pahanya terpelanting jatuh sambil
menjerit. Orang ini berpakaian mewah dan sikapnya agung-agungan, sambil
berdiri dia berseru, "Hai...
pengawal....! Tangkap pengacau...!!" Pintu depan terbuka dan para pengawal
serta
tukang pukul berlompatan masuk. Swat
Hong girang sekali karena dia dapat menduga bahwa Si Gendut itulah tentu
yang menjadi kepala daerah, orang she
Gu yang diperalat oleh Ciu-wangwe. Maka dia sudah meloncat ke dekat orang
itu, mencabut pedangnya dan menempelkan
pedang telanjang di leher Gu-taijin sambil menghardik, "Gu-taijin!
Cepat kau menyuruh mundur semua
orangmu! Kalau tidak, pedang ini akan menyembelih lehermu!" Swat Hong
menahan
geli hatinya melihat tubuh yang gendut
itu menggigil semua dan dia menahan jijiknya karena terpaksa menggunakan
tangan kanan mencengkeram leher baju.
Apalagi ketika melihat betapa lantai di bawah pembesar gendut ini
tiba-tiba menjadi basah, tersiram air
yang membasahi celana, dia makin jijik. Ingin dia membacokkan pedangnya
saja agar manusia tiada guna ini tewas
seketika kalau saja dia tidak teringat bahwa jalan satu-satunya untuk
membantu Kwee Lun membereskan urusannya
hanyalah menangkap pembesar ini hidup-hidup. Biarpun manusia gendut ini
tidak ada gunanya, akan tetapi manusia
yang bagaimana pun pengecut dan lemahnya, sekali menduduki pangkat
besar, menjadi seorang yang
sewanang-wenang dan jahat! Makin pengecut dan makin rendah watak orang itu
makin
celakalah kalau dia memperoleh
kedudukan tinggi, karena kerendahan akalnya akan membuat dia makin jahat,
mempergunakan kekuasaannya yang
kebetulan melindunginya. "Am... ampun...!" Gi-taijin dengan sukar
sekali
mengeluarkan suara. Mendengar betapa
lehernya akan disembelih, apalagi disembelih berlahan-lahan dan sedikit
demi sedikit, membayangkan betapa
lehernya akan terasa perih dan nyeri, berlepotan darah, betapa dia akan mati
dan meninggalkan semua kemewahan dan
kesenangan hidupnya, hampir dia pingsan! "Suruh mereka mundur...!"
Kembali
Swat Hong membentak dan tangan kirinya
mencengkeram tengkuk. "Ouwwhhh...!" Pembesar itu menjerit, mengira
tengkuknya disembelih, padahal hanyalah
jari-jari saja yang mencengkeramnya. "Heii, mundur kalian! Tolol semua!
Mundur kataku, dan jangan membantah... Li...
Lihiap...!" Para pengawal menjadi bingung dan dengan muka pucat
dan mata terbelalak lebar mereka mundur
sambil memandang penuh kesiapsiagaan. Pada saat itu, seorang tukang
pukul telah berhasil membebaskan
totokan Ciu-wangwe dan kini hartawan itu dengan marahnya berteriak kepada
tukang pukulnya, "Cepat serbu
iblis betina itu....!" Swat Hong kembali mencengkeram tengkuk Gu-taijin.
"Suruh
jahanam Ciu itu menyerah!"
"Ouughh... Ciu-wangwe... jangan...! jangan melawan....!" Ciu-wangwe
yang melihat
betapa kepala daerah itu telah
ditangkap, sejenak menjadi bingung sekali. Akan tetapi tentu saja dia tidak
sudi
menyerah dan pada saat itu terdengar
suara hiruk pikuk di sebelah luar hotel. Tahulah Swat Hong bahwa Kwee Lun
tentu telah turun tangan pula mulai
bereaksi, maka dia berkata, "Orang she Ciu! Kejahatanmu berakhir di hari
ini juga!" Selagi Ciu-wangwe
kebingungan, tiba-tiba datang seorang tukang pukulnya dari luar dan
berteriak-teriak, "Celaka...
Loya.... ada orang merobohkan restoran kita....!" Akan tetapi orang ini
terbelalak
memandang ke dalam dengan muka pucat.
Dia melihat kepala daerah berada dalam cengkeraman wanita cantik itu dan
melihat Ciu-wangwe berdiri bingung.
Mendengar ini, Ciu-wangwe menjadi kaget dan mengira bahwa tentu banyak
musuh yang datang menyerbunya. Dia
tidak mau mempedulikan Gu-taijin lagi. Dalam keadaan seperti itu, yang
terbaik baginya adalah berada di luar
dan berusaha mengerahkan seluruh anak buahnya untuk menghadapi para
penyerbu. Keselamatan Gu-taijin tentu
saja tidak dipedulikannya lagi. Maka tanpa berkata apa-apa lagi dia lalu
berlari hendak keluar dari ruangan
besar itu. "Hendak kemana engkau?" Swat Hong cepat menotok roboh
Gu-taijin
dan meloncat ke depan. Tubuhnya
melayang dan Ciu-wangwe hanya melihat sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu
wanita cantik itu telah berdiri di
depannya! "Serbu....!" Bentaknya dan dia sendiri yang sudah mencabut
goloknya membacok dengan cepat sambil
mengerahkan seluruh tenaganya. "Sing-sing-singggg....!!" Bertubi-tubi
golok itu menyambar dan kini anak
buahnya juga sudah membantunya. Swat Hong cepat memutar pedangnya dan
mengerahkan sinkang disalurkan kepada
pedang itu. "Cringcring- trang-trang-trang....!!" Sebatang golok di
tangan Ciu-wangwe dan empat batang
pedang terlepas dari pegangan pemiliknya, dan tiga orang pengeroyok roboh
terkena totokan kipas perak di tangan
kirinya! Melihat kelihaian wanita ini, bukan main kagetnya hati
Ciu-wangwe. Dia sudah berpengalaman dan
tahulah dia bahwa kalau dia melanjutakn, dia sendiri akan roboh di
tangan wanita lihai ini. Maka jalan
terbaik baginya adalah lari keluar untuk mengerahkan anak buahnya dan kalau
perlu melarikan diri! Melihat orang
yang hendak ditangkapnya itu lari, Swat Hong hendak mengejar, akan tetapi
pada saat itu dia melihat tubuh gendut
Gu-taijin sedang dibantu oleh beberapa orang meninggalkan tempat itu.
Celaka, pikirnya. Dia harus dapat
menangkap pembesar itu , kalau tidak, tentu akan sukar menundukan semua
orang. Maka dia lalu mengerahkan tenaga
pada tangan kanan, tangan kanan itu bergerak dan pedangnya meluncur
seperti kilat menyambar ke depan.
Terdengar jerit mengerikan dan tubuh Ciu-wangwe terjungkal ke depan, dadanya
ditembusi pedang dari punggung dan dia
tewas seketika! Swat Hong telah melompat dan tangan kanannya kembali
sudah mencabut pedang, kini pedang
milik Kwee Lun yang dicabutnya. Kipas di tangan kirinya merobohkan empat
orang pengawal yang tadi membantu
Gutaijin dan mereka roboh tertotok, kemudian sebelum pembesar itu sempat
bergerak, dia sudah mencengkeramnya
lagi, bahkan yang dicengkeram adalah pundaknya sambil mengerahkan tenaga.
"Aughhh... add... duh...
duh...duhhh... ampun, Lihiap....!" Gu-taijin berteriak-teriak seperti
seekor babi
disembelih. "Hayo cepat suruh mereka
semua mundur!" bentak Swat Hong, kembali pedang telanjang ditekankan di
tengkuk pembesar itu. "Mundur
kalian semua! Keparat! Kurang ajar kalian! Disuruh mundur tidak cepat mentaati
perintah! Apa minta dihukum gantung
semua!" Mendengar pembesar ini dengan suara galak sekali, seperti
biasanya,
membentak-bentak, semua pengawal dan
anak buah Ciu-wangwe terbelalak ketakutan dan mundur. Apalagi mereka
melihat betapa Ciu-wangwe sudah tewas.
Para pelacur yang tadi melayani perjamuan itu, menjerit-jerit dan lari
pontang-panting, kemudian bersembunyi
di kolong-kolong meja dan belakangbelakang lemari. Swat Hong mendengar
suara ribut-ribut diluar, suara
pertempuran. Tahulah dia bahwa Kwee Lun sedang dikeroyok. Cepat dia menarik
tubuh pembesar Gu keluar dari hotel,
kemudian dengan mencengkeram punggung baju, dia membawa pembesar gendut
itu meloncat ke atas genteng. Semua
orang memandang heran melihat betapa seorang gadis cantik dan muda seperti
itu mampu meloncat sambil mencengkeram
tubuh seorang laki-laki bertubuh gendut dan berat seperti pembesar itu!
Swat Hong masih mencengkeram punggung
Gu-taijin yang pucat sekali wajahnya, menggigil kedua kakinya. Tentu saja
dia merasa ngeri berdiri di atas
genteng, di pinggir sekali. Terpeleset sedikit saja dia tentu akan melayang
jatuh ke bawah, tubuhnya akan remuk!
Selama hidupnya tentu saja belum pernah dia naik ke atas genteng. Akan
tetapi karena dia ditodong dan merasa
takut sekali kepada wanita perkasa yang mencengkeram punggungnya, dia
mentaati perintah Swat Hong dan dengan
suara lantang dia berteriak-teriak dari atas. "Haiii.... mundur
semua...!" Dia melihat pasukan
keamanan sudah berada di situ, dipimpin oleh Bhongciangkun, perwira yang
mengepalai pasukan keamanan.
"Bhong-ciangkun, suruh semua pasukan mudur!" Pada saat itu, Kwee Lun
sedang
mengamuk. Tadinya yang mengeroyoknya
hanyalah para tukang pukul anak buah Ciu-wangwe dan dia sudah berhasil
merobokan belasan orang dengan tambang
di tangannya yang kini sudah berlepotan darah. Akan tetapi dia kewalahan
juga ketika pasukan keamanan datang.
Pasukan yang jumlahnya hampir seratus orang itu tentu saja tidak mungkin
dapat dia lawan seorang diri hanya
mengandalkan segulung tambang! Maka dalam amukannya itu, dia sudah menerima
pula beberapa bacokan senjata tajam
yang melukai pinggul dan punggungnya, membuat pakaiannya berlepotan darah
pula. Namun, sedikit pun semangatnya
tidak menjadi kendur, bahkan darah dipakaiannya itu seolah-olah membuat
dia makin bersemangat lagi! Melihat
betapa atasannya berada di atas genteng dan mengeluarkan perintah itu,
Bhong-ciangkun terkejut dan cepat dia
mengeluarkan aba-aba menyuruh pasukannya mundur. Kwee Lun ditinggalkan
seorang diri, berdiri dengan kedua
kakinya terbentang lebar, pakaian dan tambangnya berlumuran darah, gagah
bukan main sikapnya. Sisa anak buah
Ciu-wangwe tidak ada lagi yang berani maju setelah para pasukan itu
diperintahkan mundur. Apalagi ketika
mereka itu mendengar bisikan teman-teman bahwa Ciuwangwe telah tewas oleh
dara di atas genteng itu! Ketika Kwee
Lun melihat betapa Swat Hong telah berdiri di atas gentang sambil membawa
Gu-taijin, diam-diam dia menjadi kagum
bukan main. Kiranya gadis itu amat cerdiknya. Tahulah dia bahwa dara
perkasa itu hendak menggunakan
kekuasaan Gu-taijin untuk membasmi kejahatan yang merajalela di Lengsia- bun!
Maka sambil tertawa bergelak dia pun
melompat dan tubuhnya melayang ke atas genteng di mana dia berdiri di
samping Swat Hong dan berkata mengejek,
"Hong-moi, bagaimana kalau kita orong ton kotoran ini ke bawah saja dan
melihat perutnya berhamburan di bawah
sana?" "Jangan.... jangan ... aduh, ampunkan saya...." Gu-taijin
berkata
memohon dengan rasa takut menghimpit
hatinya. "Kalau begitu, hayo kau membuat pengumunan dan perintah,
menurutkan kata-kataku." Swat Hong
berbisik di belakang pembesar itu. Gu-taijin mengangguk-angguk, kemudian
terdengarlah suaranya lantang mengikuti
perintah yang dibisiki oleh Swat Hong. "Hai, dengarlah baik-baik semua
pembantuku dan semua penduduk
Leng-sia-bun! Hari ini, dengan bantuan Kwee-taihiap dari Pulau Kura-kura, aku
baru mengetahui bahwa di kota ini
terdapat komplotan penjahat yang diketuai oleh Hartawan Ciu Bo Jin! Mereka
mendirikan rumah judi, hotelpelacuran,
dan rumah makan di mana terjadi segala macam kejahatan perjudian curang,
pemaksaan terhadap gadis-gadis yang
diculik untuk dijadikan pelacur dan penyogokan terhadap para petugas
pemerintah! Sekarang Ciu-wangwe telah
tewas! Anak buahnya akan diampuni asal saja mulai sekarang mau merobah
watak dan tidak lagi melakukan
kejahatan ! Dan semua wanita yang dipaksa menjadi pelacur, akan dibebaskan dan
dikirim pulang ke rumah masing-masing
dengan mendapat bekal masing-masing seratus tail perak! Semua ini harus
dijalankan sebaiknya. Kalau ada yang
melanggar dia akan dihukum sesuai dengan hukuman pemerintah, dan selain
itu, juga Kwe-taihiap sendiri akan
selalu mengawasi dan memberi hukuman terhadap mereka yang tidak mentaati
perintah kami ini!" Tiba-tiba
terdengar sorak-sorai penduduk dan terjadi keributan karena beberapa tukang
pukul
yang pernah berbuat sewenang-wenang,
tiba-tiba dikeroyok oleh penduduk! Sekali ini, para pasukan pemerintah
tidak ada yang berani melindunginya
para tukang pukul itu sehingga mereka mengaduh-aduh dan tidak berani
melawan, mengalami pemukulan penduduk
sampai babak belur! Dan para wanita pelacur yang berasal dari keluarga
baik-baik dan yang dipakasa menjadi pelacur
dengan berbagai ancaman dan siksaan, sudah menangis riuh-rendah,
menangis saking girang, terharu, dan
juga duka. "Awas kau, Gu-taihiap. Kalau sampai semua ucapanmu tadi tidak
kau laksanakan, kami akan melaporkan
bahwa engkau sebagai seorang kepala daerah telah diperalat oleh orang
jahat dengan jalan sogokan, dan selain
itu, kami akan datang kembali khusus untuk menyembelih lehermu!" Swat
Hong berbisik dengan nada penuh ancaman.
Pembesar itu mengangguk-anggukkan kepalanya seperti seekor ayam
mematuki gabah. Ketika dia mengangkat
muka memandang, ternyata kedua orang itu telah lenyap dan dia hanya
berdiri sendiri saja di atas genteng
yang begitu tinggi. Tentu saja dia menjadi ngeri sekali.
"Bhong-ciangkun.... tolong....
tolong saya turun....!" Bhong-ciangkun telah melihat bayangan kedua orang
itu
berkelebat, maka dia lalu meloncat naik
ke atas genteng dan membawa pembesar itu turun. "Bagaimana, apakah
hamba harus mengejar mereka?"
Bhong-ciangkun berbisik. "Hushhh...! Bodoh! Masih untung kita...."
Pembesar itu
berbisik kembali kemudian berkata
lantang. "Hayo laksanakan perintahku tadi!" Demikianlah, peristiwa
itu
menjadi semacam dongeng sampai
bertahun-tahun di kalangan penduduk Lengsia- bun, dan betapa pun orang mencari
kedua orang pendekar itu, tak pernah
lagi mereka melihat mereka. Memang Swat Hong dan Kwee Lun telah melarikan
diri dari kota itu dan melanjutkan
perjalanan mereka dengan hati puas. Hebat kau, Hong-moi!" Kwee Lun memuji.
"Luar biasa sekali! Kalau tidak
ada engkau yang membantuku dengan siasat yang cerdik itu, tentu akan lain
jadinya! Aku masih sangsi apakah aku
akan mampu menaklukkan mereka! Tentu akan menjadi banjir darah, dan
mungkin aku sendiri akhirnya mati
dikeroyok." "Ah, sudalah, Kwee-twako. Kau yang hebat, menggunakan
tali
merobohkan restoran dan dengan hanya
bersenjatakan tambang dapat menghadapi pengeroyokan puluhan orang!"
"Tidak
ada artinya dibandingkan dengan sepak
terjangmu, Moi-moi. Engkau telah membantuku sehingga tugasku selesai
dengan hasil baik. Tak pernah aku akan
dapat melupakan ini! Dan sebagai balasannya, aku akan membantumu mencari
ibumu dan suhengmu sampai berhasil
pula!" Wajah Swat Hong menjadi suram, dan dia menarik napas panjang.
"Hemm... Ibu dan Suheng pergi
tanpa meninggalkan jejak. Ke mana aku harus mencarinya?" "Jangan
khawatir,
Moi-moi. Kalau memang Ibumu dan
Suhengmu mendarat tentu kita akan dapat mencari mereka. Tempat yang paling
tepat untuk mencari seseorang adalah
kota raja. Memang belum tentu mereka berada di sana, akan tetapi
setidaknya, di kota raja merupakan
sumber segala keterangan sehingga kita dapat mendengar-dengar kalau-kalau
ada berita dari dunia Kang-ouw tentang
mereka." Swat Hong Menyetujui pendapat ini Memang dia pun bermaksud
mengunjungi kota raja, karena bukankah
nenek moyangnya dahulunya juga seorang anggauta keluarga raja? Mereka
melanjutkan perjalanan dari luar kota
Leng-sia-bun. Makin lama melakukan perjalan bersama Kwee Lun, setelah
lewat sebulan kurang lebih, makin
sukalah Swat Hong kepada pemuda itu. Dia makin mengenal Kwee Lun, sebagai
seorang yang benar-benar jantan, keras
hati, teguh dan tidak mempunyai sedikit pun pikiran menyeleweng, suka
bergurau, kasar akan tetapi kekasaran
yang bukan bersifat kurang ajar melainkan karena terbawa oleh
kejujurannya yang wajar dan tak pernah
mau menyembunyikan sesuatu. Pendeknya, pemuda itu benar-benar seorang
laki-laki yang gagah perkasa lahir
bathinnya. Di lain pihak, Kwee Lun juga merasa kagum kepada Swat Hong
setelah dia mengenal sifat-sifat
temanya ini yang amat cerdik, periang, jenaka namun keras hati dan
kadang-kadang tampak keagungan sikapnya
sebagai seorang puteri kerajaan! Namun dara itu sama sekali tidak
angkuh atau sombong, sungguhpun kini
dia harus mengakui bahwa ilmu kepandaiannya sedikitnya kalah dua tingkat
dibandingkan dengan dara Pulau Es ini!
Oleh karena inilah maka ada keseganan di dalam hatinya sehingga biarpun
dia yang selalu memimpin perjalanan dan
menjadi petunjuk jalan, namun dalam segala hal, sampai dalam memilih
makanan dan penginapan yang selalu
dibayar oleh Kwee Lun, pemuda ini selalu minta pendapat dan keputusan Swat
Hong! Pada suatu hari tibalah kedua
orang ini di kaki Pegunungan Tai-hang-san yang amat luas dan memanjang dari
selatan ke utara. Tujuan mereka adalah
Tiang-an ibu kota Kerajaan Tang. Di dusun ini mereka berhenti untuk
makan di sebuah warung nasi sederhana.
Mereka memesan nasi, mi, dan arak, Kwee Lun minta air hangat untuk Swat
Hong agar nona ini dapat mencuci muka
setelah melakukan perjalanan yang panas berdebu. Ketika Swat Hong sedang
bercuci muka dengan air hangat,
menggosok mukanya dengan air bersih sampai kedua pipinya kemerahan, dia
mendengar percakapan menarik dari arah dapur
warung itu. "Bukan main ramenya !" terdengar suara seorang
laki-laki, agaknya pekerja di dapur
itu. "Lebih ramai daripada kalau melihat dua orang jago silat berkelahi!
Bayangkan saja! Harimau mengaum sampai
bumi tergetar, lalu menubruk dan mencakar ke arah biruang itu. Akan
tetapi si biruang juga tidak kalah
lihainya, dia menggereng dan aku yakin engkau sendiri tentu akan
terkencing-kencing mendengar gerengan
itu! Dia dapat menangkis dengan kaki depannya dan balas menggigit. Mereka
saling cakar, saling gigit, mula-mula
saling menangkis lalu bergumul! Bukan main!" "Ahhh, sudahlah. Siapa
percaya omonganmu? Paling-paling kau
melihat ornag mengadu jangkerik dan kau kalah bertaruh lagi! Lebih baik
lekas masak air, tehnya hampir
habis." Swat Hong cepat menghampiri Kwee Lun dan berbisik, "Agaknya
di sini ada
jejak suhengku!" "Ehhh....?
Kwee Lun bertanya heran. "Ada orang di dapur tadi bercerita tentang
pertandingan
antara harimau dan biruang, dan kalau
tiadk salah perasaan hatiku, itu biruang kepunyaan suheng." "Eh?
Suhengmu
memelihara biruang?" Kwee Lun
bertanya makin heran lagi. "Belum kuceritakan kepadamu, Twako. Ketika aku
berpisah dari suheng, dia sedang mengobati
seekor biruang terluka. Tentu biruang itu menjadi jinak dan menjadi
binatang peliharaannya."
"Aduh! Suhengmu tentu hebat sekali, berani mengobati seekor biruang!"
"Sudahlah,
Twako. Kalau kelak dapat bertemu,
engkau dapat berkenalan dengan suheng sendiri. Sekarang harap kau suka
tanyakan kepada pekerja di dapur
tentang biruang yang diceritakannya tadi." "Mengapa tidak panggil
saja dia ke
sini? Hei, Bung pelayan!" Pelayan
itu segera menghampiri. "Tolong kau panggilkan sahabat yang tadi berbicara
tentang biruang, dia bekerja di dapur.
Cepat!" Pelayan itu terheran-heran, akan tetapi dia masuk juga ke dalam
dan tak lama kemudian, dia kembali ke
situ bersama seorang laki-laki muda yang kelihatan takut-takut. Laki-laki
ini kurus kecil dan memakai pakaian
koki, agaknya dialah tukang atau pembantu tukang masak di warung itu.
"Saya.... saya tidak tahu
apa-apa...." begitu tiba di dekat meja, orang itu berkata. Kwee Lun
menggerakkan
tangannya tak sabar. "Aahh,
mengapa takut? Kami hanya tertarik mendengar cerita biruang bertanding dengan
harimau. Di manakah kejadian itu dan
bagaimana asal mulanya?' Kwee Lun mengeluarkan sepotong uang dan
memberikan kepada orang itu. "Nah,
ceritakanlah! Jangan takut-takut, ini hadiahnya." Orang itu menerima
hadiah
dan setelah memandang ke kanan kiri dia
bercerita. "Pagi tadi, sebelum masuk bekerja saya menemani Saudara
Misan saya mengantar segorobak kayu
bakar ke atas sana...." dia menuding ke luar warung. "Ke atas
mana?" "Di
Puncak Awan Merah, tempat tinggal
Siangkoan Lo-enghiong. Kami berdua mengantarkan kayu bakar dan melihat
ribut-ribut di sana. Mendengar gerengan-gerengan
dahsyat, saya lalu menyelinap dan mendahului saudara saya,
mengintai. Ternyata di sana sedang
diadakan permainan yang luar biasa, yaitu adu harimau dan biruang! Entah
milik siapa biruang itu, akan tetapi
harimau itu saya kenal sebagai harimau peliharaan Siangkoan Lo-engkeng
yang biasanya di dalam kerangkeng.
Bukan main ramenya dan saya takut sekali. Agaknya di tempat Siangkoan
Lo-enghiong ada tamu yang membawa
biruang...." "Siapa tamunya? Bagaimana macam orangnya?" Swat
Hong mendesak
penuh ketegangan hati. Akan tetapi
orang itu menggeleng kepala. "Bagaimana saya bisa tahu? Di atas sana
banyak
orang, muridmurid Lo-enghiong dan
orang-orang seperti kami tidak mempunyai hubungan dengan Puncak Awan Merah,
kami tidak diperbolehkan naik kecuali
kalau ada pesanan dari sana. Hanya kadang-kadang saja Siocia atau murid
Lo-enghiong yang turun ke sini. Melihat
pertandingan yang amat dahsyat itu, saya ketakutan dan cepat lari turun
lagi...." Swat Hong mengerutkan alisnya.
Mungkinkah suhengnya "kesasar" sampai di tempat ini? Tiba-tiba Kwee
Lun bertanya, "Yang kausebut
Siangkoan Lo-enghiong itu, apakah dia bernama Siang-koan Houw?" Nama
lengkapnya
mana saya tahu?" Orang itu
menggeleng kepala, kelihatannya takut-takut. "Julukannya Tee Tok (Racun
Bumi),
bukan?" Orang itu makin ketakutan,
akan tetapi dia mengangguk. "Pernah saya mendengar muridnya bicara
menyebut
julukan itu.... harap Ji-wi maafkan, saya
masih banyak pekerjaan di dapur." Dia tidak menanti jawaban, kembali
ke dapur dengan sikap ketakutan.
"Aihh, kiranya Teek-tok sekarang tinggal di tempat ini!" kata Kwee
Lun.
"Twako, siapakah racun bumi
itu?" "Hemm, seorang yang luar biasa! Dapat dikatakan saingan suhu,
menurut cerita
suhu, sukar dikatakan siapa yang lebih
unggul. Dia adalah seorang di antara tokoh-tokoh dunia kang-ouw yang
sudah terkenal sekali. Aku sendiri baru
mendengar namanya dari suhu saja. Menurut suhu, dia adalah seorang yang
gagah perkasa dan jujur, akan tetapi
sayang sekali, hati ganas dan kejam terhadap orang yang tak disukainya dan
dia amat lihai dan berbahaya sebagai
seorang ahli racun yang mengerikan. Karena itu julukannya adalah Racun
Bumi. Sungguh tidak dinyana bahwa kita
bakal bertemu dengan orang seperti dia!" "Hemm... kalau begitu engkau
sudah merencanakan untuk mengunjungi
Puncak Awan Merah, Twako?" "Tidak begitukah kehendakmu? Agaknya
sangat
boleh jadi biruang itu milik suhengmu.
hong-moi, karena di tempat tinggal seorang seperti teek-tok, segala apa
mungkin saja terjadi. Tentu saja amat
mencurigakan dan hatiku tidak akan merasa puas kalau belum menyelidiki ke
sana. Kalau ternyata suhengmu tidak
berada di sana kita turun lagi karena aku tidak mempunyai urusan dengan
Tee-tok." Swat Hong mengangguk.
"Baiklah, kalau begitu mari kita berangkat. Entah mengapa, betapa pun
sedikit
kemungkinannya bahwa suheng berada di
sana, akan tetapi hatiku merasakan sesuatu yang aneh. Kita harus
menyelidiki ke sana." Setelah
membayar harga makanan berangkatlah kedua orang itu ker Pulau Awan Merah, tentu
saja diikuti pandang mata penuh
keheranan dan kegelisahan oleh pelayan warung yang mereka tanyai di mana adanya
puncak itu. Setelah mereka mendekati
bukit dan tiba di lereng atas, tampaklah bangunan besar di puncak yang
dimaksudkan itu. Mereka tidak mengerti
mengapa puncak itu disebut Puncak Awan Merah, padahal ketika mereka tiba
di situ di siang hari itu, awannya
tidak berwarna merah melainkan biru dan putih seperti biasa. "Twako,
kedatangan kita hanya menyelidiki
apakah suheng berada di sana. Oleh karena itu, tidak baik kalau kita datang
berterang, bisa menimbulkan kecurigaan
orang dan kita tidak berniat mencari perkara dengan tokoh kang-ouw itu,
bukan? Maka, sebaiknya kita berpencar
dan kau menyelidiki dengan memutar dari kiri, aku dari kanan, sampai kita
saling bertemu dan kalau suheng tidak ada
di sana, dan biruang itu bukan biruangnya, kita segera kembali ke
dusun tadi dan bermain saja di
sana." "Baik, Hong-moi, dengan demikian, penyelidikan dapat dilakukan
lebih
leluasa dan lebih cepat." Mereka
mendaki terus dan setelah tiba di luar pagar tembok gedung besar di puncak
itu, mereka berpencar. Swat Hong yang
mengambil jalan dari kanan menyelinap di atas pohon-pohon dan batu
gunung. Tak lama kemudian dia mendengar
suara orang dan cepat dia menghampiri dan mengintai. Apa yang
dilihatnya membuat dia hampir berteriak
saking kagetnya! Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika dia
melihat suhengnya, Kwa Sin Liong,
terbelenggu kedua pergelangan tangannya dan setengah tergantung pada pohon!
Tubuh atas suhengnya itu telanjang dan
hanya celana dan sepatunya saja yang menutupi tubuhnya. Sin Liong
kelihatan tenang saja biarpun dahinya
berpeluh, dan agaknya pemuda itu memang sengaja membiarkan dirinya
terbelenggu, karena Swat Hong yakin
sekali bahwa apabila dikehendaki oleh suhengnya itu, apa sukarnya
membebaskan diri dari belenggu seperti
itu? Tentu ada sesuatu yang aneh telah terjadi di sini! Swat Hong
menahan kemarahannya yang membuat dia
ingin menyerbu, dan dia memandang kepada orang-orang lain itu. Dua orang
yang berpakaian seragam, memakai topi
aneh, menjaga di belakang pohon dan tangan mereka meraba gagang golok.
Seorang kakek yang tinggi besar, brewok
dan matanya lebar, dengan marah-marah menghampiri Sin Liong, tangan
kanannya memegang senjata yang aneh.
Bukan senjata, pikir Swat Hong, melainkan tanduk rusa yang agaknya hendak
dipakai sebagai senjata. Tanduk rusa
seperti itu saja apa artinya bagi suhengnya? Yang membuat dia
terheran-heran adalah melihat suhengnya
berada di tempat itu dan mudah saja dibelenggu dan dihina! Apa yang
telah terjadi? Seperti telah kita
ketahui, Sin Liong meninggalkan Pulau Neraka bersama Ouw Soan Cu, gadis Pulau
Neraka yang hendak mencari ayahnya.
Sebetulnya, mencari ayahnya ini hanya merupakan alasan yang dicari-cari
saja oleh Ouw Kong Ek, ketua Pulau
Neraka. Puteranya Ouw Sin Kok, ayah kandung Soan Cu, telah menghilang selama
belasan tahu, tak pernah kembali dan
tidak pula ada kabarnya sehingga menimbulkan dugaan besar bahwa Ouw Sian
Kok telah meninggal dunia. Selain itu,
andaikata masih hidup, tak seorang pun mengetahui di mana tempat
tinggalnya. Soan Cu ditinggal ayah
kandungnya sejak bayi bagaimana mungkin dia dapat mencari ayahnya yang belum
pernah dilihatnya dan tak diketahui ke
mana perginya itu? Kalau Ouw Kong Ek mengunakan alasan ini dan mendesak
kepada Sin Liong agar membawa dara itu
bersama, keluar dari Pulau Neraka, adalah karena sebenarnya dia ingin
agar cucunya itu dapat berjodoh dengan
Sin Liong. Dia sering kali mengingat akan nasib cucu yang di cintanya
itu. Jauh dari dunia ramai, akhirnya
cucunya itu terpaksa hanya akan berjodoh dengan seorang penghuni Pulau
Neraka! Maka munculnya Sin Liong untuk
pertama kalinya itu sudah mendatangkan harapan untuk menjodohkan cucunya
dengan pemuda itu. Apalagi ketika Sin
Liong datang untuk kedua kalinya, bahkan pemuda itu telah menolong Soan
Cu, dan menolong Pulau Neraka yang
diserbu bajak laut. Tentu saja dia tidak dapat memaksa pemuda itu untuk
menjadi calon suami cucunya, akan
tetapi dengan kesempatan melakukan perantauan bersama, dia harap akan timbul
cinta di dalam hati pemuda itu terhadap
cucunya yang dia tahu merupakan seorang gadis yang cantik jelita dan
berilmu tinggi, juga berwatak baik.
</P>
<P>
Demikianlah, Sin Liong meninggalkan
Pulau Neraka bersama Soan Cu dan juga biruang raksasa yang menjadi jinak
itu. Dengan sebuah perahu yang
disediakan oleh Ouw Kong Ek, berangkatlah mereka meninggalkan Pulau Neraka,
berlayar melalui pulau-pulau di daerah
itu. Akhirnya, karena tidak berhasil menemukan Swat Hong yang
dicari-carinya, juga tidak tampak
seorang pun manusia tinggal di daerah lautan berbahaya itu, Sin Liong
mengemudikan perahunya menuju ke arah
barat, ke daratan besar. "Besar kemungkinan Sumoi mendarat, dan kalau
sampai belasan tahun ayahmu tidak
pernah pulang dan tidak ada beritanya, juga bukan tidak mungkin Ayahmu
tinggal di sana," katanya kepada
Soan Cu. "Mari kita mencari jejak mereka di daratan besar." Soan Cu
tidak
membantah dan demikianlah, akhirnya
mereka mendarat dan hanya beberapa hari lebih dulu dari pendaratan yang
dilakukan oleh Swat Hong yang tersesat
jalan dan mendarat jauh di selatan sehingga dia bertemu dengan Kwee Lun.
Karena dari pantai ke barat banyak
melalui daerah yang sunyi, pegunungan dan hutan, maka adanya biruang bersama
meraka tidak terlalu mengganggu benar.
Pula, binatang itu sudah jinak sekali, bahkan dapat disuruh untuk
mencari buah-buahan, pandai pula
mencari air di dalam hutan yang lebat. Pada suatu hari, tibalah mereka di
pegunungan Tai-hang-san. Tanpa mereka
ketahui, mereka tiba di lereng puncak Awan Merah, daerah kekuasan
Tee-tok. Ketika mereka memasuki sebuah
hutan besar, tiba-tiba terdengar auman harimau yang amat keras sehingga
suara itu menggetarkan hutan. Mendengar
auman ini, biruang menjadi marah sekali. Sin Liong cepat memegang dan
memeluk binatang itu, khawatir
kalau-kalau biruang itu akan lari dan berkelahi dengan harimau yang mengaum
itu.
"Hai.......! Ada harimau! Biar
kutangkap dia!" Sian Cu sudah berlari-lari membawa senjatanya yang aneh
dan
istimewa, yaitu sebatang cambuk berduri
yang menjadi senjata kesayangannya disamping pedang. Dia tertawa-tawa
gembira sehingga Sin Liong tidak tega
untuk melarangnya. Dara itu masih remaja, masih bersifat kanak-kanak dan
hanya kadang-kadang saja tampak
kedewasaanya. Dia maklum bahwa gadis yang sejak bayi dibesarkan di tempat
seperti Pulau Neraka itu, tentu saja
memiliki sifat-sifat liar, akan tetapi dia pun mengenal dasar-dasar baik
dari hati Soan Cu. Selain membiarkan
gadis itu bergembira, juga dia percaya penuh bahwa ilmu kepandaian Soan Cu
sudah tinggi sekali, cukup tinggi untuk
melindungi diri sendiri. Soan Cu berlari cepat sekali dan dalam berlari
ini timbullah kegembiraan yang luar
biasa di dalam hatinya. Di depan Sin Liong, dia selalu harus menekan
perasaannya karena sikap pemuda ini
sungguh penuh wibawa dan membuat dia tunduk, takut dan hormat seolah-olah
pemuda itu menjadi pengganti kakeknya.
Akan tetapi sesunguhnya semenjak dia meninggalkan Pulau Neraka, ada
perasaan gembira yang disembunyikannya
dan baru sekarang dia memperoleh kesempatan untuk melepaskan
kegembiraannya yang meluap-luap. Ingin
dia bersorak gembira kalau saja tidak takut terdengar oleh Sin Liong!
Maka kegembiraannya itu disalurkannya
lewat kedua kakinya yang berloncatan dan berlari-lari menuju ke arah
suara harimau yang mengaum. Karena
auman harimau itu keras sekali, mudah saja bagi Soan Cu untuk menuju ke
tempat itu dan akhirnya dia melihat
seekor harimau yang amat besar dan kuat, berbulu indah sekali,
loreng-loreng hitam kuning berdiri
memandang ke arah seorang laki-laki yang berdiri ketakutan. Harimau itu
membuka-buka moncongnya, seperti
seorang anakkecil yang menggoda kakek itu, menakutnakutinya, kadang-kadang
mengaum dan tiap kali dia mengaum,
kedua kaki orang itu menggigil dan terdengar suara terputus-putus dan dia
mencoba untuk bersembunyi di belakang
sebatang pohon, "Kakak harimau yang baik..... saya..... saya..... A-siong
pedagang kayu bakar..... hendak
mengirim kayu bakar kepada Lo-enghiong....... harap jangan mengganggu
saya......" Harimau itu sebetulnya
adalah harimau peliharaan Tee-tok dan biasanya dikurung dalam kerangkeng dan
hanya pada waktu-waktu tertentu saja
dibiarkan berkeliaran di hutan. Agaknya penjaga harimau pada hari itu
terlupa sehingga harimau itu tetap
berkeliaran pada waktu A-siong sedang mengirim kayu bakar ke Puncak Awan
Merah. A-siong adalah seorang di antara
pedagang-pedagang kayu bakar yang suka menjual kayu bakar di tempat
itu. Melihat harimau itu, Soan Cu lalu
berseru, "Kucing besar, kau nakal sekali!" Harimau itu menggereng dan
menoleh. Ketika dia melihat seorang
wanita memengang cambuk, dia menggereng dan cepat sekali, berlawanan dengan
tubuhnya yang besar, dia sudah membalik
dan menubruk. "Celaka......!" A-siong berseru kaget, memeluk batang
pohon dan menahan napas, membelalakan
matanya. Akan tetapi, tanpa mengelak Soan Cu sudah menggerakan cambuknya.
"Tar-tar!" ujung cambuk itu
menyambar dan membelit kaki depan kanan harimau itu dan sekali tarik, tubuh
harimau
yang sedang meloncat itu terbanting ke
atas tanah. Harimau itu menggereng dan kelihatan marah sekali. Kembali
dia menubruk, akan tetapi sekali ini,
Soan Cu yang sedang gembira meloncat ke kiri dan melihat tubuh harimau
itu menyambar lewat, dengan tangan
kirinya dia menangkap ekor harimau yang panjang dan sekali tubuhnya
bergerak, dia telah berada di atas punggung
harimau! Sambil tersenyum-senyum dan membuat gerakan seperti orang
menunggang kuda, Soan Cu
menggerak-gerakan ujung cambuk menyabeti moncong harimau itu. Tentu saja
harimau itu
merasa kesakitan karena ujung cambuk
itu berduri. Dengan kemarahan meluap harimau itu berusaha mencakar dan
menggigit ujung cambuk yang mungkin
dikira seekor ular yang ganas, namun tak pernah berhasil bahkan bagaikan
buntut seekor ular, ujung cambuk itu
terus melecuti hidung dan bibirnya sampai berdarah! "Hiyooooo.... kucing
binal, hayo jalan baik-baik!"
Seperti seorang pemain sirkus yang mahir, Soan Cu menunggang harimau, tangan
kiri
mencengkeram kulit leher, tangan kanan
mempermainkan cambuknya dan harimau itu yang mengejar ujung cambuk yang
digerak-gerakan, melangkah
perlahan-lahan! A-siong yang menonton sambil berusaha menyembunyikan diri di
balik
batang pohon, terbelalak dan hampir tak
percaya kepada matanya sendiri. Beberapa kali tangan kirinya menggosok
kedua matanya dengan ujung lengan baju
karena dia mengira bahwa dia sedang dalam mimpi, akan tetapi tetap saja
penglihatan yang luar biasa itu masih
tampak oleh kedua matanya. "Soan Cu, turunlah......!!" Tiba-tiba
terdengar teguran dan mengenal suara
Sin Liong, lenyaplah semua kegembiraan yang liar dari gadis itu. Dia masih
tersenyum, akan tetapi matanya
kehilangan sinar yang berapi-api dan liar tadi, dan dia berkata,
"Liong-koko,
dia.... dia hendak menerkam orang....."
ucapannya ini bersifat membela diri karena dia ketakutan oleh pemuda
itu sedang mengganggu harimau.
"Turunlah berbahaya sekali permainanmu itu!" Soan Cu meloncat turun
dan tentu
saja harimau yang marah itu cepat
mencakar dengan kecepatan luar biasa. Namun dia hanya mencakar tempat kosong
kerena gerakan Soan Cu lebih cepat
lagi. Dara ini telah meloncat ke dekat Sin Liong dan mengejek ke arah
harimau dengan meruncingkan mulutnya
dan mengeluarkan bunyi, "Hiii.....! Hiiiiii!!" Sementara itu, biruang
yang
tadinya sudah dapat ditenangkan oleh
Sin Liong dan dijak menyusul Soan Cu, setelah kini melihat harimau, timbul
kembali kemarahannya, bahkan lebih
hebat dari pada tadi. Pada saat Sin Liong lengah karena menegur gadis itu,
tiba-tiba biruang itu melompat ke depan
dan menggereng sambil memperlihatkan taringnya, memandang harimau
dengan mata merah. Harimau itu agaknya
tidak merasa gentar menghadapi tantangan ini. Dia pun menggereng dan
menubruk. Akan tetapi biruang itu sudah
siap. Ketika harimau itu menubruk dengan kedua kaki depan lebih dulu,
dia menggerakan kaki depan kanan yang
amat kuat, memukul dari samping dan menangkis kedua kaki depan harimau .
Karena tubuh harimau itu berada di
udara, tentu saja dia kalah kuat dan tubuhnya terlempar ke bawah. Akan
tetapi dia sudah meloncat lagi dan siap
untuk melanjutkan serangannya. "Hushhh....! Biruang yang baik, jangan
berkelahi!" Sin Liong sudah menangkap
kaki depan biruangnya dan mengelus kepalanya, menenangkannya. Akan tetapi
sekali ini agak sukar karena biruang
itu marah sekali, meronta-ronta dan apa lagi melihat harimau itu masih
menggereng hendak menyerangnya.
"Ihh, kucing licik! Hayo mundur kau!" Soan Cu melangkah maju,
menggerakan
cambuknya ke depan untuk menghalau
harimau itu. "Tar-tar-tarr.....!!" Harimau merasa jerih menghadapi
cambuk,
akan teapi bukan berarti dia takut
karena dia masih menggereng-gereng memperlihatkan taringnya dan matanya
merah bersinar-sinar. "Hayo pergi!
Kalau tidak akan kuhajar kau!" Soan Cu membentak. "Siapa dia berani
kurang
ajar hendak mengganggu harimau
kami?" Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan muncullah banyak orang di
tempat
itu. Serombongan orang yang berpakaian
seragam telah bergerak mengurung tempat itu, dan orang yang berseru
tadi, seorang kakek tinggi besar yang
brewok, pakaiannya ringkas, tubuhnya membayangkan tenaga yang kuat,
matanya lebar membayangkan kekerasan dan
kejujuran, akan tetapi tarikan bibirnya membayangkan kekejaman. Di
sampingnya berjalan seorang gadis yang
cantik sekali, dengan pakaian yang mewah dan indah, rambutnya ditekuk ke
atas dan diikat dengan kain kepala dari
sutera merah, dihias dengan bunga emas permata, pakaian yang indah itu
membungkus ketat tubuhnya sehingga
membayangkan lekuk lengkung tubuhnya yang padat dan ramping, di pinggang
yang kecil ramping itu melibat sehelai
sabuk sutera merah. Telinganya terhias anting-anting batu kemala panjang
berwarna hijau, menambah kemanisan
wajahnya yang mendaun sirih bentuknya itu. Sin Liong cepat menjura dengan
hormat dan berkata halus, "Harap
Locian-pwe sudi memaafkan kami yang secara tidak sengaja memasuki daerah ini,
"kata Sin Liong sambil memegangi
kaki depan biruangnya. Kakek itu memandang tajam. Jawaban penuh kesopanan dan
sepasang mata bersinar halus tanpa rasa
takut sedikit pun itu mencengangkan hatinya. "Melanggar daerah ini
masih bukan apa-apa, akan tetapi kalian
berani mengganggu harimau peliharaanku. Apakah karena mempunyai biruang
itu maka kalian menjadi sombong?"
"Kami tidak menggangu, Locianpwe. Hanya karena harimau itu dan biruang
kami
akan berkelahi maka kami melerai dan
mencegahnya." "Hemm... dua ekor binatang akan berkelahi, apa anehnya?
Hanya kalau manusia sudah
mencampurinya, maka manusia itu lebih rendah daripada binatang!" "Eh,
tahan tuh
mulut!" Soan Cu membentak dan
menudingkan telunjuknya ke arah mulut kakek gagah itu. Dara ini tidak lagi
dapat
menahan kemarahan hatinya mendengar
ucapan yang menghina tadi. "Kami melerai karena yakin bahwa kucing hutan
busuk ini tentu akan mampus
dirobek-robek oleh biruang kami, engkau ini orang tua tidak berterima kasih,
malah
mengucapkan kata-kata menghina!"
Sepasang mata kakek itu besinar-sinar, bukan hanya marah akan tetapi juga
kagum. Kakek ini memang orang aneh.
Melihat keberanian orang, apa lagi seorang dara muda seperti Soan Cu yang
pada saat itu muncul kembali sifat
liarnya karena marah, dia kagum bukan main. Kakek ini adalah Siangkoan Houw
yang terkenal dengan julukan Tee-tok
(Racun Bumi), seorang gagah yang jujur dan terbuka sikapnya, maka kasar
sekali dan kalau dia sudah marah,
kejamnya melebihi harimau peliharaannya. Dia terkenal sekali di dunia
kang-ouw sebagai seorang di antara
tokoh-tokoh besar. Dia hidup di Puncak Awan Merah itu dengan tentram,
bersama puteri tunggalnya, yaitu gadis
cantik yang datang bersamanya dan yang sejak tadi diama saja. Tee-tok
Siangkoan Houw sudah duda, dan hanya
hidup berdua dengan puterinya yang bernama Siangkoan Hui. Adapun
orang-orang lain yang berada di situ
adalah para murid-muridnya yang juga menjadi anak buahnya, kurang lebih
lima belas orang banyaknya, di
antaranya seorang kakek yang usianya sebaya dengan dia dan rambutnya sudah
putih
semua. Kakek inilah yang merupakan
murid kepala dan yang telah memiliki kepandaian tinggi pula, bernama Thio
Sam dan berjuluk Ang-in Mo-ko (Iblis
Awan Merah). "Bagus sekali!" Kakek ini memuji. "Kalau begitu,
mari kitas
adukan kedua binatang itu. Hendak
kulihat apakah benar-benar biruangmu dapat mengalahkan harimauku!"
"Boleh!"
Soan Cu menjawab. "Jangan! Soan
Cu, tidak boleh begitu!" Sian Liong berseru, kemudian dia berkata kepada
kakek
itu, "Harap Locianpwe suka
memaafkan kami dan biarlah kami pergi dari sini sekarang juga. Bukan maksud
kami
untuk mengganggu siapa pun."
"Kucing hitam macam itu saja, biar ada lima akan diganyang oleh biruang
kami!"
Soan Cu masih marahmarah. "Kakek
sombong mengandalkan harimaunya menakut-nakuti orang. Kalau aku tidak cepat
datang, agaknya harimau itu sudah makan
orang tadi! Perlu diberi hajaran!" "Hayo kita adukan mereka!"
Tee-tok
berteriak-teriak dengan kumis bangkit
saking marahnya. "Sebelum kedua binatang peliharaan kita saling diadu,
jangan harap kalian akan dapat pergi
dari sini!" "Kami tidak takut!" Soan Cu menjerit lagi. Mendengar
ucapan
kakek itu, Sin Liong menyesal bukan
main. Kalau dia tidak membolehkan biruang diadu, tentu kakek itu bersama
teman-temannya akan menghalangi dia dan
Soan Cu pergi dan akibatnya lebih hebat lagi. Maka dia menghela napas
dan berkata, "Baiklah, mari kita
lepaskan mereka dan melihat apakah mereka memang mau berkelahi. Kuharap saja
setelah ini, kami diperbolehkan pergi."
"Koko, lepaskan biruang kita, biar dihancurlumatkan kucing keparat itu.
Tar-tar-tarrr...!!" Soan Cu sudah
membunyikan cambuknya di udara berkali-kali. Sin Liong melepaskan biruangnya
dan dia menghampiri Soan Cu, memegang
lengannya dan berbisik, "Soan Cu, kautenangkanlah hatimu, jangan
marah-marah. Ingat, kita tidak mau
melibatkan diri dalam permusuhan dengan siapapun juga, bukan?" Dipegang
lengannya secara demikian halus oleh
Sin Liong, seketika api yang bernyala dalam hati Soan Cu padam seperti
tertimpa hujan, semangat dan tubuhnya
lemas dan dia menunduk sambil menganggukan kepalanya. Dia seperti seekor
harimau liar yang tiba-tiba menjadi
jinak! Sementara itu, setelah kini dilepas keduanya dan tidak ada yang
menghalangi, kedua ekor binatang itu
mengeluarkan suara auman dan gerengan yang dahsyat dan menggetarkan.
Mual-mula mereka saling pandang dan
masing-masing hendak menggetarkan lawan dengan kekuatan suara, kemudian
harimau yang ganas itulah yang mulai
menerjang maju! Dengan berdiri di atas kedua kaki belakangnya, harimau itu
menubruk dan menerkam. Akan tetapi,
dengan gerakannya yang agak lamban dan tenang, namun kuat dan tetap sekali,
biruang menangkis terkaman dan balas
mencengkeram dengan kuku jari kakinya yang biarpun tidak seruncing kuku
harimau, namun tidak kalah kuatnya.
Kena tamparan biruang yang amat kuat itu, harimau terguling-guling! Hanya
sepasang matanya saja yang
bersinar-sinar girang, akan tetapi Soan Cu tiak berani berkutik di dekat Sin
Liong.
Ingin hatinya bersorak dan mulutnya
mengeluarkan kata-kata mengejek melihat betapa harimau itu
terguling-guling, namun dia merasa
segan terhadap Sin Liong. Harimau itu meloncat lagi dan menerkam makin
dahsyat. Terjadilah perkelahian yang
amat dahsyat, ditengah-tengah suara gerengan yang menggetarkan seluruh
bukit. Pada saat itulah koki warung
yang menemani sudara misannya mengantar kayu bakar, mendapat kesempatan
menonton harimau bertanding melawan
biruang, akan tetapi karena merasa ngeri dan takut, dia cepat meninggalkan
tempat itu dan berlari turun lagi.
Perkelahian yang dahsyat, seru dan mati-matian. Biruang itu sudah menderita
banyak luka di tubuhnya akibat cakaran
dan gigitan harimau, akan tetapi akhirnya dia berhasil mencengkeram
kepala harimau, menindihnya dan
menggigit leher harimau, sampai robek dan terus luka di leher itu dirobeknya
sampai keperut! Harimau berkelojotan
dan mati tak lama kemudian. "Heiii....!" Soan Cu berteiak, namun
terlambat. Sinar hitam menyambar ke
arah leher biruang dan binatang ini mengeluarkan pekik mengerikan lalu
roboh dan tak bergerak lagi, mati
diatas bangkai harimau yang tadi menjadi lawannya. "Kau membunuh biruang
kami!" Soan Cu melompat dan
menuding dengan marah kepada kakek yang tadi menyerang biruang dengan
Hek-tok-ting
(Paku Hitam Beracun). "Dia pun
membunuh harimau kami!" Tee-tok menjawab dengan mata mendelik saking
marahnya.
"Manusia curang kau!" Soan Cu
sudah menerjang maju dan cambuknya mengeluarkan suara meledak-ledak di udara.
"Tar-tar-cring-tranggggg.....!!" Bunga api berpijar ketika
cambuk itu tertangkis oleh sepasang pedang yang
bersinar hitam. itulah pedang
Ban-tok-siang-kiam (Sepasang Pedang Selaksa Racun) yang ampuh dari Teetok. Akan
tetapi bukan main kagetnya ketika tadi
pedangnya menangkis cambuk duri, dia merasakan lengannya tergetar, tanda
bahwa dara muda itu memiliki sinkang
yang amat kuat. "Heii, jangan bertempur.....!" Sin Liong cepat
menegur,akan tetapi sekali ini Soan Cu
pura-pura tidak menengarnya, apalagi kakek itu pun sudah marah dan sudah
membalas serangannya dengan sepasang
pedangnya. Terjadi pertempuran hebat sekali antara gadis itu dan Tee-tok.
Melihat gerakan sepasang pedang itu
lihai bukan main dan ada menyambar hawa yang kuat dari lawannya, Soan Cu
tidak berani memandang ringan dan
tangan kanannya sudah mencabut pedangnya. Pedang di tangan gadis ini adalah
pemberian kakeknya, ketua Pulau Neraka
dan seperti juga cambuknya, pedang ini aneh dan ampuh sekali. Bentuk
pedang itu juga berduri seperti
cambuknya dan pedang itu terbuat dari tulang ular dan namanya pun Coa-kut-kiam
(Pedang Tulang Ular) terbuat dari pada
tulang ular beracun yang telah dikeraskan dan diperkuat dalam rendaman
tetumbuhan beracun sehingga keras
seperti baja. Sedangkan cambuknya itu pun bukan cambuk biasa karena cambuk
itu terbuat dari ekor ikan hiu yang
istimewa dan yang hanya terdapat di pantai Pulau Neraka. Seperti juga
pedangnya, cambuknya itu pun mengandung
bisa yang tidak dapat diobati, kecuali oleh dia sendiri yang selalu
membawa obat penolaknya! Sin Liong
sudah mengenal kakek itu ketika muncul tadi, dan dia memang tadinya tidak
mau memperlihatkan bahwa dia telah
mengenalnya. Tentu saja dia mengenal kakek ini yang dahulu pernah pula
membujuknya untuk ikut dan menjadi
muridnya, ketika para tokoh kang-ouw datang memperebutkan dia dilereng
Pegunungan Jeng-hoa-san. Kini, melihat
betapa Soan Cu sudah bertanding mati-matian melawan kakek itu, dia
menjadi khawatir sekali dan cepat dia
berkata, "Locianpwe, seorang tokoh besar yang berjuluk Tee-tok dan
disegani di seluruh dunia Kang-ouw,
benar-benar mengecewakan dan merendahkan nama besarnya kalau sekarang
melayani bertanding melawan seorang
dara remaja!" Mendengar ucapan itu, Tee-tok menjadi merah mukannya. Dia
menangkis pedang Soan Cu sekuat tenaga
sampai pedang itu hampir terlepas dari tangan Soan Cu, melompat mudur
dan menghadapi Sin Liong. "Hemm,
orang muda! Kau sudah mengenal aku, kalau begitu majulah kau menggantikan
gadis itu!" Sin Liong menjura.
"Bukan maksudku dengan kata-kata itu menantangmu, Locianpwe. Saya hanya
hendak
mengatakan bahwa kami berdua sama
sekali bukan datang untuk bertanding." "Tapi kalian datang dan
mengakibatkan
harimau peliharaan kami mati. Kalau
kalian tidak datang mengacau, mana biasa harimau kami mati?" "Dia
mampus
karena kalah dalam pertandingan yang
adil!" Soan Cu membentak, akan tetapi menjadi tenang kembali karena Sin
Liong mendekatinya dan minta gadis itu
menyimpan pedang dan cambuknya kembali. "Siangkoan Locianpwe, memang
kami akui bahwa harimau peliharaan
Locianpwe mati karena biruang kami, akan tetapi Locianpwe telah membalas
kematian itu dengan membunuh biruang
kami. Bukankah itu sudah lunas artinya?" "Tidak!" Tee-tok yang
masih marah
itu membentak. "Biarpun biruangnya
sudah mati, akan tetapi pemiliknya belum dihukum!" Soabn Cu tak dapat lagi
menahan kemarahannya. "Dihukum
apa? Kau hendak membunuh kami?" "Tak perlu dibunuh! Pelanggaran ke
dalam daerah
ini sudah merupakan kesalahan, dan
matinya harimau tidak cukup ditebus dengan kematian biruang. Pemiliknya
harus dihukum rangket seratus kali ,
baru adil!" "Keparat!" "Soan Cu!" Sin Liong berkata
dan memegang lengan
dara itu sehingga Soan Cu menelan
kembali katakatanya. "Soan Cu, aku mita kepadamu agar kau sekarang juga
meninggalkan tempat ini. Biarkan aku
yang berurusan dengan Siangkoan Locianpwe. Kau turunlah dan kau tunggu aku
di dusun itu. Mengerti?" Soan Cu
mengerutkan alisnya dan matanya memandang ragu, akan tetapi melihat sinar mata
Sin Liong yang tegas dan halus itu, dia
tidak dapat menolak dan dia mengangguk. "Berangkatlah, dan tunggu aku
di sana." Sin Liong berkata lagi
sambil tersenyum. Soan Cu membanting kakinya, lalu melotot ke arah Siangkoan
Houw, kemudian meloncat pergi,
meninggalkan isak tertahan. Semua orang memandang dengan kagum akan keberanian
dara itu yang sekali meloncat lenyap
dari situ, akan tetapi terutama sekali kagum kepada Sin Liong yang
bersikap demikian tenang dan halus,
namun ia memiliki wibawa demikian besarnya sehingga gadis liar seperti itu
menjadi demikian jinak dan taat.
Setelah Soan Cu pergi jauh dan tidak tampak lagi bayangannya, Sin Liong lalu
mengeluarkan kedua lengannya dan sambil
tersenyum tenang dia berkata, "Nah, Locianpwe. Tidak ada yang perlu
diributkan lagi. Aku sudah mengaku
bersalah telah memasuki tempat ini dan menimbulkan keributan. Biarlah aku
menerima hukuman rangkes seratus kali
agar hatimu puas." Sikap yang tenang dan halus ini diterima keliru oleh
Siangkoan Houw. Matanya terbelalak
lebar dan dia menganggap pemuda itu menantangnya, menantang ancaman
hukumannya. "Belenggu kedua
lengannya!" bentaknya kepada para muridnya. Empat orang muridnya menyerbu
dan Sin
Liong hanya tersenyum saja ketika
bajunya dibuka, kedua pergelangan lengannya diikat dengan tali yang diikatkan
pula pada cabang pohon sehingga
tubuhnya setengah tergantung. "Ayah.....!" Tiba-tiba dara cantik
jelita yang
sejak tadi hanya menonton dan selalu
memandang ke arah Sin Liong penuh kagum, berkata kepada Tee-tok, "Apakah
tidak berlebihan perbuatan kita ini?
Harap Ayah berpikir lagi dengan matang sebelum melakukan suatu kesalahan."
"Dipikir apalagi? Kita telah
dihina orang, kalau tidak memperlihatkan kekuatan, bukankah akan menjadi bahan
tetawaan orang sedunia?" Mendengar
kata-kata orang tua itu, Siangkoan Hui, gadis itu, menunduk dan melirik ke
arah Sin Liong yang telah siap menerima
hukuman. "Terima kasih atas kebaikan hatimu, Nona. Akan tetapi biarlah,
aku sudah siap menghadapi hukuman.
Dengan begini, habislah segala urusan dan Ayahmu takkan marah lagi."
"Diam
kau!" Tee-tok membentak, kemudian
menuding kepada seorang muridnya yang bertubuh tinggi besar. "Ambil cambuk
dan rangket dia seratus kali!"
Murid itu berlari pergi dan tak lama kemudian sudah datang kembali membawa
sebatang cambuk hitam yang besar dan
panjang. Setelah menerima isyarat gurunya, murid tinggi besar ini mengayun
cambuknya. Terdengar suara
meledak-ledak dan cambuk itu menyambar ke bawah, melecut tubuh atas yang
telanjang
itu. "Tar.....! Tar....!
Tar........!" Semua orang terbelalak memandang , penuh keheranan. Cambuk
itu menyambar
bertubi-tubi, melecuti tubuh itu,
mukanya, lehernya, lengannya, dada, dan punggungnya, namun sama sekali tidak
membekas pada kulit halus putih itu!
Hanya dahi pemuda itu yang berkeringat, akan tetapi dahi Si Pemengang
Cambuk lebih banyak lagi peluhnya!
Sampai seratus kali cambuk itu menyambar tubuh Sin Liong dan ujungnya sudah
pecah-pecah, namun jangankan sampai ada
darah yang menetes dari kulit tubuh Sin Liong, bahkan tampak merah saja
tidak ada seolah-olah cambuk itu bukan
melecut kulit membungkus daging, melainkan melecut baja saja! Setelah
menghitung sampai seratus kali, Si
Algojo itu jatuh terduduk, napasnya terengah-engah dan dia menggosok-gosok
telapak tangan kanannya yang terasa
panas dan lecet-lecet. Mukanya pucat dan matanya terbelalak penuh keheranan
dan kengerian. Semua anak buah atau
murid Tee-tok terbelalak dan pucat. Akan tetapi muka Tee-tok sendiri
menjadi merah sekali. Tahulah bahwa
pemuda itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tadi
telah menggunakan sinkangnya sehingga
tubuhnya kebal dan tentu saja lecutan cambuk itu tidak membekas! Hal ini
menambah kemarahan hatinya. Dia merasa
dihina dan ditantang. Dengan kemarahan meluap dia menyambar senjata
aneh, yaitu tanduk rusa yang kering itu.
Tanduk rusa itu bukanlah sebuah senjata sembarangan saja. Tee-tok
merupakan seorang ahli racun dan dia
telah menemukan tanduk rusa ini yang mempunyai daya ampuh terhadap
kekebalan. Tanduk ini mengandung racun
yang tak dapat ditahan oleh kekebalan yang bagaimana kuat pun dan kini
dalam kemarahannya, dia hendak mengajar
pemuda ini dengan tanduk rusa ini! Pada saat itulah Swat Hong datang
dan mengintai dengan mata terbelalak
keheranan. Seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah tegang dan dia sudah
hampir meloncat keluar untuk menolong
suhengnya ketika dia melihat seorang gadis datang berlari dan berlutut di
depan kakek yang memegang senjata
tanduk rusa itu. Melihat ini, Swat Hong menahan diri dan terus mengintai.
"Ayah, jangan..... jangan pukul
dia dengan ini.....!" "Hui-ji (Anak Hui), mundurlah kau! Dia telah
menghina
kita, memperlihatkan dan memamerkan
kekebalannya! Hemm, hendak kulihat sampai dimana kekebalannya kalau dia
merasai pukulanku dengan ini!" Dia
mengamangkan senjata aneh itu. "Jangan, Ayah! Jangan.... aku akan
melindunginya kalau Ayah memaksa! Ayah
bersalah, dia.... dia orang gagah yang budiman, luar biasa..... mengapa
Ayah tak bisa melihat orang.....?"
Siangkoan Houw menundukan mukanya dan melihat wajah puterinya yang pucat,
mata yang sayu dan tampak dua titik air
mata di pipi puterinya. Dia terkejut dan terheran-heran, kemudian marah
sekali. Puterinya telah jatuh cinta
kepada pemuda itu! "Hemm..." Suaranya penuh geram. "Lupakah kau
kepada
putera Lusan Lojin.....?"
"Ayahhhh....!" Siangkoan Hui berseru dan terisak sambil memeluk kedua
kaki ayahnya,
menangis. Betapapun bengisnya, Tee-tok
yang hanya mempunyai seorang anak itu, tentu saja merasa tidak tega
kepada anaknya. Hantinya mencair ketika
dia melihat puterinya menangis sambil memeluk kedua kakinya. Dia
menghela napas panjang dan pandang
matanya yang ditujukan kepada Sin Liong kini kehilangan kekejaman dan
kemarahannya, hanya terheran dan
ragu-ragu. Puterinya mencintai pemuda ini? Hemm...., seorang pemuda yang amat
tampan , dan harus diakuinya bahwa
biarpun pemuda itu kelihatan halus seperti seorang lemah, namun pemuda itu
gagah perkasa, penuh ketenangan dan
keberanian. Dan kekebalannya itupun membuktikan bahwa pemuda ini bukan
orang sembarangan. Dia belum melihat
putera Lu-san Lojin, entah bagaimana setelah dewasa sekarang. Apakah
sebaik pemuda ini? "Hai, orang
muda. Siapakah namamu?" Sin Liong memandang kepada kakek itu dan menjawab
halus,
"Nama saya Kwa Sin Liong,
Locianpwe." "Bagaimana engkau bisa mengenal aku?" "Siapa
yang tidak mengenal
Locianpwe yang terkenal di dunia
Kang-ouw? Locianpwe adalah Tee-tok Siangkoan Houw yang amat tinggi ilmu
kepandaiannya, dan saya pernah bertemu
dengan Locianpwe....." Tiba-tiba Sin Liong berhenti bicara karena baru
dia teringat bahwa sebenarnya tidak ada
perlunya menyebut-nyebut hal itu. "Bertemu? Di mana?" Karena sudah
terlanjur bicara, Sin Liong merasa
tidak enak untuk membohong lagi, maka dia berkata, "Di lereng
Jeng-hoa-san,
bahkan Locianpwe pernah membujuk saya
menjadi murid......" "Astaga....! Engkaukah ini? Engkaukah anak
ajaib?
Engkau Sin-tong....?" Tee-tok
berseru dan cepat melangkah maju. "Benar, engkaulah Sin-tong! Aihh.....
maafkan
kami. Di antara kita telah timbul salah
pengertian besar!" Dia cepat meloncat dan merenggut lepas tali yang
mengikat kedua lengan Sin Liong, bahkan
cepat meneriaki muridnya untuk menyerahkan kembali baju Sin Liong. Sin
Liong tersenyum. "Tidak mengapa,
Locianpwe. Memang saya mengaku salah, telah menimbulkan keributan dan
mengakibatkan kematian harimaumu."
"Aihh... hei, matamu tajam sekali, Hui-ji! Engkau benar! Dia anak baik,
bukan hanya baik saja. Aduh, betapa
dahulu aku mati-matian memperebutkan anak ini! Hui-ji, dia Sin-tong! Betapa
girangku dia tiba-tiba muncul di sini!"
Dengan giran Tee-tok menggandeng lengan Sin Liong dan menariknya. "Hayo
masuk ke rumah kami, kita bicara!"
"Tapi, Locianpwe. Saya ingin melanjutkan." "Nanti dulu, kita
bicara! Sejak
engkau dibawa oleh.... eh, di mana dia
sekarng.....?" Kakek itu menengok kekanan kiri, seolah-olah merasa ngeri
karena dia teringat akan Pangeran Han
Ti Ong yang sakti. Siapa tahu, pangeran yang luar biasa itu tahu-tahu
muncul pula di situ. "Locianpwe
maksudkan Suhu? Saya hanya datang berdua dengan adik Soan Cu." "Mari
kita
bicara. Ah, pertemuan ini sungguh
menggirangkan hati!" Melihat sikap kakek itu begitu gembira, Sin Liong
tidak
tega untuk menolak terus. Urusan telah
selesai dengan baik, dan Soan Cu tentu sedang menanti di dusun di kaki
bukit. Terlambat sedikit pun tidak
mengapa daripada memaksa menolak dan menimbulkan kemarahan kakek yang
berangasan ini. Siangkoan Hui memandang
kepada Sin Liong dengan sepasang mata bersinar-sinar, penuh kekaguman
dan ketika ayahnya menggandeng pemuda
itu dengan tangan kanan, kemudian menggandengnya dengan tangan kiri, dia
tersenyum dan meronta melepaskan diri
karena malu, kemudian berlari-lari kecil meninggalkan mereka. "Ha-ha-ha!
Hui-ji... ha-ha-ha-ha! Eng kau benar.
Dia ini seorang pemuda pilihan, seorang pemuda hebat!" Dengan penuh
kegembiraan Tee-tok menjamu Sin Liong.
"Siapakah Nona yang lihai dan berani itu?" "Dia adalah Ouw Soan
Cu,
seorang sahabat baik saya, Locianpwe. Dia
sedang mencari ayahnya dan saya membantunya." "Mana dia? Karena dia
sahabatmu, dia pun sahabat kami. Biar
aku menyuruh orang mengundangnya." "Tidak usah, Locianpwe. Wataknya
aneh
dan keras, jangan-jangan malah
menimbulkan salah paham." "Ha-ha-ha, aku suka kepadanya! Sejak
pertemuan pertama
aku kagum kepada anak itu! Keras, aneh
dan berani! Hebat dia! Aihh, Sin-tong...." "Locianpwe, nama saya Kwa
Sin
Liong." "Tidak apa, aku tetap
menyebutmu Sin-tong. Engkau memang anak ajaib, luar biasa sekali. Apakah engkau
telah menjadi murid pangeran Han Ti
Ong?' Sin Liong mengangguk dan merasa agak gugup. "Benar, akan tetapi saya
dilarang untuk bicara tentang
Suhu...." "Ha-ha-ha, aku tahu. Dia bukan manusia biasa! Aku girang
sekali bertemu
dengan muridnya, apalagi muridnya
adalah engkau, Sin-tong! Ahhh... kegirangan yang bercampur dengan kekecewaan
sebesar gunung!" Tiba-tiba kakek
itu meremas cawan araknya dan cawan arak yang terbuat daripada perak itu
seperti tanah lihat saja, di dalam
kepalanya berubah menjadi perak yang pletat- pletot, lenyap bentuk cawannya.
Sin Liong terkejut dan tidak berani
bertanya. Kakek itu melempar cawan yang sudah tidak karuan itu ke bawah
meja dan berteriak kepada muridnya mita
diberi sebuah cawan baru. Kemudian dia berkata, "Siapa tidak kecewa?
Anaku hanya seorang, perempuan lagi,
dan celakanya, dia sudah ditunangkan sejak kecil!" Kakek ini memang selalu
bicara keras, kasar dan jujur, tak
pernah mau menyembunyikan sesuatu! Sin Liong menjadi makin terheran.
"Telah
ditunangkan sejak kecil adalah baik
sekali, mengapa celaka, Locianpwe?' "Kalau ditunangkan dengan engkau tentu
saja baik sekali! Akan tetapi bukan
denganmu , dengan orang lain yang tak kunjung datang! Dan karena telah
ditunangkan itu, mana mungkin aku dapat
mengambil engkau sebagai mantuku? Padahal aku tahu, Hui-ji suka padamu,
dia jatuh cinta padamu. Ha-ha, anak
pintar itu, matanya tajam sekali." Tentu saja Sin Liong menjadi terkejut
dan malu, menunduk dan tak berani
bicara lagi. "Engkau tentu belum bertunangan, bukan?" Sin Liong hanya
menggeleng kepalanya. "Kalau
begitu, mudah saja ! Engkau menjadi mantuku, menikah saja dengan
Hui-ji...."
"Locianpwe, ingatlah bahwa Siocia
telah bertunangan, adapun aku.... aku sama sekali tidak mempunyai pikiran
untuk menikah," Kakek itu menarik
napas panjang. "Engkau betul, memang tidak patut kalau diputuskan begitu
saja, dari satu pihak. Aihhh, Lu-san
Lojin, engkau tua bangka benar-benar sekali ini membuat hatiku kesal! Aku
telah pergi ke sana baru-baru ini dan
dia bersama puteranya itu, juga bersama seorang puterinya, menurut
penuturan penduduk di sekitar Lu-san,
telah pergi entah ke mana! Aihh, betapa kesal hatiku...." "Harap
Locianpwe menenangkan pikiran. Mungkin
mereka sedang mencari Locianpwe. Kalau sudah jodoh, tentu akan
dipertemukan kelak." Kembali kakek
itu mengangguk-angguk. Memang, setelah mendengar bahwa pemuda yang tadinya
akan dibunuhnya itu ternyata adalah
Sin-tong yang dahulu dibawa oleh Pangeran Han Ti Ong tokoh Pulau Es, dia
tertarik dan terkejut sekali. Bukan
hanya untuk mencoba menarik pemuda itu menjadi mantunya, akan tetapi juga
untuk keperluan lain yang amat penting.
Dia masih ragu-ragu untuk membicarakan urusan ini, maka dia menanti
kesempatan baik dan hendak menjajaki
lebih dulu, di fihak manakah pemuda ini berdiri. Sementara itu, Siangkoan
Hui merasa malu sekali. Dia sudah
mengenal baik watak ayahnya yang kasar dan jujur. Tentu kalau dia ikut masuk
ke dalam rumah menemui pemuda itu,
ayahnya akan bicara yang bukanbukan tanpa tedeng aling-aling lagi! Dia
merasa malu dan.... girang bukan main.
Tak dapat ia menipu hatinya sendiri. Dia memang telah jatuh cinta kepada
pemuda itu! Pemuda yang amat luar
biasa, bukan hanya tampan dan gagah, namun memiliki watak yang amat hebat.
Belum pernah dia bertemu dengan pemuda
segagah itu, begitu halus, begitu budiman, begitu tabah dan mengalah,
akan tetapi juga amat lihai sehingga
seratus kali rangketan itu tidak membekas sama sekali di kulit tubuhnya
yang putih halus dan padat membayangkan
tenaga yang luar biasa! Dia sudah jatuh cinta! Dan ayahnya sudah
mengetahui akan hal ini. Tentu ayahnya
akan bicara terang-terangan kepada pemuda itu. Akan tetapi, bagaimana
dengan tunangannya? Teringat akan ini,
tiba-tiba Siangkoan Hui menjadi lemas. Dia duduk bersandar pohon dan
termenung, menanggalkan sabuk sutera
merah yang melibat pinggangnya. Kiranya sabuk itu hanya sabuk tambahan dan
dapat dipergunakan sebagai saputangan,
karena di pinggang itu telah terdapat sabuk lain yang berwarna kuning.
Sambil menggigit-gigit ujung sabuk
sutera merah, Siangkoan Hui termenung, mukanya sebentar pucat sebentar merah
tanda bahwa hatinya kacau tidak karuan
oleh jalan pikirannya. Dara ini sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi
ada bayangan yang mengikutinya,
bayangan seorang gadis lain yang memandangnya dengan sinar mata berapi-api
penuh kemarahan! Gadis ini bukan lain
adalah Han Swat Hong! TadinyaSwat Hong mengintai dan hampir saja dia
melompat keluar untuk menolong
suhengnya. Akan tetapi kemunculan Siangkoan Hui yang melarang ayahnya
menggunakan tanduk rusa memukul Sin
Liong, membuat dia membatalkan niatnya menolong Sin Liong. Apalagi melihat
betapa usaha pertolongan dara cantik
puteri kakek berangasan itu berhasil! Hatinya terasa panas sekali, seperti
dibakar dan serta merta dia merasa
benci kepada Siangkoan Hui! Kebencian yang membuat dia diam-diam mengikuti
dara itu dengan niat untuk membunuhnya!
Swat Hong sendiri tidak mengerti mengapa dia selalu marah dan tidak
senang kalau melihat ada gadis
memperlihatkan sikap baik dan mencinta kepada Sin Liong. Dia sendiri tidak tahu
bahwa hatinya diamuk cemburu! Melihat
Siangkoan Hui yang dibayanginya itu duduk seorang diri di tempat sunyi
itu, menggigit ujung sabuk merah dengan
wajah sebentar pucat sebentar merah, melamun dan kadang-kadang
tersenyum manis, Swat Hong merasa
perutnya seperti dibakar! "Perempuan tak tahu malu!" Bentaknya dan
dia sudah
melompat keluar, mencabut pedangnya dan
menyilangkan pedang itu di tangan kanan dan sarung pedang di tangan
kiri, memasang kuda-kuda dan membentak,
"Bersiaplah untuk mampus di tangan Nonamu!" Siangkoan Hui adalah
seorang gadis yang sejak kecil
digembleng ilmu silat tinggi oleh ayahnya, maka begitu melihat bayangan
berkelebat tadi, dia sudah meloncat
bangun. Kini, melihat bahwa yang muncul dan datang-datang memakinya itu
adalah seorang gadis cantik yang tidak
dikenalnya, dia melongo. "Eh-eh, apakah kau ini orang gila?" Tentu
saja
pertanyaan ini membuat Swat Hong
menjadi makin marah. Kedua pipinya merah seperti udang direbus dan sepasang
matanya yang jeli itu mengeluarkan
sinar berapi-api. Sukar dikatakan siapa di antara kedua orang dara itu yang
lebih menarik. Keduanya sama muda, sama
cantik jelita dan pada saat itu sama marahnya! "Kau.... kau....
perempuan rendah! Perempuan macam
engkau berani jatuh cinta kepada Suhengku!" Swat Hong memaki. Siangkoan
Hui
terkejut sekali, akan tetapi perutnya
juga sudah panas dibakar kemarahan mendengar dirinya dimaki-maki orang.
"Apa? Kau ini mengaku Sumoinya?
Sungguh tidak patut! Seekor naga mana mempunyai sumoi seekor cacing?"
Dapat
dibayangkan betapa marahnya hati yang
keras seorang dara seperti Swat Hong mendengar ini. Ingin dia mencaci
maki habis-habisan, ingin dia
menjerit-jerit, akan tetapi karena dia tak pandai cekcok dengan suara, dia
hanya
mengeluarkan suara melengking nyaring
dan pedangnya sudah menerjang ke arah dada Siangkoan Hui! "Singgg...
Wuuuuttt......!" Siangkoan Hui
juga mengeluarkan pekik kemarahan, tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas dan dari
atas sabuk sutera merahnya yang
ternyata adalah senjatanya yang ampuh itu menyambar ke bawah dengan serangan
balasannya yang tidak kalah berbahaya.
"Plakkkk!!" Sarung pedang di tangan kiri Swat Hong berhasil menangkis
serangan itu dan dia terkejut juga
menyaksikan kelincahan lawan. Tahulah Swat Hong bahwa lawannya tak boleh
dipandang ringan dan memiliki ginkang
yang amat hebat, maka dia memutar pedangnya dengan kecepatan kilat.
Repotlah Siangkoan Hui menghadapi
permainan pedang lawannya yang amat luar biasa itu. Sebetulnya tingkat
kepandaian Siangkoan Hui sudah tinggi,
dan pada jaman itu, sukarlah dicari tandingannya. Sebagai puteri
tunggal, Tee-tok telah menurunkan semua
ilmu simpanannya dan selain memiliki senjata istimewa berupa sabuk
sutera, juga dara ini adalah seorang
ahli racun seperti ayahnya. Ayahnya adalah seorang tokoh yang berjuluk
Racun Bumi, tentu saja dia mempelajari
pula penggunaan racun-racun yang ampuh. Setelah mendapat kenyataan
betapa permainan pedang lawannya
benar-benar amat lihai dan berbahaya, tiba-tiba Siangkoan Hui membentak dan
dari tangan kirinya menyambar
sinar-sinar merah. Sawat Hong mengeluarkan suara mendengus dari hidung dan
mengejek, sinar pedangnya berkelebatan
dan bergulunggulung sehingga jarum-jarum merah yang dilepas Siangkoan
Hui secara lihai itu semua dapat
dipukul runtuh. "Haiiittt....!!" Swat Hong meluncur ke depan,
didahului sinar
pedangnya, pedang itu menusuk lalu
disambung membabat ke kanan kiri, sedangkan sarung pedangnya masih bergerak
menghantam dari atas. Seolah-olah semua
jalan keluar tertutup dan tidak memungkinkan lawan untuk mengelak lagi!
"Hiaaaaahhhh!!" Siangkoan Hui
memekik nyaring, sabuknya berubah menjadi sebatang benda keras yang
diputar-putar, melindungi tubuhnya.
Pada saat pedang tertangkis, tiba-tiba dari ujung sabuk merah itu menyambar
dua batang paku merah yang meluncur
tanpa tersangka-sangka dan dengan cepat sekali ke arah tenggorokan Swat
Hong! "Aihhh....!!" Swat Hong
menjerit dan tidak ada jalan lain baginya kecuali membuka mulutnya yang kecil
dan
"menangkap" dua batang paku
merah itu dengan gigitan giginya yang kecil-kecil dan putih berderet rapi itu!
Siangkoan Hui terkejut dan kagum bukan
main , dan pada saat itu, Swat Hong telah meniupkan dua batang paku ke
arah tubuh lawan. Tentu saja Siangkoan
Hui dapat mengelakan senjata rahasianya sendiri ini dengan mudah. Akan
tetapi kini Swat Hong sudah marah
sekali dan pedangnya bergerak untuk membunuh! Jurus-jurus terhebat dari Pulau
Es dimainkannya dan tentu saja
Siangkoan Hui terdesak hebat dan ujung sabuknya sudah robek dicium ujung
pedangnya! "Sumoi,
jangan....!!!" Tiba-tiba terdengar seruan dan Sin Liong melompat memasuki
lapangan
pertandingan, menolak lengan sumoinya
dengan tangan kiri. "Sumoi....! Syukur kita dapat saling bertemu di
sini....!" Sin Liong berseru
girang bukan main. Akan tetapi, perut Swat Hong terasa panas saking
mendongkolnya.tadi dia sudah berhasil
mendesak lawan dan belasan jurus lagi saja dia tentu akan menang. Siapa
Tahu, suhengnya muncul dan lawannya itu
dapat meloncat keluar dan kini berdiri di belakang kakek yang menjadi
ayahnya! "Aku harus
membunuhnya!" bentaknya dan dia hendak melompat ke arah Siangkoan Hui.
"Sumoi, jangan
serang orang!" "Kalau begitu,
serang kau saja!" Dan gadis itu lalu menyerang Sin Liong kalang kabut
dengan
pedangnya! "Eh-eh....! Ohhh....!
Sumoi...., mengapa kau marah-marah?" Sin Liong terpaksa berlompatan ke
sana-sini mengelak karena sambaran
pedang di tangan sumoinya itu bukan main-main! "Kenapa kau membelanya?
Kenapa?" Swat Hong berkata
berlahan dan menyerang terus tanpa mempedulikan seruan suhengnya. Pada saat itu
tampak dua sosok bayangan berkelebat
dan tahu-tahu di situ telah berdiri Kwee Lun dan Soan Cu. Bagaimana dua
orang muda ini dapat datang bersama?
Telah kita ketahui bahwa Soan Cu disuruh pergi oleh Sin Liong, dan karena
gadis ini amat taat kepada Sin Liong,
dengan hati berat dia meninggalkan puncak itu hendak turun ke dusun
kembali. Dan telah diceritakan pula di
bagian depan betapa Kwee Lun melakukan penyelidikan bersama Swat Hong
dan mereka berpencar. Kwee Lun
mengambil jalan dari kiri. Kebetulan sekali ketika pemuda ini sedang
berindap-indap melakukan penyelidikan,
dia melihat seorang gadis cantik berjalan seorang diri keluar dari
pagar. Tentu saja dia mengira bahwa
gadis itu adalah seorang musuh. Timbul dalam pikirannya untuk menangkap
gadis ini dan memaksanya mengaku apa
yang telah terjadi di sebelah dalam . Hal ini akan lebih memudahkan
penyelidikannya, daripada menyelidiki
dari luar tak berketentuan. Dengan pikiran ini, Kwe Lun tiba-tiba
meloncat keluar dari tempat sembunyinya
dan langsung dia menubruk dan memeluk Soan Cu! Dapat dibayangkan betapa
marahnya dara ini. Ketika tiba-tiba ada
seorang laki-laki keluar dari semaksemak dan dengan gerakan secepat
kilat menyergap dan memeluknya, tentu
saja dia mengira bahwa ini tentulah anak buah Tee-tok yang hendak
menangkapnya atau hendak berkurang
ajar. "Setan keparat jahanam terkutuk !!" bentaknya dan dia
mengerahkan
tenaganya, meronta dan menggerakan kaki
tangannya, menyepak dan menampar. "Plak-plak-plak.....! Wah-wah.....
galak benar!" Kwee Lun kewalahan dan
terpaksa melepaskan rangkulannya karena tulang kering kakinya kena
ditendang, pipinya dicakar dan dagunya
ditampar! Kini mereka berhadapan dan saling pandang. Keduanya kelihatan
tertegun karena sama-sama tidak
menyangka. Kwee Lun sama sekali tidak menyangka bahwa yang ditangkapnya tadi,
dipeluknya karena disangkanya seorang
pelayan wanita, kiranya adalah seorang dara remaja yang cantik jelita!
Sedangkan Soan Cu yang terkejut melihat
seorang pemuda yang begitu tampan gagah perkasa. Sejenak keduanya
saling pandang, kemudian timbul
kegalakan Soan Cu yang menjadi marah. Dia memang sudah mendongkol disuruh pergi
oleh Sin Liong , hatinya gelisah
memikirkan Sin Liong biarpun dia yakin pemuda itu akan mampu menjaga dirinya.
Kini ada orang yang betapa gagahnyapun
telah berlaku kurang ajar. "Setan alas! Siapa kau? Tentu kaki tangan
Tee-tok, ya? Hendak menangkap aku?
Keparat jahanam! Engkau sudah bosan hidup!" "Tar-tar-tar....!!"
Cambuk
buntut ikan hiu itu sudah meledak-ledak
di atas kepala Kwee Lun. Soan Cu mengira bahwa sekali serang saja
kepala pemuda gagah itu tentu akan
pecah. Seberapa hebat sih kepandaian anak buah Tee-tok? Akan tetapi betapa
herannya ketika dia melihat pemuda
tinggi besar itu dapat mengelak dengan amat cepatnya, bahkan telapak tangan
pemuda itu berhasil menepuk lengannya
yang memegang cambuk. "Plakkk!" Pemuda itu terheran. Tamparannya
tidak
membuat cambuk itu terlepas!
"Aihhh..... nanti dulu, jangan menyerang begitu. Aku bukan anak buah
Tee-tok atau
racun manapun juga!" Namun Soan Cu
sudah merasa penasaran sekali. Kembali dia menyerang dan kini cambuknya
berubah menjadi segulung sinar hitam
yang menyambar-nyambar dibarengi suara meledak-ledak. Akan tetapi, Kwee
Lun tetap dapat mengelak dan meloncat
ke sana-sini, bahkan kadang-kadang dia berani menangkis cambuk itu dengan
telapak tangannya! Hal ini tentu saja
mengagumkan hati Soan Cu. Dan tidak tahu bahwa pemuda itu menggunakan
ilmu Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti)
yang mengandung sinkang tingkat tinggi yang membuat telapak tangannya
menjadi lemas seperti kapas dan
karenanya tidak terluka oleh benda keras! "Nona cantik tapi galak seperti
kucing lapar!" Kwee Lun balas
memaki ketika melihat nona itu menyerang terus sambil memaki-maki.
"Berhentilah
dulu dan kita bicara!" "Iblis
raksasa, kau yang kelaparan!" Soan Cu membentak makin marah dan kini dia
sudah
mencabut pedangnya, pedang
Coa-kut-kiam! Dengan kedua senjatanya ini, dia menyerang kalang kabut!
"Wah, runyam!
Perempuan galak dan ganas!" Kwee
Lun terancam bahaya maut dan dia pun terpaksa lalu mencabut pedangnya dengan
tangan kanan sedangkan tangan kirinya
memegang kipas gagang perak. "Tringgggg.... Cringggg-trangggg......!"
Bunga api berpijar dari keduanya
terdorong kebelakang oleh pertemuan senjata yang hebat itu tadi. Kipas bertemu
dengam cambuk dan pedang bertemu dengan
pedang. Masing-masing menjadi terkejut dan terheran. Tenaga sinkang
mereka seimbang! "Bagus! Mari kita
bertanding sampai selaksa jurus!" Soan Cu sudah menerjang lagi.
"Trangggg....!
Trangggg....!!" Kembali Kwee Lun menangkis sekuatnya dan mereka terdorong
mudur. "Sombongnya!
Manusia mana kuat bertanding sampai
selaksa jurus? Makan waktu berapa bulan? Tunggu dulu, mengapa kau
marah-marah kepadaku seperti orang
kebakaran jenggot?" "Ngaco! Jenggotmu yang kebakaran!" "Eh,
ohhh! Kau bikin
aku bingung! Benar, kau tidak
berjenggot. Eh, kenapa kau marah-marah begini? Dan kau lihai bukan main!
Senjatamu mengerikan!"
Cerewet!" Soan Cu sudah hendak menerjang lagi, sekarang terdorong oleh
rasa penasaran
bahwa dia tidak mampu mengalahkan
pemuda ini. "Nanti dulu! Kita bicara dulu, baru kita bertanding
selaksa....
eh, seratus jurus saja! Aku salah
menduga, kukira kau tadi seorang pelayan di sini!" "Menghina kamu ya?
Orang
macam aku ini pelayan? Kalau kau baru
pantaslah menjadi jongos! Atau jagal babi!" "Maafkanlah. Aku tadi
melihat
dari jauh. Aku sedang menyelidiki.....
wah, celaka! Kau tentu puteri Teetok!" Kwee Lun terkejut dan menyesali
kebodohannya. Mengapa dia tidak menduganya
lebih dulu? Siapa lagi kalau bukan puteri Tee-tok yang begini lihai?
"Aku bukan anak racun bumi, bukan
anak racun bau! Aku malah musuhnya!" "Wah, benarkah? Kalau begitu
kita cocok!
Aku pun sedang melakukan penyelidikan.
Aku mendengar ada biruang diadu dengan harimau, pemilik biruang itu
adalah sahabatku, eh, maksudku,
sahabatnya sahabatku!" Soan Cu menjadi bingung. "bicaramu seperti
orang
sinting!' "Memang betul,
sahabatnya, eh, malah suhengnya sahabatku. Kau siapa?" "Aku baru saja
meninggalkan
pemilik biruang itu yang menjadi
sahabat baikku." Dengan singkat Soan Cu menuturkan betapa Sin Liong
mengalah
dan malah menyuruh dia pergi dan ingin
menerima hukuman! "Wah, kenapa kau sudah begini besar masih begini
tolol?" "Siapa? Siapa
tolol?" Soan Cu melangkah maju dan sepasang senjatanya sudah menggetar
ditangannya.
"Siapa lagi kalau bukan engkau?
Mengapa kau meninggalkan sahabatmu itu menghadapi hukuman? Kau tidak tahu siapa
itu Tee-tok Siangkoan Houw? Dari
julukannya saja sudah mudah diketahui. Dia Racun Bumi, kejemnya bukan main.
Sahabatmu itu, suheng sahabatku,
pemilik biruang, tentu akan dibunuhnya!" "Apa....?" Wajah Soan
Cu menjadi
pucat sekali. "Celaka....!"
"Hayo cepat kita kesana, barangkali belum terlambat!" Demikianlah,
kedua orang itu
seperti berlomba lari saja, bersicepat
lari kembali ke puncak. Dan mereka tiba di tempat yang tepat di mana
mereka melihat Swat Hong sedang
menyerang kalang kabut kepada Sin Liong yang mengelak ke sana-sini. Ketika Kwee
Lun melihat sahabatnya itu menerjang
seorang pemuda dengan mati-matian dan mendapat kenyataan betapa pemuda itu
lihai bukan main, biarpun bertangan
kosong namun pedang di tangan Swat Hong sama sekali tidak pernah
menyentuhnya, dia sudah menggerakan
pedang dan kipasnya, meloncat maju sambil membentak, "Berani kau menghina
Hong-moi?"
"Trangg-cringgg....!!" Kwee Lun terdorong ke belakang dan matanya
terbelalak melihat bahwa yang
menangkisnya adalah sepasang senjata di
tangan..... Soan Cu yang mendelik dan memaki, "Kerbau tolol! Berani kau
mencampuri urusan Liong-koko?"
Setelah berkata demikian, Soan Cu menyerang kalang kabut dan kembali mereka
saling serang dengan serunya! Melihat
ini, otomatis Swat Hong menghentikan serangannya dan Sin Liong juga sudah
meloncat ke belakang lalu berkata,
"Jangan bertempur! Soan Cu, mundurlah....!" "Liong-ko, biarkan
aku bertemput
dengan gajah ini sampai selaksa.......
eh, seratus jurus!" "Kwee-koko, mundur! Orang sendiri......!"
"Hehhhh....? Orang sendiri....?
Dia ini...." Kwee Lun terkejut dan terheran-heran, sebentar memandang
kepada
Sin Liong, lalu kepada Soan Cu.
"Kwee-koko, inilah suhengku yang kucari-cari." Swat Hong
memperkenalkan .
"Eh.... akan tetapi, mengapa kau
menyerangnya.....??" Sin Liong cepat berkata, "Saudara yang gagah,
Sumoiku ini
memang kalau lama tidak bertemu lalu
ingin mengajakku berlatih." Mendengar ini, merah wajah Swat Hong. Setelah
ketahuan oleh semua orang betapa dia
marah-marah dan menyerang suhengnya sendiri, baru dia teringat dan menjadi
malu. Sementara itu, dapat dibayangkan
betapa kaget dan sedihnya hati Siangkoan Hui ketika itu. Kiranya dara
cantik yang amat lihai ini adalah Sumoi
dari Kwa Sin Liong dan melihat sikapnya, dia dapat menduga bahwa dara
yang galak ini cemburu kepadanya. Maka
dia sudah melangkah maju dan menjura sambil berkata, "Ah, harap maafkan.
Kiranya Cici adalah sumoi dari
Kwa-taihiap...." "Hemmmm.... sudahlan!" Swat Hong berkata malu,
kemudian
memperkenalkan kepada suhengnya,
"Suheng, dia ini adalah Saudara Kwee Lun, murid dari Lam Hai
Sengjin."
"Ha-ha-ha! Kiranya murid majikan
Pulau Kura-kura? Selamat datang! Dan Nona adalah Sumoi dari Kwataihiap?
Aihhh..... sungguh hari ini kami
kedatangan banyak tokoh besar!" Kemudian berkata kepada Soan Cu yang masih
cembertu. "Baik sekali Nona sudah
datang kembali. Mari.... mari orang-orang muda yang gagah perkasa, marilah
kita duduk dan bicara di dalam."
Tee-tok Siangkoan Houw lalu mempersilahkan mereka semua memasuki gedungnya dan
dia menjamu mereka dengan hidangan mewah,
dibantu oleh puterinya, Siangkoan Hui yang merasa kagum sekali kepada
Swat Hong, akan tetapi juga merasa iri
hati dan berduka. Tidaklah demikian dengan perasaan Soan Cu. Memang tak
dapat disangkal lagi bahwa gadis Pulau
Neraka ini amat tertarik kepada Sin Liong yang dianggapnya sebagai
seorang pemuda yang luar biasa dan amat
mengagumkan hatinya. Akan tetapi, selama dalam perjalanan ini Sin Liong
jelas memperlihatkan sikap bahwa pemuda
itu sama sekali tidak tertarik kepadanya, juga bahwa sikap baiknya itu
lebih mendekati sikap baik seorang
kakak terhadap adiknya, pula, melihat bahwa sesungguhnya Swat Hong, sumoi
pemuda itu, juga mencintai suhengnya,
Soan Cu maklum bahwa tidaklah mungkin dia membiarkan cintanya terhadap
Sin Liong berlarut-larut. Pertemuannya
dengan Kwee Lun telah mengubah seluruh perasaan hatrinya. Pemuda raksasa
ini amat hebat, amat menarik dan jelas
lebih cocok dengan dia! Kwee Lun merupakan seorang pemuda yang jujur,
terus terang, gagah perkasa dan biarpun
baru sekali bertemu saja, mereka telah saling serang sampai dua kali!
Oleh karena itu, ketika mereka semua
makan bersama mengelilingi meja besar, perhatian Soan Cu lebih banyak
tertuju kepada pemuda perkasa itu.
Setelah mereka makan minum, berkatalah Tee-tok Siangkoan Houw, suaranya
sungguh-sungguh dan katakatanya
ditujukan kepada Sin Liong dan Swat Hong, "Saya tidak tahu dengan jelas
apakah
Ji-wi mempunyai hubungan dengan Pulau
Es, akan tetapi mengingat bahwa Kwa-taihiap adalah murid dari Pangeran
Han Ti Ong dari Pulau Es, maka agaknya
apa yang hendak saya bicarakan ini akan menarik perhatian Ji-wi. Dan
sesungguhnya saya, atas nama para orang
gagah di dunia kang-ouw, saya amat mengharapkan bantuan Sin-tong!"
</P>
<P>
"Ah, mengapa Locianpwe terlalu
sungkan dan merendahkan diri? Harap diceritakan ada urusan apakah yang kiranya
dapat kami bantu, dan harap jangan
membawa-bawa nama Pulau Es." "Justeru karena urusan ini menyangkut
Pulau
Es." "Heiii....? Ada urusan
apakah yang menyangkut Pulau Es?" Swat Hong bertanya penuh semangat.
Mendengar ini
Tee-tok tersenyum dan memandang.
"Sebagai Sumoi dari Sin-tong, tentu Nona juga dari Pulau Es, bukan?
Gerakan
pedang Nona tadi hebat bukan
main...." "Tidak perlu diketahui siapa pun apakah aku dari Pulau Es
atau tidak,"
jawab Swat Hong tegas. "Kalau ada
urusan Pulau Es, kami ingin mendengar." "Locianpwe, harap ceritakan
kepada
kami dan maafkanlah sikap Sumoi yang
selalu tegas dan singkat. Perlu saya berutahukan bahwa memang amatlah
penting artinya bagi kami kalau ada
urusan yang menyangkut Pulau Es." Tee-tok menarik napas panjang.
"Kalau
dibicarakan sungguh membuat orang
menjadi penasaran sekali. Ji-wi (Anda Berdua) tentu telah mendengar nama
besar Bu-tong-pai, bukan? Nah, semua
orang gagah dari dunia kang-ouw bersepakat untuk menentang Bu-tong-pai
mati-matian." "Haiii....?
Mengapakah? Maaf kalau aku mencampuri, akan tetapi sungguh hatiku penasaran
sekali
mendengar Bu-tong-pai dimusuhi orang
kang-ouw. Bukankah anak murid Bu-tong-pai adalah orang-orang gagah yang
dihormati oleh dunia kang-ouw? Mengapa sekarang hendak dimusuhi?"
Kwee Lun berseru lantang, matanya terbelalak
lebar karena penasaran. "Ha-ha-ha,
agaknya gurumu, Si Tua Bangka Lam Hai Sengjin masih belum mendengar berita
karena dia selalu bertapa dipulaunya
sehingga engkau pun belum tahu, orang muda yang gagah, Bu-tong-pai telah
beberapa bulan ini dikuasai oleh
seorang ketua baru!" "Soal pengangkatan ketua baru Bu-tong-pai,
kurasa adalah
urusan dalam Bu-tong-pai sendiri!"
kata pula Kwee Lun. "Memang demikian kalau ketua baru itu orang dalam
Bu-tong-pai pula. akan tetapi, ketua
baru itu mengaku dirinya sebagai Ratu Pulau Es dan telah melakukan
perbuatan sewenang-wenang, melanggar
peraturan kang-ouw, mengalahkan banyak tokoh kang-ouw dan kabarnya bahkan
bersekutu dengan pembrontak!"
"Ihhhh....!" Swat Hong berseru. "Kiranya dia di sana....!"
Sin Liong juga
berseru. Mendengar seruan dua orang
muda sakti dari Pulau Es itu, Tee-tok cepat memandang penuh selidik.
"Ji-wi
mengenal wanita itu?" Sin Liong
mengangguk tenang. "Agaknya begitulah. Dan sekarang juga kami berdua minta
diri, karena kami harus segera
berangkat ke Bu-tong-pai." "Tapi biarlah kami membantumu, dan kalau
perlu kita
memberitahukan teman-teman di dunia
kang-ouw agar...." "Tidak usah, Locianpwe. Ini adalah urusan antara
kami
sendiri. Bukankah begitu Sumoi?"
"Benar! Harus kami berdua saja yang berangkat ke sana. Kwee-koko, terima
kasih
atas bantuanmu mencari Suheng dan setelah
kini aku bertemu Suheng dan kami ada urusan yang amat penting,
terpaksa aku akan meninggalkanmu. Kita
berpisah sampai di sini, Kwee-koko." Kwee Lun mengangguk dan berkata
dengan suara lirih setelah menarik
napas panjang. "Aku mengerti, Hong-moi." "Soan Cu, kuharap
engkau suka
menanti dulu di sini dan harap
Siangkoan Lo-enghiong melimpahkan kebaikan hati dengan menerima Soan Cu di sini
untuk beberapa hari sampai saya selesai
berurusan dengan Bu-tong-pai." "Tentu saja! Dengan senang hati!
Biarlah
Ouw-siocia tinggal di sini dulu,
ditemani oleh anakku." "Tidak, Liong-koko! Aku.... aku.... akan pergi
saja
melanjutkan usahaku mencari Ayah.
Kaupergilah menyelesaikan urusanmu dengan Swat Hong......" kata Soan Cu
sambil menekan perasaannya.
"Urusan kita memang berlainan. Selamat tinggal, aku pergi lebih
dulu!" Setelah
berkata demikian, Soan Cu lalu bangkit
berdiri dan berlari pergi tanpa menoleh lagi. Kwee Lun juga bangkit
berdiri. "Kalau begitu aku pun
pamit. Biarlah aku membantu dia kalau dia mau." Kwee Lun lalu berlari
sambil
berseru, "Nona...., tunggu
dulu....!!" Namun Soan Cu tidak menengok lagi dan berlari cepat sehingga
Kwee Lun
terpaksa harus mengerahkan ginkangnya
untuk mengejar. Sebentar saja kedua orang muda yang berkejaran itu sudah
lenyap dari pandangan mata. Sin Liong
dan Swat Hong juga berpamit dan meninggalkan Tee-tok bersama puterinya
yang mengantar mereka sampai di pintu
depan. Setelah kedua orang itu berjalan pergi dan tidak nampak lagi,
terdengar Siangkoan Hui terisak dan
menutupi matanya dengan ujung lengan bajunya. Siangkoan Houw menghela napas
dan merangkulnya. dara itu makin
berduka, menangis sesenggukan di dada ayahnya. Teetok menepuk-nepuk pundak
puterinya dan berkata, "Hemm,
tidak patut anak Tee-tok begini lemah hatinya! Aku tahu bahwa kau jatuh cinta
kepadanya, Hui-ji. Memang dia seorang
pemuda luar biasa! Akan tetapi, aku melihat sesuatu yang aneh pada diri
Sin-tong itu. Aku akan merasa heran
kalau sampai mendengar dia itu menikah! Dia tidak seperti manusia biasa!
Dia dari Pulau Es, demikian Sumoinya.
Mereka itu berbeda dengan kita. Selain itu, engkau adalah tunangan putera
Lusan Lojin Bu Si Kang. Engkau sejak
kecil telah dijodohkan dengan Bu Swai Liang. Biarlah aku akan mencari lagi
mereka!" Siangkoan Hui tidak
menjawab dan dia menurut saja ketika diajak masuk ke rumah oleh ayahnya yang
amat
menyayanginya. Sebetulnya, sukarlah
dikatakan apakah Siangkoan Hui benar-benar jatuh cinta kepada Sin Liong.
Kiranya lebih tepat dikatakan kalau dia
tertarik dan suka menyaksikan wajah dan sikap pemuda yang halus budi
itu. Untuk dikatakan jatuh cinta,
kiranya masih terlalu pagi! Keadaan di Bu-tong-pai mengalami perubahan hebat
semenjak The Kwat Lin menjadi ketua
partai persilatan besar itu. Bukan hanya perubahan di luar, yang nampak
jelas karena adanya banyak anggauta
perkumpulan golongan hitam dan sepak terjang mereka yang kasar dan
ugal-ugalan, mengandalkan kepandaian
untuk menentang siapa saja, akan tetapi juga terjadi perubahan di sebelah
dalam yang tidak diketahui oleh orang
luar. Terjadi hal yang membuat Swi Nio seringkali menangis seorang diri
di dalam kamarnya! Peristiwa yang
memalukan hati dara itu, yaitu ketika dia melihat betapa kakaknya, Swi Liang,
telah menjadi kekasih dari subo mereka
sendiri! Tadinya tentu saja hal itu terjadi secara sembunyisembunyi,
akan tetapi kini dia melihat sendiri
betapa subonya dan kakaknya itu berjinah secara terangterangan, tidak
bersembunyi lagi dan biarpun pada siang
hari di mana banyak mata para angauta Bu-tongpai menyaksikannya, dengan
seenaknya ketua Bu-tong-pai itu
memasuki kamar Bu Swi Liang atau sebaliknya pemua itu memasuki kamar subonya
kemudian pintu kamar ditutup dari
dalam! Hati Swi Nio membrontak, akan tetapi apa yang dapat dia lakukan
kecuali menangis? Dan memang sungguh
menyedihkan sekali kenyataan bahwa seorang pemuda seperti Bu Swi Liang
kini terjebak oleh nafsu berahi dan
menjadi hamba nafsu berahi, juga menjadi hamba subonya sendiri yang
membuatnya tergila-gila! Hal ini tidak amat mengherankan, mengingat
bahwa Swi Liang adalah seorang pemuda yang
masih hijau. Seorang pemuda remaja yang
tentu saja tidak kuat menahan godaan dan rayuan seorang wanita yang
sudah matang seperti The Kwat Lin pula,
memang rasa kagum seoran muda terhadap lawan kelaminnya yang lebih tua
dengan mudah menyeretnya ke dalam
perangkap cinta nafsu. Di lain pihak, peristiwa itu bukanlah dapat diartikan
bahwa The Kwat Lin adalah seorang
wanita yang gila laki-laki atau gila berahi. Sama sekali tidak. Dia adalah
seorang yang normal, dan hanya
keadaanlah yang membuat dia menjadi seorang penyeleweng besar. Dia adalah
seorang wanita yang belum tua benar,
baru tiga puluh tahun usianya, berwajah cantik dan bertubuh sehat. Setelah
menjadi janda dan hidupnya menyendiri,
wajarlah kalau dia merindukan cinta asmara, merindukan kehangantan rasa
sayang seorang pria. Adapun pria yang
sudah dewasa dan yang dekat dengannya adalah Bu Swi Liang, maka tidak
pula mengherankan apa bila dia
teertarik dan jatuh hati kepada muridnya sendiri ini. Karena pemuda ini masih
hijau dan tentu saja tidak berani mulai
dengan langkah pertama, maka The Kwat Lin yang menggunakan perasaan
kewanitaannya untuk membuka pintu dan
menggerakan kaki dalam langkah pertama. Dialah yang memikat dan merayu
sehingga akhirnya Swi Liang jatuh dan
mabok. Sekali saja hubungan jinah dilakukan, maka membuat orang menjadi
mencandu. Yang pertama kali segera
disusul oleh yang ke dua, ke tiga, kemudia mereka menjadi ketagihan dan
seolah-olah tidak dapat lagi hidup
tanpa kelanjutan hubungan gelap mereka! Tentu saja hal ini dapat terjadi
karena keadaan hidup Kwat Lin.
Andaikata dia masih seorang pendekar wanita seperti belasan tahun yang lalu,
tentu perbuatan ini sampai mati pun tak
kan dia lakukan. Akan tetapi kini keadaanya lain. Dia menjadi seorang
wanita yang berhati keras oleh sakit
hati, kemudian menjadi tak peduli oleh keadaannya sebagai seorang ketua
paksaan dari Bu-tong-pai, seorang yang
bercitacita untuk mencarikan kedudukan setingginya bagi puteranya.
Kedudukannya memberi dia perasaan lebih
dan berkuasa, maka timbul sifat untuk bertindak sewenang-wenang tanpa
mempedulikan orang lain lagi. Akan
tetapi, selain hubungan gelap dengan muridnya yang tersayang ini, Kwat Lin
juga mulai dengan langkah-langkah ke
arah tercapainya cita-citanya. Dia mulai memperkuat Bu-tong-pai dengan
mengadakan hubungan dengan para
pembesar di kota raja melalui anggauta-anggauta barunya, yaitu para pembesar
yang mempunyai cita-cita yang sama,
para pembesar calon pembrontak. Kedudukan Bu-tong-pai makin kuat setelah
terjadi peristiwa hebat pada beberapa
hari yang lalu. Pada beberapa hari yang lalu, pagi-pagi sekali, anak buah
Bu-tong-pai gempar dengan munculnya dua
orang laki-laki di pintu gerbang Bu-tong-pai. Tidak ada seorang pun
anak buah Bu-tong-pai yang berani
sembarangan turun tangan ketika mendengar dan mengenal bahwa dua orang ini
adalah tokoh-tokoh besar dalam dunia
persilatan. Ketika seorang diantara mereka, yang usianya sudah enam puluh
tahun lebih, kumis dan jenggotnya sudah
putih, mengatakan bahwa mereka minta berjumpa dengan ketua Bu-tong-pai
yang baru, para anak murid Bu-tong-pai
cepat memberi kabar kepada The Kwat Lin yang pada saat itu masih
enak-enak pulas dalam pelukan muridnya,
juga kekasihnya, Bu-swi Liang! Terkejutlah dia ketika pintu kamarnya
diketuk dan mendengar suara seorang
murid bahwa di luar pintu gerbang terdapat dua orang tamu, ayah dan anak
she Coa dari dusun Koan-teng di kaki
Pegunungan Bu-tong-san yang minta bertemu dengan ketua! "Suruh mereka
menanti di luar! Aku segera
datang!" kata Kwat Lin dengan marah. Tak lama kemudian, Kwat Lin yang
ditemani oleh
Swi Liang dan Swi Nio, juga ikut pula
Han Bu Ong yang usianya hampir sebelas tahun, keluar dari pintu gerbang
menemui dua orang itu. Senyum mengejek
menghias bibir ketua Bu-tong-pai yang cantik itu. Semenjak dia merampas
kedudukan ketua dengan paksa, sudah
lima kali dia didatangi tokoh-tokoh kang-ouw yang agaknya datang karena
permintaan para tosu Bu-tong-pai yang
mengundurkan diri. Para tokoh ini merasa penasaran dan membela para tokoh
Bu-tong-pai. Dengan mudahnya semua
tokoh yang datang berturut-turut itu dirobohkan oleh Kwat Lin, ada yang
tewas seketika, ada yang terpaksa pergi
membawa luka-luka berat! Dan kini, ayah dan anak yang datang itu
merupakan tokoh-tokoh yang datang ke
enam kalinya. Swi Liang dan Swi Nio yang menggandeng tangan Bu Ong segera
minggir dan membiarkan subu mereka
seorang diri menghadapi dua orang tamu itu. Dengan pakaian yang mewah dan
indah, dandanan seperti puteri
kerajaan, The Kwat Lin tampak sebagai seorang wanita bangsawan agung yang
memiliki wibawa. Dengan sikap angkuh
dia melangkah maju menghadapi dua orang itu sambil tersenyum. Kedua orang
itu berpakaian sederhana, namun dari
sikap mereka yang tenang jelas tampak kegagahan mereka sebagai
pendekar-pendekar penentang kejahatan.
Kakek itu biarpun sudah tua, masih kelihatan sehat dan kuat, jenggot dan
kumisnya yang putih menambah keangkeran
wajahnya.Di pinggangnya tergantung sebatang pedang dan dia memandang
ketua Bu-tong-pai dengan sinar mata
penuh selidik. Orang ke dua masih muda, paling banyak tiga puluh tahun
usianya, bertubuh tegap dan berwajah
tampan gagah. Ada kemiripan pada wajah kakek dan laiki-laki ini dan memang
mereka itu adalah ayah dan anak yang
terkenal sekali namanya sebagai pendekar-pendekar dari dusun Koan-teng
yang menjadi sahabat-sahabat baik dari
para tosu Bu-tong-pai. Kakek Coa Hok memiliki ilmu pedang turunan
keluarga Coa yang amat lihai dan ilmu
pedang ini diturunkan pula kepada puteranya itu yang bernama Coa Khi.
Ketika ayah dan anak ini mendengar akan
malapetaka yang menimpa para pemimpin Bu-tong-pai, yaitu munculnya
orang termuda dari Cap-sha Sinhiap,
seorang wanita yang merampas kedudukan ketua , kemudian mendengar betapa
banyak sahabat - sahabat kang-ouw yang
membela mereka telah roboh di tangan wanita itu, mereka berdua menjadi
marah sekali. Sebagai orang-orang yang
biasa menentang kejahatan mereka tidak mempedulikan berita tentang
kesaktian wanita itu dan berangkatlah
mereka meninggalkan rumah, berbekal pedang, semangat dan kebenaran, naik
ke Bu-tong-san menjumpai ketua
Bu-tong-pai itu. The Kwat Lin bukan seorang bodoh. Setiap kali ada tokoh naik
ke
Bu-tong-san dan hendak menantangnya,
dia selalu membujuk mereka untuk berdamai dan bekerja sama. Selama
cita-citanya belum tercapai, dia
membutuhkan bantuan sebanyak mungkin orang pandai. Maka setiap kali ada orang
gagah datang dengan maksud menantangnya
dan membela para bekas pimpinan Bu-tong-pai, dia selalu menyambut
mereka dengan bujukan manis. Hanya
karena bujukannya tidak berhasil dan mereka itu berkeras, terpaksa dia turun
tangan menerima tantangan mereka.
Memang demikianlah sifat orang-orang yang mempunyai cita-cita besar,
cita-cita yang sesungguhnya hanyalah
nafsu keinginan untuk kesenangan diri pribadi. Demi tercapainya cita-cita
yang merupakan pamrih bagi diri
peribadi ini, orang tidak segan untuk bersikap palsu, membujuk orang
sebanyaknya untuk membantunya demi
tercapainya cita-cita itu. Orang-orang yang tidak membantu di anggap musuh
dan perlu dibasmi agar jangan menjadi
penghalang cita-citanya, sebaiknya, mereka yang mati-matian membantunya,
jika cita-cita itu sudah tercapai
sebagian besar dilupakannya begitu saja! Atau kalau teringat pun, hanya
diberi pahala sekedarnya karena yang
penting bukan orang-orang yang membantunya, melainkan dirinya sendiri!
Begitu berhadapan dengan ayah dan anak
itu, The Kwat Lin mengangkat kedua tangannya ke depan dada sambil
berkata. "Kiranya Ji-wi
Coa-enghiong (Kedua Pendekar she Coa) yang datang. Suadh lama kami mendengar
Ji-wi yang
terkenal gagah perkasa, maka kami
merasa beruntung sekali hari ini dapat bertemu. Apalagi mendengar bahwa Ji-wi
adalah sahabat baik dari
Bu-tiong-pai....." "The Kwat Lin!" Kakek Coa membentak dengan
telunjuk kiri menuding
ke arah muka ketua baru Bu-tongpai itu.
"Aku mengenalmu sebagai seorang di antara Cap-sha Sin-hiap yang gagah
perkasa, sebagai seorang murid
Bu-tong-pai yang selalu menjunjung tinggi nama Bu-tong-pai. Aku telah puluhan
tahun bersahabat dengan Bu-tong-pai dan
telah mendengar akan namamu. Akan tetapi, mengapa setelah menghilang
bertahu-tahun, engkau kembali ke sini
dan menjadi seorang murid murtad, merampas kedudukan ketua mengandalkan
kekerasan dan kepandaian? Aku sebagai
seorang sahabat Bu-tong-pai tentu saja tidak mungkin dapat mendiamkan hal
penasaran ini tanpa turun tangan!"
Kwat Lin tersenyum manis dan melirik ke arah Soa Khi yang berwajah tampan,
akan tetapi Coa Khi mengerutkan alis
dan memandang penuh kemarahan. "Coa-lo-enghiong agaknya kena dibujuk
orang! Memang benar saya menjadi ketua
Bu-tong-pai, akan tetapi hal itu adalah demi kebaikan Bu-tong-pai, demi
cinta saya kepada Bu-tong-pai. Saya
ingin menjadikan Butong- pai perkumpulah terbesar dan terkuat di dunia
kang-ouw, dan saya ingin menarik semua
orang gagah menjadi sahabat yang dapat bekerja sama. Karena itu, saya
harap Ji-wi dapat membuka mata melihat
kenyataan dan saya persilahkan Ji-wi untuk datang sebagai sahabat dan
untuk minum arak persahabatan bersama
kami." "Perempuan murtad! Jangan mengira dapat menyogok kami dengan
omongan manis!" Kakek itu
membentak marah. Kedua alis yang hitam kecil dan panjang itu bergerak-gerak dan
biarpun mulut yang berbibir itu masih
tersenyum, namun kata-kata yang keluar mengandung nada dingin, "Habis apa
yang kalian akan lakukan?"
"Sing! Singggg!!" Ayah dan anak itu telah mencabut pedang dan kakek
Coa berkata,
"Hanya ada dua pilihan bagi engkau
dan kami. Pertama engkau pergi meninggalkan Bu-tong-pai dan kami akan
berterima kasih kepadamu yang
mengembalikan Bu-tong-pai, kepada para pimpinan Bu-tong-pai, atau kalau engkau
berkeras terpaksa kami ayah dan anak
turun tangan menggunakan pedang membela kehormatan sahabatsahabat dari
Bu-tong-pai!" "Hi-hik! Betapa
gagahnya keluarga Coa! Apakah ilmu Pedang Hok-liong-kiamsut sehebat sikap
mereka,
perlu ditonton dulu!" Tiba-tiba
terdengar suara yang lantang dan merdu ini. Semua orang menengok, juga The Kwat
Lin yang menjadi terkejut melihat ada
orang datang tanpa diketahuinya. Hal itu saja membuktikan bahwa wanita
yang muncul ini memiliki ilmu
kepandaian yang hebat. Ayah dan anak itu mendengar nama ilmu pedang turunan
mereka disebut-sebut, juga menengok
dengan kaget. Wanita itu pakaiannya mentereng dan biarpun usianya sudah
kurang lebih setengah abad, namun harus
diakui bahwa dia adalah seorang wanita cantik. Rambutnya hitam gemuk
dan panjang, dibiarkan terurai sampai
kepinggulnya yang menonjol di balik celana yang ketat. Tangan kanannya
memanggul sebatang payung hitam dan
wanita itu tahu-tahu telah berdiri di situ dengan gaya lemah lembut. Dia
seorang wanita yang masih kelihatan
cantik dengan tubuh padat akan tetapi ada sesuatu yang dingin mengerikan
keluar dari sikapnya, terutama sekali
sepasang matanya yang amat tajam itu karena mata itu terbelalak memandang
hampir tak pernah berkejap! Melihat
wanita ini, kakek Coa terkejut bukan main dan otomatis dia berseru keras.
"Kiam-mo Cai-li....!!"
Puteranya, Coa Khi terkejut. Tentu saja dia sudah pernah mendengar nama ini,
nama
seorang datuk kaum sesat yang amat
terkenal sebagai seorang iblis betina yang selain kejam dan ganas, juga amat
tinggi ilmu kepandaiannya. Kakek Coa
merasa heran sekali mengapa iblis betina yang sudah bertahun-tahun tak
pernah muncul di dunia kang-ouw dan
kabarnya hanya bertapa di tempat kediamannya, yaitu di Rawa Bangkai di kaki
Penggunungan Lu-liang-san itu tahu-tahu
kini muncul di situ. Dan biasanya, di mana pun iblis itu muncul, tentu
akan terjadi malapetaka hebat! The Kwat
Lin juga sudah mendengar nama itu, yaitu sepuluh tahun yang lalu ketika
dia masih menjadi seorang di antara
Cap-sha Sin-hiap. Ketika itu, nama Kiam-mo Cai-li (Wanita Cerdik Berpedang
Payung) sudah amat terkenal. Akan
tetapi dia belum pernah bertemu dengan iblis betina itu dan sekarang dia
melirik ke arah wanita itu dengan
senyum mengejek. Dengan kepandaiannya seperti sekarang ini, dia tidak perlu
takut menghadapi iblis yang manapun
juga! "Kiam-mo Cai-li, apakah kedatanganmu tanpa diundang ini pun hendak
menantang aku sebagai ketua Butong-
pai? Kalau memang demikian, jangan kepalang tanggung, majulah kau bersama
kedua orang She Coa ini agar lebih
cepat aku menghadapi kalian!" Ucapan yang keluar dengan tenangnya dari
mulut
ketua Bu-tong-pai itu mengejutkan hati
kedua orang ayah dan anak She Coa itu. Berani bukan main wanita ini
menantang Kiam-mo Cai-li seperti itu!
Menyuruh datuk kaum sesat itu untuk mengeroyok! Akan tetapi Kiam-mo
Cai-li tertawa lebar sehingga tampaklah
deretan giginya yang putih dan rapi, "Hi-hi-hik, hebat sekali mulut
ketua baru Bu-tong-pai! Pantas kau
disebut-sebut di dunia kang-ouw, kiranya memang memilki keberanian yang
hebat! Hanya karena mendengar engkau
adalah Ratu Pulau Es maka aku terpaksa meninggalkan tempatku yang aman dan
tenteram. Kalau tidak karena nama ini,
biar siapa pun yang akan menduduki Bu-tong-pai, aku peduli apa? Sekarang
hendak kulihat bagaimana kau menghadapi
pewaris-pewaris ilmu Pedang Hok-liong-kiamsut yang terkenal ini. Kalau
kau memang berharga untuk melawanku,
barulah kita nanti bicara lagi!" The Kwat Lin tersenyum mengejek dan
mendenguskan suara dari hidung.
"Hemm, kau merasa terlalu tinggi untuk mengeroyok? Baiklah, kalau begitu
tunggu
saja sampai aku membereskan dua oran
ini. Di sini tidak ada bangku, duduklah di sini!" Setelah berkata
demikian, Kwat Lin menghampiri sebatang
pohon dan sekali tangan kirinya bergerak menyabet dengan telapak tangan
miring, terdengar suara keras dan pohon
itu tumbang. Hebatnya, batang pohon itu putus seperti dibabat pedang
tajam saja, rata dan halus sehingga
sisanya merupakan sebuah bangku! "Hi-hi-hik, memang hebat sinkangmu!
Terima
kasih, aku menanti di sini," kata
Kiam-mo Cai-li Liok Si dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang ke atas
batang pohon yang merupakan bangku
bermuka halus itu. Dia duduk bertumpang kaki dan menunjang dagu dengan
sebelah tangan, seperti seorang yang
akan menikmati suatu tontonan yang menarik. Ayah dan anak she Coa itu
saling pandang. Di dalam pandang mata
yang bertemu ini mereka seperti sudah saling bicara, menyatakan bahwa
mereka menghadapi lawan yang amat
lihai. Akan tetapi, jiwa pendekar kedua orang ini membuat mereka sama sekali
tidak merasa gentar. Mereka bukan saja
membela sahabat-sahabat mereka Kui Tek Tojin dan para tokoh Bu-tong-pai,
akan tetapi juga menuntut balas atas
kematian dan kekalahan para tokoh kang-ouw yang datang lebih dulu dari
mereka membela Butong- pai. Selain itu
mereka sudah datang sebagai dua orang penuntut kebenaran, kalau sekarang
mereka harus mundur melihat kehebatan
lawan, hal ini akan membuat mereka menjadi pengecut dan bagi dua orang
pendekar seperti mereka yang namanya
sudah terkenal harum selama beberapa keturunan, lebih baik mati sebagai
orang gagah dari pada hidup menjadi
pengecut hina! "Kalau begitu, The Kwat Lin, bersiaplah engkau!"
teriak
kakek Coa dan pedang di tangan kanannya
sudah melintang di depan dada. Gerakan ini diturut oleh Coa Khi dan
kedua orang itu berdiri berjajar dengan
memasang kuda-kuda yang kuat. Kwat Lin menggerakan tangan kanannya dan
tongkat pusaka ketua Bu-tong-pai yang
selalu dipegangnya itu menancap di atas tanah di depannya. Tongkat itu
baginya perlu untuk menghadapi
orang-orang Butong- pai yang menghormati tongkat itu dan menganggapnya sebagai
benda keramat lambang kedudukan
tertinggi di Bu-tong-pai. Kini, menghadapi dua orang luar, dia tidak mau
mempergunakannya, dan juga untuk
memamerkan kepandaiannya, dia sengaja hendak menghadapi dua orang itu dengan
tangan kosong! "Ceppp!"
Tongkat itu amblas setengahnya ke dalam tanah dan sekali Kwat Lin menggerakan
ke dua
kakinya, tubuhnya mencelat ke depan dua
orang gagah se Coa itu sambil berkata, "Mulailah!" "Sing,
sing....
wut-wut-wut-wutttt....!!"
Bertubu-tubi kedua pedang itu menyambar dengan kekuatan dan kecepatan dahsyat
sehingga tampak sinar-sinar berkilauan
dibarengi suara bersiutan ketika kedua pedang membelah udara. Diam-diam
Kwat Lin terkejut dan harus memuji
kehebatan dan keindahan gerakan ilmu pedang mereka itu. Namun, tentu saja
dengan latihan yang didapatnya dari
Pulau Es, gerakanya lebih cepat lagi sehingga dengan mudah dia dapat
mengelak ke sana-sini menghindarkan
diri dari sambaran sinar kedua pedang itu dengan gerakan yang cepat dan
indah. Setelah merasa yakin bahwa
betapapun indah dan lihainya ilmu pedang mereka namun dia masih memiliki
tingkat jauh lebih tinggi dalam hal
sinkang, Kwat Lin tersenyum dan bagaikan seekor kucing mempermainkan dua
ekor tikus, dia sengaja selalu mengelah
ke sana ke mari memamerkan kegesitan tubuhnya, bukan hanya kepada dua
orang itu melainkan terutama sekali
kepada wanita yang dianggapnya merupakan calon lawan yang lebih lihai,
yaitu Kiam-mo Cai-li yang menonton
pertandingan itu. Tiba-tiba Kwat Lin mengeluarkan seruan tertahan ketika
lirikan matanya membuat dia maklum
bahwa ada dua orang bekas anak buah Bu-tong-pai yang mendekati tongkat
pusaka itu dan berusaha mencabut
tongkat pusaka dari dalam tanah. Peristiwa itu terjadi cepat sekali namun Kwat
lin yang cerdik lebih cepat lagi
mengambil kesimpulan bahwa dua orang itu tentulah pengkhianatpengkhianat yan
berpura-pura takluk kepadanya namun
diam-diam mencari kesempatan untuk mencuri tongkat pusaka, tentu dengan
maksud mengembalikan tongkat itu kepada
Kui Tek Tojin! Pada saat itu, dua pedang ayah dan anak itu menusuk dari
depan dan belakang dengan cepatnya.
Kwat Lin tentu saja agak terlambat gerakanya oleh perhatian yang terpecah
tadi, maka dia cepat menggulingkan
tubuhnya, mengelak dari tusukan pedang di depan, sedangkan tusukan pedang
dari belakang yang masih mengancamnya
di tangkisnya dengan lengan kiri yang dilindungi gelang-gelang emas.
"Cringggg....!!" Coa Khi
terkejut bukan main ketika lengan yang memegang pedang itu tergetar hebat dan
hampir
saja pedangnya terlepas dari pegangan
ketika bertemu dengan gelang di pergelangan tangan kiri ketua Bu-tong-pai
itu! Ketika dia dan ayahnya memandang,
ternyata wanita itu telah lenyap dan tahu-tahu terdengar jerit-jerit
mengerikan dari kiri. Ketika mereka
memandang, ternyata wanita itu telah merobohkan dua orang laki-laki yang
tadi mencoba mencuri tongkat pusaka.
Dua orang laki-laki itu roboh dengan kepala pecah disambar jari-jari
tangan Kwat Lin yang marah. Setelah
membunuh kedua orang itu, sekali meloncat Kwat Lin sudah kembali menghadapi
dua orang lawannya. kini dialah yang
menerjang, menyerang dengan kedua tangan terbuka, cepatnya bukan main
sehingga ayah dan anak itu terpaksa
mudur sambil melindungi tubuhnya dengan pedang. Seru dan indah dipandang
pertandingan itu. Tubuh Kwat Lin lenyap
dan hanya kadang-kadang saja tampak, bergerak-gerak di antara gulungan
dua sinar pedang. Dia seloah-olah
seorang penari yang amat indah dan lemah gemulai gerakannya, seperti sedang
bermain-main dengan gulungan sinar
pedang yang dipandang sepintas lalu seperti dua helai selendang yang di
mainkan oleh wanita itu. Tiba-tiba
kedua orang ayah dan anak itu mengeluarkan pekik yang menggetarkan bumi dan
tampak mereka menerjang secara
berbareng dari depan dengan pedang terangkat ke atas dan membacok sambil
meloncat. Inilah jurus paling ampuh
dari ilmu pedang mereka lakukan dengan berbareng, jurus terakhir dari
Hokliong- kiam-sut (Ilmu Pedang Naga).
Serangan ini demikian dahsyatnya sehingga tidak memungkinkan lawan yang
diserangnya untuk mengelak lagi karena
jalan keluar sudah tertutup dan ke mana pun lawan mengelak, ujung pedang
tentu akan mengejar terus. Akan tetapi,
sambil tersenyum Kwat Lin tidak menghindarkan diri sama sekali tidak
mengelak, bahkan menubruk ke depan,
tiba-tiba ketika tubuh Coa Khi yang meloncat ke atas itu sudah dekat dan
pedang pemuda itu sudah menyambar ke
arah kepalanya, dia menjatuhkan diri ke bawah, berjongkok dan kedua
tangannya menyambar ke atas dan depan
dengan jari-jari terbuka. "Hyaaaaattt....!!" Pekik melengking yang
keluar
dari mulut Kwat Lin ini dahsyat sekali
dan kedua tangan yang mengandung sepenuhnya tenaga Inti Salju yang ampuh
itu telah menyambar perut kedua orang
laawannya. "Plak! Plak!" Tamparan jari-jari tangan yang mengandung
tenaga
sinkang mujijat ini tepat mengenai
perut Coa Khi yang sedang melayang di atas dan Coa Hok yang berada di depan.
Ayah dan anak itu mengeluarkan jerit
tertahan yang mengerikan. Mereka merasa tubuh mereka dimasuki hawa dingin
yang tak tertahankan hebatnya dan
robohlah ayah dan anak itu, roboh tanpa dapat berkutik lagi karena mereka
telah tewas dengan muka membiru karena
darah mereka telah beku terkena pukulan yang mengandung Swat-im-sinkang
hebat dari Pulau Es! "Bagus
sekali....!!" Kiam-mo Cai-li Liok Si memuji dan melayang turun dari atas
batang
pohon dan berdiri berhadapan dengan ketua
Bu-tong-pai itu. Keduanya sama cantik dan sama mewah pakaiannya, dan
sejenak mereka saling pandang seperti
hendak mengukur kelebihan lawan dengan pandang mata. "Hebat kepandaianmu,
Pangcu (Ketua)! Melihat tingkatmu,
engkau pantas menjadi lawanku bertanding, mari kita coba-coba, siapa
diantara kita yang lebih lihai!"
The Kwat Lin mengerutkan alisnya dan bertanya, "Kiam-mo Cai-li, diantara
kita
tidak pernah ada urusan sesuatu. Apakah
engkau menantangku demi membela para tosu Bu-tong-pai yang sudah
mengundurkan diri?"
"Hi-hi-hik!" Wanita yang sudah hampir nenek-nenek namun masih amat
genit itu terkekeh. "Aku
membela tosu Bu-tong-Pai? Jangan bicara
ngaco! Bagi aku, siapa pun yang akan menjadi ketua Bu-tong-pai, masa
bodoh! Akan tetapi mendengar bahwa yang
mengetuai Bu-tong-pai disebut Ratu Pulau Es, hatiku tertarik dan
sekarang melihat engkau benar-benar
lihai, makin ingin hatiku menguji kelihaianmu dan bertanya apakah benar
engkau Ratu Pulau Es?" Kwat Lin
mengangguk. "Benar, aku adalah bekas Ratu Pulau Es! Kiam-mo Cai-li, kalau
engkau tidak membela tosu-tosu
Bu-tong-pai perlu apa kita bertanding? Ketahuilah, aku sedang membangun
Bu-tongpai dan aku membutuhkan kerja
sama dengan orang-orang pandai, terutama sekali engkau. Apakah seorang
dengan kepandaian seperti engkau ini
tidak pula mempunyai cita-cita tinggi untuk mencapai matahari dan bulan?
Ataukah hanya menanti kematian begitu
saja, membusuk di tempat pertapaanmu di Rawa Bangkai?" "Hi-hi-hik,
aku
sudah mendengar pula akan usahamu yan
bercita-cita luhur! Karena itu pula aku tertarik dan datang ke sini. Akan
tetapi sebelum kita bicara tentang
kerja sama dan cita-cita, kita harus menentukan dulu siapa diantara kita
yang patut memimpin dan siapa pula yang
harus taat." "Maksudmu?" The Kwat Lin memandang tajam dengan
alis
berkerut. "Kita bekerja sama, itu
pasti! Dan kalau kita berdua sudah bekerja sama, di tangan kita kaum wanita,
tentu segalanya akan berhasil baik!
Lihat saja keadaan di istana kerajaan. Seorang selir mampu mengemudikan
seluruh kendali pemerintahan! Akan
tetapi untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpinnya diantara kita,
perlu diketahui sekarang juga."
"Bagus! Dengan lain kata-kata engkau menantang untuk kita mengadu
kepandaian,
ya? Kiam-mo Cai-li, engkau seperti
seekor katak dalam sumur! Majulah!" Kwat Lin membanting kakinya ke atas
tanah dekat pusaka Bu-tong-pai dan....
tongkat yang menancap setengahnya lebih itu mencelat ke atas seperti
didorong dari bawah tanah, lalu tongkat
itu disambar dan dipegangnya. Kiam-mo Cai-li menganguk-angguk. "Hebat
memang sinkangmu, Pangcu. Akan tetapi jangan kau salah sangka. Sekali
ini aku benar-benar menyadari bahwa
usiaku sudah makin tua dan aku perlu
memperoleh kedudukan yang akan menjamin masa tuaku sampai mati. Kita hanya
mengukur kepandaian, bukan bertanding
sebagai musuh, hanya untuk menentukan tingkat siapa yang lebih tinggi di
antara kita berdua." Mendengar
kata-kata ini, berkurang panas hati Kwat Lin dan teringat lagi dia bahwa
betapapun juga, dia membutuhkan tenaga
bantuan wanita iblis yang terkenal sebagai datuk kaum sesat ini. Kalau
dia dapat menarik wanita ini sebagai
pembantu, tentu akan banyak tokoh kaum sesat yang dapat ditariknya untuk
membantu tercapainya cita-citanya.
"Baiklah kalau begitu, Kiam-mo Cai-li. Mari kita mulai!"
"Pangcu, awas
serangan pedang payungku!" Kiam-mo
Cai-li berseru dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, didahului oleh
bayangan hitam dari pedang payungnya
yang terbuka dan menyembunyikan gerakannya. Ujung payung berbentuk pedang
itu menusukkan payung itu sendiri
berputar mengaburkan pandangan mata lawan. Namun, dengan tenang saja Kwat Lin
menggerakan tangan kirinya, dengan
telapak tangan terbuka dia mendorong ke depan sehingga hawa pukulan sinkang
yang hebat menyambar dan membuat payung
itu seperti tertiup angin keras dan menahan daya serang ujung payung
yang seperti pedang, kemudian disusul
dengan gerakan tongkat pusaka ditangan Kwat Lin menyambar dari samping
dengan dahsyatnya. "Plakk...!
Cringggg-cring....!!" Tongkat itu ditangkis, pertama dengan kuku tangan
Kiam-mo
Cai-li yang hendak mencengkeram dan
merampas tongkat, namun tongkat sudah ditarik kembali dan mengirim hantaman
dua kali berturut-turut yang dapat
ditangkis oleh pedang di ujung payung. Maklum akan kehebatan lawannya,
Kiam-mo Cai-li bergerak cepat sekali
dan dia sudah mainkan ilmu pedangnya yang luar biasa, yaitu Tiat-mo
Kiam-hoat (Ilmu Pedang Payung Besi).
Kalau saja kwat Lin belum mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi tingkatnya
dari Pulau Es, tentu dia bukanlah lawan
Kiam-mo Cai-li yang lihai sekali itu. Akan tetapi, karena The Kwat Lin
kini telah menjadi seorang yang berilmu
tinggi, maka dia dapat mengimbangi permainan lawannya dan terjadilah
pertandingan yang amat seru dan
seimbang. Kiam-mo Cai-li memang luar biasa lihainya. Tidak percuma dia menjadi
seorang datuk kaum sesat, seorang tokoh
golongan hitam yang ditakuti seperti seorang iblis betina yang kejam
dan berilmu tinggi. Tdak hanya ilmu
pedangnya yang lain dari pada yang lain, permainan pedang yang gerakan
tangannya terlindung dan tersembunyi
oleh payung hitam sehingga lebih praktis dan berbahaya daripada
menggunakan perisai, akan tetapi di
samping ilmu pedangnya ini juga tangan kirinya merupakan senjata yang amat
berbahaya dengan kuku-kukunya yang
panjang dan mengandung racun. Ini semua masih dilengkapi lagi dengan
rambutnya yang hitam panjang, karena
rambutnya ini seperti ular-ular hidup, dapat dipergunakan untuk menotok,
melecut, atau melibat! Akan tetapi,
tidak percuma pula The Kwat Lin pernah menjadi isteri seorang manusia yang
disohorkan seperti setengah dewa, yaitu
Han Ti Ong yang sukar diukur lagi tingkat kepandaiannya. Tidak percuma
selama sepuluh tahun bekas murid
Bu-tong-pai ini digembleng di Pulau Es, apalagi telah mewarisi kitab-kitab
pusaka Pulau Es yang telah
dilarikannya. Yang jelas, dalam hal tenaga sinkang, dia masih menang setinggkat
dibandingkan dengan Kiam-mo Cai-li.
Tenaga sinkangnya adalah hasil latihan di Pulau Es, maka dia telah dapat
menyedot tenaga inti salju, yaitu
Swat-im Sin-kang, tenaga sinkang yang mengandung hawa dingin sehingga lawan
yang kurang kuat sekali bertemu tenaga
akan menjadi beku darahnya. Selain menang dalam tenaga sinkang, juga
dasar ilmu silatnya lebih sempurna
daripada dasar ilmu silat Kiam-mo Cai-li yang sesungguhnya merupakan
gabungan ilmu silat campur-aduk.
Demikianlah, pertandingan itu berlangsung sampai seratus jurus lebih dengan
amat serunya. Kiam-mo Cai-li menang
keanehan senjatanya dan menang pengalaman bertanding akan tetapi
kelebihannya ini menjadi tidak berarti
karena dia kalah tenaga sinkang sehingga setiap serangan dan desakannya
membuyar oleh hawa sinkang dari
dorongan telapak tangan The Kwat Lin. Akhirnya, iblis betina ini harus mengakui
keunggulan lawan dan dia sebagai
seorang ahli maklum bahwa kalau dilanjutkan, salah-salah dia akan menjadi
korban hawa Swat-im Sin-kang yang
mujijat. Maka dia meloncat ke belakang dan berseru, "Cukup, Pangcu!
Kepandaianmu hebat, engkau pantas
menjadi Ratu Pulau Es, pantas menjadi ketua Bu-tong-pai dan biarlah aku
membantumu dalam kerja sama kita!"
Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Kwat Lin mendengar ini. Dia lalu
menghampiri Kiammo Cai-li, menggandeng
tangan wanita itu dan memperkenalkan kepada Swi Liang, Swi Nio, dan Han
Bu Ong. Kemudian dia mengajak sahabat
baru itu memasuki gedungnya dan sambil menghadapi hidangan lezat kedua
orang wanita lihai ini bercakap-cakap
dan mengadakan perundingan untuk bekerja sama. Ternyata mereka cocok
sekali dan memang keduanya merindukan
kedudukan yang mulia dan terhormat, maka dalam perundingan ini. Kiam-mo
Cai-li diangap sebagai pembantu utama
dan tangan kanan Kwat Lin, bahkan Rawa Bangkai yang terletak di kaki
Pegunungan Lu-liang-san itu dijadikan
markas kedua di mana kelak akan dilakukan semua pertemuan dan perundingan
rahasia. Benar saja seperti yang
diharapkan, setelah Kiam-mo Cai-li menjadi pembantunya, banyaklah kaum sesat
yang menggabung dan menyatakan suka
bekerja sama sehingga biarpun tidak resmi, mulai saat itu The Kwat Lin
bukan hanya menjadi ketua Bu-tong-pai,
akan tetapi juga diakui sebagai datuk kaum sesat nomer satu! Hubungan
rahasia yang diadakan oleh The Kwat Lin
dengan para pembesar kota raja menjadi makin luas, dan diam-diam
persekutuan ini mulai mengatur rencana
pemberontakan untuk menggulingkan Kaisar! Dari para pembesar yang
mengharapkan bantuan orang-orang
kang-ouw inilah Kwat Lin memperoleh bantuan keuangan sehingga Bu-tong-pai
menjadi makin kuat dan wanita lihai ini
dapat menarik banyak tenaga bantuan orang pandai dengan mempergunakan
uang sebagai pancingan. Keadaan
kerajaan Tang di masa itu memang sedang diancam pergolakan hebat. Kaisarnya,
yaitu Kaisar Beng Ong, atau yang
terkenal juga dengan sebutan Kaisar Hian Tiong. Tak dapat disangkal lagi, di
bawah pemerintahan Kaisar Beng ini
Kerajaan Tang mengalami perkembangan yang amat pesat sehingga menjadi sebuah
`
0 comments:
Post a Comment