Saturday, July 28, 2012

BUKEK SIANSU : Seri Ketujuh

BUKEK SIANSU : Seri Ketujuh -
BUKEK SIANSU : Seri Ketujuh - Lanjutan Kho ping Hoo Bukek Siansu Seri Keenam
penasaran. Dia sendiri adalah seorang manusia yang dikenal sebagai iblis, jarang menemui tandingan dan ditakuti
        banyak orang dari semua golongan. Akan tetapi malam ini dia, Raja Pengemis yang menjadi ketua Pat-jiu Kai-pang
        yang terkenal, memiliki anggauta ratusan orang banyaknya, seorang di atara datuk kaum sesat atau golongan hitam
        yang ditakuti orang, dia dipermainkan orang! Dan orang
itu, kalau melihat namanya sebagai ratu tentulah seorang
        wanita! Apa lagi dia melihat bahwa bekas jari tangan di dahi para korban itu pun jari tangan wanita yang kecil
        meruncing! "Hem, pengecut benar dia, "katanya kepada tiga orang pengawalnya yang diam-diam telah kehilangan
        separuh dari nyali mereka. "Kita harus menggunakan pancingan. Biar aku mengintai dari atas, kalian
        berjalan-jalan di sini. kalau dia muncul menyerang, aku tentu dapat melihatnya dan aku akan meloncat turun.
        Bersiaplah kalian!" Setelah berkata demikian, dengan gerakan ringan seperti seekor kelelawar, Pat-jiu Kaiong
        melompat ke atas genteng dan mendekam di wuwungan sambil mengintai. Dia melihat tiga orang pengawalnya itu
        masing-masing telah mencabut senjata mereka. Si Brewok menggunakan sebatang tombak panjang yang ujungnya
        berkait, orang ke dua mengeluarkan golok besar dan orang ketiga sebatang pedang. Mereka berdiri saling
        membelakangi dan mata mereka memandang tajam ke depan, telinga mereka memperhatikan setiap suara. Akan tetapi
        sunyi saja sekeliling tempat itu. Tiba-tiba Pat-jiu Kai-ong melihat sesosok bayangan melayang turun dari atas
        pohon! Celaka pikirnya. Kiranya si laknat itu bersembunyi di dalam pohon yang tumbuh di depan gedung. Bayangan
        itu sukar di lihat bentuknya karena cepat sekali gerakannya, tahu-tahu telah berada di depan Si Brewok. Tiga
        orang pengawal itu menggerakan senjata, akan tetapi anehnya, tampak oleh Pat-jiu Kai-ong betapa tiga buah
        senjata mereka itu telah berpindah tangan! entah bagaimana caranya karena dari atas genteng itu dia tidak dapat
        melihat jelas. Yang dia ketahuinya hanyalah betapa tiga orang pengawalnya itu kini lari ketakutan!
        "Hik-hik-hik!" Suara ketawa ini membuat bulu tengkuk Pat-jiu Kai-ong berdiri dan dia melihat sinar-sinar
        menyambar ke arah tiga orang pengawal yang lari, melihat mereka roboh dan memekik, terjungkal tak bergerak lagi
        karena punggung mereka ditembus oleh senjata mereka masing-masing! "Keparat jangan lari kau!" Pat-jiu Kai-ong
        sudah melayang turun dan tongkatnya sudah diputar-putar. Akat tetapi bayangan itu melesat dan lenyap dari
        tempat itu! Pat-jiu Kai-ong menoleh ke kanan kiri, akan tetapi tidak tampak gerakan sesuatu. Dia makin
        penasaran. Dihampirinya tiga orang pengawalnya. Mereka telah tewas dan hanya mereka bertiga yang tidak dicap
        dahinya dengan tiga buah jari tangan hitam akan tetapi kematian mereka cukup mengerikan. Tombak golok dan
        pedang itu menembus punggung pemilik masing-masing sampai ujungnya keluar dari hulu hati! Dan sambitan tiga
        buah senjata yang berlainan bentuknya itu dilakukan secara berbareng dari jarak yang cukup jauh, tepat mengenai
        tiga sasarannya yang sedang berlari. Hal ini saja membuktikan pula betapa hebatnya kepandaian orang aneh itu
        Mendadak Pat-jiu Kai-ong tersentak kaget. Di dalam gedung! Betapa tololnya dia! Semua pengawalnya yang
        berjumlah dua belas orang telah tewas semua. Tentu sekarang musuh itu masuk ke dalam gedung untuk membunuh
        orang-orang di dalam gedung. Secepat kilat dia meloncat dan lari memasuki gedung. Benar saja, terdengar pekik
        susul-menyusul dan begitu melewati pintu depan, dia sudah melihat para pelayannya telah menjadi mayat dan
        berserakan di sana-sini. Cepat dia lari ke dalam kamarnya dan dengan mata terbelalak dia melihat lima orang
        selirnya telah mati semua, dahi mereka juga ada bekas tanda tapak tiga jari tangan dan semua lubang di muka
        mereka mengalirkan darah hitam! Sunyi sekali di dalam gedung itu, kesunyian yang penuh rahasia. Lu-san Lo-jin!
        Pat-jiu Kai-ong teringat dan dia cepat lari ke dalam tempat tahanan, hanya untuk melihat bahwa kakek itu pun
        telah tewas dan di dahinya terdapat pula tanda tapak tiga jari tangan dan semua lubang di muka mereka
        mengalirkan darah hitam! Kini dia benar-benar bingung. Jelas bahwa musuh ini bukanlah kawan Lu-san Lojin
        seperti yang disangkanya semula! Makin bingunglah dia dan dia lari pula ke dalam ruangan besar di mana dia tadi
        makan minum dengan Lu-san Lojin dan dua anaknya, di mana dia tadi menanti datangnya musuh rahasia. Dan begitu
        memasuki ruangan itu, dia tertegun! Ruangan itu kini terang sekali, agaknya ada yang menambah lampu penerangan.
        Ketika dia melihat, benar saja bahwa di situ terdapat banyak lampu, banyak sekali karena agaknya semua lampu
        penerangan dibawa dan dikumpulkan di ruangan itu. Dan di atas kursinya yang tadinya ditinggalkan kosong, kini
        tampak duduk seorang wanita! Di depan wanita itu, juga duduk di atas kursi, tampak seorang anak laki-laki
        berusia sepuluh tahun yang memandangnya dengan mata penuh selidik. Wanita itu cantik, pakaiannya mewah dan
        indah, anak itu pun tampan dan bersih serta mewah pakaiannya. Wanita itukah yang membunuh semua orang di
        gedungnya? Tak mungkin agaknya. wanita itu usianya paling banyak tiga puluh lima tahun, cantik dan kelihatan
        halus gerak-geriknya, hanya sepasang matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan dingin sekali. "Ibu, dia inikah
        orangnya?" Tiba-tiba anak kecil itu bertanya, suaranya nyaring, memecahkan kesunyian yang sejak tadi mencekam.
        "Benar, dialah Si Bedebah Pat-jiu Kai-ong." Wanita itu berkata, suaranya halus akan tetapi dingin menyeramkan.
        "Kalau begitu, mengapa ibu tidak lekas membunuhnya?" Wanita itu tersenyum dan wajah yang cantik itu makin
        cantik, akan tetapi juga makin dingin menyeramkan, kemudian bangkit berdiri berlahan-lahan. "Kau lihat sajalah
        ibumu menundukan Si jembel busuk ini." Wanita itu ternyata bertubuh tinggi ramping dan ketika melangkah maju,
        tampak gerakan kedua kakinya lemah lembut. Pat-jiu Kai-ong sudah dapat menguasai hatinya dan timbul
        keberaniannya setelah melihat bahwa orang itu hanyalah seorang manusia biasa, wanita yang kelihatan lemah pula,
        bukan seorang iblis yang menyeramkan sama sekali. "Siapakah engkau? Siapa pembunuh orang-orangku dan apa
        hubunganmu dengan Ratu Pulau Es yang mengancamku?" Wanita itu kini tiba di depan Pat-jiu Kai-ong sehingga raja
        pengemis ini dapat mencium bau harum semerbak yang keluar dari rambut dan pakaian wanita itu. "Akulah Ratu
        Pulau Es, aku pula yang telah membunuh semua mahluk hidup di dalam gedungmu, semua telah kubunuh kecuali
        engkau, Pat-jiu Kai-ong. Aku harus membunuhmu berlahan-lahan, menyiksamu sampai puas hatiku." Mendengar ancaman
        ini, Raja Pengemis yang biasanya berhati kejam dan keras itu, menjadi berdebar juga. Akan tetapi kemarahannya
        melenyapkan semua rasa jerih dan dia membentak, "Perempuan sombong! Siapakah engkau dan mengapa engkau memusuhi
        Pat-jiu Kai-ong?" Pat-jiu Kai-ong, agaknya kejahatanmu sudah begitu bertumpuk-tumpuk sehingga engkau tidak
        dapat mengenal korban-korbanmu lagi. Pandanglah aku baik-baik dan kumpulkan ingatanmu! Lupakah kau apa yang
        terjadi di kaki pegunungan Jeng-hoa-san sepuluh tahun yang lalu?" Pat-jiu Kai-ong memandang dan terbayanglah
        peristiwa di Jeng-hoa-san sebelum dia naik ke puncak gunung itu untuk mencari Sin-tong. Kini dia dapat mengenal
        wajah ini, wajah cantik yang pernah merintihrintih dan memohon pembebasan, namun yang dia permainkan secara
        kejam. "Kau... kau... Cap-she Sin-hiap...?" Tanyanya ragu-ragu. "Benar. Aku adalah anggauta paling muda dari
        Cap-sha Sin-hiap. Dua belas orang suhengku telah kaubunuh. Ingatkah sekarang kau?" Pat-jiu Kai-ong tertawa.
        Hatinya lega. Kalau hanya wanita muda itu, yang telah diperkosanya dan yang hanya menjadi orang ke tiga belas
        dari Cap-sha Sin-hiap, perlu apa dia takut? Biar perempuan ini agaknya telah memperdalam ilmunya selama sepuluh
        tahun ini, akan tetapi perlu apa dia takut? "Ha-ha-ha, kiranya engkaukah ini, manis? Tentu saja aku masih ingat
        kepadamu, siapa bisa melupakan kenang-kenangan manis selama tiga hari itu? Ha-ha-ha, betapa mesranya!" Jahanam!
        Kematian sudah di depan mata dan kau masih berlagak? Pat-jiu Kai-ong, aku telah datang dan rasakanlah
        pembalasanku, aku akan membuat kau menyesal mengapa kau pernah dilahirkan ibumu!" "Perempuan sombong,
        mampuslah!" Pat-jiu Kai-ong sudah menerjang dengan tongkatnya melakukan penyerangan dengan dahsyat, menusukan
        tongkatnya yang tentu akan menembus dada wanita itu kalau tidak depat wanita itu mengebutkan ujung lengan
        bajunya menangkis. "Trakk!" Tongkat itu menyeleweng dan terkejutlah Pat-jiu Kai-ong. Ternyata lawannya ini
        benar-benar telah memperoleh kemajuan hebat dan telah memiliki sinkang yang tak boleh dipandang ringan. Tentu
        saja! Wanita itu bukan lain adalah The Kwat Lin yang selama sepuluh tahun ini menjadi istri atau permaisuri
        Raja Pulau Es, Han Ti Ong yang sakti! Wanita ini selama sepuluh tahun telah menggembleng diri, di bawah
        petunjuk suaminya yang amat mencintainya. Bahkan suaminya telah menurunkan ilmu-ilmu yang khusus untuk
        menghadapi ilmu tongkat Pat-jiu Kai-ong dan ilmu mujijat Hiat-ciang Hoat-sut dari Raja Pengemis ini atas
        permintaan The Kwat Lin. Karena itu, biarpun ada sebatang pedang menepel di punggungnya, The Kwat Lin tidak
        menggunakan senjata melainkan ujung lengan bajunya untuk menghadapi tongkat dan memang kedua ujung lengan baju
        ini yang merupakan sepasang senjata yang dilatihnya khusus untuk mengatasi tongkat Raja Pengemis itu. Seperti
        telah dituturkan di bagian depan, The Kwat Lin menggunakan kesempatan selagi Han Ti Ong pergi menyerbu Pulau
        Neraka, untuk meninggalkan Pulau Es. Hal ini sudah bertahun-tahun dia citacitakan. Dia menjadi istri Han Ti Ong
        hanya karena ingin mewarisi ilmu kepandaiannya, akan tetapi setelah menjadi permaisuri, dia pun ingin memiliki
        pusaka Pulau Es dan benda-benda berharga lainya. Maka dia menanti kesempatan baik untuk meninggalkan pulau,
        tentu saja meninggalkan untuk selamanya karena pada hakekatnya dia tidak suka tinggal di pulau itu. Siapa suka
        tinggal di Pulau Es yang membosankan itu, jauh dari dunia ramai? Pergilah dia mengajak puteranya, Han Bu Hong,
        meninggalkan Pulau Es sewaktu suaminya tidak ada, membawa pusaka Pulau Es. Dengan alasan akan menyusul suaminya
        yang menyerbu Pulau Neraka, tidak ada seorang pun berani menghalangi kepergiannya dan akhirnya, dengan
        kepandaiannya yang sudah tinggi, dia berhasil mendarat. Berbulan-bulan dia menyelidiki dan akhirnya dia dapat
        menemukan tempat tinggal musuh besarnya di lereng Heng-san. Dia mengajak puteranya dan setelah menyembunyikan
        puteranya, dia menyelidiki istana Raja Pengemis itu. Melihat Swi Liang dan Swi Nio, dia tertarik sekali, maka
        dia menculik mereka dan membawa mereka ke dalam hutan di mana Bu Hong menanti ibunya. "Kalian kuselamatkan
        dengan maksud untuk mengangkat kalian berdua menjadi muridku ," dia berkata tanpa banyak cerita lagi. "Tinggal
        kalian pilih, mati atau hidup. Kalau ingin mati, kalian semestinya mati karena kalian berada di gedung Pat-jiu
        Kai-ong. karena sekarang belum malam, maka kalian belum mestinya dibunuh dan karenanya boleh pula kukeluarkan
        dari sana. Kalau kalian ingin hidup harus suka menjadi muridku. Bagaimana?" Tentu saja dua orang muda itu ingin
        hidup dan segera berlutut di depan calon Subo (ibu guru) mereka. "Harap subo sudi menolong Ayah kami...." kata
        Swi Liang. "Kalian tinggal saja di sini menemani sute kalian ini. Tentang Ayahmu, kita lihat saja nanti." The
        Kwat Lin meninggalkan dua orang murid itu bersama puternya, kemudian mulailah dia turun tangan membunuh-bunuhi
        semua binatang peliharaan gedung raja Pengemis itu lalu membunuhi semua pengawal, pelayan, selir dan juga Lusan
        Lojin dibunuhnya karena dia sudah berjanji akan membunuh semua orang di dalam gedung itu, apalagi dia tahu
        bahwa kalau tidak dibunuh, kakek itu tentu akan menjadi penghalang baginya mengambil murid Swi Liang dan Swi
        Nio yang menarik hatinya. Akhirnya dia keluar dari gedung, menyuruh kedua orang muridnya menanti di hutan.
        Akhirnya bersama puteranya, dia dapat berhadapan dengan musuh besarnya itu setelah membunuh semua orang di
        dalam gedung. Han Bu Ong anak laki-laki yang baru berusia sepuluh tahun itu, duduk di kursi dan menonton
        pertandingan dengan mata terbelalak dan jarang berkedip. Dia sama sekali tidak merasa takut atau khawatir. Dia
        percaya penuh kepada kelihaian ibunya dan memang sejak kecil anak ini memiliki keberanian luar biasa dan
        kekerasan hati yang amat aneh bagi seorang anak sebesar itu. Melihat kekejaman-kekejaman yang terjadi, dia
        tidak pernah merasa ngeri, bahkan merasa gembira! Barulah hati Pat-jiu kai-ong terkejut sekali setelah selama
        lima puluh jurus dia mainkan tongkatnya dia tidak mampu menembus pertahanan sepasang ujung lengan baju
        lawannya. Bahkan lawannya terkekeh-kekeh mengejeknya dan biarpun lawannya hanya mainkan ujung lengan baju,
        namun ternyata tongkat yang biasanya dia andalkan itu sama sekali tidak berdaya! "Keparat, mampuslah!"
        Tiba-tiba Pat-jiu Kai-ong berseru keras, disusul dengan gerengan dahsyat yang menggetarkan seluruh ruangan itu.
        Han Bu Ong terplanting jatuh dari kursinya, akan tetapi bocah ini sudah duduk bersila dan mengatur pernapasan,
        menutup pendengaran. Ternyata sekecil itu, Bu Ong telah digembleng hebat oleh ayahnya sehingga dengan dasar
        latihan sinkang Inti Salju, dia kini mampu menulikan telinga dan menghadapi auman Sai-cu Ho-kang dari Pat-jiu
        Kai-ong! Padahal lawan yang tidak begitu kuat sinkangnya, mendengar auman Sai-cu Ho-kang yang berdasarkan
        Khi-kang yang amat kuat ini, sudah akan roboh. Sementara itu, The Kwat Lin yang melihat puteranya dapat
        menyelamatkan diri, sudah mengeluarkan suara terkekeh-kekeh dan lawannya terkejut bukan main karena dari suara
        ini keluar getaran yang menghancurkan ilmunya bahkan menyerangnya dengan hebat. Terpaksa dia menghentikan auman
        Sai-cu Ho-kang dan mempercepat gerakan tongkatnya dengan ilmu Tongkat Pat-mo-tung-hoat (Ilmu Tongkat Delapan
        Iblis) yang dahsyat. The Kwat Lin memang hendak mempermainkan lawannya, maka dia hanya menangkis dan mengelak.
        Hal ini sengaja dilakukannya untuk memamerkan kepandaiannya dan untuk meyakinkan lawan bahwa akhirnya lawan
        akan roboh olehnya sehingga lawannya yang amat dibencinya itu akan ketakutan setengah mati! Dan memang usahanya
        ini berhasil. Keringat dingin membasahi muka pat-jiu Kai-ong dan tahulah kake ini bahwa mengandalkan ilmu silat
        saja, dia tidak akan menang melawan wanita yang pernah dipermainkannya dan diperkosanya selama tiga hari tiga
        malam itu. Maka dia lalu mengerahkan tenaganya, menggerakan sinkang dan tiba-tiba dia memekik dan menghantamkan
        tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka. The Kwat Lin sudah menduga bahwa lawannya tentu akhirnya akan
        menggunakan ilmu Hiat-ciang Hoatsut ini. Dan dia sudah mendengar dari suaminya akan ilmu mujijat ini, maka dia
        bersikap hati-hati dan tidak berani memandang rendah. Bahkan ketika menyaksikan cahaya merah menyambar keluar,
        merasakan getaran mujijat dan mencium bau amis darah yang memuakan, dia terkejut sekali dan cepat dia menekuk
        kedua lututnya sedikit, kemudian mendorongkan telapak tangan kanannya dengan tiga buah jari tangan diluruskan.
        Hawa dingin meluncur keluar dari telapak tangannya menyambut hawa pukulan Hiat-ciang Hoat-sut. "Dess!"dua
        benturan tenaga mujijat bertemu dan tubuh kedua orang itu tergetar hebat! Kiranya tenaga Hiatciang Hoat-sut
        sudah sedemikian ampuhnya sehingga dalam benturan tenaga ini, Pat-jiu Kai-ong dapat mengimbangi tenaga The Kwat
        Lin. Kalau kakek itu merasa betapa tubuhnya mendadak menjadi dingin sekali, sebaliknya The Kwat Lin merasa
        tubuhnya panas! Namun keduanya dapat melawan hawa ini dan berkali-kali mereka mengadu tenaga sinkang lewat
        telapak tangan mereka . Tiba-tiba ujung lengan baju kiri The Kwat Lin menyambar kearah ubun-ubun kepala kakek
        itu yang menjadi terkejut sekali dan menangkis dengan tongkatnya. Ujung lengan baju melihat dan tangan The Kwat
        Lin menyambar ke depan dari dalam lengan baju itu, menangkap tongkat. Pat-jiu Kai-ong cepat menghantamkan
        tangan kirinya lagi dengan tenaga Hiat-ciang Hoat-sut sekuatnya, mengarah kepala lawan. Namun hal ini sudah
        diperhitungkan oleh wanita itu yang cepat sekali menarik tongkat yang dicengkramnya menangkis. "Krekkkk!"
        Tongkat raja pengemis itu hancur terkena pukulannya sendiri dan selagi dia terkejut bukan main, tahu-tahu ujung
        lengan baju kanan wanita itu sudah menyambar ke arah matanya! Dia berteriak kaget, miringkan kepala, akan
        tetapi ternyata ujung lengan baju itu tidak menyerang mata, melainkan menyeleweng ke bawah dan menotok
        lehernya. "Auggghh...!" Kalau orang lain yang terkena totokan yang tepat mengenai jalan darah, tentu akan roboh
        dan tewas. Akan tetapi tubuh Pat-jiu Kai-ong sudah kebal, maka totokan yang kuat itu hanya membuat ia terhuyung
        ke belakang. Melihat ini, The Kwat Lin tertawa terkekeh, kedua tangannya bergerak dengan cepat sekali dan
        biarpun raja pengemis itu sudah berusaha mati-matian membela diri, namun karena totokan pertama membuat
        pandangan matanya berkunang sehingga gerakannya menjadi kurang cepat, dua kali totokan lagi dan sebuah tamparan
        dengan tiga jari tangan yang tepat mengenai punggungnya membuat dia roboh pingsan! Ketika dia siuman. Pat-jiu
        Kai-ong mendapatkan dirinya sudah rebah terlentang di atas lantai dan dia tidak mampu menggerakan kaki
        tangannya, bahkan tidak mampu mengeluarkan suara karena selain tertotok jalan darah yang membuatnya menjadi
        lumpuh, juga urat ganggu di lehernya telah ditotok. Tahulah dia bahwa dia tak berdaya lagi dan nyawanya berada
        di tangan lawan, dan dia pun maklum bahwa wanita ini tidak akan mungkin mengampuni kesalahannya.Maka dia
        memejamkan mata menanti datangnya kematian. "Bret-bret-brettt..., hi-hik! lihatlah, Bu Ong, lihat binatang
        ini!" Pat-jiu Kai-ong memaki dalam hatinya. Apa maunya perempuan ini? Seluruh pakaiannya direnggut lepas semua
        sehingga dia terlentang dalam keadaan telanjang bulat sama sekali! Karena ingin tahu, bukan karena jerih sebab
        seorang datuk macam Pat-jiu Kai-ong juga tidak mengenal takut, dia menggerakan pelupuk mata dan mengintai dari
        balik bulu matanya. Dia melihat anak laki-laki turun dari kursinya, memandanginya dan tertawa. "Heh-heh,
        ibu,dia lucu sekali! Lucu dan amat buruk... eh, menjijikkan!" The Kwat Lin tertawa-tawa, kemudian sekali ujung
        lengan bajunya bergerak menyambar ke arah leher Patjiu Kai-ong, kakek ini terbebas dari totokan urat ganggunya
        dan dapat mengeluarkan suara. "Perempuan hina, mau bunuh lekas bunuh! Aku tidak takut mati!" teriaknya marah.
        "Hi-hik, enak saja! Ingatkah kau betapa aku dahulupun minta-minta mati kepadamu? Tidak, engkau harus mengalami
        siksaan, mati sekarat demi sekarat! Bu Ong, dia inilah yang membunuh dua belas orang Supekmu secara kejam .
        Maukah kau membalaskan sakit hati dan kematian para Suoekmu?" "Tentu saja! Akan kubunuh anjing tua ini!" Bu Ong
        sudah melangkah maju dan anak ini memandang dengan muka bengis. "Nanti dulu, Bu Ong.Terlampau enak baginya
        kalau dibunuh begitu saja. Tidak, untuk setiap orang dari suhengku, dia harus menderita satu macam siksaan.
        Jari tangannya. Hi-hak, jari-jari tangannya berjumlah sepuluh, itu untuk sepuluh orang suheng! Dan dua buah
        daun telinganya itu untuk kedua suheng yang lain," The Kwat Lin mencabut pedangnya, menyerahkan kepada
        puteranya sambil tertawa-tawa, kemudian dia menggerakan khikangnya, "mengirim suara" dengan ilmunya yang tinggi
        ini sehingga suaranya hanya terdengar oleh Pat-jiu Kai-ong, akan tetapi sama sekali tidak terdengar oleh
        anaknya, "Pat-jiu Kai-ong , tahukah kau siapa bocah ini? Dia ini adalah puteramu! Keturunanmu! hasil kotor dari
        perkosaanmu atas diriku. Nah, sekarang kaulihatlah anakmu, darah dagingmu sendiri yang akan menyiksa dirimu!"
        Sepasang mata Pat-jiu Kai-ong terbelalak lebar, mukanya pucat sekali. Puluhan tahun dia ingin sekali memperoleh
        keturunan, terutama seorang putera, akan tetapi biarpun dia sudah berganti-ganti selir sampai ratusan kali,
        tetap saja para selir itu tidak pernah memperoleh keturunannya. sekarang, secara tidak sengaja dia telah
        memperoleh seorang putera! dan puteranya itu dengan pedang di tangan menghampirinya, siap untuk menyiksanya!
        Tadi dia terheran melihat betapa bekas anggauta Cap-sa Sin-hiap, murid Bu-tong-pai yang terkenal gagah itu
        menjadi begitu keji, mengajar putera sendiri melakukan kekejaman. Kira-kira wanita itu memang sengaja hendak
        menyiksanya dengan menggunakan tangan keturunanya sendiri! Kiranya wanita itu juga membenci anak itu seperti
        juga membencinya, maka sengaja membiarkan anak itu menyiksa dan membunuh ayah sendiri! "Anak...
        jangan...dengarkanlah...." "Pratttt...!" Pat-jiu Kai-ong tidak dapat melanjutkan kata-katanya yang tadinya
        hendak mmperingatkan anak laki-laki itu karena urat ganggunya dileher telah ditotok oleh lengan baju The Kwat
        Lin yang terkekeh menyeringai. "Pat-jiu Kai-ong, begini pengecutkah engkau? Haiii... di mana kegagahanmu
        sebagai seorang datuk? Lihatlah baik-baikdan nikmatilah siksaan anak ini! Bu Ong, pergunakan pedang itu .
        Pertama buntungi kedua daun telinganya untuk Twa-supek dan Ji-supekmu!" "Baik, Ibu!"Bu Ong lalu melangkah maju
        dan dua kali pedang itu berkelebat karena anak itu ternyata sudah pandai menggunakan pedang itu dan buntunglah
        kedua daun telinga Pat-jiu Kai-ong ! Dapat dibayangkan betapa nyeri, perih dan pedih rasa badan dan hati kakek
        itu. Air matanya meloncat keluar membasahi pipinya! "Ha-ha, ibu! Lihat, dia menangis !" Anak itu bersorak dan
        mengambil dua buah daun telinga itu. "He-he, seperti teling babi!" Memang Pat-jiu Kai-ong menangis! Akan tetapi
        bukan menangis karena rasa nyaeri dan pedih karena kedua daun telinganya buntung, melainkan nyeri di hati yang
        lebih hebat lagi melihat betapa anaknya sendiri yang sejak puluhan tahun yang lalu dirindukannya, kini bersorak
        girang melihat penderitaannya! Dia tidak takut mati, tidak takut sakit, akan tetapi melihat betapa dia
        menghadapi siksaan dan kematian di tangan anaknya sendiri, benar-benar merupakan tekanan batin yang hampir tak
        kuat dia menanggungnya . "Teruskan,Bu Ong.Masih ada sepuluh orang Supekmu yang belum dibalaskan sakit
        hatinya.Jari-jari tangannya yang sepuluh itu! Perlahan-lahan saja, satu demi satu buntungkan!" Mulailah
        penyiksaan yang amat mengerikan itu dilakukan oleh Bu-ong. Anak ini seolah-olah telah menjadi gila, dengan
        tertawa-tawa dia membuntungi semua jari tangan kakek itu satu demi satu dan setiap buntung sebuah jari, dia
        bersorak kegirangan. Memang sejak dapat mengerti omongan, anak ini dijejali dendam oleh ibunya, dendam terhadap
        Pat-jiu Kai-ong dan diceritakan betapa Pat-jiu Kai-ong telah membunuh dua belas orang suhengnya dan betapa raja
        pengemis itu menyiksanya dan Bu Ong kelak harus membalas dendam itu. Maka kini anak itu samasekali tidak
        menaruh rasa kasihan, bahkan hatinya puas sekali dapat menyiksa kakek itu. Dapat dibayangkan betapa hebat
        penderitaan Pat-jiu Kai-ong. Namun dia tidak menyesali nasibnya karena dia maklum bahwa dia pun telah melakukan
        perbuatan sewenang-wenang atas diri The Kwat Lin sehingga pembalasan ini sudah jamak. Hanya satu hal yang
        membuat air matanya bercucuran adalah melihat betapa dia disiksa dan akan dibunuh oleh darah dagingnya sendiri.
        Dia menangis melihat darah dagingnya sendiri itu, yang baru berusia sepuluh tahun, telah menjadi seorang iblis
        cilik yang demikian kejam! Kini The Kwat Lin membebaskan totokan yang membuat kaki tangannya lumpuh. Begitu
        kaki tangannya dapat bergerak, Pat-jiu Kai-ong meloncat dan menerkam ke arah Bu Ong dengan ke dua tangan yang
        sudah tak berjari lagi itu, yang berlumuran darah. Niat hatinya untuk membunuh saja anaknya itu agar kelak
        tidak dijadikan iblis cilik oleh ibu yang membencinya. Akan tetapi sebuah tendangan dari samping yang dilakukan
        oleh The Kwat Lin membuat dia terguling lagi. Rasa nyeri pada kedua ujung tangannya membuat kakek itu
        menggeliat-geliat. "Mundurlah, Bu-ong. lihat sekarang ibumu yang akan turun tangan. Aku akan membalas sendiri
        perbuatannya kepadaku terdahulu!" The Kwat Lin menghampiri musuhnya dengan pedang di tangan. "Pat-jiu Kai-ong,
        ingatlah engkau akan peristiwa dahulu itu? Bayangkanlah,hi-hik, bayangkanlah betapa nikmatnya bagimu dan betapa
        menyiksa dan sengsaranya bagiku. Sekarang aku yang menikmati dan kau yang menderita . Sudah adil bukan? Nah,
        terimalah ini... ini... ini...!" Bertubi-tubi pedang di tangan The Kwat Lin bergerak dan tubuh kakek itu
        bergulingan, berkelojotan karena rasa nyeri yang amat hebat ketika ujung pedang itu membabat keseluruh
        tubuhnya, dengan tepat sekali membabat ujung semua jari kakinya, hidungnya, dagunya. Babatan itu hanya mengenai
        ujung sedikit, tidak membahayakan keselamatan nyawa namun menimbulkan rasa nyeri yang hebat. Seluruh tubuh
        kakek itu kini berlepotan darah, mukanya dipenuhi oleh kerut-merut menahan nyeri. "Hi-hik, bagaimana? Masih
        kurang? Nah, rasakanlah ini!" Kembali pedang itu digerakan, kini menusuknusuk dan seluruh tubuhnya ditusuki
        ujung pedang bertubi-tubi. Ujung pedang hanya menusuk dua senti saja sehingga menembus kulit daging akan tetapi
        tidak membunuh dan darah keluar makin banyak lagi, rasa nyeri makin menghebat sehingga tubuh kakek itu
        berkelojotan seperti dalam sekarat. "Ini yang terakhir!" The Kwat Lin berkata dan ujung pedangnya membabat ke
        bawah pusar. Wanita itu tertawa bergelah, tertawa puas, wajahnya yang cantik itu pucat sekali dan dia tertawa
        sambil berdongak ke atas. "suheng sekalian, terutama Twa-suheng, lihatlah musuhmu. Sudah puaskah kalian?" Dan
        dia terisak, lalu menghampiri tubuh yang berkelojotan itu. "akan tetapi aku belum puas! kau harus tidur dalam
        keadaan tersiksa di antara mayat-mayat yang membusuk, selama tiga hari tiga malam!" The Kwat Lin menengok
        kepada anaknya dan berkata, "Bu Ong, kautunggu di sini sebentar!" Tubuhnya berkelebat meninggalkan ruangan itu
        dan dengan cepat dia telah datang menyeret mayat-mayat para pengawal, selir dan pelayan sampai ruangan itu
        penuh dengan mayat-mayat yang dia lemparkan ke sekeliling tubuh Pat-jiu Kai-ong yang mandi darah.
      </P>
      <P>
        "Nah, nikmatilah sekaratmu selama tiga hari!" The Kwat Lin lalu menggandeng tangan anaknya dan mengajak pergi
        meninggalkan gedung itu. Ketika mereka berdua tiba di dalam hutan di depan gedung, Swi Liang dan Swi Nio
        menyambut mereka dengan mata penuh harapan. "Mana Ayah, Subo?" Swi Liang bertanya. "Bagaimana dengan dia?" Swi
        Nio juga bertanya. "Ayah kalian telah tewas...." Dua orang muda itu mengeluh dan menangis. Swi Liang mengepal
        tinjunya dan berkata, "Si jahanam Patjiu Kai-ong! aku harus membalas kematian Ayah!" "Subo, bantulah kami..."
        kata pula Swi Nio, "kami harus menuntut balas!" "Heh-heh, Suheng dan Suci, tenangkanlah hati kalian. Pat-jiu
        Kai-ong telah di balas dan sekarang sedang sekarat di antara tumpukan mayat, he-he-heh! Wah, aku mendapat
        bagian pesta tadi. Akulah yang membuntungi kedua telinganya dan sepuluh jari tangannya. Menyenangkan sekali!"
        Swi Liang dan Swi Nio terbelalak memandang "sute" ini. Ucapan anak itu benar-benar membuat mereka merasa serem.
        Memang, mendengar kematian ayah mereka yang tanpa keraguan lagi mereka yakin tentu dilakukan oleh Pat-jiu
        Kai-ong, mereka pun merasa sakit hati dan ingin membalas dendam. Akan tetapi apa yang dilakukan oleh sute
        mereka menurut pengakuan anak itu, sungguh luar biasa sekali. Membuntungi kedua daun telinga dan sepuluh jari
        tangannya, dan perbuatan itu dianggap menyenangkan sekali dan berpesta, benar-benar membuat mereka bergidik!
        "Musuhmu sedang menanti saat kematian, harap kalian tenang dan tidak memikirkannya lagi. Ayahmu telah tewas,
        dan kalian akan kuajak bersamaku sebagai muridku . Akulah pengganti ayah kalian." Swi Liang dan Swi Nio
        menjatuhkan diri dan berlutut di depan subo mereka sambil bercucuran air mata. "Terima kasih subo..." Kata
        mereka di antara tangis mereka. "Perkenankan kami mengubur jenasah Ayah, "kata pula Swi Liang. "Tidak perlu.
        Kita menanti di sini sampai tiga hari, setelah itu aku akan membakar gedung itu." Biarpun merasa heran dan
        kasihan kepada mayat ayah mereka, kedua orang yang sudah merasa ditolong dan dibalaskan sakit hati itu tidak
        membantah. Mereka tentu saja tidak tahu betapa mayat ayah mereka itu ikut pula di lempar oleh The kwat Lin di
        dekat tubuh Pat-jiu Kai-ong untuk ikut menyiksa musuh besar ini! Memang Pat-jiu Kai-ong tersiksa hebat bukan
        main. Ketika tadi anaknya membuntungi jari-jari tangannya, dia melihat muka anaknya itu berubah-ubah menjadi
        muka banyak anak laki-laki yang menjadi korbanya. Puluhan, bahkan ratusan anak laki-laki yang menjadi korbannya
        itu seolah-olah mengeroyoknya, memaki dan mengejeknya, dan kini, setelah tubuhnya mandi darah dan rasa nyeri
        sampai menusuk-nusuk tulang, dia ditinggalkan di antara mayat-mayat itu. Celaka baginya, tubuhnya yang terlatih
        memiliki daya tahan yang amat kuat sehingga dia tidak menjadi pingsan oleh rasa nyeri itu. Kalau saja dia dapat
        pingsan atau mati sekali, tentu dia tidak akan menderita sehebat itu. Mayat-mayat itu mulai mengeluarkan bau
        yang memuakan pada hari ke dua. Bau darah yang mengering dan membusuk, ditambah rasa nyeri di sekujur tubuhnya,
        masih diganggu lagi oleh bayangan anak-anak yang dahulu menjadi korbanya, membuat Pat-jiu Kai-ong menangis di
        dalam hatinya, menyesali perbuatannya yang mengakibatkan dia mati dalam keadaan tersiksa seperti itu. Tiga hari
        kemudian, The Kwat Lin muncul dan perempuan ini tertawa bergelak melihat musuh besarnya masih belum mati.
        Senang sekali hatinya. Dahulu, dia diperkosa dan dipermainkan di antara mayat-mayat suhengnya selama tiga hari
        tiga malam, dan kini dia dapat membalas secara memuaskan sekali. "Hi-hik, kau sudah puas sekarang?" ejeknya.
        "Nah, mampuslah kau. Pat-jiu Kai-ong!" pedangnya berkelebatan dan seluruh bagian tubuh di bawah pusar kakek itu
        dicincang hancur oleh pedang di tangan The Kwat Lin. Setelah merasa puas melihat mayat musuh besarnya, barulah
        dia membuat api dan membakar gedung itu, lalu berlari keluar. Dengan air mata bercucuran, Swi Liang dan Swi Nio
        memandang nyala api yang membakar gedung, maklum bahwa mayat ayah mereka ikut terbakar. "Ayahmu telah
        sempurna," kata The Kwat Lin. "Tak perlu menangis lagi, hayo kalian ikut bersamaku. Kalau kalian rajin
        mempelajari ilmu, kelak kalian tidak akan mengalami penghinaan orang lagi." Dengan hati berat namun karena
        tidak ada orang lain yang mereka pandang setelah ayah mereka meninggal, dua orang muda itu terpaksa mengikuti
        The Kwat Lin bersama Han Bu Ong pergi meninggalkan Hen-san. Bu-tong-pai adalah sebuah perkumpulan silat yang
        besar, merupakan sebuah di antara "partaipartai" persilatan yang terkenal. Akan tetapi pada saat itu,
        Bu-tong-pai sedang berkabung. Di markas perkumpulan itu yang letaknya di lereng pegunungan Bu-tong-san, dari
        pintu gerbang sampai rumah-rumah para tokoh dan murid kepala, tampak kibaran kain-kain putih menghias pintu,
        tanda bahwa Bu-tong-pai sedang berkabung. Siapakah yang meninggal dunia? Bukan lain adalah ketua Bu-tong-pai
        yang sudah berusia lanjut, yaitu Kiu Bhok San-jin yang meninggal dunia dalam usia delapan puluh tahun. Baru
        saja upacara penguburan selesai dilakukan oleh para anak murid Bu-tong-pai, para tamu telah meninggalkan
        Pegunungan Bu-tong-san, akan tetapi semua anak buah murid Bu-tong-pai masih berkumpul di sekitar kuburan baru
        itu. Suasana penuh pergabungan dan masih tampak beberapa orang murid yang mengusap air mata. Kui Bhok San-jin
        terkenal sebagai seorang ketua dan guru yang baik dan yang dicintai oleh para anak murid Bu-tong-pai.
        "Suhu...!" Seruan ini membuat semua orang menengok dan tampaklah seoang wanita cantik berlari mendatangi,
        diikuti oleh seorang muda-mudi remaja dan seorang anak laki-laki. Wanita itu tidak menoleh ke kanan kiri,
        melainkan langsung berlari menghampiri kuburan baru dan menjatuhkan diri berlutut di depan batu nisan sambil
        menangis. "Ahh, bukankah dia Sumoi The Kwat Lin....?" Seorang murid Kui Bhok San-jin yang usianya lima puluhan
        berseru. Semua orang memandang dan kini mereka pun mengenal wanita yang berpakaian indah seperti seorang nyonya
        bangsawan itu. The Kwat Lin! Tentu saja mereka semua kini teringat. Bukankah The Kwat Lin merupakan seorang
        anak murid Bu-tong-pai yang amat terkenal, sebagai orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap yang sudah
        bertahun-tahun lenyap tanpa meninggalkan jejak? "Benar, dia orang termuda dari Cap-Sha Sin-hiap!" terdengar
        seruan-seruan setelah mereka mengenal wanita cantik itu. Mendengar suara-suara itu, wanita ini lalu bangkit
        berdiri, menyusuti air matanya, kemudian memandang kepada mereka sambil berkata, "Benar, aku adalah The Kwat
        Lin, orang termuda dari Cap-Sha Sin-hiap. Masih baik kalian mengenalku! Sekarang suhu telah meninggal dunia,
        siapakah yang akan menggantikannya sebagai ketua Bu-tong-pai?" Para tokoh Bu-tong-pai terkejut menyaksikan
        sikap angkuh ini. Di antara mereka, terdapat delapan orang yang terhitung suheng-suheng dari The Kwat Lin, dan
        orang tertua di antara mereka adalah seorang kakek berpakaian seperti pendeta tosu. Sejak tadi kakek tosu ini
        mengerutkan alisnya setelah mendengar bahwa wanita itu adalah seorang muda dari Cap-sha Sin-hiap, maka kini
        mendengar pertanyaan Kwat Lin, dia melangkah maju dan berkata, "Sian-cai..., tak pernah pinto sangka bahwa
        anggauta termuda dari Cap-sha Sin-hiap akan muncul hari ini. Berarti engkau adalah murid termuda dari mendiang
        suheng, dan kalau engkau ingin mengetahi, pinto yang dipilih oleh anak murid Bu-tong-pai, juga telah ditunjuk
        oleh mendiang suheng menjadi ketua di Bu-tong-pai." Kwat Lin mengangkat mukanya memandang. Tosu itu bertubuh
        kecil sedang, dan biarpun mukanya penuh keriput, namun matanya bersinar terang dan jenggotnya yang terpelihara
        baik mengitari mulutnya itu masih hitam semua, demikian pula rambutnya yang diikat dan diberi tusuk konde dari
        perak. Pakaiannya sederhana saja, pakaian seorang pendeta To yang longgar. "Siapakah Totiang?" "Ha-ha-ha-ha,
        sungguh lucu kalau seorang murid keponakan tidak mengenal susioknya sendiri. Ketahuilah bahwa pinto adalah Kui
        Tek Tojin, satu-satunya saudara seperguruan dari mendiang Kui Bhok San-jin." Kwat Lin sudah pernah mendengar
        nama susioknya (paman gurunya) ini, seorang tosu perantau, sute termuda dan satu-satunya yang masih hidup dari
        mendiang suhunya. Dia mencibirkan bibirnya yang merah dengan gaya mengejek, kemudian berkata dengan suara
        lantang, "Ah, kiranya Susiok Kui Tek Tojin yang menggantikan Suhu menjadi ketua Bu-tong-pai? Sungguh keputusan
        yang sama sekali tidak tepat! Aku tidak setuju sama sekali kalau Susiok yang menjadi ketua!" Tosu itu
        membelalakan matanya dan memandang kaget, heran dan penasaran. Akan tetapi sebelum dia mengeluarkan kata-kata,
        seorang tosu lain yang bernama Souw Cin Cu, murid tertua dari Kui Bhok San-jin, melangkah maju dan berkata,
        "Sumoi, apa yang kaukatakan ini? Betapa beraninya engkau mengatakan demikian! Keputusan ini tidak saja sesuai
        dengan petunjuk suhu, juga telah menjadi keputusan kami semua. Pula, Susiok merupakan satu-satunya saudara
        seperguruan mendiang Suhu, sehingga kedudukannya paling tinggi dan usianya paling tua di antara kita. Siapa
        lagi kalau bukan Beliau yang menggantikan Suhu menjadi ketua kita?" "Siancai, kedatangan yang mendadak dan tak
        tersangka-sangka, juga pendapat yang mengejutkan. Betapapun juga, sebagai murid mendiang Suheng, dia berhak
        berbicara untuk kepentingan dan kebaikan Bu-tong-pai. The Kwat Lin, bukankah demikian namamu tadi? Kalau
        menurut pendapatmu, siapa gerangan yang patut dijadikan ketua Bu-tong-pai menggantikan Suheng yang telah tidak
        ada?" "Harap maafkan aku, Susiok. Bukan sekali-kali aku memandang rendah kepada Susiok, akan tetapi penolakanku
        itu berdasarkan perhitungan yang matang." Kwat Lin berkata kepada calon ketua Bu-tong-pai itu, mengejutkan dan
        mengherankan semua orang yang mendengar dan melihat sikap tidak menghormat dari wanita itu. "Pertama-tama sejak
        dahulu Susiok selalu merantau, tidak pernah memperdulikan keadaan Bu-tong-pai, apalagi Susiok adalah seorang
        tosu sehingga kalau Susiok yang menjadi ketua Bu-tong-pai, ada bahayanya Bu-tong-pai akan berubah menjadi
        perkumpulan Agama To! Berbeda sekali dengan pendirian mendiang Suhu yang bebas sehingga murid suhu pun terdiri
        dari bermacam-macam golongan. Selain itu, selama ini Bu-tong-pai makin kehilangan sinarnya, menjadi bahan
        ejekan dan bahan penghinaan orang lain." "Ahhhh...!" terdengar suara memprotes dari sana-sini dan Souw Cin Cu
        kembali berkata penasaran, "Sumoi aku benar-benar merasa heran mendengar kata-katamu dan melihat sikapmu.
        Sepuluh tahun engkau dan para suhengmu menghilang dan kini engkau muncul seperti seorang yang lain. Seperti
        langit dengan bumi bedanya antara engkau dahulu dan engkau sekarang! Sumoi, kau mengatakan bahwa Bu-tong-pai
        menjadi lemah dan menjadi bahan ejekan dan penghinaan orang lain. Apa artinya ini?" "Souw Cin Cu Suheng, selama
        bertahun-tahun ini Cap-sha Sin-hiap telah lenyap, tahukah engkau apa yang terjadi dengan mereka?" "Kami telah
        berusaha menyelidiki namun tidak dapat menemukan kalian." "Hemm, itulah tandanya bahwa Bu-tong-pai amat lemah,
        sehingga semua suhengku, tokoh-tokoh Cap-sha Sin-hiap, dibunuh orang tanpa diketahui oleh Bu-tong-pai!" Semua
        orang terkejut sekali mendengar bahwa dua belas orang dari Cap-sha Sin-hiap telah dibunuh orang! "Siapa yang
        membunuh mereka?" Souw Cin Cu bertanya dengan suara marah sekali. Hati siapa yang takkan menjadi panas dan
        marah mendengar bahwa dua belas orang saudara seperguruannya dibunuh orang? "Hemm, terlambat sudah! Dua belas
        orang Suheng dibunuh oleh Pat-jiu Kai-ong ketua Pat-jiu Kai-pang di Heng-san." "Ohhh...!" kini Kui Tek Tojin
        berseru kaget, "Pat-jiu Kai-ong...?? Mengapa...??" Kwat Lin tersenyum mengejek. "Ahhh, tentu Susiok pernah
        mendengar nama besarnya dan menjadi gentar, bukan? Memang dialah datuk sesat yang terkenal itu, yang telah
        membunuh dua belas orang Suhengnya. dan peristiwa itu berlalu begitu saja! Tiga belas orang tokoh Bu-tong-pai
        mengalami penghinaan, dan Butong- pai sendiri diam saja. Apalagi berusaha membalas dendam, bahkan tahupun tidak
        akan peristiwa itu! Ini tandanya bahwa Bu-tong-pai lemah! Kini Bu-tong-pai hendak diketahui oleh Susiok, apakah
        akan dijadikan markas kaum pendeta Tosu dan menjadi makin lemah lagi? Aku sendirilah yang harus turun tangan
        membunuh musuh-musuh besar kami, membunuh Pat-jiu Kai-ong dan membasmi Pat-jiu Kai-pang di Heng-san. Melihat
        kelemahan Bu-tong-pai, aku tidak setuju kalau mendiang Suhu digantikan kedudukannya oleh Susiok Kui Tek To-jin
        harus diganti oleh orang yang memiliki kepandaian tinggi dan dapat memajukan dan memperkuat Bu-tong-pai,
        barulah tepat!" Kwat Lin bicara penuh semangat, mukanya yang cantik dan berkulit halus itu kemerahan, sepasang
        matanya bersinar-sinar dan dengan tajamnya menyapu wajah semua anak murid Bu-tong-pai yang hadir di situ.
        Pandang mata bekas orang termuda Cap-sha Sin-hiap ini membuat banyak anak murid Butong- pai merasa gentar dan
        mereka hanya menunduk untuk menghindarkan pandang mata Kwat Lin. Akan tetapi, delapan orang suheng dari Kwat
        Lin memandang dengan marah dan penasaran. Adapun Kui Tek Tojin hanya tersenyum dan mengelus jenggotnya sambil
        mengangguk-angguk, matanya memandang wajah wanita itu penuh selidik. "The Kwat Lin, omonganmu penuh semangat
        terhadap kedudukan Bu-tong-pai. Andaikata benar semua kata-katamu itu, habis siapakah yang kaupandang tepat
        untuk menjadi ketua Bu-tong-pai?" Kui Tek Tojin berkata lagi dengan sikap tenang. "Untuk waktu ini, kiranya
        tidak ada orang lain lagi dari Bu-tong-pai kecuali aku sendiri!" Kini benar-benar terkejut dan
        terheran-heranlah semua anak murid Bu-tong-pai yang berada di situ. Begitu beraninya wanita ini. Biarpun tak
        dapat disangkal lagi bahwa The Kwat Lin merupakan murid utama pula dari mendiang Bhok Sanjin dan orang termuda
        Cap-sha Sin-hiap, akan tetapi pada waktu itu dia bukanlah orang yang memiliki tingkat tertinggi di Bu-tong-pai.
        Sama sekali bukan! Di atas dia masih ada delapan orang suhengnya, murid-murid Kui Bhok San-jin yang lebih tua,
        dan lebih lagi di situ masih ada Kui Tek Tojin yang tentu saja memiliki tingkat jauh lebih tinggi karen tosu
        ini adalah paman gurunya! "Murid Murtad!!" Tiba-tiba Souw Cin Cu membentak garang dan meloncat maju, diikuti
        pula oleh sutesutenya. Telunjuk kirinya menuding ke arah muka The Kwat Lin. "The Kwat Lin, engkau sungguh tidak
        patut menjadi murid Bu-tong-pai! Kiranya engkau menghilang sepuluh tahun hanya untuk pulang sebagai iblis
        wanita yang murtad terhadap perguruanya sendiri. Dan kami berkewajiban untuk mengajar seorang murid murtad!"
        Sambil berkata demikian, Souw Cin Cu menerjang ke depan dengan dahsyat. Souw Cin Cu merupakan murid pertama
        atau paling tua dari Kui Bhok San-jin. sungguhpun tidak dapat dikatakan bahwa dia memiliki tingkat ilmu silat
        paling tinggi, akan tetapi setidaknya tingkatnya sejajar dengan orang-orang tertua dari Cap-sha Sin-hiap dan
        sebenarnya masih lebih tinggi setingkat jika dibandingkan dengan ilmu kepandaian The Kwat Lin ketika masih
        menjadi orang termuda Cap-sha Sin-hiap dahulu. Akan tetapi, Kwat Lin sekarang sama sekali tidak bisa disamakan
        dengan Kwat Lin sepuluh tahun yang lalu. Dia telah mewarisi ilmu, silat ilmu silat tinggi dan mujijat dari
        Pulau Es! Tingkatnya sudah tinggi sekali dan dengan tenang saja dia memandang ketika suhengnya itu
        menerjangnya. Apalagi karena dia mengenal benar jurus yang dipergunakan oleh suhengnya, jurus dari ilmu silat
        Ngo-heng-kun. Ketika tangan kiri Souw Cin Cu mencengkeram ke arah lehernya dan tangan kanan tosu itu menampar
        pelipis, dia diam saja seolah-olah dia hendak menerima dua serangan ini tanpa melawan. Akan tetapi setelah hawa
        sambaran pukulan itu sudah terasa olehnya, tiba-tiba tangan kirinya bergerak dari bawah ke atas.
        "Plak-plak-plak!!" Kedua lengan Souw Cin Cu telah terpental, bahkan tubuh tosu ini terpelanting ketika tangan
        Kwat Lin yang tadi sekaligus menangkis kedua lengan itu melanjutkan gerakannya dengan tamparan pada pundaknya.
        Tamparan yang perlahan saja, akan tetapi sudah cukup murid pertama mendiang Kui Bhok San-jin terpelanting!
        Diam-diam Kui Tek Tojin terkejut heran menyaksikan gerakan tangan wanita itu, gerakan yang amat cepat dan aneh,
        gerakan yang sama sekali tidak dikenalnya dan tentu saja bukan jurus ilmu silat Butong- pai! Akan tetapi tujuh
        orang sute dari Suow Cin Cu sudah menjadi marah dan tanpa dikomando lagi mereka menerjang maju. Akan tetapi The
        Kwat Lin tertawa, tubuhnya bergerak sedemikian cepatnya dan berturut-turut tujuh orang ini pun terguling roboh
        di dekat Suow Cin Cu! Mereka sendiri tidak tahu bagaimana mereka dirobohkan, akan tetapi tahu-tahu terpelanting
        dan bagian yang tertampar tangan Kwat Lin, biarpun tidak sampai patah tulang, akan tetapi amat nyeri. Padahal
        tamparan itu perlahan saja. Bagaimana andaikata wanita itu menampar dengan pengerahan tenaga sekuatnya, sukar
        dibayangkan akibatnya. Betapapun juga, delapan orang murid utama dari Bu-tong-pai ini tentu saja tidak sudi
        menyerah begitu mudah dan mereka sudah meloncat bangun dan mencabut senjata masing-masing! "Ibu, mengapa tidak
        dibunuh saja tikus-tikus menjemukan ini?" Tiba-tiba Bu Ong berteriak. Anak ini sudah bertolak pinggang dan
        memandang marah kepada para pengeroyok ibunya. Kalau saja tangannya tidak dipegang erat-erat oleh Swi Liang dan
        Swi Nio, suheng dan sucinya, tentu dia sudah menerjang maju membantu ibunya. Akan tetapi memang sebelumnya, Swi
        Liang dan Swi Nio sudah dipesan oleh subo mereka untuk menjaga Bu Ong, dan terutama sekali mencegah bocah ini
        mencampuri urusannya dengan orang-orang Bu-tong-pai. Kwat Lin tersenyum mengejek melihat delapan orang
        suhengnya itu mengeluarkan senjata. "Hemmm, apakah kalian ini sudah buta? Apakah para suheng tidak melihat
        bahwa tingkat kepandaianku jauh melebihi kalian, dan bahkan andaikata Suhu masih hidup, beliau sendiri tidak
        akan mampu menandingi aku." "Keparat...!" Souw Cin Cu dan tujuh orang sutenya menerjang maju, akan tetapi
        tiba-tiba Kui Tek Tojin berseru, "Tahan senjata! Mundur kalian!" Mendengar teriakan ini, delapan orang ini
        serentak mundur mentaati perintah calon ketua mereka. Kui Tek Tojin melangkah maju menghampiri wanita yang
        tersenyum-senyum itu. "Siancai... kiranya engkau telah memiliki kepandaian tinggi maka berani menentang
        Bu-tong-pai! The kwat Lin, selama ini engkau telah mempelajari ilmu silat dari luar Bu-tong-pai, tidak tahu
        dari perguruan manakah?" "Memang benar dugaanmu, Susiok, akan tetapi tidak perlu aku menceritakan kepada
        siapapun juga." "Hei, tosu bau! Ibu adalah Ratu dari Pulau Es, tahukah engkau?" "Bu Ong...!" Kwat Lin membentak
        puteranya, akan tetapi anak itu sudah terlanjur bicara dan bukan main kagetnya Kui Tek Tojin dan para anak
        murid Bu-tong-pai mendengar ini. Pulau Es hanya disebut-sebut dalam dongeng saja, dan memang nama besar tokoh
        Pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es amat terkenal di dunia kang-ouw. Timbul keraguan di dalam hati Kui Tek Tojin,
        akan tetapi karena wanita di hadapannya itu juga merupakan anak murid Bu-tong-pai, maka dia menekan perasaannya
        dan berkata, "The Kwat Lin, kalau engkau masih mengaku sebagai murid Bu-tong-pai, betapapun tinggi ilmu
        kepandaianmu, engkau harus tunduk kepada pimpinan Bu-tong-pai. Sebaliknya, kalau engkau sudah mempelajari ilmu
        silat dari golongan lain dan tidak lagi merasa sebagai orang Bu-tong-pai, engkau tidak berhak mencampuri urusan
        dalam dari Bu-tong-pai." Kwat Lin tersenyum mengejek. " Susiok, tidak perlu kupungkiri lagi bahwa aku telah
        membelajari ilmu silat dari golongan lain dan tingkat kepandaianku menjadi jauh lebih tinggi daripada semua
        tokoh Butong- pai. Akan tetapi aku bukan saja masih mengaku orang Bu-tong-pai, bahkan ingin memimpin Bu-tongpai
        menjadi perkumpulan terkuat di dunia. Akan kuperbaiki dan kupertinggi mutu ilmu silat Bu-tong-pai agar tidak
        ada lagi golongan lain yang berani memandang rendah Bu-tong-pai, apalagi menghina anak murid Bu-tong-pai
        seperti yang terjadi kepada Cap-sha Sin-hiap sepuluh tahun yang lalu." "Hemm, kalau begitu, pinto sebagai calon
        ketua Bu-tong-pai, terpaksa melarang dan menentang kehendakmu, The Kwat Lin." "Dengan cara bagaimana kau hendak
        menentangku, Susiok?" "Dengan mempertaruhkan nyawaku. Kehormatan Bu-tong-pai lebih penting dari pada nyawa
        seorang ketuanya. Majulah dan mari kita putuskan persoalan ini dengan kepandaian kita ." The Kwat Lin
        tersenyum. "Susiok, betapapun mudahnya bagiku membunuhmu, membunuh para suheng dan membunuh semua orang yang
        menentangku. Akan tetapi, aku bahkan ingin menolong kalian, ingin mengangkat nama Bu-tong-pai, maka biarlah aku
        hanya akan mengalahkan Susiok tanpa membunuhmu." Ucapan ini malah merupakan penghinaan yang luar biasa sekali,
        karena mengalahkan lawan tanpa membunuhnya merupakan hal yang amat sukar dan hanya dapat dilakukan oleh orang
        yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi dari lawannya! Merah muka tosu tua itu. Dia dipandang
        rendah oleh murid keponakannya sendiri! Bukan hanya itu saja. Dia sebagai orang tertua dari Bu-tong-pai,
        sebagai calon ketua Bu-tong-pai, dihina oleh seorang anggauta muda Bu-tong-pai! Oleh karena itu, tosu tua ini
        mengambil keputusan untuk mengadu nyawa dengan wanita yang kini dipandangnya bukan sebagai anggauta Bu-tong-pai
        lagi, melainkan sebagai seorang musuh yang hendak mengacau Bu-tong-pai. "The Kwat Lin sebagai seorang ketua
        Bu-tong-pai, pinto menyediakan nyawa untuk mempertahankan kehormatan Bu-tong-pai terhadap siapapun juga , dan
        saat ini pinto akan mempertahankannya terhadap engkau! Majulah!" sambil berkata demikian tosu tua berjenggot
        lebat ini meloncat ke depan, tongkatnya di tangan kanan dan ujung lengan bajunya melambai panjang. Kwat Lin
        mengenal tongkat itu. Tongkat kayu cendana yang harum dan menghitam saking tuanya, tongkat yang menjadi tongkat
        pusaka para ketua Bu-tong-pai sejak dahulu. Dia maklum pula bahwa tongkat itu hanya sebagai lambang kedudukan
        ketua belaka, namun dalam hal ilmu silat bersenjata, ujung lengan baju kakek itu jauh lebih barbahaya dari pada
        tongkatnya. Dia dapat menduga bahwa tentu kakek ini sudah memiliki tingkat tertinggi dari Bu-tong-pai, dan
        telah memiliki sinkang yang amat kuat sehingga kedua ujung lengan bajunya dapat dipergunakan sebagai senjata
        ampuh yang dapat menghadapi senjata apapun juga dari lawan, dapat dibikin kaku keras seperti besi dan lemas
        seperti ujung cambuk yang dapat melakukan totokan-totokan maut keseluruh jalan darah di tubuh lawan! Karena
        itu, dia tidak berani memandang rendah, cepat dia mengeluarkan pekik melengking, dan tubuhnya sudah bergerak
        maju, tangan kananya melakukan pukulan dorongan dengan telapak tangan sambil mengerahkan tenaga sinkang Swat-im
        Sin-jiu. Hawa yang amat dingin menghembus ke depan menyerang kakek itu. Swat-im Sin-jiu adalah tenaga dalam
        inti salju yang dilatihnya di Pulau Es, kekuatannya dahsyat bukan main karena hawa yang menyambar ini
        mengandung tenaga sakti yang mendatangkan rasa dingin. "Siancai...!!" Tosu itu berseru kaget ketika merasa
        betapa hawa yang menyambar dari depan amat dinginnya, membuat tangannya ketika mendorong kembali terasa
        membeku. Maka dia lalu mengerakan tongkat di tangan kanannya, mengambil keuntungan dari ukuran tongkat yang
        panjang, menghantam ke arah kepala wanita itu dari samping. "Wuuuuttt... plakkkk!" Dengan berani sekali Swat
        Lin menggunakan tangan kiri yang dibuka untuk memapaki sambaran tongkat dari samping, terus mencengkram tongkat
        itu dan mengerahkan sinkang, menyalurkannya lewat getaran tongkat dan kembali tosu itu berseru kaget ketika
        merasa betapa lengan kanannya yang memegang tongkat terasa dingin dan lumpuh! Kesempatan baik ini, dalam satu
        detik pada saat lawan masih terkejut dan belum sempat mengerahkan sinkang, dipergunakan oleh Kwat Lin dengan
        jalan menarik ke bawah, bergulingan ke depan dan menghantam ke arah lawan dengan tangan kananya, kini
        menggerakan tenaga sinkang yang berhawa panas! "Ouhhh...!" Kui Tek Tojin berteriak, cepat meloncat ke belakang
        dan tentu saja tongkatnya dapat dirampas. Dia tadi sudah mengerahkan sinkang melawan getaran melalui tongkat,
        dengan niat merampasnya kembali, akan tetapi pukulan lawannya dari bawah yang ditangkis dengan tangan kanan,
        ternyata luar biasa kuat dan panasnya, mengejutkannya karena perubahan sinkang yang berlawanan itu tidak
        disangka-sangkanya, maka untuk menyelamatkan diri, terpaksa dia meloncat ke belakang dan mengorbankan
        tongkatnya. Kwat Lin sudah melompat kebelakang pula, memegang tongkat itu dengan kedua tangan di atas kepala
        sambil tertawa dan berkata, "Hi-hik, tongkat pusaka telah berada di tanganku, berarti akulah ketua Bu-tong-pai!
        "Kembalikan tongkat!" Kui Tek Tojin berteriak marah dan kedua lengannya bergerak ketika tubuhnya menerjang
        maju. Dengan amat cepatnya kedua ujung lengan bajunya bergerak seperti kilat menyambar-nyambar dan dalam
        segebrakan itu, Kwat Lin telah dihujani sembilan kali totokan yang amat berbahaya! Sukarlah membebaskan diri
        dari ancaman totokan yang hebat ini dan andaikata Kwat lin bukan seorang pewaris ilmu-ilmu dari Pulau Es, tidak
        mungkin dia dapat menghindarkan diri lagi. Dia menggunakan ginkangnya berloncatan menghindar, akan tetapi
        sebuah totokan yang meleset masih mengenai pergelangan tangannya, membuat tongkat pusaka itu terlepas dari
        peganganya! Kwat Lin menjerit marah, pedangnya sudah dicabutnya, yaitu pedang Ang-bwe-kiam dan tampak sinar
        merah berkeredepan dan menyambar-nyambar dahsyat. "Bret-brettttt...!!" Kui Tek Tojin berteriak kaget, meloncat
        mundur dan ternyata bahwa ujung lengan bajunya telah terbabat buntung oleh pedang di tangan Kwat Lin, dan
        sekarang wanita itu telah mengambil lagi tongkat pusaka yang tadi terpaksa dilepaskan oleh tangannya yang
        tertotok. "Susiok! Dan kalian para suheng semua! Kalau kalian mendesak, terpaksa aku akan mematahkan tongkat
        pusaka ini kemudian membunuh kalian dan merampas Bu-tong-pai dengan kekerasan!" Dia mengangkat tongkat itu
        tinggi-tinggi. "Aku hanya menuntut hak seorang murid Bu-tong-pai yang memiliki tingkat tinggi dan memegang
        tongkat wasiat itu, hak menjadi ketua dengan niat untuk mempertinggi tingkat Butong- pai!" Delapan orang suheng
        itu masih penasaran dan mereka hendak menyerbu ke depan, akan tetapi Kui Tek Tojin mengangkat tangan ke atas
        dan berkata, "Mundurlah kalian. Dia benar, kita tidak boleh melawan pemegang tongkat pusaka!" Kemudian dia
        berkata kepada Kwat Lin, "Baiklah, melihat tongkat pusaka di tanganmu, kami tidak akan melawan. Akan tetapi,
        betapapun juga kami tidak dapat menerima engkau menjadi ketua kami dan kami harap engkau tidak memaksa anak
        murid Bu-tong-pai yang tidak mau tunduk kepadamu dan meninggalkan tempat ini." Kwat Lin tersenyum. Memang bukan
        kehendaknya untuk memusuhi anak murid Bu-tong-pai. Dia tidak membenci Bu-tong-pai, melainkan hendak mencarikan
        kemuliaan bagi puteranya dengan perantaraan sebuah perkumpulan besar dan dia akan mengusahakan agar Bu-tong-pai
        menjadi sebuah perkumpulan yang paling kuat dan paling besar. "Terserah kepadamu, Susiok." dia lalu memandang
        ke sekeliling, kepada para anak murid Bu-tong-pai, "Haiii, semua anggauta dan murid Bu-tong-pai, dengar lah
        baik-baik! Betapapun juga aku adalah murid Bu-tong-pai sejak kecil, dan di dalam sepak terjang Cap-sha
        Sin-hiap, kalian juga sudah tahu betapa aku dan para suheng telah menjunjung tinggi nama Bu-tong-pai dan aku
        ingin menyebarkan ilmuku kepada kalian semua agar kalian menjadi orang-orang yang lihai dan Bu-tong-pai menjadi
        perkumpulan yang paling kuat di dunia ini. Terserah kepada kalian apakah hendak besetia kepada nama Bu-tong-pai
        dan menjadi murid-muridku, ataukah hendak bersetia kepada tosu Kui Tek Tojin dan delapan orang suhengku ini
        yang hendak membelakangi Bu-tong-pai!" Berisiklah keadaan di situ setelah Kwat Lin mengeluarkan kata-kata ini.
        Para anak murid Bu-tong-pai saling bicara sendiri, saling berbantahan dan akhirnya hanya ada dua puluh orang
        termasuk Kui Tek Tojin yang meninggalkan tempat itu, menuruni bukit dan memasuki sebuah hutan di kaki bukit
        yang dipilih oleh Kui Tek Tojin untuk menjadi tempat tinggal mereka sementara waktu sambil menanti perkembangan
        selanjutnya. Sisanya semua suka mengangkat Kwat Lin menjadi ketua mereka setelah mereka tadi menyaksikan betapa
        lihainya Kwat Lin dan mereka semua ingin memperoleh bagian pelajaran ilmu silat yang tinggi. Demikianlah, mulai
        hari itu, The Kwat Lin menjadi ketua yang baru dari Bu-tong-pai yang dipimpinnya dengan gaya dan bentuk yang
        baru pula. Dengan harta benda berupa emas permata yang amat mahal, yang didapatkan dan dilarikannya dari Pulau
        Es, dia membangun markas Bu-tong-pai menjadi bangunan yang megah, mewar dan kuat. Bahkan dalam keinginan
        hatinya untuk lekas-lekas melihat Butong- pai menjadi perkumpulan yang kuat dan banyak anggautanya, dia
        menerima anggauta-anggauta baru. Anggauta baru diterima dari golongan apapun juga, syaratnya hanya satu bahwa
        mereka itu haruslah memiliki kepandaian yang sampai pada tingkat tertentu, dan bersumpah setia sampai mati
        kepada Bu-tongpai. Karena mendengar bahwa ketua Bu-tong-pai yang baru adalah seorang wanita yang cantik yang
        memiliki kesaktian hebat, juga amat kaya raya, maka banyaklah orang-orang kang-ouw dan golongan kaum sesat yang
        tadinya hidup sebagai perampok dan bajak-bajak yang tidak tertentu penghasilanya, berdatanganlah dan masuk
        menjadi anggauta Bu-tong-pai! Mulai pulalah The Kwat Lin mengatur dan merencanakan cita-citanya untuk
        puteranya. Dengan kerja sama antara dia dan para anggauta baru yang berpengalaman mulailah dia diam-diam
        mengadakan kontak dan mencari kesempatan untuk menghubungi para pembesar tinggi yang merupakan kekuatan rahasia
        untuk membrontak terhadap kaisar. Inilah cita-cita The Kwat Lin. Dia pernah menjadi ratu, menjadi istri seorang
        raja, biarpun hanya raja kecil yang menguasai Kerajaan Pulau Es, karena itu, dia menganggap bahwa puteranya,
        Han Bu-ong, adalah seorang pangeran! Seorang pangeran haruslah bercita-cita menjadi raja. Bukan raja kecil yang
        hanya menguasai sebuah pulau, melainkan raja besar! Dan satu-satunya jalan untuk dapat mencapai ini, hanyalah
        menggulingkan kaisar sehingga kelak ada kesempatan bagi puteranya untuk menjadi kaisar! Tentu saja untuk
        membrontak sendiri dengan mengandalkan kekuatanBu-tong-pai merupakan hal yang tak masuk diakal dan hanya
        merupakan bunuh diri, maka dia mencari kesempatan mengadakan kontak dengan para pembesar tinggi yang berambisi
        seperti dia sehingga mungkin bagi mereka untuk menggunakan bala tentara yang dapat dikuasai untuk mencapai
        cita-cita mereka itu. Memang sesungguhnyalah bahwa kemuliaan duniawai atau alam benda merupakan keadaan yang
        amat berbahaya. Tak dapat disangkal pula bahwa hidup memang memerlukan kebendaan sebagai pelengkap dan
        pelangsung hidup, dan amat baiklah kalau orang dapat menggunakan keduniawian itu pada tempat sebenarnya. Akan
        tetapi, akan celakalah dan hanya akan menimbulkan malapetaka bagi diri sendiri dan bagi orang lain kalau
        manusia sudah dikuasai oleh duniawi yang merupakan harta benda, kedudukan, nama besar, kepandaian dan lain-lain
        sebagainya. Alam kebendaan ini mempunyai sifat seperti arak. Diminum dengan kesadaran dan pengertian akan
        menjadi obat, tapi di lain saat dalam keadaan lalai akan menjadi minuman yang memabokan. Dan sekali orang mabok
        oleh duniawi, akan timbullah perbuatan sombong, sewenang-wenang, dan lupa segala. yang ada hanyalah keinginan
        memenuhi segala kehendaknya dengan cara apapun juga tanpa mengharamkan dengan segala cara. Demikian pula
        terjadi dengan The Kwat lin. Dahulu, belasan tahun yang lalu, The Kwat Lin merupaka seorang pendekar wanita
        yang gagah perkasa menentang kejahatan yang gigih sehingga namanya bersama dua belas orang suhengnya sebagai
        Cap-sha Sin-hiap amatlah terkenal. Akan tetapi setelah malapetaka menimpa Cap-sha Sin-hiap, dendam menaburkan
        bibit yang merobah seluruh pandangan hidupnya. Setelah dia berhasil membalas dendam secara keji dan kejam
        sekali, bibit itu masih berkembang biak dan merobah sifat, dari dendam kepada pengejaran kemuliaan yang tanpa
        batas. Sudah terlalu lama kita meninggalkan Han Swat Hong. puteri dari Raja Han Ti Ong dan sebaiknya kita
        mengikuti pengalamanya agar tidak tertinggal terlampau jauh. Seperti kita ketahui, Swat Hong yang berwatak
        keras itu marah-marah ketika melihat betapa Sin Liong menolong seekor biruang dan tidak mempedulikan
        dia.Dianggapnya Sin Liong sengaja mencari-cari alasan untuk menghambat perjalanan, padahal dia ingin sekali
        segera mencari dan menemukan ibunya yang tidak ia diketahui kemana perginya dan bagaimana nasibnya setelah
        badai yang amat dahsyat mengamuk disekitar lautan itu. Akan tetapi tentu saja bukan dengan hati yang
        sesungguhnya dia hendak meninggalkan Sin Liong di pulau kosong itu, melainkan hanya untuk sekedar menunjukan
        kemarahan hatinya saja. Karena itu setelah perahunya jauh meninggalkan pulau itu sehingga pulau dimana Sin
        Liong mengobati biruang itu tidak nampak lagi, dara itu memutar lagi perahunya dan hendak kembali kepada Sin
        Liong. Sudah dibayangkannya betapa Sin Liong yang selalu sabar dan selalu mengalah kepadanya itu akan minta
        maaf dan menyatakan penyesalan hatinya, dan dia yang akan memaafkannya! Saat - saat seperti itu mendatangkan
        keharuan, kebanggan dan kemenangan di dalam hatinya. Betapa bingung dan kagetnya ketika kemudian dia mendapat
        kenyataan bahwa dia tersesat jalan dan tidak tahu lagi dimana dia meninggalkan Sin Liong tadi! Demikian
        banyaknya pulau yang sama bentuknya di lautan itu, banyak sekali bongkahan es yang datang dan pergi seperti
        hidup saja! Setelah berputar putar tanpa hasil dan yakin bahwa dia berada makin jauh dari tempat dimana Sin
        Liong berada, setelah berteriak - teriak memanggil dengan pengerahan khikang tanpa ada jawabannya dan memutar
        perahu keluardari daerah penuh pulau kecil yang membingungkan itu. Biarlah, dia akan pergi saja melanjutkan
        perjalanan seorang diri mencari ibunya. Dia merasa yakin bahwa suhengnya itu tentu akan dapat menyelamatkan
        diri. Suhengnya memiliki ilmu kepandaian yg amat tinggi. Swat Hong tidak tahu bahwa perahunya menuju ke
        selatan, bukan menuju ke daerah Pulau Es lagi. Namun karena maksudnya untuk mencari ibunya, dara ini seolah -
        olah berlayar tanpa tujuan dan membiarkan saja kemana perahu yang terdorong angin itu membawanya. Pada suatu
        hari , tampaklah olehnya garis hitam di sebelah kanan, masih jauh sekali, akan tetapi dengan girang dia dapat
        mengenal bahwa garis hitam yang amat panjang membujur dari kanan kiri itu adalah sebuah daratan yang agaknya
        tiada bertepi. Itulah daratan besar, pikirnya dengan girang dan dia segera membelokan perahunya menuju ke garis
        hitam itu. Ketika perahunya sudah tiba di dekat pantai yang sunyi, dia melihat ada sebuah perahu lain yang
        meluncur cepat dari sebelah kirinya. Perahu kecil dan yang berada di perahu itu seorang laki-laki muda yang
        kelihatannya gagah dan tampan. Pemuda itu pun memandang kepadanya sehingga dua pasang mata saling pandang
        sejenak. Akan tetapi Swat Hong membuang muka dan tidak mempedulikan orang yang tidak dikenalnya itu, terus saja
        mendayung perahunya ke tepi. Begitu perahunya mendekati daratan, dia lalu meloncat ke daratan, tidak
        menghiraukan perahunya lagi. Memang dia tidak berpikir untuk kembali ke tempat itu dan berperahu lagi. Untuk
        apa berlayar? Pulau Es sudah kosong. Dia akan mencari ibunya di daratan besar, karena kalau ibunya berada di
        suatu pulau, agaknya tentu tidak akan dapat terlepas dari amukan badai yang dahsyat itu. Kalau ibu berada di
        daratan besar , dan ini mungkin saja terjadi, barulah ada harapan bahwa ibunya masih hidup dapat bertemu
        dengannya. Andaikata tidak, dia pun akan merantau di daratan besar, tidak kembali kelaut. Dan dia tahu bahwa
        demikian pula agaknya pendapat suhengnya karena sebelum berpisah mereka sudah membicarakan hal ini
        berkali-kali. Nenek moyangnya yang selama ini menjadi raja di Pulau Es juga berhasal dari daratan besar!
        Setelah kini Kerajaan Pulau Es terbasmi badai dan tidak ada lagi, sepatutnya kalau dia sebagai ahli waris
        satu-satunya kembali pula ke daratan besar! "Heiii... Nona! Tunggu...!!" Swat Hong mengerutkan alisnya dan
        berhenti melangkahkan kakinya, membalik dan melihat betapa pemuda yang berada di dalam perahu tadi sudah
        menambatkan perahunya dan juga perahu yang ditinggalkanya meloncat tadi, di pantai. Kini pemuda itu berlari
        mengejarnya. "Mau apa engkau mengejar dan memanggil aku?" Swat Hong bertanya, matanya memandang penuh selidik.
        Pemuda itu usianya tentu hanya lebih tua dua tiga tahun darinya, seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah,
        yang perawakanya tinggi besar dan matanya menyorotkan kejujuran dan membayangkan kekerasan dan keberanian.
        Kedua lengan yang tampak tersembul keluar dari lengan baju pendek itu kekar berotot membayangkan tenaga yang
        hebat, juga bajunya yang terbuat dari kain tipis membayangkan dada yang bidang, terhias sedikit rambut, berotot
        dan kuat sekali. Melihat bahan pakaiannya dapat di duga bahwa pemuda ini seorang yang beruang, namun melihat
        dari keadaan tubuhnya dan kaki tangannya, agaknya dia biasa dengan pekerjaan berat. Seorang petani atau seorang
        nelayan, pikir Swat Hong, kagum juga memandang tubuh yang kokoh kuat itu. Pemuda itu tersenyum. Senyumnya lebar
        memperlihatkan deretan gigi yang kokoh kuat pula, senyum terbuka seorang yang berwatak jujur dan bersahaja.
        Akan tetapi sikapnya ketika mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan, membuktikan bahwa dia
        pernah"makan sekolahan" alias terpelajar, terbukti pula dari kata-katanya yang biarpun ringkas dan singkat akan
        tetapi tetap sopan. "Maafkanlah, Nona meninggalkan perahu begitu saja, aku merasa sayang dan membantu
        meminggirkannya. Melihat gerakan Nona ketika meloncat, jelas bahwa Nona berkepandaian tinggi. Aku ingin sekali
        belajar kenal." Swat Hong mengerutkan alisnya. Hatinya sedang tidak senang, karena selain kegagalannya mencari
        ibu, juga perpisahanya dengan Sin Liong setidaknya mendatangkan rasa gelisah di hatinya. Kini ada pemuda yang
        amat lancang ingin "belajar kenal", sungguh menggemaskan. "Aku tidak membutuhkan perahu itu lagi, dan aku tidak
        peduli apakah kau meminggirkannya atau hendak memilikinya, aku tidak minta bantuanmu. Tentang belajar kenal
        biasanya hanya pedang, kepalan tangan dan tendangan kaki saja yang mau belajar kenal dengan orang asing
        lancang!" Sepasang mata lebar itu terbelalak seolah-olah memandang sesuatu yang amat aneh, namun membayangkan
        kekaguman yang luar biasa. Dan memang, di luar dugaan Swat Hong sendiri, sikap dan kata-katanya tadi
        mendatangkan rasa kagum yang amat besar di dalam hati pemuda ini. Telah menjadi ciri khas pemuda ini yang
        mengagumi sikap orang yang terbuka, jujur, kasar dan tanpa pura-pura seperti sikap Swat Hong yang baru saja
        diperlihatkan. "Ha-ha-ha-ha!" Pemuda itu tertawa bergelak dan kedua matanya menjadi basah oleh air mata. Ini
        pun ciri khasnya. Kalau dia tertawa, air matanya keluar seperti orang menangis. Dengan punggung tangannya yang
        besar dan berotot dia menghapus air matanya. "Nona hebat sekali! Ha-ha-ha , aku Kwee Lun selama hidupku baru
        sekarang ini bertemu dengan seorang nona yang begini hebat! Diantara seribu orang gadis, belum tentu ada satu!
        Nona, kalau sudi, perkenalkanlah aku Swee Lin, biarpun jelek dan kasar bukanlah tidak terkenal. Ayahku adalah
        seorang pelaut biasa dan sudah meninggal, demikian pula Ibuku. Aku anak pelaut akan tetapi sejak kecil aku
        sudah ikut kepada guruku. Guruku inilah yang terkenal. Guruku adalah Lam Hai Sen-jin, pertapa yang amat
        terkenal di dunia kang-ouw, dan kami berdua tinggal di Pulau Kura-kura di laut selatan." Melihat sikap terbuka
        ini, geli juga hati Swat Hong. Kini dia melihat jelas bahwa pemuda ini sama sekali tidak kurang ajar. Kasar
        memang, akan tetapi kekasaran yang memang menjadi wataknya yang terbuka. Orang macam ini baik dijadikan
        sahabat, pikirnya. Akan tetapi harus dibuktikan dulu apakah pemuda ini pantas menjadi sahabatnya, sungguhpun
        menurut pengakuannya dia murid seorang pertapa yang namanya terkenal di dunia kang-ouw! Swat Hong tersenyum.
        "Aihh, engkau lebih pantas menjadi seorang penjual jamu! Setelah engkau memperkenalkan semua nenek moyangmu
        kepadaku, dengan maksud apakah engkau seorang pria minta perkenalan dengan seorang wanita?" Kwee Lun
        mengerutkan alisnya yang sangat lebat seperti dua buah sikat ditaruh melintang di dahinya itu, dan dia
        menggeleng-geleng kepalanya. "Memang, sebelumaku berangkat merantau, suhu berpesan dengan sungguh bahwa aku
        tidak boleh mendekati wanita cantik yang katanya amat berbahaya melebihi ular berbisa! Akan tetapi, biarpun
        Nona cantik sukar dicari cacatnya, namun kepandaian Nona tinggi dan sikap Nona jujur menyenangkan. Aku ingin
        bersahabat, karena sekarang ini baru pertama kali aku merantau seorang diri, aku membutuhkan seorang sahabat
        yang pandai seperti Nona untuk memberi petunjuk kepadaku. Untuk budi Nona ini, tentu aku akan berusaha
        menyenangkan hatimu." Swat Hong makin terheran. Dia tidak tahu apakah pemuda ini pintar atau bodoh. Sikapnya
        terbuka akan tetapi biarpun kata-katanya teratur, ada bayangan ketololan. "Hemm, kau bisa apa sih? Bagaimana
        engkau bisa menyenangkan hatiku?" Dia menyelidik. "Aku? Wah, aku bodoh akan tetapi kalau ada orang-orang kurang
        ajar kepadamu, tanpa Nona turun tangan sendiri, aku sanggup menghajar mereka! Dia melonjorkan kedua lengannya
        yang kekar berotot itu. "Dan jangan Nona sangsi lagi, biar ada lima puluh orang, aku masih sanggup menghadapi
        mereka, kalau perlu dibantu sengan senjataku kipas dan pedang. Kalau Nona senang sajak, aku banyak mengenal
        sajak kuno yang indah dan di waktu Nona kesepian, aku dapat menghibur Nona dengan nyanyian! Aku suka sekali
        bernyanyi." Hampir saja Swat Hong tertawa geli orang yang kekar seperti seekor singa buas ini membaca sajak,
        bernyanyi dan senjatanya kipas? Benar-benar seorang pemuda yang aneh, akan tetapi tentu saja dia belum mau
        percaya begitu saja. Sambil memandang tajam dia berkata, "Hemm, kau bicara tentang pedang dan kipas sebagai
        senjata, akan tetapi aku tidak melihat engkau membawa senjata apa-apa." Ahh, tunggu dulu, Nona. Aku memang
        sengaja meninggalkanya di perahu!" Setelah berkata demikian, Kwee Lun membalikan tubuhnya dan berlari cepat
        sekali ke perahunya dan ketika dia sudah kembali ke depan Swat Hong, benar saja dia telah membawa sebatang
        pedang yang sarungnya terukir indah dan sebuah kipas bergagang perak yang diselipkan di ikat pinggangnya!
        "Mengapa baru sekarang kau memperlihatkan senjata-senjatamu?" "Aih, kalau tadi aku membawa senjata, tentu akan
        menimbulkan dugaan yang bukan-bukan dan untuk berkenalan dengan seorang gadis, bagaimana aku berani membawa
        senjata? Tentu disangka perampok atau bajak!" Mau atau tidak, Swat Hong tersenyum. Timbul rasa sukanya kepada
        pemuda kasar yang aneh ini. "Betapapun juga, aku adalah seorang wanita dan engkau seorang pria, mana mungkin
        menjadi sahabat? Tidak patut dilihat orang." Mata yang lebar itu kembali terbelalak penuh penasaran dan tangan
        kirinya dikepalkan. "Apa peduli katakata orang? Kalau ada yang berani mengatakan yang bukan-bukan tentu akan
        kuhancurkan mulutnya! Wanita adalah seorang manusia, pria pun seorang manusia. Apa salahnya berkenalan dan
        bersahabat? Nona, aku Kwee Lun bukan seorang yang berpikiran kotor, juga aku tidak akan sembarangan memilih
        kawan! Aku kagum melihat Nona, maka kalau Nona sudi, harap memperkenalkan diri." Swat Hong makin tertarik, akan
        tetapi dia masih ragu-ragu apakah orang ini patut dijadikan seorang teman. Biarpun lagaknya seperti jagoan,
        siapa tahu kalau kosong belaka? "Kau bilang tadi murid seorang tosu yang terkenal?" "Ya, Suhu Lam Hai Seng-jin
        merupakan tokoh yang paling terkenal di daerah selatan!" "Kalau begitu, ilmu silatmu tentu lebih lihai daripada
        bicaramu sepeti penjual jamu?" "Ihhh, harap jangan mentertawakan! Biarpun tidak selihai Nona yang dapat kulihat
        dari gerakan meloncat dari perahu tadi, akan tetapi masih tidak terlalu orang di dunia ini yang akan sanggup
        mengalahkan Kwee Lun!" "Tidak ada artinya kalau hanya disombongkan dan dibanggakan tanpa ada buktinya! Aku juga
        tidak sembarangan memperkenalkan diri kepada orang lain. Untuk membuktikan apakah kau patut menjadi kenalanku,
        cabut kedua senjatamu, dan coba kau hadapi pedangku!" Sambil berkata demikian, Swat Hong sudah mencabut
        pedangnya perlahan-lahan dan tampaklah sinar pedang ketika sinar matahari menimpanya. "Akan tetapi, Nona...."
        Kwee Lun meragu. Biarpun dia tadi menyaksikan betapa gesit dan ringannya tubuh nona itu melayang ke daratan,
        namun dia tidak percaya apakah nona ini mampu menandingi pedang dan kipasnya! "Tidak usah banyak ragu. Kalau
        kau tidak mau, pergilah dan jangan menggangguku lebih lama lagi!" "Srat...!!" Pedang terhunus sudah berada di
        tangan kanan Kwee Liu dan sarung pedangnya dilempar ke atas tanah, sedangkan tangan kirinya sudah mencabut
        kipas gagang perak yang telah dikembangkan dan melindungi dadanya, adapun pedang itu dilonjorkan ke depan. "Aku
        telah siap, Nona." Swat Hong memang ingin sekali melihat sampai di mana kepandaian pemuda yang aneh ini, maka
        tanpa banyak kata lagi dia sudah meloncat ke depan dan menggerakan pedangnya dengan hebat sekali. Pedang di
        tangannya itu adalah pedang biasa saja, akan tetapi karena yang menggerakan adalah tangan yang mengandung
        tenaga sinkang istimewa dari Pulau Es, maka pedang itu lenyap bentuknya berubah menjadi gulungan sinar yang
        menyilaukan mata dan tubuh dara itu juga tertutup oleh gulungan sinar pedang saking cepatnya tubuh itu
        berloncatan. "Aihhh...!!" Kwee Lun berseru keras dan cepat dia menggerakan pedang dan kipas. Memang sudah
        diduganya bahwa dara itu lihai sekali, akan tetapi menyaksikan gerakan pedang yang demikian luar biasa, dia
        menjadi kaget, kagum, heran dan juga gembira. Tanpa ragu-ragu dia lalu mengerahkan tenaga dan mengeluarkan
        semua ilmu silatnya untuk menandingi dara yang mengagumkan hatinya ini. Seperti telah kita kenal di permulaan
        cerita ini ketika terjadi para tokoh kang-ouw memperebutkan Sin Liong yang ketika itu dikenal sebagai Sin-tong
        (bocah ajaib), guru pemuda itu, Lam Hai Seng-jin, adalah seorang tosu yang selain ahli dalam Agama To, juga
        pandai bernyanyi, dan lihai sekali ilmu silatnya. Namun terkenal sebagai pertapa atau pemilik Pulau Kura-kura
        di Lam-hai dan senjatanya yang berupa hudtim dan kipas mengangkat tinggi namanya di dunia kang-ouw. Agaknya
        kepandaian itu telah diturunkan semua kepada murid tunggalnya ini, namun tentu saja karena muridnya bukanlah
        seorang tosu, senjata hudtim diganti dengan pedang. Pedang dan kipas adalah senjata yang ringan, kini dimainkan
        oleh kedua lengan Kwee Lun yang mengandung tenaga gajah, tentu saja dapat dibayangkan betapa cepatnya kedua
        senjata itu bergerak sampai tidak tampak lagi sebagai senjata kipas dan pedang, melainkan tampak hanya gulungan
        sinar yang berkelebatan dan saling belit dengan sinar pedang di tangan Swat Hong. "Cringgg...!" Tiba-tiba
        pemuda itu berseru kaget dan pedangnya mencelat ke atas terlepas dari tangannya. Swat Hong tersenyum. Dia tadi
        sudah menyaksikan bahwa ilmu pedang pemuda itu cukup lihai, bahkan dalam hal kecepatan dan tenaga tidaklah
        kalah banyak dibandingkan dengan kepandaiannya sendiri. Adanya dia dapat membuat pemuda itu terlepas dalam
        waktu tiga puluh jurus, hanyalah karena selain dasar ilmu silatnya lebih tinggi daripada pemuda itu, juga
        kenyataan bahwa pemuda itu tidak mau menyerangnya dengan sungguh-sungguh dan mendasarkan permainannya pada
        tingkat penguji dan berlatih saja. Kalau pemuda itu merupakan lawan sungguh-sungguh, dia sendiri sangsi apakah
        akan dapat merobohkannya dalam waktu seratus jurus. "Wah, kau hebat sekali, Nona! Aku mengaku kalah!" Kwee Lun
        menjura dan menyimpan kipasnya. Suaranya bersungguh-sungguh, karena memang pemuda ini walaupun tadi tidak mau
        menyerang sungguh-sungguh, namun dari gerakan lawannya dia sudah dapat melihat bahwa dara itu benar-benar
        memiliki ilmu silat yang amat aneh dan amat kuat. "Aku terlalu rendah untuk menjadi sahabatmu." "Kwee-twako,
        kau terlalu merendah. Ilmu kepandaianmu hebat! Perkenalkanlah, aku bernama Hat Swat Hong...." Sampai di sini,
        dara itu meragu karena dia masih sangsi apakah dia akan memperkenalkan diri sebagai seorang puteri dari
        Kerajaan Pulau Es yang asing dan yang telah terbasmi habis oleh badai itu. "Ilmu pedang Nona hebat bukan main,
        juga amat aneh gerakannya, Selama melakukan peratauan dengan Suhu, dan mendengar penjelasan Suhu, sudah
        banyaklah aku mengenal dasar ilmu silat perkumpulan besar di dunia kang-ouw akan tetapi melihat gerakan
        pedangnya tadi, aku benar-benar tidak tahu lagi, sedikit pun tidak mengenalnya. Maukah Nona Han Swat Hong
        memperkenalkannya kepadaku?" "Kwee-twako, sebenarnya aku akan merahasiakan keadaanku, Baru pertama kali ini aku
        menginjak daratan besar dan aku tidak ingin melibatkan diri dengan urusan di dunia kang-ouw, apa lagi
        memperkenalkan diriku. Akan tetapi memang sudah nasib, begitu mendarat bertemu dengan engkau, dan sikapmu
        menarik hatiku, membuat aku tidak dapat menyembunyikan diri lagi. Aku akan menceritakan keadaanku hanya dengan
        satu janji darimu, Twako." Kwee Lun memunggut pedangnya, mengikatkan sarung pedang di punggung lalu
        membusungkan dadanya yang sudah membusung tegap itu sambil menepuk dada dan berkata, "Nona Han...."
        "Kwee-twako, sekali mau mengenal orang, aku tidak mau bersikap kepalang. Aku menyebutmu Twako (kakak), berarti
        aku sudah percaya kepadamu. Maka janganlah kau masih bersikap sungkan menyebutku Nona. Namaku Swat Hong dan tak
        perlu kau menyebutku Nona seperti orang asing." "Hemm, bagus sekali!" Kwee Lun bertepuk tangan dan memandang ke
        langit. "Bukan main! Aku benarbenar berbahagia dapat memperoleh adik seperti engkau! Nah, Hong-moi (adik Hong),
        kauceritakanlah kepada kakakmu ini. Ceritakan semuanya, kalau ada penasaran, akulah yang akan membereskan
        untukmu! Kakakmu ini sekali bicara tentu akan dipertahankan sampai mati!" Diam-diam Swat Hong merasa girang dan
        kagum. Inilah seorang laki-laki sejati! Seorang jantan! Sekaligus dia memperoleh seorang sahabat yang boleh
        dipercaya seorang kakak dan sebagai pengganti seorang keluarga setelah dia kehilangan segala-galanya. Dia telah
        kehilangan ibunya, ayahnya, keluarga ayahnya, bahkan akhirnya dia kehilangan suhengnya dan dalam keadaan
        seperti itu tiba-tiba muncul seorang seperti Kwee Lun! "Kwee-twako aku baru saja meninggalkan tempat tinggalku
        di tengah-tengah laut di sekitar sana!" Dia menuding ke arah laut bebas. "Di manakah tempat tinggalmu itu? Di
        sebuah pulau?" Swat Hong mengangguk, masih agak ragu-ragu. "Pulau apa, Hong-moi?" "Pulau Es..." "Hah...?" Benar
        saja seperti dugaannya, nama Pulau Es mendatangkan kekagetan luar biasa, bahkan wajah pemuda itu berubah
        menjadi agak pucat dan dia memandang dara itu seperti orang melihat iblis di tengah hari! "Pulau... Pulau
        Es...??" Seperti juga semua orang di dunia kang-ouw, Pulau Es hanya didengarnya seperti dalam dongeng saja, dan
        pangeran Han Ti Ong yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw disebut sebagai seorang dari Pulau Es, seorang yang
        memiliki kepandaian seperti dewa! Dan kini pemuda itu mendengar bahwa dara itu dari Pulau Es. "Kwee-twako!
        Jangan memandangku seperti memandang siluman begitu...!" "Ohh... eh...., maafkan aku, Moi-moi! Hati siapa yang
        mau percaya? Akan tetapi aku percaya padamu, Moimoi! Wah! aku percaya sekarang! Kau pantas kalau dari Pulau Es.
        Ilmu kepandaianmu luar biasa, bukan seperti manusia lumrah. Mana ada gadis biasa mampu mengalahkan Kwee Lun
        dalam beberapa jurus saja? Aku malah bangga! Seorang penghuni Pulau Es menyebutku twako dan kusebut Moi-moi!
        Ha-ha-ha-ha, Suhu tentu akan tercengang saking kagetnya kalau mendengar ini!" Melihat pemuda itu petentang-
        petenteng mengangkat dada seperti orang membanggakan diri sebagai seorang sahabat baik penghuni Pulau Es, Swat
        Hong menjadi geli hatinya. "Hong-moi, engkau tidak tahu betapa bangga dan besarnya hatiku. Aihh, sekali ini,
        baru saja meninggalkan Suhu untuk merantau seorang diri, aku telah bertemu dan dapat bersahabat denganmu.
        Betapa bangga hatiku!" Swat Hong terkejut. Baru teringat olehnya bahwa dia tadi belum melanjutkan syaratnya,
        maka cepat dia berkata, "Kalau begitu, berjanjilah bahwa engkau tidak akan menceritakan kepada siapapun juga
        tentang keadaan diriku, kecuali namaku saja. Berjanjilah Twako!" Kwee Lun memandang kecewa. "Tidak menceritakan
        kepada siapapun juga bahwa engkau adalah penghuni Pulau Es? waaahhh... ini..." Tentu saja hatinya kecewa karena
        hal yang amat dibanggakan itu tidak boleh diceritakan kepada orang lain. Mana bisa dia berbangga kalau begitu?
        "Kwee Lun."tiba-tiba Swat Hong berkata dengan lantang. "Hanya ada dua pilihan bagimu. Berjanji memenuhi
        permintaanku dan selanjutnya menjadi sahabat baiku, atau kau tidak mau berjanji akan tetapi kuanggap sebagai
        seorang musuh!" "Wah-wah... aku berjanji! Aku berjanji! Bukan karena takut kepadamu, Hong-moi, aku bukan
        seorang penakut dan juga tidak takut mati, akan tetapi karena memang aku merasa suka sekali kepadamu. Aku tidak
        sudi menjadi musuh! Nah, aku berjanji, biarlah aku bersumpah bahwa aku tidak akan menceritakan kepada siapapun
        juga tentang asal-usulmu, kecuali... hemm, tentu saja kalau... kalau kau sudah mengijinkan aku. Siapa tahu..."
        Sambungnya penuh harap. Swat Hong tersenyum lega. "Baiklah, Kwee-twako. Aku percaya bahwa engkau akan memegang
        teguh janjimu. Sekarang dengarlah cerita singkatku dan kuharap kau suka membantuku. Aku adalah puteri dari Raja
        Pulau Es..." "Aduhhhh...." Kembali mata itu terbelalak dan kwee Lun segera membungkuk, agaknya malah akan
        berlutut! "Twako, kalau kau berlutut atau melakukan hal yang bukan-bukan lagi, aku takan sudi bicara lagi
        kepadamu!" Kwee Lun berdiri tegak lagi. "Hayaaaa... siapa bisa menahan datangnya hal-hal yang mengejutkan
        secara bertubi-tubi ini? Baiklah, aku taat... eh, benarkah aku boleh menyebutmu Moi-moi?" "Siapa bilang tidak
        boleh ! Aku hanya bekas puteri raja! Ayahku telah meninggal dunia dan Ibuku..., ah, aku sedang mencari Ibuku
        yang pergi entah kemana. Kwee-twako, aku tidak bisa menceritakan lebih banyak lagi. Yang penting kauketahui
        hanya bahwa Ibuku telah berbulan-bulan meninggalkan Pulau Es, entah ke mana perginya dan aku sedang mencarinya.
        Juga aku telah saling berpisah dengan Suhengku. aku sedang pergi merantau dan sekalian mencari Ibuku dan
        Suhengku." "Aku akan membantumu!" Kwee Lun menggulung lengan bajunya yang memang sudah pendek sampai kebawah
        siku itu. "Jangan khawatir!" "Terima kasih, Twako. Dan sekarang, engkau hendak ke manakah?" "Sudah kukatakan
        tadi bahwa aku meninggalkan Pualu Kura-kura untuk pergi merantau meluaskan pengalaman, sekalian memenuhi
        permintaan penduduk kota Leng-sia-bun yang berada tak jauh dari pantai ini." "Permintaan apa, Twako?" "Beberapa
        orang penduduk bersusah payah mencari Suhu di Pulau Kura-kura, dan mereka mohon pertolongan Suhu untuk
        menghancurkan komplotan busuk yang merajalela di kota ini. Suhu lalu memerintahkan aku pergi, dan sekalian aku
        diberi waktu setahun untuk merantau sendirian. Kebetulan sekali aku bertemu denganmu di sini. Marilah kau ikut
        bersamaku ke Leng-sia-bun, tentu kau akan gembira melihat keramaian ketika aku menghadapi komplotan itu.
        Setelah selesai urusanku di sana,aku menemanimu mencari Suhengmu dan Ibumu." Swat Hong mengangguk setuju. Lega
        juga hatinya, karena kini ada seorang teman yang setidaknya lebih banyak mengenal keadaan daratan besar dari
        pada dia yang asing sama sekali. "Baik, Twako. Akan tetapi perutku...." "Eh, perutmu mengapa? Sakit...."
        "Sakit.... lapar...!"
      </P>
      <P>
        Kwee Lun tertawa-tawa bergelak dan Swat Hong juga tertawa. Keduanya merasa lucu dan gembira karena mendapatkan
        seorang teman yang cocok wataknya! "Kalau begitu, tidak jauh bedanya dengan perutku! mari kita cepat pergi.
        Leng-sia-bun terdapat banyak makanan enak!" "Tapi .... perahumu itu? Bagaimana kalau ada yang curi nanti ?"
        "Hemm, siapa berani mencurinya? Lihat, bentuk perahuku itu. Bentuknya seperti seekor kura-kura, lengkap dengan
        kepalanya dan ekornya. Melihat itu, semua orang tahu bahwa itu milik Pulau Kura-kura, siapa berani
        mengganggunya? Perahumu yang berada di dekat perahuku juga aman." "Wah, kalau begitu nama Suhumu sudah terkenal
        sekali!" Memang, dan sekarang aku akan membuat nama agar sama terkenalnya dengan nama suhu!" Berangkatlah kedua
        orang muda itu menuju ke utara, melalui sepanjang pantai itu lalu mendekati sebuah daerah pegunungan, menuju ke
        kota Leng-sia-bun yang letaknya tidak jauh dari pantai laut, tak jauh dari muar sungai Huai. Kota Leng-sia-bun
        merupakan kota pantai yang ramai dan padat penduduknya. Karena daerah ini merupakan daerah perdagangan yang
        menampung datangnya hasil bumi dari pedalaman untuk dibawa oleh perahu-perahu ke pantai laut yang lain, juga
        merupakan pasar besar pagi para nelayan, maka penduduknya cukup makmur. Rumah-rumah besar, toko-toko,
        hotel-hotel dan restoran-restoran membuktikan kemakmuran kota itu. Akan tetapi, seperti biasa terjadi dimanapun
        juga di penjuru dunia dan di jaman apa pun, di kota Leng-sia-bun muncul juga manusia-manusia yang mempergunakan
        kesempatan untuk mencari keuntungan dan menumpuk harta benda dengan cara yang tidak layak, tidak halal, bahkan
        tidak mempedulikan lagi nilai-nilai kemanusiaan.Telah bertahun-tahun, di kota itu merajalela komplotan yang
        dipimpin oleh seorang hartawan bernama Ciu Bo jin dan terkenal dengan sebutan Ciu- wangwe (Hartawan Ciu).
        Sebenarnya, tanpa diketahui oleh siapa pun di kota itu, Ciu-wangwe adalah bekas seorang perampok tunggal yang
        memiliki kepandaian tinggi. Setelah rambutnya mulai putih dan dia berhasil mengumpulkan kekayaan, tinggallah
        dia di kota Leng-sia-bun menjadi seorang pedagang. Mula-mula dia mendirikan sebuah rumah makan. Setelah rumah
        makannya maju, dia membuka rumah judi dan rumah penginapan. Tentu saja dia mengumpulkan bekas teman-temannya
        dari kalangan hitam untuk bekerja kepadanya dan merangkap menjadi tukang pukul, akan tetapi Ciu-wangwe melarang
        keras kepada anak buahnya untuk memperlihatkan sikap kasar dan sewenang-wenang karena dia maklum bahwa itu
        bukan merupakan cara untuk mengumpulkan kekayaan di sebuah kota. Dengan licin sekali, Ciu-wangwe mempengaruhi
        para pembesar kota itu dengan jalan seringkali mengirimkan hadiah kepada mereka. Bahkan bukan uang saja yang
        dijadikan umpan untuk memancing ikan besar dan menjinakan haimau, akan tetapi dia juga mempergunakan
        wanita-wanita muda! Terkenallah hotel dan rumah judi yang didirikan Ciu-wangwe karena kedua tempat ini juga
        merupakan tempat berpelesir di mana disediakan perempuan muda sebagai pelacur-pelacur kelas tinggi! Bahkan
        restorannya juga amat laris karena disitu bercokol pula beberapa orang pelacur cantik yang melayani para tamu
        makan minum dan memberi kesempatan kepada para tamu sambil makan minum untuk colek sana sini! Biarpun banyak
        penduduk Leng-sia-bun yang menjadi korban judi, banyak rumah tangga berantakan, namun tidak ada orang yang
        mampu menyalahkan Ciu-wangwe karena rumah judi, hotel dan restoran yang dibukanya adalah sah dan mendapat restu
        serta perlindungan dari para pembesar setempat. Bahkan secara terang-terangan, hampir semua pembesar di kota
        itu menjadi langganan Ciu-wangwe. Mereka yang gemar berjudi menjadi langganan pokoan ( tempat judi) di mana
        mereka dapat berjudi apa saja sepuasnya dan tentu saja dalam melayani para pembesar berjudi, orang-orang
        kepercayaan Ciuwangwe tidak berani main curang, tidak seperti jika melayani umum di situ dilakukan
        kecurangankecurangan yang menjamin kemenangan bagi si bandar judi. Bagi para pembesar yang senang pelesir
        dengan wanita, mereka mendatangi likoan (hotel) di mana tersedia kamar yang mewah berikut pelacurnya yang
        tinggal pilih dan mereka memperoleh pelayanan istimewa! Bagi yang mengutamakan lidah dan mulut, tersedia
        restoran yang menyediakan atau mengirim arak wangi dan masakan lezat! Kesewenang-wenangan Ciu-wangwe tidaklah
        tampak atau terasa secara langsung oleh penduduk. Hanya apabila ada orang berani mendirikan tempat judi,
        restoran atau hotel baru yang menyaingi perusahannya, maka diam-diam tukang pukulnya akan bertindak dan memaksa
        si pemilik perusahan itu untuk menutup pintu dan menurunkan papan nama perusahan! Boleh orang lain membuka akan
        tetapi harus kecil-kecilan dan mengirim "pajak" sebagai penghormatan kepada Ciu-wangwe! Akan tetapi, beberapa
        bulan belakangan ini terjadilah kegemparan-kegemparan di daerah kota Leng-sia-bun. Kegemparan yang terasa oleh
        kaum pria yang doyan pelesir di restoran dan hotel milik Ciuwangwe. Hanya bedanya, kalau kegemparan para
        penduduk dusun disertai tangis, adalah kegemparan di hotel-hotel itu diiringi suara ketawa gembira sungguhpun
        di malam hari juga mengakibatkan tangis mnyedihkan. Apakah yang terjadi di kedua tempat itu? Di kota
        Leng-sia-bun, di dalam hotel milik Ciuwangwe, kini seringkali terdapat "barang baru", yaitu pelacur-pelacur
        muda yang baru, dan daun-daun muda seperti ini paling disuka oleh bandot-bandot tua yang tidak segan-segan
        membuang uang sebanyaknya untuk memetik daun-daun muda itu! dan di dalam tempat-tempat rahasia di belakang
        hotel, di dalam kamar-kamar gelap sering kali terjadi hal yang mengerikan di mana seorang gadis remaja dipaksa
        dan dicambuki, disiksa sampai mereka itu terpaksa menyanggupi untuk dijadikan pelacur dan melayani kaum pria!
        Dan sekali dara remaja ini melayani seorang tamu, segala akan berjalan lancar dan beberapa bulan kemudian
        perempuan remaja itu akan menjadi seorang pelacur kelas tinggi yang dijadikan rebutan! Pada waktu yang
        bersamaan, terjadi geger di dusun-dusun di sekita daerah itu. Banyak terjadi pembelian gadis-gadis muda, bahkan
        banyak terjadi penculikan dan perampokan secara terang-terangan dilakukan oleh gerombolan perampok ganas!
        Keluarga gadis ini melakukan penyelidikan dan mereka akhirnya dapat menemukan anak gadis mereka di
        Leng-sia-bun, dalam keadaan yang menyedihkan karena sudah menjadi pelacur-pelacur! Ada yang lenyap sama sekali,
        bahkan ada yang terlunta-lunta sebagai seorang wanita gila! Mereka ini adalah gadis-gadis yang berkeras tidak
        mau menjadi pelacur. ada yang disiksa sampai mati, dan ada yang diperkosa dan akhirnya menjadi gila! Tentu saja
        banyak di antara mereka yang melapor kepada pembesar di Leng-sia-bun, akan tetapi mereka itu malah dimaki-maki
        karena dianggap menghina Ciu-wangwe. Dikatakan bahwa anak mereka menjadi pelacur, hal ini adalah orang tua
        mereka yang tidak tahu malu dan tak dapat mendidik anak, sekarang ada Ciu-wangwe yang menampung mereka sehingga
        tidak kelaparan, mengapa mereka itu malah melapor dan menuntut Ciu-wangwe? Mereka melaporkan bahwa anak gaisnya
        di culik orang yang ternyata anak gadis mereka itu tahutahu telah menjadi pelacur di hotel milik Ciu-wangwe,
        malah dijatuhi hukuman rangket karena menghina Ciu-wangwe, dan pelaporan mereka itu dianggap fitnah karena
        tidak ada bukti bahwa anak mereka diculik! Memang ada saja jalan dan alasan para penegak hukum yang telah
        diperbudak oleh harta yang mereka terima dari Ciu-wangwe itu, disamping suguhan anak-anak perawan hasil
        penculikan! Untuk melakukan penculikan sendiri, tentu saja para pembesar ini merasa malu. Kini ada yang
        menculikan untuk mereka, hati siapa yang takkan senang? Karena sudah merasa tersudut dan tidak berdaya lagi,
        akhirnya mereka teringat akan nama besar Lam-hai Seng-jin, Majikan pulau kura-kura yang terkenal sebagai
        seorang pertapa yang suka menolong kesukaran orang lain yang memerlukan pertolongan. Terutama sekali mereka
        yang mempunyai anak perempuan dan yang merasa gelisah kalau-kalau pada suatu malam akan tiba giliran mereka
        didatangi penculik yang akan melarikan anak mereka, segera bermufakat untuk mita pertolongan pertapa itu dan
        akhirnya berangkatlah serombongan orang menuju ke pulau Kura-kura. Lam-hai Seng-jin menerima pelaporan mereka
        dan merasa kasihan, maka dia mengutus murid tunggalnya yang sudah mewarisi ilmu kepandaiannya untuk mewakilinya
        menyelidiki dan memberi hajaran kepada komplotan penjahat itu. Juga dia memberi ijin kepada muridnya untuk
        merantau selama satu tahun. Setelah memberi banyak nasihat, berangkatlah Kwee Lun seorang diri naik perahu
        menuju ke daratan besar dan tanpa disangkanya, dia telah berjumpa dengan Han Swat Hong puteri kerajaan Pulau
        Es! Pada hari itu kota Leng-sia-bun sibuk seperti biasa. Keadaan tetap ramai dan biasa seperti tidak terjadi
        sesuatu dan seperti tidak akan terjadi sesuatu. Tidak ada seorang pun yang tahu, di antara sebagian besar
        penduduk yang memang tidak memikirkan lagi, bahkan malam tadi telah terjadi seperti biasa, yaitu pemerkosaan
        dara-dara culikan baru seperti seklompok domba disembelih, dan tidak ada pula yang tahu bahwa pagi hari itu
        muncul dua orang yang akan mendatangkan perubahan besar di kota itu, menimbulkan geger yang akan menggemparkan
        kota dan akan menjadi bahan cerita sampai bertahun-tahun lamanya. Setelah menyelidiki di mana letaknya rumah
        makan milik Ciu-wangwe, Kwee Lun mengajak Swat Hong mendatangi rumah makan itu. Sebuah rumah makan yang
        bangunannya indah dan besar, dengan cat baru dan di depan rumah makan terdapat tulisan dengan huruf besar
        "RUMAH ARAK" yang berarti restoran. "Hong-moi, engkau lapar bukan? Mari kita makan dan minum di sini." Swat
        Hong memandang heran. Bukankah ini rumah makan milik Hartawan Ciu yang menjadi pemimpin komplotan penjahat di
        kota ini yang akan dibasmi Kwee Lun? Dia memandang dan melihat mata pemuda itu bersinar, kemudian Kwee Lun
        memejamkan sebelah mata penuh arti. Swat Hong tersenyum geli. Mengertilah dia kini. Pemuda itu hendak
        mengajaknya makan sampai kenyang lebih dulu sebelum turun tangan. Dan memang dia merasa lapar sekali! "Aku
        tidak bisa bekerja tanpa makan lebih dulu," pemuda itu berkata lirih ketika mereka memasuki rumah makan dan
        Swat Hong tersenyum-senyum. Sepagi itu, rumah makan sudah terisi setengahnya oleh mereka yang beruang, karena
        rumah makan ini terkenal sebagai rumah makan mahal. Dua orang pelayan, pria dan wanita, yang wanita masih muda
        dan genit, dengan wajah yang ditutup warna putih dan merah yang tebal seperti tembok dikapur dan digambar,
        menyambut mereka dengan sikap manis. Kwee Lun dan Swat Hong diantar ke sebuah meja kosong di sudut dan dengan
        suara lantang Kwee Lun memesan makanan dan minuman yang paling lezat, dalam jumlah banyak sekali. Para pelayan
        menjadi terheran-heran mendengar pesanan masakan yang pantasnya untuk menjamu sepuluh orang! Akan tetapi
        melihat sikap kasar dari pemuda tinggi besar itu, pula melihat dua batang pedang dan kipas yang diletakan di
        atas meja, mereka tidak berani banyak cakap dan melayani mereka. Diam-diam seorang pelayan memberi tahu kepada
        kepala tukang pukul yang berada di dalam. Dua orang tukang pukul yang berpakaian biasa, dan dengan sikap biasa
        pula, keluar dari dalam dan berjalan lewat dekat meja Kwee Lun dan Swat Hong. Kedua orang tidak perduli dan
        berpura-pura tidak melihat. Juga Swat Hong melanjutkan makan sambil kadang -kadang tersenyum geli menyaksikan
        betapa temannya itu makan dengan lahapnya. Dia belum menghabiskan setengah mangkok, Kwee Lun sudah menyapu
        bersih lima mangkok. Ketika dua orang itu lewat, Swat Hong hanya melirik sebentar dan mengerahkan ilmu sehingga
        telinganya terbuka dan dapat menangkap dengan ketajaman luar biasa ke arah kedua orang itu yang masih
        berjalan-jalan di ruangan itu, seolah-olah sedang memriksa dan kadang-kadang membenarkan letak kursi dan meja
        yang kosong. "Aku tidak mengenal mereka," terdengar yang kurus pucat berkata. "Tapi gadis itu hebat....," kata
        orang ke dua yang pendek dan berperut gendut. "Kalau dia bisa didapatkan, tentu Loya (Tuan Tu) akan memberi
        banyak hadiah kepada kita." "Hushh... apa kau mau menyaingi pekerjaan Tian-ci-kwi (Setan Berjari Besi)?" "Ah,
        siapa tahu, dengan cara halus bisa mendapatkan dia...." "Tapi pemuda itu kelihatan jantan!" "Huh, takut apa?
        Orang kasar seperti itu...." "Tapi jangan memancing keributan, Lote, kita nanti tentu dimarahi Loya." "Aku
        tidak bodoh, mari kita pergunakan cara halus. Lihat, mereka telah selesai makan. Raksasa itu makannya melebihi
        babi!" Swat Hong yang sedang minum hampir tersedak karena geli hatinya mendengar temannya yang gembul itu
        dimaki seperti babi. Akan tetapi Kwee Lun agaknya tidak mempedulikan sesuatu dan tidak melakukan penyelidikan
        seperti Swat Hong, tidak mendengar makian itu dan mengelus-elus perutnya yang kenyang. Dia kelihatan puas
        sekali telah dapat makan minum secukupnya di dalam restoran itu. Pada saat itu dua orang tukang pukul tadi
        sudah menghampiri mereka. Yang kurus pucat sudah menjura sambil berkata, "kami mewakili Ciu-wangwe pemilik
        restoran ini menghaturkan selamat datang kepada Jiwi." Sebelum Kwee Lun yang terheran-heran menjawab, Si Gendut
        pendek sudah menyambung sambil menyeringai dalam usahanya untuk tersenyum ramah. "Tentu Jiwi datang dari jauh
        dan lelah. Majikan kami juga memiliki hotel yang paling besar, paling bersih dan paling baik di kota ini,
        letaknya di sebelah kiri rumah makan ini. Jiwi akan dapat mengaso dengan enak di hotel kami dan kalau Loya kami
        mendengar bahwa Jiwi adalah tamu dari jauh, tentu biayanya akan diberi potongan separuhnya." Kwee Lun sudah
        mengerutkan alisnya, mukanya merah dan dia seakan-akan memperoleh kesempatan mulai beraksi. "kalian berani
        mengganggu kami yang sedang makan?" Mendadak kakinya tertendang ujung kaki Swat hong dan ketika dia memandang,
        dia melihat isyarat dalam sinar mata gadis itu, maka dia hanya mengerutkan alis dan tidak melanjutkan
        kata-katanya. Swat Hong sendiri segera berkata kepada dua orang itu dengan suara ramah dan sikap manis, "Kalian
        sungguh ramah, tentu majikan kalian adalah seorang yang mengenal pribudi. Baik, kami memang hendak bermalam
        barang dua hari di kota ini. Akan tetapi melihat keramahan kalian, aku ingin bertemu dengan majikan kalian
        untuk menghaturkan terima kasih." Dua orang itu saling pandang. "Marilah kami antarkan Nona dan Tuan agar
        memperoleh kamar yang paling baik di hotel, kemudian kami akan melapor kepada majikan kami...." "Tidak usah
        repot-repot!" Swat Hong berkata cepat. "Temanku ini masih hendak melanjutkan makan minum....heiii! Pelayan
        tambah araknya! Biarlah saya yang menemui majikan kalian dan memilih kamar di hotel sebelah. Kami sudah
        mendengar tentang kebaikan hati majikan kalian dari pembesarpembesar di kota ini, dan kami memang ingin minta
        pekerjaan. Aku ingin bekerja apa saja yang pantas dan temanku itu.... dia tentu bisa menjadi seorang penjaga
        keselamatan. Dapat dibayangkan betapa girangnya hati kedua orang itu. Sudah terbayang di depan mata betapa
        mereka akan menerima pujian berikut hadiah dari Ciu-wangwe. Seorang nona begini cantik jelita seperti bidadari,
        tanpa susah payah datang sendiri ke depan mulut, tinggal membuka mulut dan mencaplok saja! Ciuwangwe tentu
        senang sekali, bukan untuk hartawan itu sendiri yang kesenangannya bukan memeluk wanita cantik, melainkan untuk
        menyenang hati para pembesar setempat. Ciu-wangwe sendiri kesenangannya hanya satu, yaitu uang dan kedudukan!
        "Bagus sekali kalau begitu, Nona! Kebetulan pada saat ini Ciu-wangwe sedang menjamu pembesar yang paling
        terhormat di kota ini. Mereka sedang berpesta di ruangan belakang hotel kami. Mari kami antar Nona ke sana!"
        "Tidak usah, kalian di sini saja melayani temanku!" Sambil berkata demikian Swat Hong sudah bangkit berdiri dan
        cepat laksana kilat kdua tangannya bergerak seperti seorang wanita yang menepuk-nepuk pundak kedua orang itu
        dengan ramahnya, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati kedua orang tukang pukul itu ketika
        tiba-tiba tubuh mereka menjadi lemas dan kaki tangan mereka tak dapat digerakan lagi. "Ha-ha, duduklah kalian,
        mari temani aku minum arak!" Kwee Lun yang dapat melihat gerakan temannya itu cepat bangkit berdiri, kakinya
        bergerak dan kedua lutut mereka telah terkena tendangan ujung sepatunya sehingga terlepas sambungannya. Sambil
        tersenyum Kwee Lun sudah mendudukan mereka di atas bangku di kanan kirinya! Para tamu hanya melihat empat orang
        itu seperti beramah tamah, maka mereka tidak tertarik lagi, hanya tertarik kepada Swat Hong yang memang sejak
        tadi telah menjadi perhatian pandang mata para tamu pria yang berada di dalam restoran. Mereka menahan napas
        melihat dara cantik jelita itu dengan langkah gontai meninggalkan restoran, membawa dua batang pedang dan
        sebuah kipas, "Aku pinjam dulu ini!" kata Swat Hong tadi kepada Kwee Lun yang hanya memandang dengan
        terheran-heran melihat kedua senjatanya dibawa pergi oleh Swat Hong. "Agar kau tidak kesalahan membunuh orang!"
        kata pula Swat Hong dan Kwee Lun tersenyum. Kiranya gadis itu tidak ingin melihat dia membunuh orang, maka
        sengaja membawa pergi kedua senjatanya. Di dalam hatinya dia mentertawakan Swat Hong. Apakah tanpa kedua
        senjata itu kaki dan tanganku tidak mampu membunuh orang? Pula, apakah dia seekor harimau yang haus darah?
        Biarlah, pikirnya. Gadis itu masih belum percaya kepadanya, dan dia akan memperlihatkan kelihaianya tanpa
        bantuan senjata. Sambil tertawa-tawa kepada dua orang tukang pukul yang duduk seperti boneka dan tak mampu
        bergerak itu, Kwee Lun melanjutkan minum arak. Karena hawa mulai panas disebabkan oleh hawa arak, pemuda
        perkasa ini melepaskan kancing bajunya sehingga tampak rambut halus ditengah dadanya yang bidang dan kokoh kuat
        itu. Tiba-tiba seorang pelayan menghampiri meja Kwee Lun. pelayan ini tadi melihat ketidak wajaran pada kedua
        tukang pukul yang duduk berhadapan dengan pemuda itu. Mengapa mereka tidak bergerak-gerak dan duduk dengan
        lemas, dan ketika dia bertemu pandang, tukang pukul yang gendut pendek itu mengejapkan mata kepadanya sedangkan
        dari kedua mata tukang pukul kurus pucat itu keluar dua titik air mata. Maka dia cepat menghampiri dan melihat
        dari dekat. "mau apa kau? pergi!" Kwee Lun membentak dan pelayan itu kaget sekali, lalu lari pergi masuk ke
        dalam untuk melaporkan keanehan itu kepada kepala tukang pukul yang lain. Kwee Lun bukanlah seorang yang bodoh.
        Dan maklum bahwa pelayan itu telah melihat keadaan dan tentu akan melapor ke dalam. Maka dia memandang ke
        sekeliling dan mencari akal. Ketika dia melihat segulung tambang yang besar dan kuat, timbullah akalnya. Dia
        bangkit berdiri, melangkah lebar ke dekat meja pengurus, menyambar gulungan tambang itu dan berkata dengan
        suara lantang yang ditujukan kepada para tamu yang duduk di ruangan restoran itu, "Semua orang yang berada di
        dalam restoran ini harap lekas pergi! Restoran ini akan ambruk!" Kemudian sekali melompat tubuhnya telah berada
        di luar restoran. Di ikatkan ujung tambang ke pilar di depan, pilar yang ikut menyangga atap, kemudian dia
        membawa ujung tambang yang lain ke jalan depan restoran. Dengan memegang ujung tambang, mulailah pemuda raksasa
        ini menarik tambang, melalui atas pundak kanannya yang menonjolkan otot besar yang amat kuatnya. Tambang besar
        itu menegang, kemudian terdengar suara berkerotok. Orang-orang sudah mulai lari keluar rumah makan itu dan
        mereka ada yang ketawa-tawa geli menyaksikan pemuda itu menarik tambang. Tentu pemuda itu sudah mabok, pikir
        mereka. Mana mungkin merobohkan bangunan yang besar itu dengan cara demikian? Menarik tambang yang diikatkan
        pada pilar yang demikian besar dan kuatnya. Kalau tidak mabok tentu sudah gila! Memang membutuhkan tenaga gajah
        untuk dapat menumbangkan pilar yang sedemikian kokohnya. Kwee Lun mengerahkan tenaga, matanya terbelalak,
        dahinya penuh keringat dan mulutnya mengeluarkan gerengan yang langsung keluar dari dalam pusarnya, seluruh
        tubuhnya menarik tambang dengan pemusatan perhatian dan tenaga. "Krakkk....!" Pilar yang kokoh kuat itu patah
        tengahnya! Orang-orang berteriak kaget dan mulai berlari-lari ketakutan. Terdengar bunyi hiruk pikuk ketika
        akhirnya, atap rumah makan itu runtuh ke bawah dan menyusul debu mengebul tinggi dibarengi teriakan-teriakan
        mengerikan dari dalam di mana masih banyak pekerja restoran itu yang teruruk. Di antara suara hiruk pikuk ini
        terdengar suara ketawa dari Kwee Lun yang masih memegang tamban besar itu di kedua tangannya. Tali besar itu
        sudah terlepas dari pilar dan kini menjadi senjata di kedua lengan yang dilingkari otot itu. Tempat itu menjadi
        sunyi dan biarpun banyak sekali penduduk kota yang berlari-larian datang, mereka hanya menonton dari jauh saja,
        tidak ada yang berani mendekati restoran yang sudah runtuh itu. Belasan orang tukang pukul datang berlarian,
        dari belakang restoran yang roboh dan dari rumah judi yang berada di sebelah kanan restoran. "Itu
        orangnya....!" Seorang pelayan restoran yang berhasil menyelamatkan diri menuding ke arah Kwee Lun. "Tangkap
        penjahat....!" "Serbu....!" "Bunuh....!" Lima belas orang tukang pukul dengan bermacam senjata di tangan
        mereka, belari-lari datang menyerbu dan mengurung Kwee Lun. Pemuda ini masih tersenyum lebar, tali tambang tadi
        masih melingkar-lingkar di kedua lengan, kdua kakinya terpentang lebar dan sikapnya gagah sekali, membuat lima
        belas orang tukang pukul itu merasa gentar dan ragu-ragu untuk mendahului maju menyerang. Seorang yang telah
        meruntuhkan sebuah bangunan seperti restoran itu, sudah jelas memiliki tenaga gajah! Apalagi melihat sikap yang
        demikian gagah. "Ha-ha-ha, hayo majulah! Mengapa ragu-ragu? Hayo keroyoklah aku! Memang aku datang untuk
        membasmi komplotan yang merajalela di Leng-sia-bun. Kalian ini anak buah si keparat Ciu Bo Jin, bukan? Mana itu
        hartawan Ciu jahanam, si penculik gadis orang! Suruh dia keluar, biar kuhancurkan kepalanya!" "Serbu....!!"
        Kepala tukang pukul, seorang she Ma yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi dan menjadi tangan kanan
        Ciu-wangwe, berseru setelah diam-diam dia mengutus seorang anak buahnya untuk melaporkan kepada Ciu-wangwe di
        hotel, dan seorang anak buah lagi disuruh minta bala bantuan di markas keamanan! Tiga belas orang tukang pukul,
        dipimpin oleh Ma Siu menyerbu dengan senjata mereka. Akan tetapi, Kwee Lun tertawa bergelak dan begitu kedua
        lengannya bergerak, tali besar yang panjang menyambar dan menjadi gulungan sinar yang besar panjang. Setiap
        senjata pengeroyok yang terbentur tali itu terlepas dari pegangan pemiliknya sehingga terdengarlah
        teriakan-teriakan kaget karena dalam segebrakan saja, lima orang tukang pukul kehilangan senjata mereka dan dua
        orang lagi terpelanting roboh dan tak dapat bangun kembali karena tulang punggung dan tulang iga mereka patah
        oleh hantaman tambang! Ma Siu menjadi marah sekali dan dengan nekat dia bersama sisa anak buahnya menyerbu dan
        menghujankan senjata mereka kepada Kwee Lun. Namun pemuda Pulau Kura-kura ini sambil tertawa melakukan
        perlawanan seenaknya. Teringat dia oleh perbuatan Swat Hong yang menyingkirkan pedang dan kipasnya, karena
        andaikata dia menggunakan dua senjata itu, agaknya sekarang semua tukang pukul sudah roboh kehilangan nyawa
        mereka! Dan dia tahu bahwa biang keladi semua kejahatan adalah orang She Ciu, adapun para tukang pukul ini
        hanya orang-orang yang mencari nafkah mengandalkan ilmu silat mereka! Biarpun cara mencari nafkah dengan
        menjadi tukang pukul adalah perbuatan sesat yang menimbulkan kekejaman, namun andaikata tidak ada Hartawan Ciu
        yang menjadi sumber maksiat, agaknya mereka tidak akan berani mengacaukan sebuah kota besar seperti
        Leng-sia-bun. Diam-diam dia membenarkan tindakan Swat Hong dan teringat dia akan nasehat suhunya bahwa di dalam
        perantauannya, dia tidak boleh sembarangan membunuh orang! Sementara itu, di dalam hotel juga terjadi keributan
        hebat. Dengan dua batang pedang tergantung di punggung dan kipas gagang perak di tangan, Swat Hong memasuki
        hotel besar di sebelah kiri restoran. Gedung yang lebih megah dan besar daripada restoran itu. Dengan sikap
        tenang dia berjalan menaiki anak tangga di depan hotel. Beberapa orang pelayan segera menyambutnya dengan wajah
        berseri. Biarpun dara ini membawa pedang di punggung namun kecantikannya yang luar biasa menyenangkan hati para
        pelayan. "Apakah Nona mencari kamar,?" tanya seorang pelayan dengan senyum manis. "Bukan mencari kamar, akan
        tetapi aku mencari Ciu-wangwe," jawab Swat Hong tanpa memperdulikan senyum itu. Wajah para pelayan itu berubah
        dan pandang mata mereka membayangkan kecurigaan, "Tidak semudah itu mencari Loya, Nona,. Pula, kami tidak tahu
        dimana adanya Ciu-wangwe sekarang ini...." kata seorang di antara mereka dengan suara hati-hati. "Aihhh, kalian
        tidak perlu membohong lagi. Aku mengenal Ciu-wangwe dan kedatanganku adalah atas undangannya. Aku tahu bahwa
        dia sedang menjamu kepala Daerah di ruangan belakang hotel ini, bukan? Kalau kalian tidak membawaku menemuinya
        sekarang juga, bukan hanya dia akan marah kepada kalian, akan tetapi aku pun akan kehabisan sabar!" Mendengar
        ini, para pelayan itu saling pandang, lalu seorang di antara mereka memanggil tukang pukul. Dua orang tukang
        pukul datang berlari. Mereka adalah bekas-bekas perampok yang tentu saja dapat menduga bahwa wanita ini
        tentulah seorang kang-ouw, maka mereka segera memberi hormat dan bertanya, "Ada urusan apakah Lihiap hendak
        bertemu dengan Ciu-wangwe?" Swat Hong memandang tajam dan mengambil sikap marah. Eh, pangkat kalian di sini apa
        sih berani bertanya-tanya urusan antara aku dan Ciu-wangwe? Lekas bawa aku menemuinya!" "Tapi... tapi.... Loya
        sedang menjamu Tai-jin, tidak boleh diganggu!" "Siapa mau mengganggu? Aku justru datang memenuhi panggilannya
        untuk meramaikan pesta! Kalau dia marah, biar aku yang tanggung jawab, akan tetapi kalau kalian berani menolak
        aku, dia akan marah kepada kalian!" Dua orang tukang pukul itu saling pandang, kemudian mereka berkata,
        "Baiklah mari kami antarkan Lihiap ke dalam." Mereka telah mengambil keputusan dengan isyarat mata untuk
        mengawal dan menjaga wanita cantik ini. Kalau wanita ini mempunyai niat buruk, masih belum terlambat untuk
        merobohkannya. Siapa tahu, melihat kecantikannya yang luar biasa, sangat boleh jadi kalau dia ini adalah
        seorang yang dikenal oleh Ciu-wangwe dan benar-benar dipesan datang untuk menghibur pembesar! Dengan langkah
        tenang sambil mengipasi lehernya dengan kipas gagang perak, Swat Hong diiringkan dua orang tukang pukul itu
        melalui gang yang berliku-liku, melalui kamar-kamar di mana terdapat wanitawanita cantik yang rata-rata wajah
        layu dan bermata sayu, ada yang duduk sendiri, ada pula yang sedang berduaan dengan seorang tamu pria karena
        terdengar suara ketawa laki-laki di dalam kamar itu, kemudian tibalah mereka di ruangan belakang yang luas dan
        terjaga oleh belasan orang prajurit pengawal yang bercampur dengan para tukang pukul. Ketika mereka bertiga
        muncul, tentu saja para penjaga dan pengawal itu memandang Swat Hong dengan penuh perhatian. Dua orang tukang
        pukul itu agaknya bangga dapat mengawal nona cantik jelita ini maka sambil mengacungkan ibu jari, mereka
        berkata, "Barang baru! Pesanan khusus!" Maka tertawa-tawalah para pengawal dan tukang pukul itu memasuki pintu
        besar yang menembus ke dalam ruangan. Karena mereka yang duduk mengitari meja besar terdiri dari belasan orang
        berpakaian serba indah dan masing-masing dilayani dan dirubung wanita-wanita muda dan cantik, Swat Hong tidak
        mau bertindak sembrono. Dia tidak tahu siapa Ciu-wangwe dan yang mana pula kepala daerah, maka dia menanti dan
        membiarkan dua orang tukang pukul itu melapor. Akan tetapi sebelum kedua orang yang sudah menjura penuh hormat
        itu sempat membuka mulut, seorang yang berpakaian serba biru, berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus
        dan matanya besar sebelah, telah bangkit berdiri dan membentak, "Haii! Mengapa kalian lancang....?" Dia tidak
        melanjutkan ucapannya karena matanya telah dapat melihat Swat Hong dan kini dia memandang heran. Swat Hong
        sudah melangkah ke dalam, mendekati meja lalu bertanya kepada laki-laki berpakaian biru itu, "Apakah aku
        berhadapan dengan Ciu-wangwe?" Laki-laki itu memang benar Ciu Bo Jin. Dia merasa curiga sekali, akan tetapi
        karena dia mengandalkan ilmu kepandaiannya sendiri, pula dia berada di tempatnya sendiri yang terjaga oleh para
        anak buahnya, bahkan disitu terdapat pula pasukan pengawal Gu-taijin, maka sambil tersenyum lebar dia melangkah
        maju dan berkata, "Benar, aku adalah orang she Ciu yang kau cari. Nona siapakah dan .... heiiittt...." Dia
        cepat mengelak ke kiri ketika melihat nona cantik itu sudah menerjang maju, menggunakan tangan kirinya
        mencengkeram ke arah pundaknya. Gerakan Ciu-wangwe cukup cekatan dan memang dia telah memiliki ilmu kepandaian
        tinggi. Akan tetapi sekali ini dia berhadapan dengan seorang dara perkasa yang luar biasa lihainya, maka baru
        saja dia mengelak, tahu-tahu ujung gagang kipas terbuat dari perak itu telah menotok jalan darah di punggungnya
        dan dia terpelanting roboh dengan tubuh lemas! Peristiwa ini terjadi sedemikian cepatnya sehingga tidak terduga
        sama sekali, maka terjadilah keributan hebat. Seorang yang tubuhnya gendut dan mukanya merah sekali, agaknya
        sudah mabok, bangkit berdiri dengan tiba-tiba sehingga dua orang pelacur cantik yang tadinya duduk di atas
        kedua pahanya terpelanting jatuh sambil menjerit. Orang ini berpakaian mewah dan sikapnya agung-agungan, sambil
        berdiri dia berseru, "Hai... pengawal....! Tangkap pengacau...!!" Pintu depan terbuka dan para pengawal serta
        tukang pukul berlompatan masuk. Swat Hong girang sekali karena dia dapat menduga bahwa Si Gendut itulah tentu
        yang menjadi kepala daerah, orang she Gu yang diperalat oleh Ciu-wangwe. Maka dia sudah meloncat ke dekat orang
        itu, mencabut pedangnya dan menempelkan pedang telanjang di leher Gu-taijin sambil menghardik, "Gu-taijin!
        Cepat kau menyuruh mundur semua orangmu! Kalau tidak, pedang ini akan menyembelih lehermu!" Swat Hong menahan
        geli hatinya melihat tubuh yang gendut itu menggigil semua dan dia menahan jijiknya karena terpaksa menggunakan
        tangan kanan mencengkeram leher baju. Apalagi ketika melihat betapa lantai di bawah pembesar gendut ini
        tiba-tiba menjadi basah, tersiram air yang membasahi celana, dia makin jijik. Ingin dia membacokkan pedangnya
        saja agar manusia tiada guna ini tewas seketika kalau saja dia tidak teringat bahwa jalan satu-satunya untuk
        membantu Kwee Lun membereskan urusannya hanyalah menangkap pembesar ini hidup-hidup. Biarpun manusia gendut ini
        tidak ada gunanya, akan tetapi manusia yang bagaimana pun pengecut dan lemahnya, sekali menduduki pangkat
        besar, menjadi seorang yang sewanang-wenang dan jahat! Makin pengecut dan makin rendah watak orang itu makin
        celakalah kalau dia memperoleh kedudukan tinggi, karena kerendahan akalnya akan membuat dia makin jahat,
        mempergunakan kekuasaannya yang kebetulan melindunginya. "Am... ampun...!" Gi-taijin dengan sukar sekali
        mengeluarkan suara. Mendengar betapa lehernya akan disembelih, apalagi disembelih berlahan-lahan dan sedikit
        demi sedikit, membayangkan betapa lehernya akan terasa perih dan nyeri, berlepotan darah, betapa dia akan mati
        dan meninggalkan semua kemewahan dan kesenangan hidupnya, hampir dia pingsan! "Suruh mereka mundur...!" Kembali
        Swat Hong membentak dan tangan kirinya mencengkeram tengkuk. "Ouwwhhh...!" Pembesar itu menjerit, mengira
        tengkuknya disembelih, padahal hanyalah jari-jari saja yang mencengkeramnya. "Heii, mundur kalian! Tolol semua!
        Mundur kataku, dan jangan membantah... Li... Lihiap...!" Para pengawal menjadi bingung dan dengan muka pucat
        dan mata terbelalak lebar mereka mundur sambil memandang penuh kesiapsiagaan. Pada saat itu, seorang tukang
        pukul telah berhasil membebaskan totokan Ciu-wangwe dan kini hartawan itu dengan marahnya berteriak kepada
        tukang pukulnya, "Cepat serbu iblis betina itu....!" Swat Hong kembali mencengkeram tengkuk Gu-taijin. "Suruh
        jahanam Ciu itu menyerah!" "Ouughh... Ciu-wangwe... jangan...! jangan melawan....!" Ciu-wangwe yang melihat
        betapa kepala daerah itu telah ditangkap, sejenak menjadi bingung sekali. Akan tetapi tentu saja dia tidak sudi
        menyerah dan pada saat itu terdengar suara hiruk pikuk di sebelah luar hotel. Tahulah Swat Hong bahwa Kwee Lun
        tentu telah turun tangan pula mulai bereaksi, maka dia berkata, "Orang she Ciu! Kejahatanmu berakhir di hari
        ini juga!" Selagi Ciu-wangwe kebingungan, tiba-tiba datang seorang tukang pukulnya dari luar dan
        berteriak-teriak, "Celaka... Loya.... ada orang merobohkan restoran kita....!" Akan tetapi orang ini terbelalak
        memandang ke dalam dengan muka pucat. Dia melihat kepala daerah berada dalam cengkeraman wanita cantik itu dan
        melihat Ciu-wangwe berdiri bingung. Mendengar ini, Ciu-wangwe menjadi kaget dan mengira bahwa tentu banyak
        musuh yang datang menyerbunya. Dia tidak mau mempedulikan Gu-taijin lagi. Dalam keadaan seperti itu, yang
        terbaik baginya adalah berada di luar dan berusaha mengerahkan seluruh anak buahnya untuk menghadapi para
        penyerbu. Keselamatan Gu-taijin tentu saja tidak dipedulikannya lagi. Maka tanpa berkata apa-apa lagi dia lalu
        berlari hendak keluar dari ruangan besar itu. "Hendak kemana engkau?" Swat Hong cepat menotok roboh Gu-taijin
        dan meloncat ke depan. Tubuhnya melayang dan Ciu-wangwe hanya melihat sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu
        wanita cantik itu telah berdiri di depannya! "Serbu....!" Bentaknya dan dia sendiri yang sudah mencabut
        goloknya membacok dengan cepat sambil mengerahkan seluruh tenaganya. "Sing-sing-singggg....!!" Bertubi-tubi
        golok itu menyambar dan kini anak buahnya juga sudah membantunya. Swat Hong cepat memutar pedangnya dan
        mengerahkan sinkang disalurkan kepada pedang itu. "Cringcring- trang-trang-trang....!!" Sebatang golok di
        tangan Ciu-wangwe dan empat batang pedang terlepas dari pegangan pemiliknya, dan tiga orang pengeroyok roboh
        terkena totokan kipas perak di tangan kirinya! Melihat kelihaian wanita ini, bukan main kagetnya hati
        Ciu-wangwe. Dia sudah berpengalaman dan tahulah dia bahwa kalau dia melanjutakn, dia sendiri akan roboh di
        tangan wanita lihai ini. Maka jalan terbaik baginya adalah lari keluar untuk mengerahkan anak buahnya dan kalau
        perlu melarikan diri! Melihat orang yang hendak ditangkapnya itu lari, Swat Hong hendak mengejar, akan tetapi
        pada saat itu dia melihat tubuh gendut Gu-taijin sedang dibantu oleh beberapa orang meninggalkan tempat itu.
        Celaka, pikirnya. Dia harus dapat menangkap pembesar itu , kalau tidak, tentu akan sukar menundukan semua
        orang. Maka dia lalu mengerahkan tenaga pada tangan kanan, tangan kanan itu bergerak dan pedangnya meluncur
        seperti kilat menyambar ke depan. Terdengar jerit mengerikan dan tubuh Ciu-wangwe terjungkal ke depan, dadanya
        ditembusi pedang dari punggung dan dia tewas seketika! Swat Hong telah melompat dan tangan kanannya kembali
        sudah mencabut pedang, kini pedang milik Kwee Lun yang dicabutnya. Kipas di tangan kirinya merobohkan empat
        orang pengawal yang tadi membantu Gutaijin dan mereka roboh tertotok, kemudian sebelum pembesar itu sempat
        bergerak, dia sudah mencengkeramnya lagi, bahkan yang dicengkeram adalah pundaknya sambil mengerahkan tenaga.
        "Aughhh... add... duh... duh...duhhh... ampun, Lihiap....!" Gu-taijin berteriak-teriak seperti seekor babi
        disembelih. "Hayo cepat suruh mereka semua mundur!" bentak Swat Hong, kembali pedang telanjang ditekankan di
        tengkuk pembesar itu. "Mundur kalian semua! Keparat! Kurang ajar kalian! Disuruh mundur tidak cepat mentaati
        perintah! Apa minta dihukum gantung semua!" Mendengar pembesar ini dengan suara galak sekali, seperti biasanya,
        membentak-bentak, semua pengawal dan anak buah Ciu-wangwe terbelalak ketakutan dan mundur. Apalagi mereka
        melihat betapa Ciu-wangwe sudah tewas. Para pelacur yang tadi melayani perjamuan itu, menjerit-jerit dan lari
        pontang-panting, kemudian bersembunyi di kolong-kolong meja dan belakangbelakang lemari. Swat Hong mendengar
        suara ribut-ribut diluar, suara pertempuran. Tahulah dia bahwa Kwee Lun sedang dikeroyok. Cepat dia menarik
        tubuh pembesar Gu keluar dari hotel, kemudian dengan mencengkeram punggung baju, dia membawa pembesar gendut
        itu meloncat ke atas genteng. Semua orang memandang heran melihat betapa seorang gadis cantik dan muda seperti
        itu mampu meloncat sambil mencengkeram tubuh seorang laki-laki bertubuh gendut dan berat seperti pembesar itu!
        Swat Hong masih mencengkeram punggung Gu-taijin yang pucat sekali wajahnya, menggigil kedua kakinya. Tentu saja
        dia merasa ngeri berdiri di atas genteng, di pinggir sekali. Terpeleset sedikit saja dia tentu akan melayang
        jatuh ke bawah, tubuhnya akan remuk! Selama hidupnya tentu saja belum pernah dia naik ke atas genteng. Akan
        tetapi karena dia ditodong dan merasa takut sekali kepada wanita perkasa yang mencengkeram punggungnya, dia
        mentaati perintah Swat Hong dan dengan suara lantang dia berteriak-teriak dari atas. "Haiii.... mundur
        semua...!" Dia melihat pasukan keamanan sudah berada di situ, dipimpin oleh Bhongciangkun, perwira yang
        mengepalai pasukan keamanan. "Bhong-ciangkun, suruh semua pasukan mudur!" Pada saat itu, Kwee Lun sedang
        mengamuk. Tadinya yang mengeroyoknya hanyalah para tukang pukul anak buah Ciu-wangwe dan dia sudah berhasil
        merobokan belasan orang dengan tambang di tangannya yang kini sudah berlepotan darah. Akan tetapi dia kewalahan
        juga ketika pasukan keamanan datang. Pasukan yang jumlahnya hampir seratus orang itu tentu saja tidak mungkin
        dapat dia lawan seorang diri hanya mengandalkan segulung tambang! Maka dalam amukannya itu, dia sudah menerima
        pula beberapa bacokan senjata tajam yang melukai pinggul dan punggungnya, membuat pakaiannya berlepotan darah
        pula. Namun, sedikit pun semangatnya tidak menjadi kendur, bahkan darah dipakaiannya itu seolah-olah membuat
        dia makin bersemangat lagi! Melihat betapa atasannya berada di atas genteng dan mengeluarkan perintah itu,
        Bhong-ciangkun terkejut dan cepat dia mengeluarkan aba-aba menyuruh pasukannya mundur. Kwee Lun ditinggalkan
        seorang diri, berdiri dengan kedua kakinya terbentang lebar, pakaian dan tambangnya berlumuran darah, gagah
        bukan main sikapnya. Sisa anak buah Ciu-wangwe tidak ada lagi yang berani maju setelah para pasukan itu
        diperintahkan mundur. Apalagi ketika mereka itu mendengar bisikan teman-teman bahwa Ciuwangwe telah tewas oleh
        dara di atas genteng itu! Ketika Kwee Lun melihat betapa Swat Hong telah berdiri di atas gentang sambil membawa
        Gu-taijin, diam-diam dia menjadi kagum bukan main. Kiranya gadis itu amat cerdiknya. Tahulah dia bahwa dara
        perkasa itu hendak menggunakan kekuasaan Gu-taijin untuk membasmi kejahatan yang merajalela di Lengsia- bun!
        Maka sambil tertawa bergelak dia pun melompat dan tubuhnya melayang ke atas genteng di mana dia berdiri di
        samping Swat Hong dan berkata mengejek, "Hong-moi, bagaimana kalau kita orong ton kotoran ini ke bawah saja dan
        melihat perutnya berhamburan di bawah sana?" "Jangan.... jangan ... aduh, ampunkan saya...." Gu-taijin berkata
        memohon dengan rasa takut menghimpit hatinya. "Kalau begitu, hayo kau membuat pengumunan dan perintah,
        menurutkan kata-kataku." Swat Hong berbisik di belakang pembesar itu. Gu-taijin mengangguk-angguk, kemudian
        terdengarlah suaranya lantang mengikuti perintah yang dibisiki oleh Swat Hong. "Hai, dengarlah baik-baik semua
        pembantuku dan semua penduduk Leng-sia-bun! Hari ini, dengan bantuan Kwee-taihiap dari Pulau Kura-kura, aku
        baru mengetahui bahwa di kota ini terdapat komplotan penjahat yang diketuai oleh Hartawan Ciu Bo Jin! Mereka
        mendirikan rumah judi, hotelpelacuran, dan rumah makan di mana terjadi segala macam kejahatan perjudian curang,
        pemaksaan terhadap gadis-gadis yang diculik untuk dijadikan pelacur dan penyogokan terhadap para petugas
        pemerintah! Sekarang Ciu-wangwe telah tewas! Anak buahnya akan diampuni asal saja mulai sekarang mau merobah
        watak dan tidak lagi melakukan kejahatan ! Dan semua wanita yang dipaksa menjadi pelacur, akan dibebaskan dan
        dikirim pulang ke rumah masing-masing dengan mendapat bekal masing-masing seratus tail perak! Semua ini harus
        dijalankan sebaiknya. Kalau ada yang melanggar dia akan dihukum sesuai dengan hukuman pemerintah, dan selain
        itu, juga Kwe-taihiap sendiri akan selalu mengawasi dan memberi hukuman terhadap mereka yang tidak mentaati
        perintah kami ini!" Tiba-tiba terdengar sorak-sorai penduduk dan terjadi keributan karena beberapa tukang pukul
        yang pernah berbuat sewenang-wenang, tiba-tiba dikeroyok oleh penduduk! Sekali ini, para pasukan pemerintah
        tidak ada yang berani melindunginya para tukang pukul itu sehingga mereka mengaduh-aduh dan tidak berani
        melawan, mengalami pemukulan penduduk sampai babak belur! Dan para wanita pelacur yang berasal dari keluarga
        baik-baik dan yang dipakasa menjadi pelacur dengan berbagai ancaman dan siksaan, sudah menangis riuh-rendah,
        menangis saking girang, terharu, dan juga duka. "Awas kau, Gu-taihiap. Kalau sampai semua ucapanmu tadi tidak
        kau laksanakan, kami akan melaporkan bahwa engkau sebagai seorang kepala daerah telah diperalat oleh orang
        jahat dengan jalan sogokan, dan selain itu, kami akan datang kembali khusus untuk menyembelih lehermu!" Swat
        Hong berbisik dengan nada penuh ancaman. Pembesar itu mengangguk-anggukkan kepalanya seperti seekor ayam
        mematuki gabah. Ketika dia mengangkat muka memandang, ternyata kedua orang itu telah lenyap dan dia hanya
        berdiri sendiri saja di atas genteng yang begitu tinggi. Tentu saja dia menjadi ngeri sekali.
        "Bhong-ciangkun.... tolong.... tolong saya turun....!" Bhong-ciangkun telah melihat bayangan kedua orang itu
        berkelebat, maka dia lalu meloncat naik ke atas genteng dan membawa pembesar itu turun. "Bagaimana, apakah
        hamba harus mengejar mereka?" Bhong-ciangkun berbisik. "Hushhh...! Bodoh! Masih untung kita...." Pembesar itu
        berbisik kembali kemudian berkata lantang. "Hayo laksanakan perintahku tadi!" Demikianlah, peristiwa itu
        menjadi semacam dongeng sampai bertahun-tahun di kalangan penduduk Lengsia- bun, dan betapa pun orang mencari
        kedua orang pendekar itu, tak pernah lagi mereka melihat mereka. Memang Swat Hong dan Kwee Lun telah melarikan
        diri dari kota itu dan melanjutkan perjalanan mereka dengan hati puas. Hebat kau, Hong-moi!" Kwee Lun memuji.
        "Luar biasa sekali! Kalau tidak ada engkau yang membantuku dengan siasat yang cerdik itu, tentu akan lain
        jadinya! Aku masih sangsi apakah aku akan mampu menaklukkan mereka! Tentu akan menjadi banjir darah, dan
        mungkin aku sendiri akhirnya mati dikeroyok." "Ah, sudalah, Kwee-twako. Kau yang hebat, menggunakan tali
        merobohkan restoran dan dengan hanya bersenjatakan tambang dapat menghadapi pengeroyokan puluhan orang!" "Tidak
        ada artinya dibandingkan dengan sepak terjangmu, Moi-moi. Engkau telah membantuku sehingga tugasku selesai
        dengan hasil baik. Tak pernah aku akan dapat melupakan ini! Dan sebagai balasannya, aku akan membantumu mencari
        ibumu dan suhengmu sampai berhasil pula!" Wajah Swat Hong menjadi suram, dan dia menarik napas panjang.
        "Hemm... Ibu dan Suheng pergi tanpa meninggalkan jejak. Ke mana aku harus mencarinya?" "Jangan khawatir,
        Moi-moi. Kalau memang Ibumu dan Suhengmu mendarat tentu kita akan dapat mencari mereka. Tempat yang paling
        tepat untuk mencari seseorang adalah kota raja. Memang belum tentu mereka berada di sana, akan tetapi
        setidaknya, di kota raja merupakan sumber segala keterangan sehingga kita dapat mendengar-dengar kalau-kalau
        ada berita dari dunia Kang-ouw tentang mereka." Swat Hong Menyetujui pendapat ini Memang dia pun bermaksud
        mengunjungi kota raja, karena bukankah nenek moyangnya dahulunya juga seorang anggauta keluarga raja? Mereka
        melanjutkan perjalanan dari luar kota Leng-sia-bun. Makin lama melakukan perjalan bersama Kwee Lun, setelah
        lewat sebulan kurang lebih, makin sukalah Swat Hong kepada pemuda itu. Dia makin mengenal Kwee Lun, sebagai
        seorang yang benar-benar jantan, keras hati, teguh dan tidak mempunyai sedikit pun pikiran menyeleweng, suka
        bergurau, kasar akan tetapi kekasaran yang bukan bersifat kurang ajar melainkan karena terbawa oleh
        kejujurannya yang wajar dan tak pernah mau menyembunyikan sesuatu. Pendeknya, pemuda itu benar-benar seorang
        laki-laki yang gagah perkasa lahir bathinnya. Di lain pihak, Kwee Lun juga merasa kagum kepada Swat Hong
        setelah dia mengenal sifat-sifat temanya ini yang amat cerdik, periang, jenaka namun keras hati dan
        kadang-kadang tampak keagungan sikapnya sebagai seorang puteri kerajaan! Namun dara itu sama sekali tidak
        angkuh atau sombong, sungguhpun kini dia harus mengakui bahwa ilmu kepandaiannya sedikitnya kalah dua tingkat
        dibandingkan dengan dara Pulau Es ini! Oleh karena inilah maka ada keseganan di dalam hatinya sehingga biarpun
        dia yang selalu memimpin perjalanan dan menjadi petunjuk jalan, namun dalam segala hal, sampai dalam memilih
        makanan dan penginapan yang selalu dibayar oleh Kwee Lun, pemuda ini selalu minta pendapat dan keputusan Swat
        Hong! Pada suatu hari tibalah kedua orang ini di kaki Pegunungan Tai-hang-san yang amat luas dan memanjang dari
        selatan ke utara. Tujuan mereka adalah Tiang-an ibu kota Kerajaan Tang. Di dusun ini mereka berhenti untuk
        makan di sebuah warung nasi sederhana. Mereka memesan nasi, mi, dan arak, Kwee Lun minta air hangat untuk Swat
        Hong agar nona ini dapat mencuci muka setelah melakukan perjalanan yang panas berdebu. Ketika Swat Hong sedang
        bercuci muka dengan air hangat, menggosok mukanya dengan air bersih sampai kedua pipinya kemerahan, dia
        mendengar percakapan menarik dari arah dapur warung itu. "Bukan main ramenya !" terdengar suara seorang
        laki-laki, agaknya pekerja di dapur itu. "Lebih ramai daripada kalau melihat dua orang jago silat berkelahi!
        Bayangkan saja! Harimau mengaum sampai bumi tergetar, lalu menubruk dan mencakar ke arah biruang itu. Akan
        tetapi si biruang juga tidak kalah lihainya, dia menggereng dan aku yakin engkau sendiri tentu akan
        terkencing-kencing mendengar gerengan itu! Dia dapat menangkis dengan kaki depannya dan balas menggigit. Mereka
        saling cakar, saling gigit, mula-mula saling menangkis lalu bergumul! Bukan main!" "Ahhh, sudahlah. Siapa
        percaya omonganmu? Paling-paling kau melihat ornag mengadu jangkerik dan kau kalah bertaruh lagi! Lebih baik
        lekas masak air, tehnya hampir habis." Swat Hong cepat menghampiri Kwee Lun dan berbisik, "Agaknya di sini ada
        jejak suhengku!" "Ehhh....? Kwee Lun bertanya heran. "Ada orang di dapur tadi bercerita tentang pertandingan
        antara harimau dan biruang, dan kalau tiadk salah perasaan hatiku, itu biruang kepunyaan suheng." "Eh? Suhengmu
        memelihara biruang?" Kwee Lun bertanya makin heran lagi. "Belum kuceritakan kepadamu, Twako. Ketika aku
        berpisah dari suheng, dia sedang mengobati seekor biruang terluka. Tentu biruang itu menjadi jinak dan menjadi
        binatang peliharaannya." "Aduh! Suhengmu tentu hebat sekali, berani mengobati seekor biruang!" "Sudahlah,
        Twako. Kalau kelak dapat bertemu, engkau dapat berkenalan dengan suheng sendiri. Sekarang harap kau suka
        tanyakan kepada pekerja di dapur tentang biruang yang diceritakannya tadi." "Mengapa tidak panggil saja dia ke
        sini? Hei, Bung pelayan!" Pelayan itu segera menghampiri. "Tolong kau panggilkan sahabat yang tadi berbicara
        tentang biruang, dia bekerja di dapur. Cepat!" Pelayan itu terheran-heran, akan tetapi dia masuk juga ke dalam
        dan tak lama kemudian, dia kembali ke situ bersama seorang laki-laki muda yang kelihatan takut-takut. Laki-laki
        ini kurus kecil dan memakai pakaian koki, agaknya dialah tukang atau pembantu tukang masak di warung itu.
        "Saya.... saya tidak tahu apa-apa...." begitu tiba di dekat meja, orang itu berkata. Kwee Lun menggerakkan
        tangannya tak sabar. "Aahh, mengapa takut? Kami hanya tertarik mendengar cerita biruang bertanding dengan
        harimau. Di manakah kejadian itu dan bagaimana asal mulanya?' Kwee Lun mengeluarkan sepotong uang dan
        memberikan kepada orang itu. "Nah, ceritakanlah! Jangan takut-takut, ini hadiahnya." Orang itu menerima hadiah
        dan setelah memandang ke kanan kiri dia bercerita. "Pagi tadi, sebelum masuk bekerja saya menemani Saudara
        Misan saya mengantar segorobak kayu bakar ke atas sana...." dia menuding ke luar warung. "Ke atas mana?" "Di
        Puncak Awan Merah, tempat tinggal Siangkoan Lo-enghiong. Kami berdua mengantarkan kayu bakar dan melihat
        ribut-ribut di sana. Mendengar gerengan-gerengan dahsyat, saya lalu menyelinap dan mendahului saudara saya,
        mengintai. Ternyata di sana sedang diadakan permainan yang luar biasa, yaitu adu harimau dan biruang! Entah
        milik siapa biruang itu, akan tetapi harimau itu saya kenal sebagai harimau peliharaan Siangkoan Lo-engkeng
        yang biasanya di dalam kerangkeng. Bukan main ramenya dan saya takut sekali. Agaknya di tempat Siangkoan
        Lo-enghiong ada tamu yang membawa biruang...." "Siapa tamunya? Bagaimana macam orangnya?" Swat Hong mendesak
        penuh ketegangan hati. Akan tetapi orang itu menggeleng kepala. "Bagaimana saya bisa tahu? Di atas sana banyak
        orang, muridmurid Lo-enghiong dan orang-orang seperti kami tidak mempunyai hubungan dengan Puncak Awan Merah,
        kami tidak diperbolehkan naik kecuali kalau ada pesanan dari sana. Hanya kadang-kadang saja Siocia atau murid
        Lo-enghiong yang turun ke sini. Melihat pertandingan yang amat dahsyat itu, saya ketakutan dan cepat lari turun
        lagi...." Swat Hong mengerutkan alisnya. Mungkinkah suhengnya "kesasar" sampai di tempat ini? Tiba-tiba Kwee
        Lun bertanya, "Yang kausebut Siangkoan Lo-enghiong itu, apakah dia bernama Siang-koan Houw?" Nama lengkapnya
        mana saya tahu?" Orang itu menggeleng kepala, kelihatannya takut-takut. "Julukannya Tee Tok (Racun Bumi),
        bukan?" Orang itu makin ketakutan, akan tetapi dia mengangguk. "Pernah saya mendengar muridnya bicara menyebut
        julukan itu.... harap Ji-wi maafkan, saya masih banyak pekerjaan di dapur." Dia tidak menanti jawaban, kembali
        ke dapur dengan sikap ketakutan. "Aihh, kiranya Teek-tok sekarang tinggal di tempat ini!" kata Kwee Lun.
        "Twako, siapakah racun bumi itu?" "Hemm, seorang yang luar biasa! Dapat dikatakan saingan suhu, menurut cerita
        suhu, sukar dikatakan siapa yang lebih unggul. Dia adalah seorang di antara tokoh-tokoh dunia kang-ouw yang
        sudah terkenal sekali. Aku sendiri baru mendengar namanya dari suhu saja. Menurut suhu, dia adalah seorang yang
        gagah perkasa dan jujur, akan tetapi sayang sekali, hati ganas dan kejam terhadap orang yang tak disukainya dan
        dia amat lihai dan berbahaya sebagai seorang ahli racun yang mengerikan. Karena itu julukannya adalah Racun
        Bumi. Sungguh tidak dinyana bahwa kita bakal bertemu dengan orang seperti dia!" "Hemm... kalau begitu engkau
        sudah merencanakan untuk mengunjungi Puncak Awan Merah, Twako?" "Tidak begitukah kehendakmu? Agaknya sangat
        boleh jadi biruang itu milik suhengmu. hong-moi, karena di tempat tinggal seorang seperti teek-tok, segala apa
        mungkin saja terjadi. Tentu saja amat mencurigakan dan hatiku tidak akan merasa puas kalau belum menyelidiki ke
        sana. Kalau ternyata suhengmu tidak berada di sana kita turun lagi karena aku tidak mempunyai urusan dengan
        Tee-tok." Swat Hong mengangguk. "Baiklah, kalau begitu mari kita berangkat. Entah mengapa, betapa pun sedikit
        kemungkinannya bahwa suheng berada di sana, akan tetapi hatiku merasakan sesuatu yang aneh. Kita harus
        menyelidiki ke sana." Setelah membayar harga makanan berangkatlah kedua orang itu ker Pulau Awan Merah, tentu
        saja diikuti pandang mata penuh keheranan dan kegelisahan oleh pelayan warung yang mereka tanyai di mana adanya
        puncak itu. Setelah mereka mendekati bukit dan tiba di lereng atas, tampaklah bangunan besar di puncak yang
        dimaksudkan itu. Mereka tidak mengerti mengapa puncak itu disebut Puncak Awan Merah, padahal ketika mereka tiba
        di situ di siang hari itu, awannya tidak berwarna merah melainkan biru dan putih seperti biasa. "Twako,
        kedatangan kita hanya menyelidiki apakah suheng berada di sana. Oleh karena itu, tidak baik kalau kita datang
        berterang, bisa menimbulkan kecurigaan orang dan kita tidak berniat mencari perkara dengan tokoh kang-ouw itu,
        bukan? Maka, sebaiknya kita berpencar dan kau menyelidiki dengan memutar dari kiri, aku dari kanan, sampai kita
        saling bertemu dan kalau suheng tidak ada di sana, dan biruang itu bukan biruangnya, kita segera kembali ke
        dusun tadi dan bermain saja di sana." "Baik, Hong-moi, dengan demikian, penyelidikan dapat dilakukan lebih
        leluasa dan lebih cepat." Mereka mendaki terus dan setelah tiba di luar pagar tembok gedung besar di puncak
        itu, mereka berpencar. Swat Hong yang mengambil jalan dari kanan menyelinap di atas pohon-pohon dan batu
        gunung. Tak lama kemudian dia mendengar suara orang dan cepat dia menghampiri dan mengintai. Apa yang
        dilihatnya membuat dia hampir berteriak saking kagetnya! Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika dia
        melihat suhengnya, Kwa Sin Liong, terbelenggu kedua pergelangan tangannya dan setengah tergantung pada pohon!
        Tubuh atas suhengnya itu telanjang dan hanya celana dan sepatunya saja yang menutupi tubuhnya. Sin Liong
        kelihatan tenang saja biarpun dahinya berpeluh, dan agaknya pemuda itu memang sengaja membiarkan dirinya
        terbelenggu, karena Swat Hong yakin sekali bahwa apabila dikehendaki oleh suhengnya itu, apa sukarnya
        membebaskan diri dari belenggu seperti itu? Tentu ada sesuatu yang aneh telah terjadi di sini! Swat Hong
        menahan kemarahannya yang membuat dia ingin menyerbu, dan dia memandang kepada orang-orang lain itu. Dua orang
        yang berpakaian seragam, memakai topi aneh, menjaga di belakang pohon dan tangan mereka meraba gagang golok.
        Seorang kakek yang tinggi besar, brewok dan matanya lebar, dengan marah-marah menghampiri Sin Liong, tangan
        kanannya memegang senjata yang aneh. Bukan senjata, pikir Swat Hong, melainkan tanduk rusa yang agaknya hendak
        dipakai sebagai senjata. Tanduk rusa seperti itu saja apa artinya bagi suhengnya? Yang membuat dia
        terheran-heran adalah melihat suhengnya berada di tempat itu dan mudah saja dibelenggu dan dihina! Apa yang
        telah terjadi? Seperti telah kita ketahui, Sin Liong meninggalkan Pulau Neraka bersama Ouw Soan Cu, gadis Pulau
        Neraka yang hendak mencari ayahnya. Sebetulnya, mencari ayahnya ini hanya merupakan alasan yang dicari-cari
        saja oleh Ouw Kong Ek, ketua Pulau Neraka. Puteranya Ouw Sin Kok, ayah kandung Soan Cu, telah menghilang selama
        belasan tahu, tak pernah kembali dan tidak pula ada kabarnya sehingga menimbulkan dugaan besar bahwa Ouw Sian
        Kok telah meninggal dunia. Selain itu, andaikata masih hidup, tak seorang pun mengetahui di mana tempat
        tinggalnya. Soan Cu ditinggal ayah kandungnya sejak bayi bagaimana mungkin dia dapat mencari ayahnya yang belum
        pernah dilihatnya dan tak diketahui ke mana perginya itu? Kalau Ouw Kong Ek mengunakan alasan ini dan mendesak
        kepada Sin Liong agar membawa dara itu bersama, keluar dari Pulau Neraka, adalah karena sebenarnya dia ingin
        agar cucunya itu dapat berjodoh dengan Sin Liong. Dia sering kali mengingat akan nasib cucu yang di cintanya
        itu. Jauh dari dunia ramai, akhirnya cucunya itu terpaksa hanya akan berjodoh dengan seorang penghuni Pulau
        Neraka! Maka munculnya Sin Liong untuk pertama kalinya itu sudah mendatangkan harapan untuk menjodohkan cucunya
        dengan pemuda itu. Apalagi ketika Sin Liong datang untuk kedua kalinya, bahkan pemuda itu telah menolong Soan
        Cu, dan menolong Pulau Neraka yang diserbu bajak laut. Tentu saja dia tidak dapat memaksa pemuda itu untuk
        menjadi calon suami cucunya, akan tetapi dengan kesempatan melakukan perantauan bersama, dia harap akan timbul
        cinta di dalam hati pemuda itu terhadap cucunya yang dia tahu merupakan seorang gadis yang cantik jelita dan
        berilmu tinggi, juga berwatak baik.
      </P>
      <P>
        Demikianlah, Sin Liong meninggalkan Pulau Neraka bersama Soan Cu dan juga biruang raksasa yang menjadi jinak
        itu. Dengan sebuah perahu yang disediakan oleh Ouw Kong Ek, berangkatlah mereka meninggalkan Pulau Neraka,
        berlayar melalui pulau-pulau di daerah itu. Akhirnya, karena tidak berhasil menemukan Swat Hong yang
        dicari-carinya, juga tidak tampak seorang pun manusia tinggal di daerah lautan berbahaya itu, Sin Liong
        mengemudikan perahunya menuju ke arah barat, ke daratan besar. "Besar kemungkinan Sumoi mendarat, dan kalau
        sampai belasan tahun ayahmu tidak pernah pulang dan tidak ada beritanya, juga bukan tidak mungkin Ayahmu
        tinggal di sana," katanya kepada Soan Cu. "Mari kita mencari jejak mereka di daratan besar." Soan Cu tidak
        membantah dan demikianlah, akhirnya mereka mendarat dan hanya beberapa hari lebih dulu dari pendaratan yang
        dilakukan oleh Swat Hong yang tersesat jalan dan mendarat jauh di selatan sehingga dia bertemu dengan Kwee Lun.
        Karena dari pantai ke barat banyak melalui daerah yang sunyi, pegunungan dan hutan, maka adanya biruang bersama
        meraka tidak terlalu mengganggu benar. Pula, binatang itu sudah jinak sekali, bahkan dapat disuruh untuk
        mencari buah-buahan, pandai pula mencari air di dalam hutan yang lebat. Pada suatu hari, tibalah mereka di
        pegunungan Tai-hang-san. Tanpa mereka ketahui, mereka tiba di lereng puncak Awan Merah, daerah kekuasan
        Tee-tok. Ketika mereka memasuki sebuah hutan besar, tiba-tiba terdengar auman harimau yang amat keras sehingga
        suara itu menggetarkan hutan. Mendengar auman ini, biruang menjadi marah sekali. Sin Liong cepat memegang dan
        memeluk binatang itu, khawatir kalau-kalau biruang itu akan lari dan berkelahi dengan harimau yang mengaum itu.
        "Hai.......! Ada harimau! Biar kutangkap dia!" Sian Cu sudah berlari-lari membawa senjatanya yang aneh dan
        istimewa, yaitu sebatang cambuk berduri yang menjadi senjata kesayangannya disamping pedang. Dia tertawa-tawa
        gembira sehingga Sin Liong tidak tega untuk melarangnya. Dara itu masih remaja, masih bersifat kanak-kanak dan
        hanya kadang-kadang saja tampak kedewasaanya. Dia maklum bahwa gadis yang sejak bayi dibesarkan di tempat
        seperti Pulau Neraka itu, tentu saja memiliki sifat-sifat liar, akan tetapi dia pun mengenal dasar-dasar baik
        dari hati Soan Cu. Selain membiarkan gadis itu bergembira, juga dia percaya penuh bahwa ilmu kepandaian Soan Cu
        sudah tinggi sekali, cukup tinggi untuk melindungi diri sendiri. Soan Cu berlari cepat sekali dan dalam berlari
        ini timbullah kegembiraan yang luar biasa di dalam hatinya. Di depan Sin Liong, dia selalu harus menekan
        perasaannya karena sikap pemuda ini sungguh penuh wibawa dan membuat dia tunduk, takut dan hormat seolah-olah
        pemuda itu menjadi pengganti kakeknya. Akan tetapi sesunguhnya semenjak dia meninggalkan Pulau Neraka, ada
        perasaan gembira yang disembunyikannya dan baru sekarang dia memperoleh kesempatan untuk melepaskan
        kegembiraannya yang meluap-luap. Ingin dia bersorak gembira kalau saja tidak takut terdengar oleh Sin Liong!
        Maka kegembiraannya itu disalurkannya lewat kedua kakinya yang berloncatan dan berlari-lari menuju ke arah
        suara harimau yang mengaum. Karena auman harimau itu keras sekali, mudah saja bagi Soan Cu untuk menuju ke
        tempat itu dan akhirnya dia melihat seekor harimau yang amat besar dan kuat, berbulu indah sekali,
        loreng-loreng hitam kuning berdiri memandang ke arah seorang laki-laki yang berdiri ketakutan. Harimau itu
        membuka-buka moncongnya, seperti seorang anakkecil yang menggoda kakek itu, menakutnakutinya, kadang-kadang
        mengaum dan tiap kali dia mengaum, kedua kaki orang itu menggigil dan terdengar suara terputus-putus dan dia
        mencoba untuk bersembunyi di belakang sebatang pohon, "Kakak harimau yang baik..... saya..... saya..... A-siong
        pedagang kayu bakar..... hendak mengirim kayu bakar kepada Lo-enghiong....... harap jangan mengganggu
        saya......" Harimau itu sebetulnya adalah harimau peliharaan Tee-tok dan biasanya dikurung dalam kerangkeng dan
        hanya pada waktu-waktu tertentu saja dibiarkan berkeliaran di hutan. Agaknya penjaga harimau pada hari itu
        terlupa sehingga harimau itu tetap berkeliaran pada waktu A-siong sedang mengirim kayu bakar ke Puncak Awan
        Merah. A-siong adalah seorang di antara pedagang-pedagang kayu bakar yang suka menjual kayu bakar di tempat
        itu. Melihat harimau itu, Soan Cu lalu berseru, "Kucing besar, kau nakal sekali!" Harimau itu menggereng dan
        menoleh. Ketika dia melihat seorang wanita memengang cambuk, dia menggereng dan cepat sekali, berlawanan dengan
        tubuhnya yang besar, dia sudah membalik dan menubruk. "Celaka......!" A-siong berseru kaget, memeluk batang
        pohon dan menahan napas, membelalakan matanya. Akan tetapi, tanpa mengelak Soan Cu sudah menggerakan cambuknya.
        "Tar-tar!" ujung cambuk itu menyambar dan membelit kaki depan kanan harimau itu dan sekali tarik, tubuh harimau
        yang sedang meloncat itu terbanting ke atas tanah. Harimau itu menggereng dan kelihatan marah sekali. Kembali
        dia menubruk, akan tetapi sekali ini, Soan Cu yang sedang gembira meloncat ke kiri dan melihat tubuh harimau
        itu menyambar lewat, dengan tangan kirinya dia menangkap ekor harimau yang panjang dan sekali tubuhnya
        bergerak, dia telah berada di atas punggung harimau! Sambil tersenyum-senyum dan membuat gerakan seperti orang
        menunggang kuda, Soan Cu menggerak-gerakan ujung cambuk menyabeti moncong harimau itu. Tentu saja harimau itu
        merasa kesakitan karena ujung cambuk itu berduri. Dengan kemarahan meluap harimau itu berusaha mencakar dan
        menggigit ujung cambuk yang mungkin dikira seekor ular yang ganas, namun tak pernah berhasil bahkan bagaikan
        buntut seekor ular, ujung cambuk itu terus melecuti hidung dan bibirnya sampai berdarah! "Hiyooooo.... kucing
        binal, hayo jalan baik-baik!" Seperti seorang pemain sirkus yang mahir, Soan Cu menunggang harimau, tangan kiri
        mencengkeram kulit leher, tangan kanan mempermainkan cambuknya dan harimau itu yang mengejar ujung cambuk yang
        digerak-gerakan, melangkah perlahan-lahan! A-siong yang menonton sambil berusaha menyembunyikan diri di balik
        batang pohon, terbelalak dan hampir tak percaya kepada matanya sendiri. Beberapa kali tangan kirinya menggosok
        kedua matanya dengan ujung lengan baju karena dia mengira bahwa dia sedang dalam mimpi, akan tetapi tetap saja
        penglihatan yang luar biasa itu masih tampak oleh kedua matanya. "Soan Cu, turunlah......!!" Tiba-tiba
        terdengar teguran dan mengenal suara Sin Liong, lenyaplah semua kegembiraan yang liar dari gadis itu. Dia masih
        tersenyum, akan tetapi matanya kehilangan sinar yang berapi-api dan liar tadi, dan dia berkata, "Liong-koko,
        dia.... dia hendak menerkam orang....." ucapannya ini bersifat membela diri karena dia ketakutan oleh pemuda
        itu sedang mengganggu harimau. "Turunlah berbahaya sekali permainanmu itu!" Soan Cu meloncat turun dan tentu
        saja harimau yang marah itu cepat mencakar dengan kecepatan luar biasa. Namun dia hanya mencakar tempat kosong
        kerena gerakan Soan Cu lebih cepat lagi. Dara ini telah meloncat ke dekat Sin Liong dan mengejek ke arah
        harimau dengan meruncingkan mulutnya dan mengeluarkan bunyi, "Hiii.....! Hiiiiii!!" Sementara itu, biruang yang
        tadinya sudah dapat ditenangkan oleh Sin Liong dan dijak menyusul Soan Cu, setelah kini melihat harimau, timbul
        kembali kemarahannya, bahkan lebih hebat dari pada tadi. Pada saat Sin Liong lengah karena menegur gadis itu,
        tiba-tiba biruang itu melompat ke depan dan menggereng sambil memperlihatkan taringnya, memandang harimau
        dengan mata merah. Harimau itu agaknya tidak merasa gentar menghadapi tantangan ini. Dia pun menggereng dan
        menubruk. Akan tetapi biruang itu sudah siap. Ketika harimau itu menubruk dengan kedua kaki depan lebih dulu,
        dia menggerakan kaki depan kanan yang amat kuat, memukul dari samping dan menangkis kedua kaki depan harimau .
        Karena tubuh harimau itu berada di udara, tentu saja dia kalah kuat dan tubuhnya terlempar ke bawah. Akan
        tetapi dia sudah meloncat lagi dan siap untuk melanjutkan serangannya. "Hushhh....! Biruang yang baik, jangan
        berkelahi!" Sin Liong sudah menangkap kaki depan biruangnya dan mengelus kepalanya, menenangkannya. Akan tetapi
        sekali ini agak sukar karena biruang itu marah sekali, meronta-ronta dan apa lagi melihat harimau itu masih
        menggereng hendak menyerangnya. "Ihh, kucing licik! Hayo mundur kau!" Soan Cu melangkah maju, menggerakan
        cambuknya ke depan untuk menghalau harimau itu. "Tar-tar-tarr.....!!" Harimau merasa jerih menghadapi cambuk,
        akan teapi bukan berarti dia takut karena dia masih menggereng-gereng memperlihatkan taringnya dan matanya
        merah bersinar-sinar. "Hayo pergi! Kalau tidak akan kuhajar kau!" Soan Cu membentak. "Siapa dia berani kurang
        ajar hendak mengganggu harimau kami?" Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan muncullah banyak orang di tempat
        itu. Serombongan orang yang berpakaian seragam telah bergerak mengurung tempat itu, dan orang yang berseru
        tadi, seorang kakek tinggi besar yang brewok, pakaiannya ringkas, tubuhnya membayangkan tenaga yang kuat,
        matanya lebar membayangkan kekerasan dan kejujuran, akan tetapi tarikan bibirnya membayangkan kekejaman. Di
        sampingnya berjalan seorang gadis yang cantik sekali, dengan pakaian yang mewah dan indah, rambutnya ditekuk ke
        atas dan diikat dengan kain kepala dari sutera merah, dihias dengan bunga emas permata, pakaian yang indah itu
        membungkus ketat tubuhnya sehingga membayangkan lekuk lengkung tubuhnya yang padat dan ramping, di pinggang
        yang kecil ramping itu melibat sehelai sabuk sutera merah. Telinganya terhias anting-anting batu kemala panjang
        berwarna hijau, menambah kemanisan wajahnya yang mendaun sirih bentuknya itu. Sin Liong cepat menjura dengan
        hormat dan berkata halus, "Harap Locian-pwe sudi memaafkan kami yang secara tidak sengaja memasuki daerah ini,
        "kata Sin Liong sambil memegangi kaki depan biruangnya. Kakek itu memandang tajam. Jawaban penuh kesopanan dan
        sepasang mata bersinar halus tanpa rasa takut sedikit pun itu mencengangkan hatinya. "Melanggar daerah ini
        masih bukan apa-apa, akan tetapi kalian berani mengganggu harimau peliharaanku. Apakah karena mempunyai biruang
        itu maka kalian menjadi sombong?" "Kami tidak menggangu, Locianpwe. Hanya karena harimau itu dan biruang kami
        akan berkelahi maka kami melerai dan mencegahnya." "Hemm... dua ekor binatang akan berkelahi, apa anehnya?
        Hanya kalau manusia sudah mencampurinya, maka manusia itu lebih rendah daripada binatang!" "Eh, tahan tuh
        mulut!" Soan Cu membentak dan menudingkan telunjuknya ke arah mulut kakek gagah itu. Dara ini tidak lagi dapat
        menahan kemarahan hatinya mendengar ucapan yang menghina tadi. "Kami melerai karena yakin bahwa kucing hutan
        busuk ini tentu akan mampus dirobek-robek oleh biruang kami, engkau ini orang tua tidak berterima kasih, malah
        mengucapkan kata-kata menghina!" Sepasang mata kakek itu besinar-sinar, bukan hanya marah akan tetapi juga
        kagum. Kakek ini memang orang aneh. Melihat keberanian orang, apa lagi seorang dara muda seperti Soan Cu yang
        pada saat itu muncul kembali sifat liarnya karena marah, dia kagum bukan main. Kakek ini adalah Siangkoan Houw
        yang terkenal dengan julukan Tee-tok (Racun Bumi), seorang gagah yang jujur dan terbuka sikapnya, maka kasar
        sekali dan kalau dia sudah marah, kejamnya melebihi harimau peliharaannya. Dia terkenal sekali di dunia
        kang-ouw sebagai seorang di antara tokoh-tokoh besar. Dia hidup di Puncak Awan Merah itu dengan tentram,
        bersama puteri tunggalnya, yaitu gadis cantik yang datang bersamanya dan yang sejak tadi diama saja. Tee-tok
        Siangkoan Houw sudah duda, dan hanya hidup berdua dengan puterinya yang bernama Siangkoan Hui. Adapun
        orang-orang lain yang berada di situ adalah para murid-muridnya yang juga menjadi anak buahnya, kurang lebih
        lima belas orang banyaknya, di antaranya seorang kakek yang usianya sebaya dengan dia dan rambutnya sudah putih
        semua. Kakek inilah yang merupakan murid kepala dan yang telah memiliki kepandaian tinggi pula, bernama Thio
        Sam dan berjuluk Ang-in Mo-ko (Iblis Awan Merah). "Bagus sekali!" Kakek ini memuji. "Kalau begitu, mari kitas
        adukan kedua binatang itu. Hendak kulihat apakah benar-benar biruangmu dapat mengalahkan harimauku!" "Boleh!"
        Soan Cu menjawab. "Jangan! Soan Cu, tidak boleh begitu!" Sian Liong berseru, kemudian dia berkata kepada kakek
        itu, "Harap Locianpwe suka memaafkan kami dan biarlah kami pergi dari sini sekarang juga. Bukan maksud kami
        untuk mengganggu siapa pun." "Kucing hitam macam itu saja, biar ada lima akan diganyang oleh biruang kami!"
        Soan Cu masih marahmarah. "Kakek sombong mengandalkan harimaunya menakut-nakuti orang. Kalau aku tidak cepat
        datang, agaknya harimau itu sudah makan orang tadi! Perlu diberi hajaran!" "Hayo kita adukan mereka!" Tee-tok
        berteriak-teriak dengan kumis bangkit saking marahnya. "Sebelum kedua binatang peliharaan kita saling diadu,
        jangan harap kalian akan dapat pergi dari sini!" "Kami tidak takut!" Soan Cu menjerit lagi. Mendengar ucapan
        kakek itu, Sin Liong menyesal bukan main. Kalau dia tidak membolehkan biruang diadu, tentu kakek itu bersama
        teman-temannya akan menghalangi dia dan Soan Cu pergi dan akibatnya lebih hebat lagi. Maka dia menghela napas
        dan berkata, "Baiklah, mari kita lepaskan mereka dan melihat apakah mereka memang mau berkelahi. Kuharap saja
        setelah ini, kami diperbolehkan pergi." "Koko, lepaskan biruang kita, biar dihancurlumatkan kucing keparat itu.
        Tar-tar-tarrr...!!" Soan Cu sudah membunyikan cambuknya di udara berkali-kali. Sin Liong melepaskan biruangnya
        dan dia menghampiri Soan Cu, memegang lengannya dan berbisik, "Soan Cu, kautenangkanlah hatimu, jangan
        marah-marah. Ingat, kita tidak mau melibatkan diri dalam permusuhan dengan siapapun juga, bukan?" Dipegang
        lengannya secara demikian halus oleh Sin Liong, seketika api yang bernyala dalam hati Soan Cu padam seperti
        tertimpa hujan, semangat dan tubuhnya lemas dan dia menunduk sambil menganggukan kepalanya. Dia seperti seekor
        harimau liar yang tiba-tiba menjadi jinak! Sementara itu, setelah kini dilepas keduanya dan tidak ada yang
        menghalangi, kedua ekor binatang itu mengeluarkan suara auman dan gerengan yang dahsyat dan menggetarkan.
        Mual-mula mereka saling pandang dan masing-masing hendak menggetarkan lawan dengan kekuatan suara, kemudian
        harimau yang ganas itulah yang mulai menerjang maju! Dengan berdiri di atas kedua kaki belakangnya, harimau itu
        menubruk dan menerkam. Akan tetapi, dengan gerakannya yang agak lamban dan tenang, namun kuat dan tetap sekali,
        biruang menangkis terkaman dan balas mencengkeram dengan kuku jari kakinya yang biarpun tidak seruncing kuku
        harimau, namun tidak kalah kuatnya. Kena tamparan biruang yang amat kuat itu, harimau terguling-guling! Hanya
        sepasang matanya saja yang bersinar-sinar girang, akan tetapi Soan Cu tiak berani berkutik di dekat Sin Liong.
        Ingin hatinya bersorak dan mulutnya mengeluarkan kata-kata mengejek melihat betapa harimau itu
        terguling-guling, namun dia merasa segan terhadap Sin Liong. Harimau itu meloncat lagi dan menerkam makin
        dahsyat. Terjadilah perkelahian yang amat dahsyat, ditengah-tengah suara gerengan yang menggetarkan seluruh
        bukit. Pada saat itulah koki warung yang menemani sudara misannya mengantar kayu bakar, mendapat kesempatan
        menonton harimau bertanding melawan biruang, akan tetapi karena merasa ngeri dan takut, dia cepat meninggalkan
        tempat itu dan berlari turun lagi. Perkelahian yang dahsyat, seru dan mati-matian. Biruang itu sudah menderita
        banyak luka di tubuhnya akibat cakaran dan gigitan harimau, akan tetapi akhirnya dia berhasil mencengkeram
        kepala harimau, menindihnya dan menggigit leher harimau, sampai robek dan terus luka di leher itu dirobeknya
        sampai keperut! Harimau berkelojotan dan mati tak lama kemudian. "Heiii....!" Soan Cu berteiak, namun
        terlambat. Sinar hitam menyambar ke arah leher biruang dan binatang ini mengeluarkan pekik mengerikan lalu
        roboh dan tak bergerak lagi, mati diatas bangkai harimau yang tadi menjadi lawannya. "Kau membunuh biruang
        kami!" Soan Cu melompat dan menuding dengan marah kepada kakek yang tadi menyerang biruang dengan Hek-tok-ting
        (Paku Hitam Beracun). "Dia pun membunuh harimau kami!" Tee-tok menjawab dengan mata mendelik saking marahnya.
        "Manusia curang kau!" Soan Cu sudah menerjang maju dan cambuknya mengeluarkan suara meledak-ledak di udara.
        "Tar-tar-cring-tranggggg.....!!" Bunga api berpijar ketika cambuk itu tertangkis oleh sepasang pedang yang
        bersinar hitam. itulah pedang Ban-tok-siang-kiam (Sepasang Pedang Selaksa Racun) yang ampuh dari Teetok. Akan
        tetapi bukan main kagetnya ketika tadi pedangnya menangkis cambuk duri, dia merasakan lengannya tergetar, tanda
        bahwa dara muda itu memiliki sinkang yang amat kuat. "Heii, jangan bertempur.....!" Sin Liong cepat
        menegur,akan tetapi sekali ini Soan Cu pura-pura tidak menengarnya, apalagi kakek itu pun sudah marah dan sudah
        membalas serangannya dengan sepasang pedangnya. Terjadi pertempuran hebat sekali antara gadis itu dan Tee-tok.
        Melihat gerakan sepasang pedang itu lihai bukan main dan ada menyambar hawa yang kuat dari lawannya, Soan Cu
        tidak berani memandang ringan dan tangan kanannya sudah mencabut pedangnya. Pedang di tangan gadis ini adalah
        pemberian kakeknya, ketua Pulau Neraka dan seperti juga cambuknya, pedang ini aneh dan ampuh sekali. Bentuk
        pedang itu juga berduri seperti cambuknya dan pedang itu terbuat dari tulang ular dan namanya pun Coa-kut-kiam
        (Pedang Tulang Ular) terbuat dari pada tulang ular beracun yang telah dikeraskan dan diperkuat dalam rendaman
        tetumbuhan beracun sehingga keras seperti baja. Sedangkan cambuknya itu pun bukan cambuk biasa karena cambuk
        itu terbuat dari ekor ikan hiu yang istimewa dan yang hanya terdapat di pantai Pulau Neraka. Seperti juga
        pedangnya, cambuknya itu pun mengandung bisa yang tidak dapat diobati, kecuali oleh dia sendiri yang selalu
        membawa obat penolaknya! Sin Liong sudah mengenal kakek itu ketika muncul tadi, dan dia memang tadinya tidak
        mau memperlihatkan bahwa dia telah mengenalnya. Tentu saja dia mengenal kakek ini yang dahulu pernah pula
        membujuknya untuk ikut dan menjadi muridnya, ketika para tokoh kang-ouw datang memperebutkan dia dilereng
        Pegunungan Jeng-hoa-san. Kini, melihat betapa Soan Cu sudah bertanding mati-matian melawan kakek itu, dia
        menjadi khawatir sekali dan cepat dia berkata, "Locianpwe, seorang tokoh besar yang berjuluk Tee-tok dan
        disegani di seluruh dunia Kang-ouw, benar-benar mengecewakan dan merendahkan nama besarnya kalau sekarang
        melayani bertanding melawan seorang dara remaja!" Mendengar ucapan itu, Tee-tok menjadi merah mukannya. Dia
        menangkis pedang Soan Cu sekuat tenaga sampai pedang itu hampir terlepas dari tangan Soan Cu, melompat mudur
        dan menghadapi Sin Liong. "Hemm, orang muda! Kau sudah mengenal aku, kalau begitu majulah kau menggantikan
        gadis itu!" Sin Liong menjura. "Bukan maksudku dengan kata-kata itu menantangmu, Locianpwe. Saya hanya hendak
        mengatakan bahwa kami berdua sama sekali bukan datang untuk bertanding." "Tapi kalian datang dan mengakibatkan
        harimau peliharaan kami mati. Kalau kalian tidak datang mengacau, mana biasa harimau kami mati?" "Dia mampus
        karena kalah dalam pertandingan yang adil!" Soan Cu membentak, akan tetapi menjadi tenang kembali karena Sin
        Liong mendekatinya dan minta gadis itu menyimpan pedang dan cambuknya kembali. "Siangkoan Locianpwe, memang
        kami akui bahwa harimau peliharaan Locianpwe mati karena biruang kami, akan tetapi Locianpwe telah membalas
        kematian itu dengan membunuh biruang kami. Bukankah itu sudah lunas artinya?" "Tidak!" Tee-tok yang masih marah
        itu membentak. "Biarpun biruangnya sudah mati, akan tetapi pemiliknya belum dihukum!" Soabn Cu tak dapat lagi
        menahan kemarahannya. "Dihukum apa? Kau hendak membunuh kami?" "Tak perlu dibunuh! Pelanggaran ke dalam daerah
        ini sudah merupakan kesalahan, dan matinya harimau tidak cukup ditebus dengan kematian biruang. Pemiliknya
        harus dihukum rangket seratus kali , baru adil!" "Keparat!" "Soan Cu!" Sin Liong berkata dan memegang lengan
        dara itu sehingga Soan Cu menelan kembali katakatanya. "Soan Cu, aku mita kepadamu agar kau sekarang juga
        meninggalkan tempat ini. Biarkan aku yang berurusan dengan Siangkoan Locianpwe. Kau turunlah dan kau tunggu aku
        di dusun itu. Mengerti?" Soan Cu mengerutkan alisnya dan matanya memandang ragu, akan tetapi melihat sinar mata
        Sin Liong yang tegas dan halus itu, dia tidak dapat menolak dan dia mengangguk. "Berangkatlah, dan tunggu aku
        di sana." Sin Liong berkata lagi sambil tersenyum. Soan Cu membanting kakinya, lalu melotot ke arah Siangkoan
        Houw, kemudian meloncat pergi, meninggalkan isak tertahan. Semua orang memandang dengan kagum akan keberanian
        dara itu yang sekali meloncat lenyap dari situ, akan tetapi terutama sekali kagum kepada Sin Liong yang
        bersikap demikian tenang dan halus, namun ia memiliki wibawa demikian besarnya sehingga gadis liar seperti itu
        menjadi demikian jinak dan taat. Setelah Soan Cu pergi jauh dan tidak tampak lagi bayangannya, Sin Liong lalu
        mengeluarkan kedua lengannya dan sambil tersenyum tenang dia berkata, "Nah, Locianpwe. Tidak ada yang perlu
        diributkan lagi. Aku sudah mengaku bersalah telah memasuki tempat ini dan menimbulkan keributan. Biarlah aku
        menerima hukuman rangkes seratus kali agar hatimu puas." Sikap yang tenang dan halus ini diterima keliru oleh
        Siangkoan Houw. Matanya terbelalak lebar dan dia menganggap pemuda itu menantangnya, menantang ancaman
        hukumannya. "Belenggu kedua lengannya!" bentaknya kepada para muridnya. Empat orang muridnya menyerbu dan Sin
        Liong hanya tersenyum saja ketika bajunya dibuka, kedua pergelangan lengannya diikat dengan tali yang diikatkan
        pula pada cabang pohon sehingga tubuhnya setengah tergantung. "Ayah.....!" Tiba-tiba dara cantik jelita yang
        sejak tadi hanya menonton dan selalu memandang ke arah Sin Liong penuh kagum, berkata kepada Tee-tok, "Apakah
        tidak berlebihan perbuatan kita ini? Harap Ayah berpikir lagi dengan matang sebelum melakukan suatu kesalahan."
        "Dipikir apalagi? Kita telah dihina orang, kalau tidak memperlihatkan kekuatan, bukankah akan menjadi bahan
        tetawaan orang sedunia?" Mendengar kata-kata orang tua itu, Siangkoan Hui, gadis itu, menunduk dan melirik ke
        arah Sin Liong yang telah siap menerima hukuman. "Terima kasih atas kebaikan hatimu, Nona. Akan tetapi biarlah,
        aku sudah siap menghadapi hukuman. Dengan begini, habislah segala urusan dan Ayahmu takkan marah lagi." "Diam
        kau!" Tee-tok membentak, kemudian menuding kepada seorang muridnya yang bertubuh tinggi besar. "Ambil cambuk
        dan rangket dia seratus kali!" Murid itu berlari pergi dan tak lama kemudian sudah datang kembali membawa
        sebatang cambuk hitam yang besar dan panjang. Setelah menerima isyarat gurunya, murid tinggi besar ini mengayun
        cambuknya. Terdengar suara meledak-ledak dan cambuk itu menyambar ke bawah, melecut tubuh atas yang telanjang
        itu. "Tar.....! Tar....! Tar........!" Semua orang terbelalak memandang , penuh keheranan. Cambuk itu menyambar
        bertubi-tubi, melecuti tubuh itu, mukanya, lehernya, lengannya, dada, dan punggungnya, namun sama sekali tidak
        membekas pada kulit halus putih itu! Hanya dahi pemuda itu yang berkeringat, akan tetapi dahi Si Pemengang
        Cambuk lebih banyak lagi peluhnya! Sampai seratus kali cambuk itu menyambar tubuh Sin Liong dan ujungnya sudah
        pecah-pecah, namun jangankan sampai ada darah yang menetes dari kulit tubuh Sin Liong, bahkan tampak merah saja
        tidak ada seolah-olah cambuk itu bukan melecut kulit membungkus daging, melainkan melecut baja saja! Setelah
        menghitung sampai seratus kali, Si Algojo itu jatuh terduduk, napasnya terengah-engah dan dia menggosok-gosok
        telapak tangan kanannya yang terasa panas dan lecet-lecet. Mukanya pucat dan matanya terbelalak penuh keheranan
        dan kengerian. Semua anak buah atau murid Tee-tok terbelalak dan pucat. Akan tetapi muka Tee-tok sendiri
        menjadi merah sekali. Tahulah bahwa pemuda itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tadi
        telah menggunakan sinkangnya sehingga tubuhnya kebal dan tentu saja lecutan cambuk itu tidak membekas! Hal ini
        menambah kemarahan hatinya. Dia merasa dihina dan ditantang. Dengan kemarahan meluap dia menyambar senjata
        aneh, yaitu tanduk rusa yang kering itu. Tanduk rusa itu bukanlah sebuah senjata sembarangan saja. Tee-tok
        merupakan seorang ahli racun dan dia telah menemukan tanduk rusa ini yang mempunyai daya ampuh terhadap
        kekebalan. Tanduk ini mengandung racun yang tak dapat ditahan oleh kekebalan yang bagaimana kuat pun dan kini
        dalam kemarahannya, dia hendak mengajar pemuda ini dengan tanduk rusa ini! Pada saat itulah Swat Hong datang
        dan mengintai dengan mata terbelalak keheranan. Seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah tegang dan dia sudah
        hampir meloncat keluar untuk menolong suhengnya ketika dia melihat seorang gadis datang berlari dan berlutut di
        depan kakek yang memegang senjata tanduk rusa itu. Melihat ini, Swat Hong menahan diri dan terus mengintai.
        "Ayah, jangan..... jangan pukul dia dengan ini.....!" "Hui-ji (Anak Hui), mundurlah kau! Dia telah menghina
        kita, memperlihatkan dan memamerkan kekebalannya! Hemm, hendak kulihat sampai dimana kekebalannya kalau dia
        merasai pukulanku dengan ini!" Dia mengamangkan senjata aneh itu. "Jangan, Ayah! Jangan.... aku akan
        melindunginya kalau Ayah memaksa! Ayah bersalah, dia.... dia orang gagah yang budiman, luar biasa..... mengapa
        Ayah tak bisa melihat orang.....?" Siangkoan Houw menundukan mukanya dan melihat wajah puterinya yang pucat,
        mata yang sayu dan tampak dua titik air mata di pipi puterinya. Dia terkejut dan terheran-heran, kemudian marah
        sekali. Puterinya telah jatuh cinta kepada pemuda itu! "Hemm..." Suaranya penuh geram. "Lupakah kau kepada
        putera Lusan Lojin.....?" "Ayahhhh....!" Siangkoan Hui berseru dan terisak sambil memeluk kedua kaki ayahnya,
        menangis. Betapapun bengisnya, Tee-tok yang hanya mempunyai seorang anak itu, tentu saja merasa tidak tega
        kepada anaknya. Hantinya mencair ketika dia melihat puterinya menangis sambil memeluk kedua kakinya. Dia
        menghela napas panjang dan pandang matanya yang ditujukan kepada Sin Liong kini kehilangan kekejaman dan
        kemarahannya, hanya terheran dan ragu-ragu. Puterinya mencintai pemuda ini? Hemm...., seorang pemuda yang amat
        tampan , dan harus diakuinya bahwa biarpun pemuda itu kelihatan halus seperti seorang lemah, namun pemuda itu
        gagah perkasa, penuh ketenangan dan keberanian. Dan kekebalannya itupun membuktikan bahwa pemuda ini bukan
        orang sembarangan. Dia belum melihat putera Lu-san Lojin, entah bagaimana setelah dewasa sekarang. Apakah
        sebaik pemuda ini? "Hai, orang muda. Siapakah namamu?" Sin Liong memandang kepada kakek itu dan menjawab halus,
        "Nama saya Kwa Sin Liong, Locianpwe." "Bagaimana engkau bisa mengenal aku?" "Siapa yang tidak mengenal
        Locianpwe yang terkenal di dunia Kang-ouw? Locianpwe adalah Tee-tok Siangkoan Houw yang amat tinggi ilmu
        kepandaiannya, dan saya pernah bertemu dengan Locianpwe....." Tiba-tiba Sin Liong berhenti bicara karena baru
        dia teringat bahwa sebenarnya tidak ada perlunya menyebut-nyebut hal itu. "Bertemu? Di mana?" Karena sudah
        terlanjur bicara, Sin Liong merasa tidak enak untuk membohong lagi, maka dia berkata, "Di lereng Jeng-hoa-san,
        bahkan Locianpwe pernah membujuk saya menjadi murid......" "Astaga....! Engkaukah ini? Engkaukah anak ajaib?
        Engkau Sin-tong....?" Tee-tok berseru dan cepat melangkah maju. "Benar, engkaulah Sin-tong! Aihh..... maafkan
        kami. Di antara kita telah timbul salah pengertian besar!" Dia cepat meloncat dan merenggut lepas tali yang
        mengikat kedua lengan Sin Liong, bahkan cepat meneriaki muridnya untuk menyerahkan kembali baju Sin Liong. Sin
        Liong tersenyum. "Tidak mengapa, Locianpwe. Memang saya mengaku salah, telah menimbulkan keributan dan
        mengakibatkan kematian harimaumu." "Aihh... hei, matamu tajam sekali, Hui-ji! Engkau benar! Dia anak baik,
        bukan hanya baik saja. Aduh, betapa dahulu aku mati-matian memperebutkan anak ini! Hui-ji, dia Sin-tong! Betapa
        girangku dia tiba-tiba muncul di sini!" Dengan giran Tee-tok menggandeng lengan Sin Liong dan menariknya. "Hayo
        masuk ke rumah kami, kita bicara!" "Tapi, Locianpwe. Saya ingin melanjutkan." "Nanti dulu, kita bicara! Sejak
        engkau dibawa oleh.... eh, di mana dia sekarng.....?" Kakek itu menengok kekanan kiri, seolah-olah merasa ngeri
        karena dia teringat akan Pangeran Han Ti Ong yang sakti. Siapa tahu, pangeran yang luar biasa itu tahu-tahu
        muncul pula di situ. "Locianpwe maksudkan Suhu? Saya hanya datang berdua dengan adik Soan Cu." "Mari kita
        bicara. Ah, pertemuan ini sungguh menggirangkan hati!" Melihat sikap kakek itu begitu gembira, Sin Liong tidak
        tega untuk menolak terus. Urusan telah selesai dengan baik, dan Soan Cu tentu sedang menanti di dusun di kaki
        bukit. Terlambat sedikit pun tidak mengapa daripada memaksa menolak dan menimbulkan kemarahan kakek yang
        berangasan ini. Siangkoan Hui memandang kepada Sin Liong dengan sepasang mata bersinar-sinar, penuh kekaguman
        dan ketika ayahnya menggandeng pemuda itu dengan tangan kanan, kemudian menggandengnya dengan tangan kiri, dia
        tersenyum dan meronta melepaskan diri karena malu, kemudian berlari-lari kecil meninggalkan mereka. "Ha-ha-ha!
        Hui-ji... ha-ha-ha-ha! Eng kau benar. Dia ini seorang pemuda pilihan, seorang pemuda hebat!" Dengan penuh
        kegembiraan Tee-tok menjamu Sin Liong. "Siapakah Nona yang lihai dan berani itu?" "Dia adalah Ouw Soan Cu,
        seorang sahabat baik saya, Locianpwe. Dia sedang mencari ayahnya dan saya membantunya." "Mana dia? Karena dia
        sahabatmu, dia pun sahabat kami. Biar aku menyuruh orang mengundangnya." "Tidak usah, Locianpwe. Wataknya aneh
        dan keras, jangan-jangan malah menimbulkan salah paham." "Ha-ha-ha, aku suka kepadanya! Sejak pertemuan pertama
        aku kagum kepada anak itu! Keras, aneh dan berani! Hebat dia! Aihh, Sin-tong...." "Locianpwe, nama saya Kwa Sin
        Liong." "Tidak apa, aku tetap menyebutmu Sin-tong. Engkau memang anak ajaib, luar biasa sekali. Apakah engkau
        telah menjadi murid pangeran Han Ti Ong?' Sin Liong mengangguk dan merasa agak gugup. "Benar, akan tetapi saya
        dilarang untuk bicara tentang Suhu...." "Ha-ha-ha, aku tahu. Dia bukan manusia biasa! Aku girang sekali bertemu
        dengan muridnya, apalagi muridnya adalah engkau, Sin-tong! Ahhh... kegirangan yang bercampur dengan kekecewaan
        sebesar gunung!" Tiba-tiba kakek itu meremas cawan araknya dan cawan arak yang terbuat daripada perak itu
        seperti tanah lihat saja, di dalam kepalanya berubah menjadi perak yang pletat- pletot, lenyap bentuk cawannya.
        Sin Liong terkejut dan tidak berani bertanya. Kakek itu melempar cawan yang sudah tidak karuan itu ke bawah
        meja dan berteriak kepada muridnya mita diberi sebuah cawan baru. Kemudian dia berkata, "Siapa tidak kecewa?
        Anaku hanya seorang, perempuan lagi, dan celakanya, dia sudah ditunangkan sejak kecil!" Kakek ini memang selalu
        bicara keras, kasar dan jujur, tak pernah mau menyembunyikan sesuatu! Sin Liong menjadi makin terheran. "Telah
        ditunangkan sejak kecil adalah baik sekali, mengapa celaka, Locianpwe?' "Kalau ditunangkan dengan engkau tentu
        saja baik sekali! Akan tetapi bukan denganmu , dengan orang lain yang tak kunjung datang! Dan karena telah
        ditunangkan itu, mana mungkin aku dapat mengambil engkau sebagai mantuku? Padahal aku tahu, Hui-ji suka padamu,
        dia jatuh cinta padamu. Ha-ha, anak pintar itu, matanya tajam sekali." Tentu saja Sin Liong menjadi terkejut
        dan malu, menunduk dan tak berani bicara lagi. "Engkau tentu belum bertunangan, bukan?" Sin Liong hanya
        menggeleng kepalanya. "Kalau begitu, mudah saja ! Engkau menjadi mantuku, menikah saja dengan Hui-ji...."
        "Locianpwe, ingatlah bahwa Siocia telah bertunangan, adapun aku.... aku sama sekali tidak mempunyai pikiran
        untuk menikah," Kakek itu menarik napas panjang. "Engkau betul, memang tidak patut kalau diputuskan begitu
        saja, dari satu pihak. Aihhh, Lu-san Lojin, engkau tua bangka benar-benar sekali ini membuat hatiku kesal! Aku
        telah pergi ke sana baru-baru ini dan dia bersama puteranya itu, juga bersama seorang puterinya, menurut
        penuturan penduduk di sekitar Lu-san, telah pergi entah ke mana! Aihh, betapa kesal hatiku...." "Harap
        Locianpwe menenangkan pikiran. Mungkin mereka sedang mencari Locianpwe. Kalau sudah jodoh, tentu akan
        dipertemukan kelak." Kembali kakek itu mengangguk-angguk. Memang, setelah mendengar bahwa pemuda yang tadinya
        akan dibunuhnya itu ternyata adalah Sin-tong yang dahulu dibawa oleh Pangeran Han Ti Ong tokoh Pulau Es, dia
        tertarik dan terkejut sekali. Bukan hanya untuk mencoba menarik pemuda itu menjadi mantunya, akan tetapi juga
        untuk keperluan lain yang amat penting. Dia masih ragu-ragu untuk membicarakan urusan ini, maka dia menanti
        kesempatan baik dan hendak menjajaki lebih dulu, di fihak manakah pemuda ini berdiri. Sementara itu, Siangkoan
        Hui merasa malu sekali. Dia sudah mengenal baik watak ayahnya yang kasar dan jujur. Tentu kalau dia ikut masuk
        ke dalam rumah menemui pemuda itu, ayahnya akan bicara yang bukanbukan tanpa tedeng aling-aling lagi! Dia
        merasa malu dan.... girang bukan main. Tak dapat ia menipu hatinya sendiri. Dia memang telah jatuh cinta kepada
        pemuda itu! Pemuda yang amat luar biasa, bukan hanya tampan dan gagah, namun memiliki watak yang amat hebat.
        Belum pernah dia bertemu dengan pemuda segagah itu, begitu halus, begitu budiman, begitu tabah dan mengalah,
        akan tetapi juga amat lihai sehingga seratus kali rangketan itu tidak membekas sama sekali di kulit tubuhnya
        yang putih halus dan padat membayangkan tenaga yang luar biasa! Dia sudah jatuh cinta! Dan ayahnya sudah
        mengetahui akan hal ini. Tentu ayahnya akan bicara terang-terangan kepada pemuda itu. Akan tetapi, bagaimana
        dengan tunangannya? Teringat akan ini, tiba-tiba Siangkoan Hui menjadi lemas. Dia duduk bersandar pohon dan
        termenung, menanggalkan sabuk sutera merah yang melibat pinggangnya. Kiranya sabuk itu hanya sabuk tambahan dan
        dapat dipergunakan sebagai saputangan, karena di pinggang itu telah terdapat sabuk lain yang berwarna kuning.
        Sambil menggigit-gigit ujung sabuk sutera merah, Siangkoan Hui termenung, mukanya sebentar pucat sebentar merah
        tanda bahwa hatinya kacau tidak karuan oleh jalan pikirannya. Dara ini sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi
        ada bayangan yang mengikutinya, bayangan seorang gadis lain yang memandangnya dengan sinar mata berapi-api
        penuh kemarahan! Gadis ini bukan lain adalah Han Swat Hong! TadinyaSwat Hong mengintai dan hampir saja dia
        melompat keluar untuk menolong suhengnya. Akan tetapi kemunculan Siangkoan Hui yang melarang ayahnya
        menggunakan tanduk rusa memukul Sin Liong, membuat dia membatalkan niatnya menolong Sin Liong. Apalagi melihat
        betapa usaha pertolongan dara cantik puteri kakek berangasan itu berhasil! Hatinya terasa panas sekali, seperti
        dibakar dan serta merta dia merasa benci kepada Siangkoan Hui! Kebencian yang membuat dia diam-diam mengikuti
        dara itu dengan niat untuk membunuhnya! Swat Hong sendiri tidak mengerti mengapa dia selalu marah dan tidak
        senang kalau melihat ada gadis memperlihatkan sikap baik dan mencinta kepada Sin Liong. Dia sendiri tidak tahu
        bahwa hatinya diamuk cemburu! Melihat Siangkoan Hui yang dibayanginya itu duduk seorang diri di tempat sunyi
        itu, menggigit ujung sabuk merah dengan wajah sebentar pucat sebentar merah, melamun dan kadang-kadang
        tersenyum manis, Swat Hong merasa perutnya seperti dibakar! "Perempuan tak tahu malu!" Bentaknya dan dia sudah
        melompat keluar, mencabut pedangnya dan menyilangkan pedang itu di tangan kanan dan sarung pedang di tangan
        kiri, memasang kuda-kuda dan membentak, "Bersiaplah untuk mampus di tangan Nonamu!" Siangkoan Hui adalah
        seorang gadis yang sejak kecil digembleng ilmu silat tinggi oleh ayahnya, maka begitu melihat bayangan
        berkelebat tadi, dia sudah meloncat bangun. Kini, melihat bahwa yang muncul dan datang-datang memakinya itu
        adalah seorang gadis cantik yang tidak dikenalnya, dia melongo. "Eh-eh, apakah kau ini orang gila?" Tentu saja
        pertanyaan ini membuat Swat Hong menjadi makin marah. Kedua pipinya merah seperti udang direbus dan sepasang
        matanya yang jeli itu mengeluarkan sinar berapi-api. Sukar dikatakan siapa di antara kedua orang dara itu yang
        lebih menarik. Keduanya sama muda, sama cantik jelita dan pada saat itu sama marahnya! "Kau.... kau....
        perempuan rendah! Perempuan macam engkau berani jatuh cinta kepada Suhengku!" Swat Hong memaki. Siangkoan Hui
        terkejut sekali, akan tetapi perutnya juga sudah panas dibakar kemarahan mendengar dirinya dimaki-maki orang.
        "Apa? Kau ini mengaku Sumoinya? Sungguh tidak patut! Seekor naga mana mempunyai sumoi seekor cacing?" Dapat
        dibayangkan betapa marahnya hati yang keras seorang dara seperti Swat Hong mendengar ini. Ingin dia mencaci
        maki habis-habisan, ingin dia menjerit-jerit, akan tetapi karena dia tak pandai cekcok dengan suara, dia hanya
        mengeluarkan suara melengking nyaring dan pedangnya sudah menerjang ke arah dada Siangkoan Hui! "Singgg...
        Wuuuuttt......!" Siangkoan Hui juga mengeluarkan pekik kemarahan, tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas dan dari
        atas sabuk sutera merahnya yang ternyata adalah senjatanya yang ampuh itu menyambar ke bawah dengan serangan
        balasannya yang tidak kalah berbahaya. "Plakkkk!!" Sarung pedang di tangan kiri Swat Hong berhasil menangkis
        serangan itu dan dia terkejut juga menyaksikan kelincahan lawan. Tahulah Swat Hong bahwa lawannya tak boleh
        dipandang ringan dan memiliki ginkang yang amat hebat, maka dia memutar pedangnya dengan kecepatan kilat.
        Repotlah Siangkoan Hui menghadapi permainan pedang lawannya yang amat luar biasa itu. Sebetulnya tingkat
        kepandaian Siangkoan Hui sudah tinggi, dan pada jaman itu, sukarlah dicari tandingannya. Sebagai puteri
        tunggal, Tee-tok telah menurunkan semua ilmu simpanannya dan selain memiliki senjata istimewa berupa sabuk
        sutera, juga dara ini adalah seorang ahli racun seperti ayahnya. Ayahnya adalah seorang tokoh yang berjuluk
        Racun Bumi, tentu saja dia mempelajari pula penggunaan racun-racun yang ampuh. Setelah mendapat kenyataan
        betapa permainan pedang lawannya benar-benar amat lihai dan berbahaya, tiba-tiba Siangkoan Hui membentak dan
        dari tangan kirinya menyambar sinar-sinar merah. Sawat Hong mengeluarkan suara mendengus dari hidung dan
        mengejek, sinar pedangnya berkelebatan dan bergulunggulung sehingga jarum-jarum merah yang dilepas Siangkoan
        Hui secara lihai itu semua dapat dipukul runtuh. "Haiiittt....!!" Swat Hong meluncur ke depan, didahului sinar
        pedangnya, pedang itu menusuk lalu disambung membabat ke kanan kiri, sedangkan sarung pedangnya masih bergerak
        menghantam dari atas. Seolah-olah semua jalan keluar tertutup dan tidak memungkinkan lawan untuk mengelak lagi!
        "Hiaaaaahhhh!!" Siangkoan Hui memekik nyaring, sabuknya berubah menjadi sebatang benda keras yang
        diputar-putar, melindungi tubuhnya. Pada saat pedang tertangkis, tiba-tiba dari ujung sabuk merah itu menyambar
        dua batang paku merah yang meluncur tanpa tersangka-sangka dan dengan cepat sekali ke arah tenggorokan Swat
        Hong! "Aihhh....!!" Swat Hong menjerit dan tidak ada jalan lain baginya kecuali membuka mulutnya yang kecil dan
        "menangkap" dua batang paku merah itu dengan gigitan giginya yang kecil-kecil dan putih berderet rapi itu!
        Siangkoan Hui terkejut dan kagum bukan main , dan pada saat itu, Swat Hong telah meniupkan dua batang paku ke
        arah tubuh lawan. Tentu saja Siangkoan Hui dapat mengelakan senjata rahasianya sendiri ini dengan mudah. Akan
        tetapi kini Swat Hong sudah marah sekali dan pedangnya bergerak untuk membunuh! Jurus-jurus terhebat dari Pulau
        Es dimainkannya dan tentu saja Siangkoan Hui terdesak hebat dan ujung sabuknya sudah robek dicium ujung
        pedangnya! "Sumoi, jangan....!!!" Tiba-tiba terdengar seruan dan Sin Liong melompat memasuki lapangan
        pertandingan, menolak lengan sumoinya dengan tangan kiri. "Sumoi....! Syukur kita dapat saling bertemu di
        sini....!" Sin Liong berseru girang bukan main. Akan tetapi, perut Swat Hong terasa panas saking
        mendongkolnya.tadi dia sudah berhasil mendesak lawan dan belasan jurus lagi saja dia tentu akan menang. Siapa
        Tahu, suhengnya muncul dan lawannya itu dapat meloncat keluar dan kini berdiri di belakang kakek yang menjadi
        ayahnya! "Aku harus membunuhnya!" bentaknya dan dia hendak melompat ke arah Siangkoan Hui. "Sumoi, jangan
        serang orang!" "Kalau begitu, serang kau saja!" Dan gadis itu lalu menyerang Sin Liong kalang kabut dengan
        pedangnya! "Eh-eh....! Ohhh....! Sumoi...., mengapa kau marah-marah?" Sin Liong terpaksa berlompatan ke
        sana-sini mengelak karena sambaran pedang di tangan sumoinya itu bukan main-main! "Kenapa kau membelanya?
        Kenapa?" Swat Hong berkata berlahan dan menyerang terus tanpa mempedulikan seruan suhengnya. Pada saat itu
        tampak dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri Kwee Lun dan Soan Cu. Bagaimana dua
        orang muda ini dapat datang bersama? Telah kita ketahui bahwa Soan Cu disuruh pergi oleh Sin Liong, dan karena
        gadis ini amat taat kepada Sin Liong, dengan hati berat dia meninggalkan puncak itu hendak turun ke dusun
        kembali. Dan telah diceritakan pula di bagian depan betapa Kwee Lun melakukan penyelidikan bersama Swat Hong
        dan mereka berpencar. Kwee Lun mengambil jalan dari kiri. Kebetulan sekali ketika pemuda ini sedang
        berindap-indap melakukan penyelidikan, dia melihat seorang gadis cantik berjalan seorang diri keluar dari
        pagar. Tentu saja dia mengira bahwa gadis itu adalah seorang musuh. Timbul dalam pikirannya untuk menangkap
        gadis ini dan memaksanya mengaku apa yang telah terjadi di sebelah dalam . Hal ini akan lebih memudahkan
        penyelidikannya, daripada menyelidiki dari luar tak berketentuan. Dengan pikiran ini, Kwe Lun tiba-tiba
        meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan langsung dia menubruk dan memeluk Soan Cu! Dapat dibayangkan betapa
        marahnya dara ini. Ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki keluar dari semaksemak dan dengan gerakan secepat
        kilat menyergap dan memeluknya, tentu saja dia mengira bahwa ini tentulah anak buah Tee-tok yang hendak
        menangkapnya atau hendak berkurang ajar. "Setan keparat jahanam terkutuk !!" bentaknya dan dia mengerahkan
        tenaganya, meronta dan menggerakan kaki tangannya, menyepak dan menampar. "Plak-plak-plak.....! Wah-wah.....
        galak benar!" Kwee Lun kewalahan dan terpaksa melepaskan rangkulannya karena tulang kering kakinya kena
        ditendang, pipinya dicakar dan dagunya ditampar! Kini mereka berhadapan dan saling pandang. Keduanya kelihatan
        tertegun karena sama-sama tidak menyangka. Kwee Lun sama sekali tidak menyangka bahwa yang ditangkapnya tadi,
        dipeluknya karena disangkanya seorang pelayan wanita, kiranya adalah seorang dara remaja yang cantik jelita!
        Sedangkan Soan Cu yang terkejut melihat seorang pemuda yang begitu tampan gagah perkasa. Sejenak keduanya
        saling pandang, kemudian timbul kegalakan Soan Cu yang menjadi marah. Dia memang sudah mendongkol disuruh pergi
        oleh Sin Liong , hatinya gelisah memikirkan Sin Liong biarpun dia yakin pemuda itu akan mampu menjaga dirinya.
        Kini ada orang yang betapa gagahnyapun telah berlaku kurang ajar. "Setan alas! Siapa kau? Tentu kaki tangan
        Tee-tok, ya? Hendak menangkap aku? Keparat jahanam! Engkau sudah bosan hidup!" "Tar-tar-tar....!!" Cambuk
        buntut ikan hiu itu sudah meledak-ledak di atas kepala Kwee Lun. Soan Cu mengira bahwa sekali serang saja
        kepala pemuda gagah itu tentu akan pecah. Seberapa hebat sih kepandaian anak buah Tee-tok? Akan tetapi betapa
        herannya ketika dia melihat pemuda tinggi besar itu dapat mengelak dengan amat cepatnya, bahkan telapak tangan
        pemuda itu berhasil menepuk lengannya yang memegang cambuk. "Plakkk!" Pemuda itu terheran. Tamparannya tidak
        membuat cambuk itu terlepas! "Aihhh..... nanti dulu, jangan menyerang begitu. Aku bukan anak buah Tee-tok atau
        racun manapun juga!" Namun Soan Cu sudah merasa penasaran sekali. Kembali dia menyerang dan kini cambuknya
        berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyambar-nyambar dibarengi suara meledak-ledak. Akan tetapi, Kwee
        Lun tetap dapat mengelak dan meloncat ke sana-sini, bahkan kadang-kadang dia berani menangkis cambuk itu dengan
        telapak tangannya! Hal ini tentu saja mengagumkan hati Soan Cu. Dan tidak tahu bahwa pemuda itu menggunakan
        ilmu Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti) yang mengandung sinkang tingkat tinggi yang membuat telapak tangannya
        menjadi lemas seperti kapas dan karenanya tidak terluka oleh benda keras! "Nona cantik tapi galak seperti
        kucing lapar!" Kwee Lun balas memaki ketika melihat nona itu menyerang terus sambil memaki-maki. "Berhentilah
        dulu dan kita bicara!" "Iblis raksasa, kau yang kelaparan!" Soan Cu membentak makin marah dan kini dia sudah
        mencabut pedangnya, pedang Coa-kut-kiam! Dengan kedua senjatanya ini, dia menyerang kalang kabut! "Wah, runyam!
        Perempuan galak dan ganas!" Kwee Lun terancam bahaya maut dan dia pun terpaksa lalu mencabut pedangnya dengan
        tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang kipas gagang perak. "Tringgggg.... Cringggg-trangggg......!"
        Bunga api berpijar dari keduanya terdorong kebelakang oleh pertemuan senjata yang hebat itu tadi. Kipas bertemu
        dengam cambuk dan pedang bertemu dengan pedang. Masing-masing menjadi terkejut dan terheran. Tenaga sinkang
        mereka seimbang! "Bagus! Mari kita bertanding sampai selaksa jurus!" Soan Cu sudah menerjang lagi.
        "Trangggg....! Trangggg....!!" Kembali Kwee Lun menangkis sekuatnya dan mereka terdorong mudur. "Sombongnya!
        Manusia mana kuat bertanding sampai selaksa jurus? Makan waktu berapa bulan? Tunggu dulu, mengapa kau
        marah-marah kepadaku seperti orang kebakaran jenggot?" "Ngaco! Jenggotmu yang kebakaran!" "Eh, ohhh! Kau bikin
        aku bingung! Benar, kau tidak berjenggot. Eh, kenapa kau marah-marah begini? Dan kau lihai bukan main!
        Senjatamu mengerikan!" Cerewet!" Soan Cu sudah hendak menerjang lagi, sekarang terdorong oleh rasa penasaran
        bahwa dia tidak mampu mengalahkan pemuda ini. "Nanti dulu! Kita bicara dulu, baru kita bertanding selaksa....
        eh, seratus jurus saja! Aku salah menduga, kukira kau tadi seorang pelayan di sini!" "Menghina kamu ya? Orang
        macam aku ini pelayan? Kalau kau baru pantaslah menjadi jongos! Atau jagal babi!" "Maafkanlah. Aku tadi melihat
        dari jauh. Aku sedang menyelidiki..... wah, celaka! Kau tentu puteri Teetok!" Kwee Lun terkejut dan menyesali
        kebodohannya. Mengapa dia tidak menduganya lebih dulu? Siapa lagi kalau bukan puteri Tee-tok yang begini lihai?
        "Aku bukan anak racun bumi, bukan anak racun bau! Aku malah musuhnya!" "Wah, benarkah? Kalau begitu kita cocok!
        Aku pun sedang melakukan penyelidikan. Aku mendengar ada biruang diadu dengan harimau, pemilik biruang itu
        adalah sahabatku, eh, maksudku, sahabatnya sahabatku!" Soan Cu menjadi bingung. "bicaramu seperti orang
        sinting!' "Memang betul, sahabatnya, eh, malah suhengnya sahabatku. Kau siapa?" "Aku baru saja meninggalkan
        pemilik biruang itu yang menjadi sahabat baikku." Dengan singkat Soan Cu menuturkan betapa Sin Liong mengalah
        dan malah menyuruh dia pergi dan ingin menerima hukuman! "Wah, kenapa kau sudah begini besar masih begini
        tolol?" "Siapa? Siapa tolol?" Soan Cu melangkah maju dan sepasang senjatanya sudah menggetar ditangannya.
        "Siapa lagi kalau bukan engkau? Mengapa kau meninggalkan sahabatmu itu menghadapi hukuman? Kau tidak tahu siapa
        itu Tee-tok Siangkoan Houw? Dari julukannya saja sudah mudah diketahui. Dia Racun Bumi, kejemnya bukan main.
        Sahabatmu itu, suheng sahabatku, pemilik biruang, tentu akan dibunuhnya!" "Apa....?" Wajah Soan Cu menjadi
        pucat sekali. "Celaka....!" "Hayo cepat kita kesana, barangkali belum terlambat!" Demikianlah, kedua orang itu
        seperti berlomba lari saja, bersicepat lari kembali ke puncak. Dan mereka tiba di tempat yang tepat di mana
        mereka melihat Swat Hong sedang menyerang kalang kabut kepada Sin Liong yang mengelak ke sana-sini. Ketika Kwee
        Lun melihat sahabatnya itu menerjang seorang pemuda dengan mati-matian dan mendapat kenyataan betapa pemuda itu
        lihai bukan main, biarpun bertangan kosong namun pedang di tangan Swat Hong sama sekali tidak pernah
        menyentuhnya, dia sudah menggerakan pedang dan kipasnya, meloncat maju sambil membentak, "Berani kau menghina
        Hong-moi?" "Trangg-cringgg....!!" Kwee Lun terdorong ke belakang dan matanya terbelalak melihat bahwa yang
        menangkisnya adalah sepasang senjata di tangan..... Soan Cu yang mendelik dan memaki, "Kerbau tolol! Berani kau
        mencampuri urusan Liong-koko?" Setelah berkata demikian, Soan Cu menyerang kalang kabut dan kembali mereka
        saling serang dengan serunya! Melihat ini, otomatis Swat Hong menghentikan serangannya dan Sin Liong juga sudah
        meloncat ke belakang lalu berkata, "Jangan bertempur! Soan Cu, mundurlah....!" "Liong-ko, biarkan aku bertemput
        dengan gajah ini sampai selaksa....... eh, seratus jurus!" "Kwee-koko, mundur! Orang sendiri......!"
        "Hehhhh....? Orang sendiri....? Dia ini...." Kwee Lun terkejut dan terheran-heran, sebentar memandang kepada
        Sin Liong, lalu kepada Soan Cu. "Kwee-koko, inilah suhengku yang kucari-cari." Swat Hong memperkenalkan .
        "Eh.... akan tetapi, mengapa kau menyerangnya.....??" Sin Liong cepat berkata, "Saudara yang gagah, Sumoiku ini
        memang kalau lama tidak bertemu lalu ingin mengajakku berlatih." Mendengar ini, merah wajah Swat Hong. Setelah
        ketahuan oleh semua orang betapa dia marah-marah dan menyerang suhengnya sendiri, baru dia teringat dan menjadi
        malu. Sementara itu, dapat dibayangkan betapa kaget dan sedihnya hati Siangkoan Hui ketika itu. Kiranya dara
        cantik yang amat lihai ini adalah Sumoi dari Kwa Sin Liong dan melihat sikapnya, dia dapat menduga bahwa dara
        yang galak ini cemburu kepadanya. Maka dia sudah melangkah maju dan menjura sambil berkata, "Ah, harap maafkan.
        Kiranya Cici adalah sumoi dari Kwa-taihiap...." "Hemmmm.... sudahlan!" Swat Hong berkata malu, kemudian
        memperkenalkan kepada suhengnya, "Suheng, dia ini adalah Saudara Kwee Lun, murid dari Lam Hai Sengjin."
        "Ha-ha-ha! Kiranya murid majikan Pulau Kura-kura? Selamat datang! Dan Nona adalah Sumoi dari Kwataihiap?
        Aihhh..... sungguh hari ini kami kedatangan banyak tokoh besar!" Kemudian berkata kepada Soan Cu yang masih
        cembertu. "Baik sekali Nona sudah datang kembali. Mari.... mari orang-orang muda yang gagah perkasa, marilah
        kita duduk dan bicara di dalam." Tee-tok Siangkoan Houw lalu mempersilahkan mereka semua memasuki gedungnya dan
        dia menjamu mereka dengan hidangan mewah, dibantu oleh puterinya, Siangkoan Hui yang merasa kagum sekali kepada
        Swat Hong, akan tetapi juga merasa iri hati dan berduka. Tidaklah demikian dengan perasaan Soan Cu. Memang tak
        dapat disangkal lagi bahwa gadis Pulau Neraka ini amat tertarik kepada Sin Liong yang dianggapnya sebagai
        seorang pemuda yang luar biasa dan amat mengagumkan hatinya. Akan tetapi, selama dalam perjalanan ini Sin Liong
        jelas memperlihatkan sikap bahwa pemuda itu sama sekali tidak tertarik kepadanya, juga bahwa sikap baiknya itu
        lebih mendekati sikap baik seorang kakak terhadap adiknya, pula, melihat bahwa sesungguhnya Swat Hong, sumoi
        pemuda itu, juga mencintai suhengnya, Soan Cu maklum bahwa tidaklah mungkin dia membiarkan cintanya terhadap
        Sin Liong berlarut-larut. Pertemuannya dengan Kwee Lun telah mengubah seluruh perasaan hatrinya. Pemuda raksasa
        ini amat hebat, amat menarik dan jelas lebih cocok dengan dia! Kwee Lun merupakan seorang pemuda yang jujur,
        terus terang, gagah perkasa dan biarpun baru sekali bertemu saja, mereka telah saling serang sampai dua kali!
        Oleh karena itu, ketika mereka semua makan bersama mengelilingi meja besar, perhatian Soan Cu lebih banyak
        tertuju kepada pemuda perkasa itu. Setelah mereka makan minum, berkatalah Tee-tok Siangkoan Houw, suaranya
        sungguh-sungguh dan katakatanya ditujukan kepada Sin Liong dan Swat Hong, "Saya tidak tahu dengan jelas apakah
        Ji-wi mempunyai hubungan dengan Pulau Es, akan tetapi mengingat bahwa Kwa-taihiap adalah murid dari Pangeran
        Han Ti Ong dari Pulau Es, maka agaknya apa yang hendak saya bicarakan ini akan menarik perhatian Ji-wi. Dan
        sesungguhnya saya, atas nama para orang gagah di dunia kang-ouw, saya amat mengharapkan bantuan Sin-tong!"
      </P>
      <P>
        "Ah, mengapa Locianpwe terlalu sungkan dan merendahkan diri? Harap diceritakan ada urusan apakah yang kiranya
        dapat kami bantu, dan harap jangan membawa-bawa nama Pulau Es." "Justeru karena urusan ini menyangkut Pulau
        Es." "Heiii....? Ada urusan apakah yang menyangkut Pulau Es?" Swat Hong bertanya penuh semangat. Mendengar ini
        Tee-tok tersenyum dan memandang. "Sebagai Sumoi dari Sin-tong, tentu Nona juga dari Pulau Es, bukan? Gerakan
        pedang Nona tadi hebat bukan main...." "Tidak perlu diketahui siapa pun apakah aku dari Pulau Es atau tidak,"
        jawab Swat Hong tegas. "Kalau ada urusan Pulau Es, kami ingin mendengar." "Locianpwe, harap ceritakan kepada
        kami dan maafkanlah sikap Sumoi yang selalu tegas dan singkat. Perlu saya berutahukan bahwa memang amatlah
        penting artinya bagi kami kalau ada urusan yang menyangkut Pulau Es." Tee-tok menarik napas panjang. "Kalau
        dibicarakan sungguh membuat orang menjadi penasaran sekali. Ji-wi (Anda Berdua) tentu telah mendengar nama
        besar Bu-tong-pai, bukan? Nah, semua orang gagah dari dunia kang-ouw bersepakat untuk menentang Bu-tong-pai
        mati-matian." "Haiii....? Mengapakah? Maaf kalau aku mencampuri, akan tetapi sungguh hatiku penasaran sekali
        mendengar Bu-tong-pai dimusuhi orang kang-ouw. Bukankah anak murid Bu-tong-pai adalah orang-orang gagah yang
        dihormati oleh dunia kang-ouw? Mengapa sekarang hendak dimusuhi?" Kwee Lun berseru lantang, matanya terbelalak
        lebar karena penasaran. "Ha-ha-ha, agaknya gurumu, Si Tua Bangka Lam Hai Sengjin masih belum mendengar berita
        karena dia selalu bertapa dipulaunya sehingga engkau pun belum tahu, orang muda yang gagah, Bu-tong-pai telah
        beberapa bulan ini dikuasai oleh seorang ketua baru!" "Soal pengangkatan ketua baru Bu-tong-pai, kurasa adalah
        urusan dalam Bu-tong-pai sendiri!" kata pula Kwee Lun. "Memang demikian kalau ketua baru itu orang dalam
        Bu-tong-pai pula. akan tetapi, ketua baru itu mengaku dirinya sebagai Ratu Pulau Es dan telah melakukan
        perbuatan sewenang-wenang, melanggar peraturan kang-ouw, mengalahkan banyak tokoh kang-ouw dan kabarnya bahkan
        bersekutu dengan pembrontak!" "Ihhhh....!" Swat Hong berseru. "Kiranya dia di sana....!" Sin Liong juga
        berseru. Mendengar seruan dua orang muda sakti dari Pulau Es itu, Tee-tok cepat memandang penuh selidik. "Ji-wi
        mengenal wanita itu?" Sin Liong mengangguk tenang. "Agaknya begitulah. Dan sekarang juga kami berdua minta
        diri, karena kami harus segera berangkat ke Bu-tong-pai." "Tapi biarlah kami membantumu, dan kalau perlu kita
        memberitahukan teman-teman di dunia kang-ouw agar...." "Tidak usah, Locianpwe. Ini adalah urusan antara kami
        sendiri. Bukankah begitu Sumoi?" "Benar! Harus kami berdua saja yang berangkat ke sana. Kwee-koko, terima kasih
        atas bantuanmu mencari Suheng dan setelah kini aku bertemu Suheng dan kami ada urusan yang amat penting,
        terpaksa aku akan meninggalkanmu. Kita berpisah sampai di sini, Kwee-koko." Kwee Lun mengangguk dan berkata
        dengan suara lirih setelah menarik napas panjang. "Aku mengerti, Hong-moi." "Soan Cu, kuharap engkau suka
        menanti dulu di sini dan harap Siangkoan Lo-enghiong melimpahkan kebaikan hati dengan menerima Soan Cu di sini
        untuk beberapa hari sampai saya selesai berurusan dengan Bu-tong-pai." "Tentu saja! Dengan senang hati! Biarlah
        Ouw-siocia tinggal di sini dulu, ditemani oleh anakku." "Tidak, Liong-koko! Aku.... aku.... akan pergi saja
        melanjutkan usahaku mencari Ayah. Kaupergilah menyelesaikan urusanmu dengan Swat Hong......" kata Soan Cu
        sambil menekan perasaannya. "Urusan kita memang berlainan. Selamat tinggal, aku pergi lebih dulu!" Setelah
        berkata demikian, Soan Cu lalu bangkit berdiri dan berlari pergi tanpa menoleh lagi. Kwee Lun juga bangkit
        berdiri. "Kalau begitu aku pun pamit. Biarlah aku membantu dia kalau dia mau." Kwee Lun lalu berlari sambil
        berseru, "Nona...., tunggu dulu....!!" Namun Soan Cu tidak menengok lagi dan berlari cepat sehingga Kwee Lun
        terpaksa harus mengerahkan ginkangnya untuk mengejar. Sebentar saja kedua orang muda yang berkejaran itu sudah
        lenyap dari pandangan mata. Sin Liong dan Swat Hong juga berpamit dan meninggalkan Tee-tok bersama puterinya
        yang mengantar mereka sampai di pintu depan. Setelah kedua orang itu berjalan pergi dan tidak nampak lagi,
        terdengar Siangkoan Hui terisak dan menutupi matanya dengan ujung lengan bajunya. Siangkoan Houw menghela napas
        dan merangkulnya. dara itu makin berduka, menangis sesenggukan di dada ayahnya. Teetok menepuk-nepuk pundak
        puterinya dan berkata, "Hemm, tidak patut anak Tee-tok begini lemah hatinya! Aku tahu bahwa kau jatuh cinta
        kepadanya, Hui-ji. Memang dia seorang pemuda luar biasa! Akan tetapi, aku melihat sesuatu yang aneh pada diri
        Sin-tong itu. Aku akan merasa heran kalau sampai mendengar dia itu menikah! Dia tidak seperti manusia biasa!
        Dia dari Pulau Es, demikian Sumoinya. Mereka itu berbeda dengan kita. Selain itu, engkau adalah tunangan putera
        Lusan Lojin Bu Si Kang. Engkau sejak kecil telah dijodohkan dengan Bu Swai Liang. Biarlah aku akan mencari lagi
        mereka!" Siangkoan Hui tidak menjawab dan dia menurut saja ketika diajak masuk ke rumah oleh ayahnya yang amat
        menyayanginya. Sebetulnya, sukarlah dikatakan apakah Siangkoan Hui benar-benar jatuh cinta kepada Sin Liong.
        Kiranya lebih tepat dikatakan kalau dia tertarik dan suka menyaksikan wajah dan sikap pemuda yang halus budi
        itu. Untuk dikatakan jatuh cinta, kiranya masih terlalu pagi! Keadaan di Bu-tong-pai mengalami perubahan hebat
        semenjak The Kwat Lin menjadi ketua partai persilatan besar itu. Bukan hanya perubahan di luar, yang nampak
        jelas karena adanya banyak anggauta perkumpulan golongan hitam dan sepak terjang mereka yang kasar dan
        ugal-ugalan, mengandalkan kepandaian untuk menentang siapa saja, akan tetapi juga terjadi perubahan di sebelah
        dalam yang tidak diketahui oleh orang luar. Terjadi hal yang membuat Swi Nio seringkali menangis seorang diri
        di dalam kamarnya! Peristiwa yang memalukan hati dara itu, yaitu ketika dia melihat betapa kakaknya, Swi Liang,
        telah menjadi kekasih dari subo mereka sendiri! Tadinya tentu saja hal itu terjadi secara sembunyisembunyi,
        akan tetapi kini dia melihat sendiri betapa subonya dan kakaknya itu berjinah secara terangterangan, tidak
        bersembunyi lagi dan biarpun pada siang hari di mana banyak mata para angauta Bu-tongpai menyaksikannya, dengan
        seenaknya ketua Bu-tong-pai itu memasuki kamar Bu Swi Liang atau sebaliknya pemua itu memasuki kamar subonya
        kemudian pintu kamar ditutup dari dalam! Hati Swi Nio membrontak, akan tetapi apa yang dapat dia lakukan
        kecuali menangis? Dan memang sungguh menyedihkan sekali kenyataan bahwa seorang pemuda seperti Bu Swi Liang
        kini terjebak oleh nafsu berahi dan menjadi hamba nafsu berahi, juga menjadi hamba subonya sendiri yang
        membuatnya tergila-gila! Hal ini tidak amat mengherankan, mengingat bahwa Swi Liang adalah seorang pemuda yang
        masih hijau. Seorang pemuda remaja yang tentu saja tidak kuat menahan godaan dan rayuan seorang wanita yang
        sudah matang seperti The Kwat Lin pula, memang rasa kagum seoran muda terhadap lawan kelaminnya yang lebih tua
        dengan mudah menyeretnya ke dalam perangkap cinta nafsu. Di lain pihak, peristiwa itu bukanlah dapat diartikan
        bahwa The Kwat Lin adalah seorang wanita yang gila laki-laki atau gila berahi. Sama sekali tidak. Dia adalah
        seorang yang normal, dan hanya keadaanlah yang membuat dia menjadi seorang penyeleweng besar. Dia adalah
        seorang wanita yang belum tua benar, baru tiga puluh tahun usianya, berwajah cantik dan bertubuh sehat. Setelah
        menjadi janda dan hidupnya menyendiri, wajarlah kalau dia merindukan cinta asmara, merindukan kehangantan rasa
        sayang seorang pria. Adapun pria yang sudah dewasa dan yang dekat dengannya adalah Bu Swi Liang, maka tidak
        pula mengherankan apa bila dia teertarik dan jatuh hati kepada muridnya sendiri ini. Karena pemuda ini masih
        hijau dan tentu saja tidak berani mulai dengan langkah pertama, maka The Kwat Lin yang menggunakan perasaan
        kewanitaannya untuk membuka pintu dan menggerakan kaki dalam langkah pertama. Dialah yang memikat dan merayu
        sehingga akhirnya Swi Liang jatuh dan mabok. Sekali saja hubungan jinah dilakukan, maka membuat orang menjadi
        mencandu. Yang pertama kali segera disusul oleh yang ke dua, ke tiga, kemudia mereka menjadi ketagihan dan
        seolah-olah tidak dapat lagi hidup tanpa kelanjutan hubungan gelap mereka! Tentu saja hal ini dapat terjadi
        karena keadaan hidup Kwat Lin. Andaikata dia masih seorang pendekar wanita seperti belasan tahun yang lalu,
        tentu perbuatan ini sampai mati pun tak kan dia lakukan. Akan tetapi kini keadaanya lain. Dia menjadi seorang
        wanita yang berhati keras oleh sakit hati, kemudian menjadi tak peduli oleh keadaannya sebagai seorang ketua
        paksaan dari Bu-tong-pai, seorang yang bercitacita untuk mencarikan kedudukan setingginya bagi puteranya.
        Kedudukannya memberi dia perasaan lebih dan berkuasa, maka timbul sifat untuk bertindak sewenang-wenang tanpa
        mempedulikan orang lain lagi. Akan tetapi, selain hubungan gelap dengan muridnya yang tersayang ini, Kwat Lin
        juga mulai dengan langkah-langkah ke arah tercapainya cita-citanya. Dia mulai memperkuat Bu-tong-pai dengan
        mengadakan hubungan dengan para pembesar di kota raja melalui anggauta-anggauta barunya, yaitu para pembesar
        yang mempunyai cita-cita yang sama, para pembesar calon pembrontak. Kedudukan Bu-tong-pai makin kuat setelah
        terjadi peristiwa hebat pada beberapa hari yang lalu. Pada beberapa hari yang lalu, pagi-pagi sekali, anak buah
        Bu-tong-pai gempar dengan munculnya dua orang laki-laki di pintu gerbang Bu-tong-pai. Tidak ada seorang pun
        anak buah Bu-tong-pai yang berani sembarangan turun tangan ketika mendengar dan mengenal bahwa dua orang ini
        adalah tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan. Ketika seorang diantara mereka, yang usianya sudah enam puluh
        tahun lebih, kumis dan jenggotnya sudah putih, mengatakan bahwa mereka minta berjumpa dengan ketua Bu-tong-pai
        yang baru, para anak murid Bu-tong-pai cepat memberi kabar kepada The Kwat Lin yang pada saat itu masih
        enak-enak pulas dalam pelukan muridnya, juga kekasihnya, Bu-swi Liang! Terkejutlah dia ketika pintu kamarnya
        diketuk dan mendengar suara seorang murid bahwa di luar pintu gerbang terdapat dua orang tamu, ayah dan anak
        she Coa dari dusun Koan-teng di kaki Pegunungan Bu-tong-san yang minta bertemu dengan ketua! "Suruh mereka
        menanti di luar! Aku segera datang!" kata Kwat Lin dengan marah. Tak lama kemudian, Kwat Lin yang ditemani oleh
        Swi Liang dan Swi Nio, juga ikut pula Han Bu Ong yang usianya hampir sebelas tahun, keluar dari pintu gerbang
        menemui dua orang itu. Senyum mengejek menghias bibir ketua Bu-tong-pai yang cantik itu. Semenjak dia merampas
        kedudukan ketua dengan paksa, sudah lima kali dia didatangi tokoh-tokoh kang-ouw yang agaknya datang karena
        permintaan para tosu Bu-tong-pai yang mengundurkan diri. Para tokoh ini merasa penasaran dan membela para tokoh
        Bu-tong-pai. Dengan mudahnya semua tokoh yang datang berturut-turut itu dirobohkan oleh Kwat Lin, ada yang
        tewas seketika, ada yang terpaksa pergi membawa luka-luka berat! Dan kini, ayah dan anak yang datang itu
        merupakan tokoh-tokoh yang datang ke enam kalinya. Swi Liang dan Swi Nio yang menggandeng tangan Bu Ong segera
        minggir dan membiarkan subu mereka seorang diri menghadapi dua orang tamu itu. Dengan pakaian yang mewah dan
        indah, dandanan seperti puteri kerajaan, The Kwat Lin tampak sebagai seorang wanita bangsawan agung yang
        memiliki wibawa. Dengan sikap angkuh dia melangkah maju menghadapi dua orang itu sambil tersenyum. Kedua orang
        itu berpakaian sederhana, namun dari sikap mereka yang tenang jelas tampak kegagahan mereka sebagai
        pendekar-pendekar penentang kejahatan. Kakek itu biarpun sudah tua, masih kelihatan sehat dan kuat, jenggot dan
        kumisnya yang putih menambah keangkeran wajahnya.Di pinggangnya tergantung sebatang pedang dan dia memandang
        ketua Bu-tong-pai dengan sinar mata penuh selidik. Orang ke dua masih muda, paling banyak tiga puluh tahun
        usianya, bertubuh tegap dan berwajah tampan gagah. Ada kemiripan pada wajah kakek dan laiki-laki ini dan memang
        mereka itu adalah ayah dan anak yang terkenal sekali namanya sebagai pendekar-pendekar dari dusun Koan-teng
        yang menjadi sahabat-sahabat baik dari para tosu Bu-tong-pai. Kakek Coa Hok memiliki ilmu pedang turunan
        keluarga Coa yang amat lihai dan ilmu pedang ini diturunkan pula kepada puteranya itu yang bernama Coa Khi.
        Ketika ayah dan anak ini mendengar akan malapetaka yang menimpa para pemimpin Bu-tong-pai, yaitu munculnya
        orang termuda dari Cap-sha Sinhiap, seorang wanita yang merampas kedudukan ketua , kemudian mendengar betapa
        banyak sahabat - sahabat kang-ouw yang membela mereka telah roboh di tangan wanita itu, mereka berdua menjadi
        marah sekali. Sebagai orang-orang yang biasa menentang kejahatan mereka tidak mempedulikan berita tentang
        kesaktian wanita itu dan berangkatlah mereka meninggalkan rumah, berbekal pedang, semangat dan kebenaran, naik
        ke Bu-tong-san menjumpai ketua Bu-tong-pai itu. The Kwat Lin bukan seorang bodoh. Setiap kali ada tokoh naik ke
        Bu-tong-san dan hendak menantangnya, dia selalu membujuk mereka untuk berdamai dan bekerja sama. Selama
        cita-citanya belum tercapai, dia membutuhkan bantuan sebanyak mungkin orang pandai. Maka setiap kali ada orang
        gagah datang dengan maksud menantangnya dan membela para bekas pimpinan Bu-tong-pai, dia selalu menyambut
        mereka dengan bujukan manis. Hanya karena bujukannya tidak berhasil dan mereka itu berkeras, terpaksa dia turun
        tangan menerima tantangan mereka. Memang demikianlah sifat orang-orang yang mempunyai cita-cita besar,
        cita-cita yang sesungguhnya hanyalah nafsu keinginan untuk kesenangan diri pribadi. Demi tercapainya cita-cita
        yang merupakan pamrih bagi diri peribadi ini, orang tidak segan untuk bersikap palsu, membujuk orang
        sebanyaknya untuk membantunya demi tercapainya cita-cita itu. Orang-orang yang tidak membantu di anggap musuh
        dan perlu dibasmi agar jangan menjadi penghalang cita-citanya, sebaiknya, mereka yang mati-matian membantunya,
        jika cita-cita itu sudah tercapai sebagian besar dilupakannya begitu saja! Atau kalau teringat pun, hanya
        diberi pahala sekedarnya karena yang penting bukan orang-orang yang membantunya, melainkan dirinya sendiri!
        Begitu berhadapan dengan ayah dan anak itu, The Kwat Lin mengangkat kedua tangannya ke depan dada sambil
        berkata. "Kiranya Ji-wi Coa-enghiong (Kedua Pendekar she Coa) yang datang. Suadh lama kami mendengar Ji-wi yang
        terkenal gagah perkasa, maka kami merasa beruntung sekali hari ini dapat bertemu. Apalagi mendengar bahwa Ji-wi
        adalah sahabat baik dari Bu-tiong-pai....." "The Kwat Lin!" Kakek Coa membentak dengan telunjuk kiri menuding
        ke arah muka ketua baru Bu-tongpai itu. "Aku mengenalmu sebagai seorang di antara Cap-sha Sin-hiap yang gagah
        perkasa, sebagai seorang murid Bu-tong-pai yang selalu menjunjung tinggi nama Bu-tong-pai. Aku telah puluhan
        tahun bersahabat dengan Bu-tong-pai dan telah mendengar akan namamu. Akan tetapi, mengapa setelah menghilang
        bertahu-tahun, engkau kembali ke sini dan menjadi seorang murid murtad, merampas kedudukan ketua mengandalkan
        kekerasan dan kepandaian? Aku sebagai seorang sahabat Bu-tong-pai tentu saja tidak mungkin dapat mendiamkan hal
        penasaran ini tanpa turun tangan!" Kwat Lin tersenyum manis dan melirik ke arah Soa Khi yang berwajah tampan,
        akan tetapi Coa Khi mengerutkan alis dan memandang penuh kemarahan. "Coa-lo-enghiong agaknya kena dibujuk
        orang! Memang benar saya menjadi ketua Bu-tong-pai, akan tetapi hal itu adalah demi kebaikan Bu-tong-pai, demi
        cinta saya kepada Bu-tong-pai. Saya ingin menjadikan Butong- pai perkumpulah terbesar dan terkuat di dunia
        kang-ouw, dan saya ingin menarik semua orang gagah menjadi sahabat yang dapat bekerja sama. Karena itu, saya
        harap Ji-wi dapat membuka mata melihat kenyataan dan saya persilahkan Ji-wi untuk datang sebagai sahabat dan
        untuk minum arak persahabatan bersama kami." "Perempuan murtad! Jangan mengira dapat menyogok kami dengan
        omongan manis!" Kakek itu membentak marah. Kedua alis yang hitam kecil dan panjang itu bergerak-gerak dan
        biarpun mulut yang berbibir itu masih tersenyum, namun kata-kata yang keluar mengandung nada dingin, "Habis apa
        yang kalian akan lakukan?" "Sing! Singggg!!" Ayah dan anak itu telah mencabut pedang dan kakek Coa berkata,
        "Hanya ada dua pilihan bagi engkau dan kami. Pertama engkau pergi meninggalkan Bu-tong-pai dan kami akan
        berterima kasih kepadamu yang mengembalikan Bu-tong-pai, kepada para pimpinan Bu-tong-pai, atau kalau engkau
        berkeras terpaksa kami ayah dan anak turun tangan menggunakan pedang membela kehormatan sahabatsahabat dari
        Bu-tong-pai!" "Hi-hik! Betapa gagahnya keluarga Coa! Apakah ilmu Pedang Hok-liong-kiamsut sehebat sikap mereka,
        perlu ditonton dulu!" Tiba-tiba terdengar suara yang lantang dan merdu ini. Semua orang menengok, juga The Kwat
        Lin yang menjadi terkejut melihat ada orang datang tanpa diketahuinya. Hal itu saja membuktikan bahwa wanita
        yang muncul ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Ayah dan anak itu mendengar nama ilmu pedang turunan
        mereka disebut-sebut, juga menengok dengan kaget. Wanita itu pakaiannya mentereng dan biarpun usianya sudah
        kurang lebih setengah abad, namun harus diakui bahwa dia adalah seorang wanita cantik. Rambutnya hitam gemuk
        dan panjang, dibiarkan terurai sampai kepinggulnya yang menonjol di balik celana yang ketat. Tangan kanannya
        memanggul sebatang payung hitam dan wanita itu tahu-tahu telah berdiri di situ dengan gaya lemah lembut. Dia
        seorang wanita yang masih kelihatan cantik dengan tubuh padat akan tetapi ada sesuatu yang dingin mengerikan
        keluar dari sikapnya, terutama sekali sepasang matanya yang amat tajam itu karena mata itu terbelalak memandang
        hampir tak pernah berkejap! Melihat wanita ini, kakek Coa terkejut bukan main dan otomatis dia berseru keras.
        "Kiam-mo Cai-li....!!" Puteranya, Coa Khi terkejut. Tentu saja dia sudah pernah mendengar nama ini, nama
        seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal sebagai seorang iblis betina yang selain kejam dan ganas, juga amat
        tinggi ilmu kepandaiannya. Kakek Coa merasa heran sekali mengapa iblis betina yang sudah bertahun-tahun tak
        pernah muncul di dunia kang-ouw dan kabarnya hanya bertapa di tempat kediamannya, yaitu di Rawa Bangkai di kaki
        Penggunungan Lu-liang-san itu tahu-tahu kini muncul di situ. Dan biasanya, di mana pun iblis itu muncul, tentu
        akan terjadi malapetaka hebat! The Kwat Lin juga sudah mendengar nama itu, yaitu sepuluh tahun yang lalu ketika
        dia masih menjadi seorang di antara Cap-sha Sin-hiap. Ketika itu, nama Kiam-mo Cai-li (Wanita Cerdik Berpedang
        Payung) sudah amat terkenal. Akan tetapi dia belum pernah bertemu dengan iblis betina itu dan sekarang dia
        melirik ke arah wanita itu dengan senyum mengejek. Dengan kepandaiannya seperti sekarang ini, dia tidak perlu
        takut menghadapi iblis yang manapun juga! "Kiam-mo Cai-li, apakah kedatanganmu tanpa diundang ini pun hendak
        menantang aku sebagai ketua Butong- pai? Kalau memang demikian, jangan kepalang tanggung, majulah kau bersama
        kedua orang She Coa ini agar lebih cepat aku menghadapi kalian!" Ucapan yang keluar dengan tenangnya dari mulut
        ketua Bu-tong-pai itu mengejutkan hati kedua orang ayah dan anak She Coa itu. Berani bukan main wanita ini
        menantang Kiam-mo Cai-li seperti itu! Menyuruh datuk kaum sesat itu untuk mengeroyok! Akan tetapi Kiam-mo
        Cai-li tertawa lebar sehingga tampaklah deretan giginya yang putih dan rapi, "Hi-hi-hik, hebat sekali mulut
        ketua baru Bu-tong-pai! Pantas kau disebut-sebut di dunia kang-ouw, kiranya memang memilki keberanian yang
        hebat! Hanya karena mendengar engkau adalah Ratu Pulau Es maka aku terpaksa meninggalkan tempatku yang aman dan
        tenteram. Kalau tidak karena nama ini, biar siapa pun yang akan menduduki Bu-tong-pai, aku peduli apa? Sekarang
        hendak kulihat bagaimana kau menghadapi pewaris-pewaris ilmu Pedang Hok-liong-kiamsut yang terkenal ini. Kalau
        kau memang berharga untuk melawanku, barulah kita nanti bicara lagi!" The Kwat Lin tersenyum mengejek dan
        mendenguskan suara dari hidung. "Hemm, kau merasa terlalu tinggi untuk mengeroyok? Baiklah, kalau begitu tunggu
        saja sampai aku membereskan dua oran ini. Di sini tidak ada bangku, duduklah di sini!" Setelah berkata
        demikian, Kwat Lin menghampiri sebatang pohon dan sekali tangan kirinya bergerak menyabet dengan telapak tangan
        miring, terdengar suara keras dan pohon itu tumbang. Hebatnya, batang pohon itu putus seperti dibabat pedang
        tajam saja, rata dan halus sehingga sisanya merupakan sebuah bangku! "Hi-hi-hik, memang hebat sinkangmu! Terima
        kasih, aku menanti di sini," kata Kiam-mo Cai-li Liok Si dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang ke atas
        batang pohon yang merupakan bangku bermuka halus itu. Dia duduk bertumpang kaki dan menunjang dagu dengan
        sebelah tangan, seperti seorang yang akan menikmati suatu tontonan yang menarik. Ayah dan anak she Coa itu
        saling pandang. Di dalam pandang mata yang bertemu ini mereka seperti sudah saling bicara, menyatakan bahwa
        mereka menghadapi lawan yang amat lihai. Akan tetapi, jiwa pendekar kedua orang ini membuat mereka sama sekali
        tidak merasa gentar. Mereka bukan saja membela sahabat-sahabat mereka Kui Tek Tojin dan para tokoh Bu-tong-pai,
        akan tetapi juga menuntut balas atas kematian dan kekalahan para tokoh kang-ouw yang datang lebih dulu dari
        mereka membela Butong- pai. Selain itu mereka sudah datang sebagai dua orang penuntut kebenaran, kalau sekarang
        mereka harus mundur melihat kehebatan lawan, hal ini akan membuat mereka menjadi pengecut dan bagi dua orang
        pendekar seperti mereka yang namanya sudah terkenal harum selama beberapa keturunan, lebih baik mati sebagai
        orang gagah dari pada hidup menjadi pengecut hina! "Kalau begitu, The Kwat Lin, bersiaplah engkau!" teriak
        kakek Coa dan pedang di tangan kanannya sudah melintang di depan dada. Gerakan ini diturut oleh Coa Khi dan
        kedua orang itu berdiri berjajar dengan memasang kuda-kuda yang kuat. Kwat Lin menggerakan tangan kanannya dan
        tongkat pusaka ketua Bu-tong-pai yang selalu dipegangnya itu menancap di atas tanah di depannya. Tongkat itu
        baginya perlu untuk menghadapi orang-orang Butong- pai yang menghormati tongkat itu dan menganggapnya sebagai
        benda keramat lambang kedudukan tertinggi di Bu-tong-pai. Kini, menghadapi dua orang luar, dia tidak mau
        mempergunakannya, dan juga untuk memamerkan kepandaiannya, dia sengaja hendak menghadapi dua orang itu dengan
        tangan kosong! "Ceppp!" Tongkat itu amblas setengahnya ke dalam tanah dan sekali Kwat Lin menggerakan ke dua
        kakinya, tubuhnya mencelat ke depan dua orang gagah se Coa itu sambil berkata, "Mulailah!" "Sing, sing....
        wut-wut-wut-wutttt....!!" Bertubu-tubi kedua pedang itu menyambar dengan kekuatan dan kecepatan dahsyat
        sehingga tampak sinar-sinar berkilauan dibarengi suara bersiutan ketika kedua pedang membelah udara. Diam-diam
        Kwat Lin terkejut dan harus memuji kehebatan dan keindahan gerakan ilmu pedang mereka itu. Namun, tentu saja
        dengan latihan yang didapatnya dari Pulau Es, gerakanya lebih cepat lagi sehingga dengan mudah dia dapat
        mengelak ke sana-sini menghindarkan diri dari sambaran sinar kedua pedang itu dengan gerakan yang cepat dan
        indah. Setelah merasa yakin bahwa betapapun indah dan lihainya ilmu pedang mereka namun dia masih memiliki
        tingkat jauh lebih tinggi dalam hal sinkang, Kwat Lin tersenyum dan bagaikan seekor kucing mempermainkan dua
        ekor tikus, dia sengaja selalu mengelah ke sana ke mari memamerkan kegesitan tubuhnya, bukan hanya kepada dua
        orang itu melainkan terutama sekali kepada wanita yang dianggapnya merupakan calon lawan yang lebih lihai,
        yaitu Kiam-mo Cai-li yang menonton pertandingan itu. Tiba-tiba Kwat Lin mengeluarkan seruan tertahan ketika
        lirikan matanya membuat dia maklum bahwa ada dua orang bekas anak buah Bu-tong-pai yang mendekati tongkat
        pusaka itu dan berusaha mencabut tongkat pusaka dari dalam tanah. Peristiwa itu terjadi cepat sekali namun Kwat
        lin yang cerdik lebih cepat lagi mengambil kesimpulan bahwa dua orang itu tentulah pengkhianatpengkhianat yan
        berpura-pura takluk kepadanya namun diam-diam mencari kesempatan untuk mencuri tongkat pusaka, tentu dengan
        maksud mengembalikan tongkat itu kepada Kui Tek Tojin! Pada saat itu, dua pedang ayah dan anak itu menusuk dari
        depan dan belakang dengan cepatnya. Kwat Lin tentu saja agak terlambat gerakanya oleh perhatian yang terpecah
        tadi, maka dia cepat menggulingkan tubuhnya, mengelak dari tusukan pedang di depan, sedangkan tusukan pedang
        dari belakang yang masih mengancamnya di tangkisnya dengan lengan kiri yang dilindungi gelang-gelang emas.
        "Cringggg....!!" Coa Khi terkejut bukan main ketika lengan yang memegang pedang itu tergetar hebat dan hampir
        saja pedangnya terlepas dari pegangan ketika bertemu dengan gelang di pergelangan tangan kiri ketua Bu-tong-pai
        itu! Ketika dia dan ayahnya memandang, ternyata wanita itu telah lenyap dan tahu-tahu terdengar jerit-jerit
        mengerikan dari kiri. Ketika mereka memandang, ternyata wanita itu telah merobohkan dua orang laki-laki yang
        tadi mencoba mencuri tongkat pusaka. Dua orang laki-laki itu roboh dengan kepala pecah disambar jari-jari
        tangan Kwat Lin yang marah. Setelah membunuh kedua orang itu, sekali meloncat Kwat Lin sudah kembali menghadapi
        dua orang lawannya. kini dialah yang menerjang, menyerang dengan kedua tangan terbuka, cepatnya bukan main
        sehingga ayah dan anak itu terpaksa mudur sambil melindungi tubuhnya dengan pedang. Seru dan indah dipandang
        pertandingan itu. Tubuh Kwat Lin lenyap dan hanya kadang-kadang saja tampak, bergerak-gerak di antara gulungan
        dua sinar pedang. Dia seloah-olah seorang penari yang amat indah dan lemah gemulai gerakannya, seperti sedang
        bermain-main dengan gulungan sinar pedang yang dipandang sepintas lalu seperti dua helai selendang yang di
        mainkan oleh wanita itu. Tiba-tiba kedua orang ayah dan anak itu mengeluarkan pekik yang menggetarkan bumi dan
        tampak mereka menerjang secara berbareng dari depan dengan pedang terangkat ke atas dan membacok sambil
        meloncat. Inilah jurus paling ampuh dari ilmu pedang mereka lakukan dengan berbareng, jurus terakhir dari
        Hokliong- kiam-sut (Ilmu Pedang Naga). Serangan ini demikian dahsyatnya sehingga tidak memungkinkan lawan yang
        diserangnya untuk mengelak lagi karena jalan keluar sudah tertutup dan ke mana pun lawan mengelak, ujung pedang
        tentu akan mengejar terus. Akan tetapi, sambil tersenyum Kwat Lin tidak menghindarkan diri sama sekali tidak
        mengelak, bahkan menubruk ke depan, tiba-tiba ketika tubuh Coa Khi yang meloncat ke atas itu sudah dekat dan
        pedang pemuda itu sudah menyambar ke arah kepalanya, dia menjatuhkan diri ke bawah, berjongkok dan kedua
        tangannya menyambar ke atas dan depan dengan jari-jari terbuka. "Hyaaaaattt....!!" Pekik melengking yang keluar
        dari mulut Kwat Lin ini dahsyat sekali dan kedua tangan yang mengandung sepenuhnya tenaga Inti Salju yang ampuh
        itu telah menyambar perut kedua orang laawannya. "Plak! Plak!" Tamparan jari-jari tangan yang mengandung tenaga
        sinkang mujijat ini tepat mengenai perut Coa Khi yang sedang melayang di atas dan Coa Hok yang berada di depan.
        Ayah dan anak itu mengeluarkan jerit tertahan yang mengerikan. Mereka merasa tubuh mereka dimasuki hawa dingin
        yang tak tertahankan hebatnya dan robohlah ayah dan anak itu, roboh tanpa dapat berkutik lagi karena mereka
        telah tewas dengan muka membiru karena darah mereka telah beku terkena pukulan yang mengandung Swat-im-sinkang
        hebat dari Pulau Es! "Bagus sekali....!!" Kiam-mo Cai-li Liok Si memuji dan melayang turun dari atas batang
        pohon dan berdiri berhadapan dengan ketua Bu-tong-pai itu. Keduanya sama cantik dan sama mewah pakaiannya, dan
        sejenak mereka saling pandang seperti hendak mengukur kelebihan lawan dengan pandang mata. "Hebat kepandaianmu,
        Pangcu (Ketua)! Melihat tingkatmu, engkau pantas menjadi lawanku bertanding, mari kita coba-coba, siapa
        diantara kita yang lebih lihai!" The Kwat Lin mengerutkan alisnya dan bertanya, "Kiam-mo Cai-li, diantara kita
        tidak pernah ada urusan sesuatu. Apakah engkau menantangku demi membela para tosu Bu-tong-pai yang sudah
        mengundurkan diri?" "Hi-hi-hik!" Wanita yang sudah hampir nenek-nenek namun masih amat genit itu terkekeh. "Aku
        membela tosu Bu-tong-Pai? Jangan bicara ngaco! Bagi aku, siapa pun yang akan menjadi ketua Bu-tong-pai, masa
        bodoh! Akan tetapi mendengar bahwa yang mengetuai Bu-tong-pai disebut Ratu Pulau Es, hatiku tertarik dan
        sekarang melihat engkau benar-benar lihai, makin ingin hatiku menguji kelihaianmu dan bertanya apakah benar
        engkau Ratu Pulau Es?" Kwat Lin mengangguk. "Benar, aku adalah bekas Ratu Pulau Es! Kiam-mo Cai-li, kalau
        engkau tidak membela tosu-tosu Bu-tong-pai perlu apa kita bertanding? Ketahuilah, aku sedang membangun
        Bu-tongpai dan aku membutuhkan kerja sama dengan orang-orang pandai, terutama sekali engkau. Apakah seorang
        dengan kepandaian seperti engkau ini tidak pula mempunyai cita-cita tinggi untuk mencapai matahari dan bulan?
        Ataukah hanya menanti kematian begitu saja, membusuk di tempat pertapaanmu di Rawa Bangkai?" "Hi-hi-hik, aku
        sudah mendengar pula akan usahamu yan bercita-cita luhur! Karena itu pula aku tertarik dan datang ke sini. Akan
        tetapi sebelum kita bicara tentang kerja sama dan cita-cita, kita harus menentukan dulu siapa diantara kita
        yang patut memimpin dan siapa pula yang harus taat." "Maksudmu?" The Kwat Lin memandang tajam dengan alis
        berkerut. "Kita bekerja sama, itu pasti! Dan kalau kita berdua sudah bekerja sama, di tangan kita kaum wanita,
        tentu segalanya akan berhasil baik! Lihat saja keadaan di istana kerajaan. Seorang selir mampu mengemudikan
        seluruh kendali pemerintahan! Akan tetapi untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpinnya diantara kita,
        perlu diketahui sekarang juga." "Bagus! Dengan lain kata-kata engkau menantang untuk kita mengadu kepandaian,
        ya? Kiam-mo Cai-li, engkau seperti seekor katak dalam sumur! Majulah!" Kwat Lin membanting kakinya ke atas
        tanah dekat pusaka Bu-tong-pai dan.... tongkat yang menancap setengahnya lebih itu mencelat ke atas seperti
        didorong dari bawah tanah, lalu tongkat itu disambar dan dipegangnya. Kiam-mo Cai-li menganguk-angguk. "Hebat
        memang sinkangmu, Pangcu. Akan tetapi jangan kau salah sangka. Sekali ini aku benar-benar menyadari bahwa
        usiaku sudah makin tua dan aku perlu memperoleh kedudukan yang akan menjamin masa tuaku sampai mati. Kita hanya
        mengukur kepandaian, bukan bertanding sebagai musuh, hanya untuk menentukan tingkat siapa yang lebih tinggi di
        antara kita berdua." Mendengar kata-kata ini, berkurang panas hati Kwat Lin dan teringat lagi dia bahwa
        betapapun juga, dia membutuhkan tenaga bantuan wanita iblis yang terkenal sebagai datuk kaum sesat ini. Kalau
        dia dapat menarik wanita ini sebagai pembantu, tentu akan banyak tokoh kaum sesat yang dapat ditariknya untuk
        membantu tercapainya cita-citanya. "Baiklah kalau begitu, Kiam-mo Cai-li. Mari kita mulai!" "Pangcu, awas
        serangan pedang payungku!" Kiam-mo Cai-li berseru dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, didahului oleh
        bayangan hitam dari pedang payungnya yang terbuka dan menyembunyikan gerakannya. Ujung payung berbentuk pedang
        itu menusukkan payung itu sendiri berputar mengaburkan pandangan mata lawan. Namun, dengan tenang saja Kwat Lin
        menggerakan tangan kirinya, dengan telapak tangan terbuka dia mendorong ke depan sehingga hawa pukulan sinkang
        yang hebat menyambar dan membuat payung itu seperti tertiup angin keras dan menahan daya serang ujung payung
        yang seperti pedang, kemudian disusul dengan gerakan tongkat pusaka ditangan Kwat Lin menyambar dari samping
        dengan dahsyatnya. "Plakk...! Cringggg-cring....!!" Tongkat itu ditangkis, pertama dengan kuku tangan Kiam-mo
        Cai-li yang hendak mencengkeram dan merampas tongkat, namun tongkat sudah ditarik kembali dan mengirim hantaman
        dua kali berturut-turut yang dapat ditangkis oleh pedang di ujung payung. Maklum akan kehebatan lawannya,
        Kiam-mo Cai-li bergerak cepat sekali dan dia sudah mainkan ilmu pedangnya yang luar biasa, yaitu Tiat-mo
        Kiam-hoat (Ilmu Pedang Payung Besi). Kalau saja kwat Lin belum mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi tingkatnya
        dari Pulau Es, tentu dia bukanlah lawan Kiam-mo Cai-li yang lihai sekali itu. Akan tetapi, karena The Kwat Lin
        kini telah menjadi seorang yang berilmu tinggi, maka dia dapat mengimbangi permainan lawannya dan terjadilah
        pertandingan yang amat seru dan seimbang. Kiam-mo Cai-li memang luar biasa lihainya. Tidak percuma dia menjadi
        seorang datuk kaum sesat, seorang tokoh golongan hitam yang ditakuti seperti seorang iblis betina yang kejam
        dan berilmu tinggi. Tdak hanya ilmu pedangnya yang lain dari pada yang lain, permainan pedang yang gerakan
        tangannya terlindung dan tersembunyi oleh payung hitam sehingga lebih praktis dan berbahaya daripada
        menggunakan perisai, akan tetapi di samping ilmu pedangnya ini juga tangan kirinya merupakan senjata yang amat
        berbahaya dengan kuku-kukunya yang panjang dan mengandung racun. Ini semua masih dilengkapi lagi dengan
        rambutnya yang hitam panjang, karena rambutnya ini seperti ular-ular hidup, dapat dipergunakan untuk menotok,
        melecut, atau melibat! Akan tetapi, tidak percuma pula The Kwat Lin pernah menjadi isteri seorang manusia yang
        disohorkan seperti setengah dewa, yaitu Han Ti Ong yang sukar diukur lagi tingkat kepandaiannya. Tidak percuma
        selama sepuluh tahun bekas murid Bu-tong-pai ini digembleng di Pulau Es, apalagi telah mewarisi kitab-kitab
        pusaka Pulau Es yang telah dilarikannya. Yang jelas, dalam hal tenaga sinkang, dia masih menang setinggkat
        dibandingkan dengan Kiam-mo Cai-li. Tenaga sinkangnya adalah hasil latihan di Pulau Es, maka dia telah dapat
        menyedot tenaga inti salju, yaitu Swat-im Sin-kang, tenaga sinkang yang mengandung hawa dingin sehingga lawan
        yang kurang kuat sekali bertemu tenaga akan menjadi beku darahnya. Selain menang dalam tenaga sinkang, juga
        dasar ilmu silatnya lebih sempurna daripada dasar ilmu silat Kiam-mo Cai-li yang sesungguhnya merupakan
        gabungan ilmu silat campur-aduk. Demikianlah, pertandingan itu berlangsung sampai seratus jurus lebih dengan
        amat serunya. Kiam-mo Cai-li menang keanehan senjatanya dan menang pengalaman bertanding akan tetapi
        kelebihannya ini menjadi tidak berarti karena dia kalah tenaga sinkang sehingga setiap serangan dan desakannya
        membuyar oleh hawa sinkang dari dorongan telapak tangan The Kwat Lin. Akhirnya, iblis betina ini harus mengakui
        keunggulan lawan dan dia sebagai seorang ahli maklum bahwa kalau dilanjutkan, salah-salah dia akan menjadi
        korban hawa Swat-im Sin-kang yang mujijat. Maka dia meloncat ke belakang dan berseru, "Cukup, Pangcu!
        Kepandaianmu hebat, engkau pantas menjadi Ratu Pulau Es, pantas menjadi ketua Bu-tong-pai dan biarlah aku
        membantumu dalam kerja sama kita!" Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Kwat Lin mendengar ini. Dia lalu
        menghampiri Kiammo Cai-li, menggandeng tangan wanita itu dan memperkenalkan kepada Swi Liang, Swi Nio, dan Han
        Bu Ong. Kemudian dia mengajak sahabat baru itu memasuki gedungnya dan sambil menghadapi hidangan lezat kedua
        orang wanita lihai ini bercakap-cakap dan mengadakan perundingan untuk bekerja sama. Ternyata mereka cocok
        sekali dan memang keduanya merindukan kedudukan yang mulia dan terhormat, maka dalam perundingan ini. Kiam-mo
        Cai-li diangap sebagai pembantu utama dan tangan kanan Kwat Lin, bahkan Rawa Bangkai yang terletak di kaki
        Pegunungan Lu-liang-san itu dijadikan markas kedua di mana kelak akan dilakukan semua pertemuan dan perundingan
        rahasia. Benar saja seperti yang diharapkan, setelah Kiam-mo Cai-li menjadi pembantunya, banyaklah kaum sesat
        yang menggabung dan menyatakan suka bekerja sama sehingga biarpun tidak resmi, mulai saat itu The Kwat Lin
        bukan hanya menjadi ketua Bu-tong-pai, akan tetapi juga diakui sebagai datuk kaum sesat nomer satu! Hubungan
        rahasia yang diadakan oleh The Kwat Lin dengan para pembesar kota raja menjadi makin luas, dan diam-diam
        persekutuan ini mulai mengatur rencana pemberontakan untuk menggulingkan Kaisar! Dari para pembesar yang
        mengharapkan bantuan orang-orang kang-ouw inilah Kwat Lin memperoleh bantuan keuangan sehingga Bu-tong-pai
        menjadi makin kuat dan wanita lihai ini dapat menarik banyak tenaga bantuan orang pandai dengan mempergunakan
        uang sebagai pancingan. Keadaan kerajaan Tang di masa itu memang sedang diancam pergolakan hebat. Kaisarnya,
        yaitu Kaisar Beng Ong, atau yang terkenal juga dengan sebutan Kaisar Hian Tiong. Tak dapat disangkal lagi, di
        bawah pemerintahan Kaisar Beng ini Kerajaan Tang mengalami perkembangan yang amat pesat sehingga menjadi sebuah
`Pemula Punya Blog

Ditulis Oleh : Unknown // 2:13 AM
Kategori:

Ditulis Oleh : Unknown ~ PEMULA PUNYA BLOG ~

Artikel BUKEK SIANSU : Seri Ketujuh ini diposting oleh Unknown Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel BUKEK SIANSU : Seri Ketujuh ini.Di Posting Saturday, July 28, 2012. Tak Lengkap Rasanya Jika Kunjungan Anda di Blog ini Tanpa Meninggalkan Komentar Untuk Itu Silahkan Berikan Komentar Anda Apa Aja Pada Kotak Komentar Di Bawah. Semoga Artikel BUKEK SIANSU : Seri Ketujuh dapat Memberi manfaat untuk Anda ..Trima Kasih.. HAPPY BLOGGING :)

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.