BUKEK SIANSU : Seri Keenam - Lanjutan Seri Kelima
cinta di dalam hatiku yang kotor, yang
ada hanya nafsu berahi sehingga mudah saja aku dipermainkan oleh wanita
itu. Aihhhh....kalian maafkan aku. Swat
Hong, hanya satu pesanku kepadamu, anakku. Kau... kau menjadilah jodoh
Sin Liong. Jadilah kalian suami istri,
baru akan terobati hatiku..." "Suhu...!" "Ayah...!"
"Muridku....anakku....,maukah
kalian melegakan hatiku? Aku ingin menebus kesalahanku... aku ingin melihat
teecu untuk memikirkan soal
jodoh..." "Ayah, mengenai jodoh tidak dapat ditentukan begitu saja.
Biarkan kami
menentukannya sendiri..." Han Ti
Ong menarik napas panjang, memejamkan mata sebentar, kemudian bangkit berdiri,
membalikan tubuh dan berjalan memasuki
kamarnya meninggalkan dua orang muda yang masih berlutut itu. Semenjak
saat itu, sampai berhari-hari lamanya,
Raja itu tidak pernah keluar dari kamarnya sehingga membuat gelisah
semua pembantunya. Keadaan di Pulau Es
tidak seperti biasa, semua penghuni dapat merasakan ini. Semenjak
terjadinya peristiwa yang memalukan dan
menyedihkan menimpa keluarga Raja Han Ti Ong, keadaan Pulau Es sunyi
dan semua wajah para penghuni kelihatan
muram. bahkan cuaca juga seolah-olah berubah suram, seringkali malah
menjadi gelap oleh mendung tebal. Hati
semua orang merasa gelisah tanpa mereka ketahui sebabnya, seolah-olah
merupakan tanda rahasia bahwa akan
terjadi hal-hal lebih hebat lagi. Peristiwa yang menyedihkan yang menimpa
Han Ti Ong bisa menimpa diri setiap
orang, dan memang kita sebagai manusia hidup selalu terlupa bahwa mengejar
kesenangan sama artinya dengan
memanggil kesengsaraan! Kita hidup dibuai khayal akan keadaan yang lebih baik,
lebih menyenangkan dari pada keadaan
seperti apa adanya. Kita tidak pernah membuka mata, tidak pernah
menghayati keadaan saat ini, tidak
dapat melihat bahwa saat ini mencakup segala keindahan. Dengan membandingkan
keadaan kita dengan keadaan lain, kita
selalu menganggap bahwa keadaan buruk tidak menyenangkan, dan kita
selalu memandang jauh kedepan,
mencari-cari dan menghayalkan yang tidak ada, keadaan yang kita anggap lebih
menyenangkan. Karena kebodohan kita
inilah maka kita hidup dikejar-kejar oleh kebutuhan setiap saat, detik demi
detik kita mengejar kebutuhan.
Kebutuhan adalah keinginan akan sesuatu yang belum tercapai, yang kita
kejar-keja. Lupa bahwa kalau yang satu
itu dapat tercapai, didepan masih menanti serbu yang lain yang akan
mejadi keinginan dan kebutuhan kita
selanjutnya. Maka, berbahagialah dia yang tidak membutuhkan apa-apa! Bukan
berarti menolak segala kesenangan,
melainkan tidak mengejar apa-apa sehingga kalau ada sesuatu yang datang
menimpa diri, bukan lagi merupakan
kesenangan atau kesusahan, melainkan dihadapi sebagai suatu yang sudah wajar
dan semestinya sehingga tampaklah
keindahan yang murni! Demikian pula keadaan Raja Han Ti Ong. Dia seorang yang
sakti dan bijaksana namun tiba saatnya
dia lengah dan menganggap bahwa dia menemukan kebahagiaan dalan diri The
Kwat Lin. Padahal yang dia temukan hanyalah
kesenangan yang timbul dari kenikmatan badani, dari terpuaskannya
nafsu. Dia seolah-olah hidup dialam
khayal, di alam mimpi. Setelah dia sadar dari mimpi, terasa bahwa yang
manis menjati pahit bukan main, baru
sadar bahwa perubahan dari senang ke susah sama mudahnya dengan membalikan
telapak tangan! Dan mengalah, suka dan
duka hanyalah dwi muka (kedua muka) dari sebuah tangan yang sama! Perahu
kecil itu terayun-ayun kekanan kiri
seperti menari-narikarena tidak dikuasai oleh layar maupun dayung,
melainkan sepenuhnya dikuasai oleh air
laut yang tenang. Dua orang yang duduk diperahu itu seperti dua buah
arca, diam dan pandang mata mereka
melayang jauh ke kaki langit, melayang-layang di permukaan laut seperti
mencari-cari sesuatu yang hilang. Dan
memang fikiran Sin Liong dan Swat Hong, dua orang di perahu itu, sedang
mencari-cari jawaban pertanyaan hati
mereka sendiri. pulau Es hanya kelihatan sebagai sebuah garis mendatar
putih dekat kaki langit. mereka
berangkat pagi-pagi meninggalkan Pulau Es, setelah tiba di tempat jauh yang
sunyi ini, mereka menggulung layar dan
membiarkan perahu mereka dibuai gelombang kecil. Mereka sudah lama
berdiam diri seperti itu, dibuai oleh
lamunan masingmasing, lamunan yang timbul karena keadaan di Pulau Es yang
menyedihkan. "Suheng..."
Suara panggilan Swat Hong ini lirih saja, namun karena sejak tadi mereka tidak
mendengar suara apa-apa, maka suara
panggilan ini seolah-olah mengandung getaran hebat yang memenuhi seluruh
ruang kesunyian. Sin Liong menoleh dan
dia pun seolah-olah baru sadar dari alam mimpi. "Hemmmm...?"
jawabannya
masih ragu-ragu. "Suheng
mengajakku meninggalkan pulau dan setelah tiba disini, mengapa suheng tidak
lekas
bicara melainkan melamun saja?"
"Aku terpesona akan keindahan alam yang sunyi ini, Sumoi...."
"Aku pun tadi
terseret, Suheng. Akan tetapi melihat
batu karang menonjol di depan itu, aku tersadar. Apakah aku akan menjadi
setua batu karang itu yang kerjanya
hanya termenung di tempat sunyi! Suheng, kau tadi bilang bahwa untuk
membicarakan urusan kita, engkau
mengajakku ketengah laut. Mengapa? "Engkau sudah mengerti sendiri. Fitnah
yang
dilontarkan kepada kita, bahwa ada
terjadi sesuatu yang rendah di antara kita, membuat aku merasa tidak enak
kalau mengajak kau bicara berdua saja
di tempat sunyi di atas pulau itu. Dapat menimbulkan prasangka yang
bukan-bukan. Karena itulah maka kuajak
kesini, agar kita dapat bicara dengan tenang dari hati ke hati tanpa ada
yang mendengar dan melihat. Pula,
kuharap ditempat yang sunyi ini, yang membuat kita seolah-olah berada di
dalam alam lain, kita akan menemukan
ilham..." Swat Hong tertawa. Timbul kembali kegembiraan dara ini setelah
dia tidak berada di Pulau Es yang
membuat dia selama ini ikut muram dan berduka. "Wah, Suheng! Kadang-kadang
kau bicara seperti seorang pendeta
saja! Apa sih yang akan dibicarakan sampai-sampai kau membutuhkan ilham
segala?" "Mari kita bicara
tentang cinta, Sumoi." Wajah dara muda jelita itu terheran, matanya
memandang
terbelalak dan perlahan-lahan kedua
pipinya menjadi agak kemerahan. "Aihh... apa maksudmu, Suheng?" Sin
Liong
menarik napas panjang, dan menyentuh
tangan sumoinya. "Perlukah aku menjelaskan lagi? Suhu, Ayahmu sedang
dilanda duka dan kedukaannya yang
terakhir sekali ini adalah menyangkut hubungan antara kita. Suhu menghendaki
agar kita berjodoh, dan kita secara
jujur telah menyatakan tidak setuju akan kehendaknya itu. Dan memang kita
benar, Sumoi. Perjodohan tidak bisa
ditentukan begitu saja, karena perjodohan merupakan hal gawat bagi
seseorang, akan melekat selama
hidupnya. Akan tetapi bagaimana kita tahu kalau hal ini tidak kita bicarakan
secara terus terang? Maka, agar kita
dapat mengambil keputusan yang tepat tentang kehendak Suhuini, marilah
kita bicara tentang cinta!"
"Hemm, bicaralah. Aku tidak tahu apa-apa," Kata Swat Hong yang tentu
saja merasa
malu untuk bicara tentang hal yang
asing baginya itu. "Swat Hong, apakah kau cinta kepadaku?" Dara itu
makin
merah mukanya. Tak disangkanya bahwa
suhengnya akan bertanya secara langsung seperti itu sehingga dia merasa
seperti diserang dengan tusukan pedang
yang amat dhasyat! Dia mengangkat muka memandang suhengnya dengan
bingung. "Aku...aku...ah, aku
tidak tahu..." dan dia menundukan mukanya. "Sumoi, sudah sering aku
melihat
sikapmu yang aneh. Engkau marah-marah
ketika kita berada di Pulau Neraka. Engkau cemburu melihat Soan Cu
berbuat baik kepadaku, dan kau tidak
senang melihat Kongkongnya hendak menjodohkan Soan Cu dengan aku. Sumoi,
aku tidak tahu apa cemburu itu tandanya
cinta? Akan tetapi, jawablah demi pemecahan persoalan yang kita hadapi
ini. Cintakah kau kepadaku?"
Disinggung-singgung tentang sikapnya di Pulau Neraka yang jelas menadakan rasa
cemburunya, Swat Hong menjadi makin malu.
Dicobanya untuk menjawab, akan tetapi begitu dia bertemu pandang
dengan suhengnya, dia menjadi makin
malu dan ditutupinya mukanya dengan kedua tangan, kepalanya
digeleng-gelengkan dan dia berkata,
"Aku tidak tahu...aku tidak tahu... kau saja yang bicara, Suheng. Kau saja
yang menjawab apakah kau cinta padaku
atau tidak!" Dan kini dia menurunkan kedua tangannya, sepasang matanya
yang bening itu kini dengan penuh
selidik menatap wajah Sin Liong! Sin Liong menarik napas panjang. "Itulah
yang membingungkan hatiku selama
ini,Sumoi. Mau bilang tidak mencintaimu, buktinya aku suka kepadamu. Akan
tetapi untuk menyatakan bahwa aku cinta
padamu, sulit pula karena aku sendiri tidak tahu bagaimana sesungguhnya
cinta itu. Apakah seperti cintanya suhu
terhadap ibumu yang berakhir dengan peristiwa menyedihkan itu? ataukah
seperti cintanya Ibumu kepada Suhu?
Ataukah seperti cintanya The Kwat Lin dan suhu? Hemm, mengapa semua cinta
itu demikian palsu dan mengakibatkan
hal yang amat menyedihkan? Aku menjadi ngeri melihat cinta macam itu,
Sumoi." Swat Hong memandang heran.
"Ahhh, aku tidak pernah memikirkan cinta seperti yang kau kemukakan ini,
suheng." "Mudah saja. Lihat
saja apa yang terjadi antara Suhu, Ibumu, dan The Kwat Lin. Seperti itukah
cinta?
Hanya mendatangkan cemburu, kemarahan,
kebencian, dan permusuhan hebat. Apakah itu cinta? Kalau seperti itu,
aku ngeri dan aku tidak berani
berlancang mulut menyatakan cinta kepada siapapun, Sumoi. Karena, kalau hanya
seperti itu akibatnya, maka cinta yang
kunyatakan hanyalah merupakan kembang bibir elaka, hanya cinta palsu
belaka. Bayangkan saja, Sumoi. Di
antara kita berdua, sejak kecil sampai sekarang menjelang dewasa, tidak
pernah ada pertentangan dan tidak
pernah ada urusan apa-apa. Akan tetapi, setelah kita berdua mengaku cinta,
lalu timbul soal-soal ceburu, kecewa
dan lain-lain. Apalagi setelah menjadi suami istri...hemm, betapa
mengerikan kalau melihat contoh yang
kita saksikan di Pulau Es ini." Swat Hong menunduk dan tak mampu menjawab.
Persoalan yang diajukan oleh Sin Liong
itu terlampau berat baginya, sulit untuk dimengerti. Baginya, sebagai
seorang wanita, dia haus akan cinta
kasih, akan perhatian, akan pemanjaan dari seorang pria yang menyenangkan
hatinya, seperti suhengnya ini. Akan
tetapi, setelah mendengar uraian Sin Liong tentang cinta yang diambilnya
peristiwa di Pulau Es sebagai contoh,
dia pun ngeri dan tidak berani menyatakan perasaanya itu. "Aku tidak
tahu, Suheng.., aku tidak mengerti.
Terserah kepadamu sajalah..." Sin Liong kembali menarik napas panjang. Dia
memang sudah mengambil keputusan di dalam
hatinya bahwa dia harus membalas budi kebaikan suhunya yang sudah
berlimpah-limpah diberikan kepadanya.
Satu-satunya jalan untuk membalas budi hanya dengan menyenangkan hati
suhunya yang sedang berduka itu. Dia
harus menerima keputusan suhunya, yaitu menerima menjadi jodoh Swat Hong!
Akan tetapi dia tidak boleh membuat
dara itu menderita dengan keputusannya ini, maka dia harus tahu terlebih
dahulu bagaimana pendirian Swat Hong.
Dan sekarang, dara itu sama sekali tidak berani mengaku tentang cinta.
"Sumoi, sekarang begini saja.
Andai kata aku memenuhi permintaan suhu, yaitu mau menerima ikatan jodoh
denganmu, menjadi calon suamimu,
bagaimana dengan pendapatmu?" Swat Hong menunduk dan menggigit bibirnya.
Akhirnya dia dapat berbisik. "Aku
tidak tahu, terserah kepadamu dan kepada ayah..." "Maksudku, apakah
engkau
merasa terpaksa? Apakah hal ini
menyenangkan hatimu? Sumoi, harap kau suka berterus terang. Kalau kau, seperti
aku, tidak bisa mengaku cinta begitu
saja, setidaknya kukatakan apakah ikatan jodoh ini tidak menimbulkan
penyesalan bagimu?" Swat Hong
tidak menjawab, hanya menggeleng kepala. "Kalau begitu, andaikata aku
menerima,
engkau pun akan menerimanya dengan
senang hati?" Swat Hong mengangguk! "Kalau begitu, mari kita pergi
menghadap
Ayahmu. Aku akan menerima
permintaannya, karena betapapun juga, kita harus menghiburnya, menyenangkan
hatinya.
Aku telah berhutang banyak budi dari
suhu, maka kalau dengan penerimaan ini aku dapat sekedar membalas budinya,
aku akan merasa senang." Sin Liong
mengambil dayung perahu itu dan menggerakan dayung. "Suheng, kau menerima
karena kasihan kepada Ayah? jadi
kau...kau tidak cinta kepadaku?" "Sumoi aku tidak berani berlancang
mulut
mengaku cinta. Aku telah banyak
menyaksikan cinta kasih yang kuragukan kemurniannya. Aku khawatir bahwa sekali
cinta diucapkan dengan mulut, maka itu
bukanlah cinta lagi. Aku tidak tahu, apakah cinta itu sesungguhnya, maka
aku tidak berani lancang mengaku,
Sumoi..." "Ahhh...!!" Jeritan Swat Hong ini adalah campuran dari
rasa kecewa
dan juga kekangetan hebat, matanya
terbelalak memandang kedepan. Melihat wajah Sumoinya, Sin Liong cepat
menengok dan pada saat itu terdengar
ledakan dahsyat dibarengi dibarengi dengan cahaya kilat yang seolah-olah
membakar dunia. Tampak oleh Sin Liong
yang terbelalak memandang itu air muncrat tinggi sekali disusul asap dan
api, muncul dari permukaan laut antara
perahunya dan Pulau Es. Kedua orang muda yang terbelalak dengan muka
pucat itu tidak berkesempatan untuk
terheran lebih lama lagi karena tiba-tiba karena perahu mereka dilontarkan
keatas, dalam saat lain perahu itu
telah dipermainkan oleh gelombang yang mendahsyat dan menggunung. Suara
mengguruh memenuhi telinga mereka dan
keheningan yang baru saja mencekam lautan itu kini terisi dengan
kebisingan yang sukar dilukiskan. Sin
Liong berteriak, "Sumoi, bantu aku! Jangan sampai perahu terguling!"
keduanya mengerahkan tenaga,
menggunakan dayungnya untuk mengatur keseimbangan perahu. Namun, kekuatan
gelombang air laut yang amat dahsyat
itu mana dapat ditahan oleh tenaga manusia, biarpun kedua orang pemuda itu
adalah tokoh-tokoh Pulau Es sekalipun?
Perahu mereka menjadi permainan gelombang, dilontarkan tinggi ke atas,
disambut dan diseret kebawah,
seolah-olah tangan malaikat maut atau ekor naga laut yang menyeret perahu ke
dasar laut, akan tetapi tiba-tiba
dihayun lagi keatas, ditarik ke kanan, didorong kekiri sehingga kedua orang
murid Raja Han Ti Ong itu menjadi
pening dan setengah pingsan! Mereka tidak ingat akan waktu lagi, tidak tahu
berapa lama mereka diombang-ambingkan
air laut, tidak tahu lagi berapa jauh mereka terbawa ombak, dan mereka
tidak sempat menggunakan pikiran lagi.
Yang ada hanya naluri untuk menyelamatkan diri, menjaga sekuat tenaga
agar perahu mereka tidak sampai
terguling dan tangan mereka tidak sampai terlepas memegangi pinggiran perahu.
Dengan tangan kanan memegang pinggiran
perahu, tangan kiri Sin Liong memegang lengan kanan sumoinya. Betapapun
juga, dia tidak akan melepaskan
sumoinya! Swat Hong yang biasanya tabah dan tidak mengenal takut itu, sekali
ini menangis dengan muka pucat dan mata
terbelalak. Terlampau hebat keganasan air laut baginya, terlampau
mengerikan melihat gelombang setinggi
gunung yang seolah-olah setiap saat hendak mencengkram dan menelannya
itu! Tiba-tiba Swat Hong menjerit.
Segulung ombak besar datang dan menelan perahu itu. Mereka gelagapan karena
ditelan air, kemudian mereka merasa
betapa perahu mereka dilambungkan ke atas. "Brukkk...!" Keduanya
terpental
keluar, akan tetapi masih saling
bergandeng tangan. Cepat Sin Liong menyapu mukanya agar kedua matanya dapat
memandang. Ternyata perahu mereka telah
dilontarkan ke sebuah pulau kecil yang penuh batu karang, sebuah pulau
yang menjulang tinggi akan tetapi hanya
kecilkecil sekali, merupakan sebuah batu karang besar yang menonjol
tinggi. "Sumoi, lekas..., kita
naik ke sana...!!" Sin Liong tidak mempedulikan tubuhnya yang terasa sakit
semua, membantu sumoinya merangkak
bangun. Pipi kanan dan lengan kiri Swat Hong berdarah, akan tetapi gadis itu
pun agaknya tidak merasakan semua ini,
tersaruk-saruk dia dibantu suhengnya merangkak dan menyeret perahu ke
atas, kemudian mereka melanjutkan
pendakian ke atas puncak batu karang itu dengan susah payah. Akhirnya mereka
tiba di puncak batu karang dan apa yang
tampak oleh mereka dari tempat tinggi ini benar-benar menggetarkan
jantung. Air di sekeliling mereka. Air
yang menggila, bergerak berputaran, gelombang yang dahsyat menggunung,
suara yang gemuruh seolah-olah semua
iblis dari neraka bangkit. Batu karang besar , atau lebih tepat disebut
pulau kecil dari batu itu
tergetar-getar, seolah-olah menggigil ketakutan menghadapi kedahsyatan badai
yang
mengamuk. Tidak tampak apa-apa pula
selain air, air dan kegelapan, kadang-kadang diseling cahaya menyambar dari
atas, seperti lidah api seekor naga
yang bernyala-nyala, "Ouhhhh..!" Swat Hong menangis dan cepat dipeluk
oleh
suhengnya. Tubuh dara itu menggigil,
pakaiannya robek-robek. "Tenanglah... tenanglah, Sumoi...." Sin Liong
berbisik dan pemuda ini mengerti bahwa
bukan hanya sumoinya yang disuruhnya tenang, melainkan hatinya sendiri
juga! Pengalaman ini sungguh dahsyat
dan tidak mungkin dapat terlupa selama hidupnya. Kebesaran dan kekuasan
alam nampak nyata. membuat dia merasa
kecil tak berarti, kosong dan remeh sekali! Sin Liong dan Swat Hong yang
dipeluknya tidak tahu lagi berapa
lamanya mereka berada di tempat itu. Siang malam tiada bedanya, yang tampak
hanya kegelapan, air, dan kadang-kadang
kilatan cahaya halilintar. Yang terdengar hanyalah gemuruh air, angin
menderu, dan kadang-kadang ledakan
halilintar. Tidak memikirkan dan merasakan apa-apa, yang ada hanya takjub
dan ngeri! Di luar tahunya dua orang
itu, mereka telah berada di pulau batu karang selama sehari semalam!
Akhirnya badai mereda, badai yang
ditimbulkan oleh ledakan gunung berapi di bawah laut! Kegelapan mulai
menipis, akhirnya tampak kabut putih
bergerak perlahan meninggalkan tempat itu, air mulai tenang dan menurun,
akhirnya tampaklah sinar matahari
disusul oleh bola api itu sendiri setelah kabut terusir pergi. Tampaklah
lautan luas terbentang di bawah dan
baru sekarang ternyata oleh dua orang muda itu bahwa mereka duduk dipuncak
batu karang yang amat tinggi! Swat Hong
mengeluh, baru terasa betapa penat tubuhnya, betapa luka-luka kecil
dari kulitnya yang lecet-lecet, dan
betapa haus dan lapar leher dan perut! "Sumoi, badai sudah mereda. Mari
kita turun. Aihh, itu perahu kita.
Untung tidak pecah," kata Sin Liong dan dia menggandeng tangan sumoinya,
menuruni batu karang. Perahu mereka
tidak pecah, akan tetapi layar dan dayungnya lenyap. Sin Liong mengangkat
perahu itu, membawanya turun kebawah.
"Mari kita lekas pulang, Sumoi. Biar kudayung dengan kedua tangan."
Swat
Hong duduk didalam perahu, mengeluh
lagi dan berkata penuk kegelisahan, "Bagaimana dengan Pulau Es? Badai
mengamuk demikian hebatnya,
Suheng." Aku tidak tahu, mudah-mudahan mereka selamat. Maka, kita harus
cepat
pulang." dia lalu menggunakan
kedua tangannya yang kuat sebagai dayung. Perahu bergerak, meluncur di atas air
yang tenang dan licin seperti kaca,
sama sekali tidak ada tanda-tanda di permukaan air bahwa air itu telah
mengamuk sedemikian hebatnya baru-baru ini.
Tak lama kemudian Sin Liong medapatkan dayung yang dipatahkan dari
batang pohon yang hanyut di air.
Agaknya pulau-pulau kecil disekita tempat itu telah diamuk badai sedemikian
hebatnya sehingga pohon-pohon tumbang
dan terbawa air. Setelah keadaan cuaca terang kembali, Sin Liong dapat
menentukan arah perahu dan tak lama
kemudian tampaklah Pulau Es dari jauh. Kelihatannya masih seperti biasa,
sebuah pualu keputihan memanjang di kaki
langit, berkilaun tertimpa sinar matahari. Hati mereka lega. Dari jauh
kelihatannya tidak terjadi perubahan di
pulau itu. Setelah agak dekat, mereka melihat pula puncak atap istana
di Pulau Es, maka legalah hati mereka.
Hati Sin Liong mulai berdebar tegang ketika perahunya sudah menepel di
Pulau Es. Keadaannya begitu sunyi.
Sunyi dan mati! Tidak kelihatan seorang pun di pantai, bahkan tidak tampak
sebuah perahu pun. Dan bukit-bukit es
tidak seperti biasanya, kacau balau tidak karuan dan berubah bentuknya!
Dengan hati tidak enak kedua orang muda
itu belari-lari ketengah pulau. Makin ke tengah, makin pucat wajah
mereka. Tidak ada seorang pun
kelihatan, dan juga pondok-pondok yang biasanya terdapat di sana-sini, sekarang
habis sama sekali. Tidak ada sebuah pun
pondok yang tampak! Seolah-olah semua telah disapu bersih, tersapu
bersih dari pulau itu.
"Auhhhh...!" Swat Hong berdiri dengan muka pucat, kedua kakinya
menggigil. "Mari kita ke
istana, Sumoi!" Sin Liong yang
berkata dengan suara bergetar lalu menyambar lengan sumoinya dan diajaknya dara
itu lari ke dalam istana. Beberapa kali
terdengar Swat Hong mengeluarkan seruan tertahan, dan Sin Liong juga
kaget bukan main. Mereka seperti
memasuki sebuah kuburan! Sunyi, kosong, dan tidak ada bekas-bekasnya tempat
itu didiami manusia! Habis sama sekali,
baik prabot-prabotan istana maupun manusia-manusianya! Tidak tertinggal
sepotong pun benda atau seorang pun
manusia. Habis semua! Ke mana pun mereka lari dan berteriak-teriak
memanggil, yang terdengar hanya gema
suara mereka sendiri! "Oughhh...!!" Swat Hong tidak menahan himpitan
perasaan yang ngeri dan berduka,
tubuhnya tergelimpang dan tentu akan terbanting kalau tidak cepat disambar
oleh Sin Liong. "Sumoi...!"
Akan tetapi suara ini kandas dikerongkongannya dan tanpa disadari pula, kedua
pipi
Sin Liong basah oleh air matanya yang
mengalir deras menuruni kanan kiri hidungnya ketika dia memondong tubuh
sumoinya yang pingsan itu ke dalam
kamar. Akan tetapi dia termangu-mangu ketika tiba di ambang pintu kamar yang
terbuka, karena kamar itu pun kosong
dan bersih, tidak ada sebuah atau sepotong pun prabotannya. terpaksa dia
merebahkan tubuh sumoinya di atas
lantai, dan dia sendiri merebahkan kepala diatas kedua lututnya sambil
menangis. terlampau hebat peristiwa
yang dihadapinya. Pulau Es telah disapu bersih oleh badai! Bersih sama
sekali sehingga agaknya tidak ada seorang pun
manusia yang tertolong, tidak ada sepotong pun barangnya yang
tinggal, kecuali bangunan istana yang
memang amat kuat itu. Setelah siuman, Swat Hong menangis, "Aih,
mengapa..? Mengapa...? ayah, kasihan
sekali Ayah...!" Akhirnya Sin Liong dapat menghibur dan membujuknya.
Mereka berdua lalu mengadakan
pemeriksaan dan mendapat kenyataan bahwa benar-benar Pulau Es telah diamuk
badai.
Agaknya air laut telah naik sedemikian
tinggi sehingga pulau itu teredam air. Mereka menemukan beberapa potong
pakaian yang tersangkut di batu-batu
dan dengan hati terharu penuh kedukaan mereka mengumpulkan pakaian itu,
entah punya siapa, sebagai barang
peninggalan yang amat berharga. Kemudian mereka memeriksa istana. Memang ada
beberapa benda yang masih tertinggal di
dalam kamar di bawah tanah, akan tetapi yang berada di atas, semua
habis dan lenyap. "Suheng, lihat
ini...!" tiba-tiba Swat Hong berkata sambil menunjuk ke dinding. Sin Liong
cepat menghampiri dan keduanya mengenal
goresan tangan Han Ti Ong yang agaknya menggunakan jari tangan yang
penuh tenaga sinkang untuk menulis di
dinding batu itu! "Sin Liong dan Swat Hong, maafkan aku. Thian telah
menghukum aku dan membasmi Pulau Es.
Pergilah kalian mencari wanita jahat itu, rampas kembali semua pusaka. Dan
Bu Ong bukanlah puteraku, dia keturunan
Ki-ong." Pendek saja "surat dinding" itu, namun cukup jelas
isinya. Sin
Liong menarik napas panjang. Kasihan
dia kepada suhunya yang mati meninggalkan dendam itu! "Suheng lihat
ini..." Tak jauh dari tulisan itu
terdapat bekas jari-jari tangan mencengkram dinding. Mudah saja mereka
menggambarkan keadaan Han Ti Ong dan
keduanya tak dapat menahan tangis mereka. Agaknya, dalam menghadapi amukan
badai, Han Ti Ong berhasil menggunakan
tenaganya untuk mempertahankan diri beberapa lamanya dengan mencengkram
dinding dan sempat pula membuat tulisan
itu sebelum kekuatan yang jauh lebih besar dari pada kekuatanya
menyeret keluar dari istana dan bahkan
dari pulau itu! "Kasihan sekali suhu..." Sin Liong menghapus air
matanya. Swat Hong mengepal tinjunya.
"Aku akan mencari perempuan iblis itu, selain merampas kembali pusaka
Pulau Es,juga menghukumnya! Dialah yang
mencelakakan ibuku, yang mencelakakan Ayahku!" Sin Liong menarik napas
panjang. Sudah diduganya ini. Tentu
akan terjadi balas-membalas. Dendam tak kunjung habis! "Sumoi, Suhu hanya
meninggalkan pesan agar kita mencari
kembali pusaka-pusaka itu...." "Kau yang mencari pusaka, aku yang
membunuh
iblis betina itu!" Swat Hong
berseru penuh semangat. "Dan Bu Ong... hemm,apa pula artinya ini? Bukan
putera
ayah?" "Sumoi, tenanglah dan
dengarlah penuturanku. Mungkin hanya aku dan ayahmu saja yang tahu akan nasib
wanita itu, nasib yang amat buruk dan
mengerikan. Tahukah kau apa yang telah dialami oleh The Kwat Lin sebelum
ditolong ayahmu?" Sin Liong lalu
menceritakan keadaan The Kwat Lin yang menjadi gila karena dua belas orang
suhengnya dibunuh orang dan agaknya,
melihat keadaannya, gadis yang tadinya seorang pendekar wanita perkasa itu
telah diperkosa di antara mayat para
suhengnya. "Kurasa demikianlah kejadiannya. Setelah suhu menyatakan bahwa
Bu Ong adalah keturunan Kai-ong,
teringatlah aku. Jelas bahwa The Kwat Lin diperkosa oleh pembunuh dua belas
orang anak murid Bu-tongpai itu,
sehingga anak yang dilahirkannya itu, Han Bu Ong, adalah keturunan Kai-ong
yang memperkosanya dan membunuh para
suhengnya." Mendengar penuturan tentang nasib mengerikan yang dialami ibu
tirinya, Swat Hong bergidik. Akan
tetapi dia mengomel. "Yang berbuat jahat kepadanya adalah Raja Pengemis
itu,
mengapa dia membalasnya kepada ibu? Dan
dia telah menghancurkan penghidupan Ayah. Betapapun juga, aku harus
mencarinya dan membalaskan sakit hati
ibu dan Ayah." Sin Liong maklum bahwa membantah kehendak sumoinya ini
percuma, hanya akan menimbulkan
pertentangan saja. Maka diam-diam dia mengambil keputusan untuk selalu
mendamping sumoinya, selain menjaga
keselamatan dara ini, juga kalau perlu mencegah sepak terjangnya yang
terdorong oleh nafsu dan dendam.
Betapapun juga, setelah Pulau Es dibasmi oleh badai, dara ini kehilangan ayah
bunda, tiada sanak kadang, tiada handai
taulan dan dialah satu-satunya orang yang patut melindunginya, sebagai
suhengnya. Ataukah sebagai calon suami?
Sin Liong tidak mengerti dan tidak berani memutuskan. Biarlah hal
perjodohan itu diserahkan kepada
keadaan kelak. Dia tidak membantah ketika sumoinya mengajaknya meninggalkan
Pulau Es yang telah kosong itu, untuk
mencari ibunya, dan kalalu masih juga tidak berhasil, untuk pergi ke
daratan besar mencari The Kwat Lin.
Beberapa hari kemudian, setelah yakin benar bahwa tidak ada seorang pun di
antara penghuni Pulau Es yang selamat
dan kembali ke pulau itu, Sin Liong dan Swat Hong berangkat meninggalkan
Pulau Es. Ketika perahu kecil yang
mereka dayung itu meluncur meninggalkan pulau, Swat Hong memandang kearah
pulau dengan air mata bercucuran. Juga
Sin Liong merasa terharu dan berduka mengingat akan nasib para penghuni
Pulau Es yang mengerikan itu. Mereka
berdua mendayung perahu menuju ke selatan dan di sepanjang perjalanan ini
mereka menemukan bukti-bukti
kedahsyatan badai dan keanehan alam yang diakibatkan oleh letusan gunung berapi
di
bawah laut itu. Ada pulau yang lenyap
sama sekali , dan ada pula pulau yang baru muncul begitu saja, pulau yang
amat aneh, pulau batu karang yang masih
jelas kelihatan bahwa pulau ini tadinya merupakan dasar laut dengan
segala keindahannya, dengan mahluk
hidup dan tetumbuhannya yang kini semua mengeras menjadi batu karang dengan
bermacam bentuk. Banyak pulau yang
mengalami nasib serupa dengan pulau Es, yaitu menjadi gundul, habis sama
sekali tetumbuhan atasnya. diam-diam
terbayang dalam pikiran Sin Liong betapa dahsyat kekuasan alam. Andaikata
semua lautan yang mengamuk seperti
beberapa hari yang lalu itu, agaknya dunia akan menjadi kiamat! Melihat
keadaan pulau-pulau itu, timbul rasa
khawatir dalam hati Sin Liong tentang keadaan Pulau Neraka. Tentu pulau
itu pun tidak terluput dari amukan
badai, pikirnya. Padahal baru saja pulau itu mengalami penyerbuan Han Ti Ong
dan pasukannya! Sin Liong merasa
kasihan sekali terhadap nasib para penghuni Pulau Neraka. Apakah pulau itu
seperti juga Pulau Es, disapu bersih
dan seluruh penghuninya terbasmi habis? "Agaknya ibumu tidak berada
diantara pulau-pulau ini,"
Beberapa hari kemudian setelah merasa mencari dengan sia-sia, Sin Liong
mengemukakan
pendapat. "Bagaimana kalau kita
mencari ke utara lagi. Siapa tahu kali ini kita berhasil, dan kita dapat juga
bertanya ke Pulau Neraka kalau-kalau
ibumu ke sana." "Hemm, agaknya engkau sudah rindu kepada Soan Cu,
suheng."
Sian Liong mengerutkan alisnya.
"sumoi, kau...cemburu lagi?" Wajah dara itu menjadi merah. "Aku
hanya berkata
sewajarnya." "Sudahlah. Kalau
kau cemburu, kita tidak usah singgah di Pulau Neraka," kata Sin Liong menarik
napas panjang. Hening sejenak dan
mereka telah menghentikan gerakan dayung karena mereka masih belum mendapat
keputusan akan mencari ke mana.
"Kita ke Pulau Neraka!" tiba-tiba Swat Hong berkata.
"Ehhh...??" "Aku harus ke
sana. Aku akan menegur kakek berkepala
besar itu! Pulau Neraka yang menjadi biangkeladi sehingga Ayah
marah-marah kepada kita, hampir saja
kita dibunuhnya. Karena Pulau Neraka telah berani menawanku." "Hemm,
Sumoi. Mengapa kejadian yang telah
lewat dipersoalkan lagi? Bukankah Ayamu telah menyerbu ke sana kurasa Ayahmu
telah menghukum mereka menurut cerita
anak buah pasukan? Kalau begitu, kita tidak perlu pergi ke sana, sumoi."
"Aku harus pergi ke sana!"
dara itu berkeras. Sin Liong menggeleng-geleng kepala. Sukar benar melayani
sumoinya
ini yang memiliki watak aneh dan hati
yang keras sepeti baja. "Aku hanya mau pergi ke Pulau Neraka kalau untuk
mencari ibu, akan tetapi kalau kita
pergi ke sana hanya untuk mencari perkara, aku tidak mau. Kau harus
berjanji tidak akan membuat kekacauan
di sana, sumoi." "Hemmm, agaknya kau berkeinginan keras untuk menjadi
sahabat baik Pulau Neraka, ya? Karena
ada...." "Sumoi, harap jangan bicara yang tidak-tidak. Memang kita
sahabat baik mereka! Lupakah kau ketika
mereka mengantar kita ketika meninggalkan pulau itu? Karena itu, aku
hanya mau pergi ke sana kalau untuk
mencari ibumu dan menjenguk mereka sebagai sahabat, melihat keadaan mereka
setelah ada badai mengamuk." Swat
Hong cemberut, akan tetapi menjawab juga. "Baiklah, kita lihat saja
nanti."
Dan mereka lalu mendayung perahu dengan
cepat menuju ke Pulau Neraka. Akan tetapi, setelah mereka tiba di
daerah Pulau Neraka, mereka menjadi
bingung dan pangling karena didaerah itu telah terjadi perubahan hebat
sekali. Mungkin karena akibat badai
yang mengamuk, yang ternyata mengambil daerah yang amat luas itu, di
sekitar situ telah muncul gunung-gunung
es yang anat besar sehingga Pulau Neraka yang biasanya tampak dari jauh
sebagai raksasa yang tidur itu kini
tidak kelihatan lagi karena semua jurusan terhalang pandangannya oleh
gunung-gunung es. Mereka mendayung
perahu berputar namun tidak dapat keluar dari kurungan gunung-gunung es itu.
"Ahhh, dahulu tidak ada
gunung-gunung es besar seperti ini," kata Swat Hong. "Ini tentu
diakibatkan oleh badai
itu, Sumoi. Biarlah kita mengaso dulu
dan aku akan mencoba melihat keadaan dari puncak sebuah gunung. Kau
tunggu saja di sini."Perahu itu
menempel pada sebuah bukit es yang tinggi dan Sin Liong meloncat ke daratan es.
Kemudian dia menggunakan ilmunya
berlari cepat, mendaki gunung es itu untuk melihat dan mengenali daerah itu
dari atas puncaknya yang tinggi.
Tiba-tiba terdengar suara gerengan keras sekali yang mengguncangkan seluruh
gunung es itu. Sin Liong terkejut dan
dengan cepat dia menoleh untuk melihat apa yang mengeluarkan suara
seperti itu. Dari jauh tampak olehnya
seekor beruang besar sedang menggerakkan kedua kaki depanya ke arah
burung-burung yang menyambar-nyambar di
atasnya. Burung-burung nazar (burung botak pemakan bangkai) yang
besarbesar beterbangan di atas biruang
itu dan menyerangnya dari atas sambil mengeluarkan suara pekik
mengerikan. Melihat ini, Sin Liong
cepat berlari mendekati. Ternyata beruang itu terluka parah juga di beberapa
bagian anggauta badannya, sedangkan di
bawah kakinya tampak bangkai seekor ular laut yang besar. Jelaslah bahwa
biruang itu tadi berkelahi dengan ular
laut itu dan dia menang, akan tetapi dia menderita luka-luka dan
burung-burung nazar yang kelaparan itu
kini hedak mengeroyoknya dan tentu saja ingin makan bangkai ular besar.
Sin Liong segera menggunakan salju yang
digenggam untuk menyambiti burung-burung itu. Terdengar suara
plak-plok-plak-plok disusul suara
burung-burung nazar berkaok-kaok kesakitan dan mereka terbang ketakutan
menjauhi tempat itu karena setiap kali
terkena sambitan salju, terasa nyeri sekali. Dengan beberapa loncatan
saja Sin Liong sudah tiba di depan
biruang itu. Beruang yang berkulit hitam dan amat besar itu menyeringai dan
mengerang, memperlihatkan gigi
bertaring yang amat runcing kuat dan lidah yang merah. Matanya terbelalak penuh
kecurigaan dan kemarahan kepada Sin
Liong. "Tenanglah, aku datang untuk menolongmu," kata Sin Liong
sambil maju
lebih dekat. "Auuughh..!"
Beruang itu menggerang dan kaki depan yang kiri menyambar kearah dada Sin
Liong.
Melihat betapa telapak kaki itu
berdarah, Sin Liong mengelak dan cepat menangkap pergelangan kaki depan itu.
Kiranya telapak kaki itu tertusuk
tulang dan masuk amat dalam. Agaknya dalam perkelahian melawan ular laut,
beruang itu mencengkram tubuh ular dan
sedemikian kuatnya dia mencengkeram sampai tulang punggung ular patah
dan menusuk ke dalam daging di telapak
kaki depan itu, Sin Liong segera mencabut tulang itu. Darah mengucur
deras dan dia segera membalut dengan
saputangannya. Beruang itu kini tidak marah lagi. Agaknya dia cerdik dan
dapat mengerti bahwa orang yang datang
ini bukan musuh, bahkan menolongnya. Kaki depan yang terluka itu kini
tidak nyeri lagi dan tentu saja ,
karena yang membuat dia tersiksa rasa nyeri tadi adalah karena tulang yang
menancap itu. "Coba kuperiksa, apa
lagi yang perlu kuobati," Sin Liong berkata dan dia memeriksa luka-luka di
tubuh beruang itu. Ada sebuah luka di
tengkuk yang membengkak. Tahulah Sin Liong bahwa luka ini cukup
berbahaya, kalau tidak lekas diberi
obat yang cocok akan dapat membahayakan nyawa beruang itu. "Hemmm, aku
harus mencarikan daun obat untuk
luka-lukamu,"katanya, lupa bahwa beruang itu tentu saja tidak mengerti apa
yang dia katakan. "Hai, Suheng,
ada apakah?" Tiba-tiba terdengar teriakan dari atas. Sin Liong menoleh dan
melihat Sumoinya turun berlari-lari
cepat sekali.Setelah dekat, beruang itu menggerang dan memandang Swat Hong
dengan marah. "Huh, binatang
buruk!" Swat Hong memaki. "Dia terluka cukup berat, akan tetapi dia
menang
berkelahi melawan ular laut itu. Lihat,
betapa besarnya ular itu, Sumoi. Beruang itu kuat sekali. Aku harus
mengobatinya sampai sembuh." Swat
Hong mengerutkan alisnya, "Perlu apa menolong binatang buas seperti itu,
Suheng? Membuang-buang waktu
saja." "Dia tidak buas lagi, sumoi. lihat betapa jinaknya. Dia pun
mahluk hidup
yang perlu kita tolong. Aku merasa
kasihan kepadanya,sumoi." "Wah, kau lebih mementingkan dia..."
"Hei..., ada
apa engkau...?" Tiba-tiba Sin
Liong berteriak melihat beruang itu menggereng-gereng dan menarik-narik
tangannya, seolah-olah hendak mengajak
Sin Liong pergi dari situ! Beruang itu makin keras menggereng dan makin
kuat menariknya. Diam-diam Sin Liong
kagum bukan main. Tenaga beruang ini luar biasa besarnya, dan kiranya dia
hanya akan dapat menandingi tenaga
raksasa ini kalau dia menggerakan sinkang sekuatnya! Akan tetapi tiba-tiba
dia mendapat firasat tidak baik melihat
sikap beruang itu, maka disambarnya tangan sumoinya dan dia berteriak.
"Awas, sumoi. Mari pergi, dia
menghendaki demikian, entah mengapa?"
</P>
<P>
Sin Liong memegang erat-erat lengan
sumoinya dan membiarkan dirinya diseret oleh biruang itu. Binatang itu
mengajaknya setengah paksa berlompatan
dan berlarian ke gunung es yang lain yang berdekatan. Baru saja mereka
melompat ke atas gunung es lain itu,
tiba-tiba terdengar suara keras dan gunung es dimana mereka berada tadi
telah pecah berantakan menjadi
keping-keping kecil. Kiranya gunung es itu ditabrak oleh gunung es yang lain
dan
hal ini agaknya telah diketahui oleh si
Beruang tanpa melihat datangnya gunung es yang tak tampak dari situ.
Ternyata binatang itu hanya
diperingatkan oleh nalurinya yang tidak ada pada manusia! Sin Liong berdiri
dengan
muka pucat, kemudian dia merangkul
beruang itu. "Terima kasih, kakak beruang. Kiranya engkau malah
menyelamatkan kami berdua." Akan
tetapi Swat Hong merasa tidak senang. "Suheng, mari kita segera pergi dari
sini. Tempat ini amat berbahaya. Lihat,
gunung es tadi hancur dan itu kelihatan dari sini perahu kita. Untung
tidak hilang. Marilah, suheng."
"Nanti dulu, sumoi. Aku harus mencarikan daun obat untuk mengobati
luka-luka di
tubuh beruang ini." "Ah,
perlu apa? Kita bisa celaka di sini..." "Sumoi, dia telah
menyelamatkan nyawa kita!"
"Hemm, begitukah? Engkau pun tadi
telah menyelamatkan nyawanya ketika kau mengusir burung-burung nazar itu,
bukan? Aku melihat dari jauh. Berarti
sudah terbalas semua budi, bukan Marilah, Suheng." "Tidak, sumoi.
Kita
tinggal di sini dulu sampai aku selesai
mengobatinya." Swat Hong menjadi marah. "Agaknya kau lebih sayang
biruang betina ini dari pada aku!"
"Sumoi...!" Akan tetapi Swat Hong sudah berlari pergi, berloncatan di
atas
pecahan es dan menuju ke perahu mereka,
meloncat ke dalam perahu dan mendayung perahu itu pergi dari situ! Sin
Liong menjadi bingung dan hampir
membuka mulut menegur, akan tetapi karena maklum bahwa hal itu percuma saja,
dia membatalkan niatnya.
"Ngukkk... nguuuuukkk...." Beruang itu mendengus-dengus dan menciumi
kepalanya. "Ahhh,
Enci (Kakak Perempuan) beruang, betapa
sukarnya menyelami watak wanita. Aku telah membuat hatinya kecewa dan
marah, akan tetapi bagaimana hatiku
dapat tega meninggalkan engkau yang terancam bahaya maut oleh lukamu?" Sin
Liong lalu mengajak beruang itu mencari
daun. Karena perahu sudah dibawa pergi Swat Hong, Maka terpaksa dia
mencari pulau yang masih ada
tetumbuhannya dengan jalan berloncatan dari batu es lainnya, dan kalau jaraknya
terlalu jauh, beruang itu
menggendongnya dan membawanya berenang ke batu es lainya atau kadang-kadang Sin
Liong
menggunakan sebongkah es yang
mengambang sebagai perahu, didayung dengan tangannya yang kuat. Akhirnya,
setelah
melalui perjalanan yang amat sukar,
dapat juga dia menemukan pulau yang masih ada tetumbuhannya dan di pulau
kecil itu, mulailah dia mengobati luka-luka
beruang itu sampai sembuh. Pada suatu hari dia melihat sebuah
perahu kosong terbalik mengambang tidak
jauh dari pulau. Dia merasa girang sekali. Cepat menyuruh beruang
mengambilnya dan hatinya terharu ketika
mengenal perahu itu sebagai sebuah di antara perahu pulau es. Tentu
penumpangnya telah lenyap ditelan
badai, pikirnya. Dia lalu membuat dayung dari cabang pohon dan setelah
biruang hitam itu sembuh benar, dia
lalu melompat ke perahu dan mendayungnya meninggalkan pulau. Akan tetapi
tiba-tiba beruang itu terjun ke air dan
berenang mengejar perahunya. "Heii, kakak beruang, kembalilah. Engkau
sudah sembuh, dan aku harus pergi
mencari sumoi!" "Nguuuk...nguukk...!" Beruang hitam itu
mengeluarkan suara
mengeluh dan mukanya seperti orang
menangis! Sin Liong tersenyum. "Hmm, kau hendak ikut, ya? Nah, loncatlah
ke
atas!" Seolah-olah mengerti arti
kata-kata Sin Liong, biruang itu lalu meloncat ke dalam perahu kini mukanya
kelihatan berseri, matanya
bersinar-sinar dan lidahnya terjulur keluar seperti sikap seekor anjing yang
kegirangan. "Kau boleh ikut sampai
aku dapat menemukan kembali sumoi!" kata Sin Liong. "Kalau sumoi
tidak
menghendaki kau ikut, kau harus kutinggalkan
karena kau telah sembuh." Demikianlah, Sin Liong kini melanjutkan
perjalanan mencari Pulau Neraka. Dari
puncak sebuah gunung es, dia dapat melihat dari jauh dan kini dia tahu di
mana letaknya Pulau Neraka. Beruang
yang kini menggantikan tempat Swat Hong, menjadi temannya berlayar itu
kelihatan girang sekali ketika perahu
meluncur dan binatang ini telah jinak benar-benar. Setelah kini dia
mengenal kembali keadaan dan tahu di
mana letaknya Pulau Neraka, perjalanan dapat dilakukan dengan cepat.
Setelah dekat dengan Pulau Neraka, dia
menyaksikan suatu yang membuatnya terheran dan merasa tegang. Sebuah
perahu besar kelihatan mendarat di
Pulau Neraka. Jelas bukan perahu Pulau Neraka yang kecil-kecil. Perahu itu
besar sekali, perahu layar yang hanya
dipergunakan untuk pelayaran jauh. Dan perahu itu pun dalam keadaan
payah, jelas kelihatan bekas diamuk
badai. Tiang layarnya patah, layarnya cabik-cabik dan perahu itu tidak ada
orangnya sama sekali, berdiri miring di pantai
Pulau Neraka. Apakah yang telah terjadi di Pulau Neraka?
Ternyata bahwa seperti juga pulau lain.
Pulau Neraka tidak luput dari amukan badai. Hanya karena letaknya agak
jauh dari pusat amukan badai, maka
penderitaannya tidak sehebat pulau lain, terutama Pulau Es. Air juga naik
tinggi dan menenggelamkan setengah
bagian pulau ini, banyak pula penghuninya yang tidak keburu lari ke tempat
tinggi, diseret dan ditelan badai.
Perahu-perahu lenyap, pohon-pohon yang berada di tepi pantai bobol semua.
Dan setelah badai mereda, sebuah perahu
besar terdampar di tepi pantai.Perahu itu adalah perahu bajak laut!
Setelah air menyurut, para bajak laut
yang terdiri-dari dua puluh lima orang itu segera mendarat. Mereka itu
kelelahan dan kelaparan, bahkan ada
lima orang di antara mereka tewas ketika badai mengamuk sehingga jumlah
mereka hanya tinggal dua puluh lima
orang itulah. Mereka mendarat di kepalai oleh raja bajak yang memimpin
mereka, raja yang amat terkenal di
sepanjang pantai muara-muara sungai Huangho dan Yangce. Kepala bajak ini
adalah seorang laki-laki tinggi besar
yang buta sebelah matanya. Mata kiri yang buta karena tusukan pedang
lawan dalam pertandingan, kini ditutupi
oleh sebuah kain hitam sehingga ia kelihatan lebih menyeramkan lagi.
Tubuhnya tinggi besar dan di antara
para nelayan dan pedagang yang suka berperahu, dia dikenal sebagai
Tok-gan-hai-liong (Naga Laut Mata Satu)
dan namanya adalah Koan Sek. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa perahu
mereka yang diamuk oleh badai dahsyat
itu telah mendarat di Pulau Neraka! Andaikata mereka tahu juga, mereka
tentu tidak merasa takut karena pada
waktu itu, nama Pulau Neraka hanya dikenal oleh Orang-orang Pulau Es.
Untuk dunia ramai, yang dikenal
hanyalah Pulau Es, yang dikenal sebagai tempat yang hanya terdapat dalam sebuah
dongeng. Betapapun juga, Pulau Es
merupakan nama yang ditakuti oleh semua orang termasuk para bajak. Akat
tetapi karena pulau dimana perahu
mereka mendarat bukanlah Pulau Es, melainkan pulau yang hitam penuh
tetumbuhan, mereka menjadi berani dan
setelah badai mereda dan air menyurut, mereka lalu menyerbu ke tengah
pulau. Untung bagi mereka bahwa badai
yang amat dahsyat itu membuat air laut naik dan mengamuk di daratan pulau
sehingga binatang-binatang berbisa pun
menjadi panik dan ketakutan, lari bersembuyi dan belum berani keluar.
Andaikata mereka itu berani menyerbu
pulau dalam keadaan biasa tentu mereka akan menjadi korban
binatang-binatang itu dan sukarlah
dibayangkan apa akan jadinya. Mungkin sekali tidak ada diantara mereka yang
akan dapat lolos betapapun liar, ganas
dan lihai mereka itu. Dapat dibayangkan betapa heran dan girangnya hati
para bajak itu ketika mendapat
kenyataan bahwa di tengah pulau itu terdapat pondok-pondok yang dibuat oleh
manusia! Akan tetapi keheranan mereka
segera berubah menjadi kekagetan hebat ketika para penghuni pulau itu
menyambut mereka dengan serangan
dahsyat tanpa peringatan apa-apa. Karena mereka adalah bajak-bajak yang sudah
biasa berkelahi dan mengadu nyawa, maka
serbuan para penghuni Pulau Neraka itu mereka sambut dengan gembira.
mereka mengira bahwa penghuni pulau itu
adalah orang-orang biasa saja. Maka besar sekali kekagetan mereka
ketika mendapat kenyataan betapa kurang
lebih dua puluh orang, yaitu sisa penghuni Pulau Neraka yang tidak
dibasmi oleh badai, yang berani
menyambut mereka dengan serangan itu rata-rata memiliki kepandaian hebat!
Terjadilah perang tanding yang seru dan
matimatian. Bajak laut pimpinan Tok-gan-hai-liong itu pun bukan
orang-orang biasa melainkan
penjahatpenjahat pilihan yang selain kuat dan ganas, juga rata-rata pandai ilmu
silat. Apalagi Tok-gan-hai-liong
sendiri bersama seorang pembantu yang sebetulnya adalah sutenya (adik
seperguruan) sendiri yang bernama Coa
Liok Gu, seorang ahli pedang yang lihai sekali. Sedangkan
Tok-gan-hai-liong Koan Sek sendiri
adalah seorang ahli bermain senjata ruyung yang ujungnya merupakan sebuah
bola baja yang berat dan keras. Para
penghuni Pulau Neraka masih terguncang oleh amukan badai, bahkan ketua
mereka, Ouw Kong Ek, sedang menderita
sakit hebat. Semenjak penyerbuan pasukan Pulau Es yang dipimpin oleh Han
Ti Ong, Ouw Kong Ek jatuh sakit.
Mungkin karena dia merasa terlalu marah, dan mungkin juga karena usianya yang
sudah tua. Pernyerbuan dari Pulau Es
itu merupakan hal yang amat menyakitkan hatinya, dan juga hati para
penghuni Pulau Neraka, mendatangkan
rasa dendam yang lebih mendalam. Apalagi melihat betapa catatan pengobatan
dari Kwa Sin Liong telah dihancurkan
oleh Han Ti Ong, hati Ouw Kong Ek merasa sakit sekali. Untung masih ada
beberapa macam obat yang hafal olehnya,
akan tetapi sebagian besar telah dibasmi oleh Raja Pulau Es yang marah
itu. Pada saat bajak laut menyerbu, Ouw
Kong Ek tidak dapat bangun dari tempat tidurnya. Dia dijaga dan dirawat
oleh cucunya, Ouw Soan Cu. Maka dapat
dibayangkan betapa kaget hati kakek ini ketika ada anak buahnya yang
datang melapor bahwa pulau yang baru
saja diamuk badai itu kini disebu oleh sepasukan bajak laut yang ganas dan
rata-rata memiliki kepandaian tinggi!
"Keparat...!" Kakek itu meloncat bangun akan tetapi terguling kembali
dan
Soan Cu segera memegang lengan
kakeknya, membantunya untuk rebah kembali. "Tenanglah, Kong-kong! Biarlah
aku
yang keluar untuk membantu teman-teman
membasmi bajak laut yang tidak tahu diri itu." Ouw Kong Ek terpaksa
hanya mengangguk karena dia sendiri
masih tidak kuat untuk bangun, apalagi bertempur. "Hati-hatilah, Soan
Cu..." Dia percaya akan kepandaian
cucunya yang tentu akan dapat mengusir bajak-bajak laut yang biasanya hanya
terdiri orang-orang kasar itu. Dengan
pedang di tangan Soan Cu lalu berlari keluar. Melihat anak buahnya sudah
bertanding mati-matian melawan
bajak-bajak yang ganas, apalagi melihat seorang wanita Pulau Neraka digeluti
oleh dua orang laki-laki kasar sampai
wanita itu menjerit-jerit namun dua orang laki-laki itu malah
tertawa-tawa dan merobek-robek pakaian
wanita itu, Soan Cu menjadi marah sekali. Dia mengeluarkan teriakan
marah, tubuhnya yang ramping mencelat
ke depan, pedangnya menyambar dan dua orang bajak yang sedang memperkosa
wanita itu roboh dengan leher terkuak
lebar dan hampir putus! Wanita itu cepat membereskan pakaiannya,
menyambar goloknya dan seperti seekor
harimau kelaparan dia membacoki tubuh dua orang bajak tadi. Melihat sepak
terjang Soan Cu yang kembali sudah
merobohkan dua orang bajak, Tok-gan-hailiong Koan Sek dan Coa Liok Gu,
dibantu oleh beberapa orang bajak lain
cepat mengepung dan mengeroyoknya. Namun Soan Cu mengamuk hebat dan
pedangnya berubah segulung sinar terang
yang menyambar Dahsyat, membuat dua orang pimpinan bajak itu terkejut
dan harus memainkan senjata dengan
hati-hati sekali agar jangan sampai mereka menjadi korban kedahsyatan sinar
pedang yang dimainkan oleh dara itu.
"Lepas tulang ikan!!" Tiba-tiba kepala bajak itu memberi aba-aba
kepada
sutenya dan mereka berdua telah
meloncat mundur, membiarkan anak buah mereka yang empat orang banyaknya
melanjutkan pengeroyokan, sedangkan
mereka berdua lalu mengayun tangan berkali-kali ke arah Soan Cu. Sinar
lembut bertubi-tubi menyambar ke arah
Soan Cu dari depan dan belakang. Dara ini memandang rendah senjata
rahasia mereka. Dia adalah Seorang dara
Pulau Neraka sudah terlalu banyak racun dikenalnya bahkan dia telah
menggunakan obat anti racun maka dia
tidak terlalu khawatir ketika sebuah di antara senjata rahasia lawan yang
lembut itu mengenai pahanya. Akan
tetapi, betapa kagetnya ketika dia merasa kakinya itu setengah lumpuh dan
begitu dia menggerakan pedang, tubuhnya
terhuyung, kepalanya pening. "Aihhh...!" Dia berseru nyaring, lebih
merasa heran daripada khawatir. Dara
ini tidak tahu bahwa lawannya menggunakan am-gi (senjata gelap) berupa
tulang berbentuk duri dari sirip
semacam ikan laut yang berbisa. Bisa dari ikan laut ini tentu saja tidak dapat
disamakan dengan bisa dari binatang
darat, maka bisa yang asing ini tidak dapat ditolak oleh obat anti racun
yang dipakainya. "Sute, tangkap
nona manis ini...!" Teriak Koan Sek dengan girang. Akan tetapi tiba-tiba
terdengar suara gerengan yang dahsyat
dan yang membuat mereka kaget bukan main. Dua orang bajak yang mendengar
suara itu dekat sekali dibelakang
mereka menengok dan... mereka itu terjengkang dan merangkak untuk melarikan
diri dengan ketakutan. Kiranya yang
menggerang itu adalah seekor binatang raksasa hitam yang menakutkan. Seekor
beruang yang lebar moncongnya cukup
untuk mencaplok kepala mereka sekaligus! Sin Liong yang datang bersama
biruang itu cepat meloncat mendekati
Soan Cu merampas pedang dari tangan dara itu dan memondongnya dengan
tangan kiri, kemudian sekali meloncat
dia telah berada di punggung biruang, lengan kiri memeluk dan menjaga
tubuh Soan Cu yang dipangkunya karena dara
itu telah menjadi pingsan sedangkan tangan kanan menggerakan pedang
dara itu sambil beseru "Kakak
biruang, lawan mereka yang berani mendekat!" Biruang itu menggereng-gereng
dan
ketika melihat dari kiri ada sinar
menyambar, yaitu sinar pedang yang digerakan oleh Coa Liok Gu sute dari
kepala bajak, tiba-tiba kaki depan kiri
yang kini dipergunakan seperti tangan itu bergerak menangkis, bukan
menangkis pedang melainkan mencengkram
kepala Coa Liok Gu. Tentu saja orang ini kaget dan sekali merendahkan
tubuh, membalikan pedang dan siap untuk
menyerang lagi. Begitu lengan biruang itu menyambar lawan, dia meloncat
ke atas dan menusukan pedangnya
mengarah bagian antara kedua mata biruang itu. "Cringgg...!!"
Pedangnya
terpental dan dia harus cepat melempar
tubuh ke belakang kalau tidak ingin dadanya robek oleh cakar biruang
setelah pedangnya ditangkis oleh Sin
Liong tadi. "Siuuuut...!!" Senjata ruyung berujung baja di tangan
Koan Sek
sudah bergerak menyambar dengan ganas,
menghantam punggung biruang hitam dengan kecepatan kilat dan dengan
tenaga dahsyat. "Cringgg...!
Tranggg...!!" Dua kali senjata berat itu ditangkis oleh Sin Liong dan dua
kali
pula kepala bajak itu berseru kaget
karena telapak tangannya hampir terkupas kulitnya dan terasa panas dan
perih. Pada saat dia terbelalak dan
terheran, biruang itu sudah membalikan tubuh dan sekali kaki depannya yang
kanan menampar, kepala bajak itu
mencoba menangkis, namun senjatanya terlepas dari pegangannya dan biruang itu
sudah menubruknya dan mencengkram ke
arah lehernya. "Kakak biruang, jangan ...!" Sin Liong membentak.
Biruang
itu terkejut dan ragu-ragu sehingga
kesempatan itu dapat dipergunakan oleh Koan Sek untuk meloncat jauh
kebelakang. Dia dan pembantu utamanya,
Coa Liok Gu berdiri dengan muka pucat memandang pemuda yang menunggang
biruang itu membawa pergi tubuh dara
jelita yang pingsan. Biarpun pedang masih berada di tangannya, Coa Liok Gu
tidak lagi berani menyerang karena dia
maklum bahwa selain biruang raksasa itu amat kuat, juga pemuda itu
memiliki kepandaian yang luar biasa
sekali. Sin Liong merasa bingung dan gelisah menyaksikan pertempuran hebat
itu. "Hentikan
pertempuran...!" Dia berseru berkali-kali namun percuma saja, para bajak
laut dan penghuni Pulau
Neraka adalah orang-orang kasar yang
pada saat itu sedang marah, maka sukar untuk dibujuk. Tiba-tiba terdengar
suara melengking tinggi dan panjang dan
suara itu segera disusul suara berdengungdengung dan berdesis-desis.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati
Sin Liong ketika dia melihat datangnya binatang-binatang kecil yang
berbisa. Ular, kelabang, kalajengking
dan sebangsanya berdatangan dari semua penjuru, merayap cepat seolah-olah
digerakan oleh suara melengking iru,
dan yang lebih mengerikan lagi, lebah-lebah putih datang pula beterbangan!
Saking kagetnya Sin Liong melompat turun dari punggung biruang dan kini
biruang itu pun terkejut dan ketakutan,
seolah-olah binatang raksasa ini sudah
mengerti bahwa bahaya maut datang mengancamnya. "Uhhh... apa yang
terjadi...?" Soan Cu mengeluh dan
siuman dari pingsannya. Melihat dara itu sudah siuman. Sin Liong agak lega.
"Bagaimana lukamu?"
"Nyeri sekali, panas... eh, siapa yang memimpin binatang-binatang berbisa
itu?" Soan Cu
turun dari pondongan Sin Liong. "Cepat
pergunakan obat penolak ini..." Dia mengeluarkan sebungkus obat penolak
dari ikat pinggangnya. Setelah
menaburkan obat bubuk di sekeliling mereka bertiga, yaitu Soan Cu, Sin Liong
dan
biruang betina, Soan Cu berkata lagi,
"Sin Liong tolong... kau tangkap Si Mata Satu itu...aku membutuhkan obat
penawar racun am-gi-nya (senjata
gelapnya)...." Melihat betapa wajah dara itu pucat sekali tanda menderita
kenyerian hebat, Sin Liong maklum bahwa
tentu dara itu terkena senjata rahasia yang mengandung racun luar biasa
sekali. Maka tanpa menjawab tubuhnya
mencelat kearah Koan Sek yang masih bengong memandang ke depan, matanya
terbelalak ketika melihat betapa anak
buahnya mulai menjadi korban pengeroyokan binatang-binatang berbisa. Maka
ketika tubuh Sin Liong menyambar, dia
terkejut sekali, mengira bahwa pemuda itu akan menyerangnya. Dia tadi
sudah mengambil kembali senjatanya,
maka tanpa banyak cakap lagi dia sudah mengayun senjatanya menghantam ke
arah Sin Liong. Pemuda ini tadi
melepaskan pedangnya, melihat betapa dia disambut serangan dahsyat, cepat dia
miringkan tubuhnya, membiarkan senjata
berat itu lewat dan secepat kilat kedua tangannya menyambar dan
sebelumnya Koan Sek tahu apa yang
terjadi, senjatanya telah terampas dan dibuang oleh pemuda itu sedangkan
tubuhnya sudah diangkat dan dipanggul
seperti seorang anak kecil saja. Percuma dia meronta, karena pemuda itu
sudah meloncat seperti terbang, kembali
ke dalam lingkaran obat penolak yang ditaburkan Soan Cu. Koan Sek
menggigil. Selain dia maklum betapa
lihainya pemuda ini, juga dia merasa ngeri sekali menyaksikan apa yang
terjadi di luar lingkaran obat bubuk
itu. Terdengar jerit dan pekik mengerikan. Orang-orang Pulau Neraka telah
mundur dan menonton sambil sambil
tertawa-tawa. Akan tetapi anak buah bajak laut itu menghadapi penyerangan
binatang-binatang berbisa dan sama
sekali mereka tak berdaya. Apalagi penyerangan lebah-lebah putih membuat
mereka panik. Mengerikan sekali melihat
mereka berkelojotan merintih-rintih dan menangis mengerung-ngerung
karena tidak tahan menderita rasa nyeri
yang menyengati sekujur tubuh. "Cepat bertindak, halau mereka, Soan
Cu!" Sin Liong berkata dengan alis
berkerut. Biarpun yang dikeroyok binatang-binatang itu adalah kaum bajak,
namun dia tidak dapat menyaksikan
peristiwa mengerikan itu. Soan Cu menggeleng kepala. "Tak mungkin. Mereka
digerakan oleh suara melengking
itu..." "Suara apa itu? Siapa yang membunyikan?" Soan Cu
tersenyum dan
menggigit bibirnya menahan rasa nyeri.
Pahanya seperti dibakar dan rasa nyeri menusuk-nusuk jantung. "Siapa
lagi? Satu-satunya orang yang dapat
melakukannya hanyalah Kong-kong... augghh ..." Dara itu roboh pingsan lagi
dalam rangkulan Sin Liong. "Aduh
celaka..., binatang-binatang itu...." Tok-gan-hai-liong Koan Sek menggigil
dan
dia hendak lari dari tempat itu ketika
melihat bagaimana pembantunya, Coa Liok Gu, sudah sibuk memutar pedang
untuk berusaha mengusir lebah-lebah
putih yang mengeroyoknya. "Kalau kau keluar dari sini, engkau pun akan
mengalami nasib yang sama," Kata
Sin Liong, menunjuk ke arah lingkaran putih dari obat penolak.
"Binatang-binatang itu tidak
berani memasuki lingkaran ini." Koan Sek memandang dan matanya terbelalak
ngeri
melihat betapa ular-ular beracun yang
bermacammacam warnanya itu benar saja membalik lagi ketika mendekati
garis lingkaran. Bahkan lebah-lebah
putih yang terbang dekat, agaknya mencium bau penolak itu dan mereka itu
pun terbang membalik, mengamuk dan
menyerang para bajak yang berada di luar lingkaran. Saking ngerinya melihat
betapa Coa Liok Gu menjerit dan roboh
karena kakinya tergigit seekor ular, kemudian betapa pembantunya yang
juga merupakan sutenya melolong-lolong
dan bergulingan, dikeroyok banyak sekali binatang yang mengerikan,
kepala bajak ini tak dapat lagi menahan
dirinya dan dia menjatuhkan diri berlutut! Sin Liong sendiri merasa
ngeri menyaksikan peristiwa yang
terjadi disekelilingnya. Kalau saja dia dapat melihat Ouw Kong Ek, tentu dia
akan meloncat dan memaksa kakek itu
menghentikan pekerjaanya yang kejam, membunuh para bajak seperti itu. Akat
tetapi celakanya, suara itu melengking
tinggi dan sukar diketahui dari mana datangnya, bahkan kakek itu pun
tidak tampak. pula, mana mungkin dia
berani meninggalkan Soan Cu yang pingsan itu bersama kepala bajak? Maka
pemuda ini merasa seperti disayatsayat
jantungnya menyaksikan pembunuhan yang amat kejam itu, melihat betapa
dua puluh empat orang bajak menemui
kematian secara mengerikan, berkelojotan dan melolong-lolong, akhirnya
suara jeritan mereka makin lemah dan
berubah seperti suara binatang disembelih, kemudian tubuhnya tidak
berkelojotan lagi dan binatang-binatang
kecil berbisa yang kelaparan itu masih menggerogoti kulit dan daging
mereka! Kemudian tampaklah Ouw Kong Ek, Tocu Pulau Neraka. Kakek ini
datang ke tempat itu sambil merangkak
dengan susah payah, tubuhnya kelihatan
lemah dan kurus, mukanya pucat dan sambil merangkak itu dia meniup
sebatang alat tiup terbuat daripada
batang alang-alang, menyerupai suling kecil. Pantas saja suaranya
melengking tinggi dan aneh. Beberapa
orang anggauta Pulau Neraka segera maju dan mengangkat ketua mereka,
memapahnya datang dan kini
binatang-binatang itu berangsur-angsur merayap pergi setelah Ouw Kong Ek
merobah
merobah suara tiupan sulingnya. Akhirya
yang tinggal hanya mayatmayat dua puluh empat orang bajak dalam keadaan
mengerikan, dan mayat tujuh orang
penghuni Pulau Neraka yang tewas dalam pertempuran. "Ahhh, engkau pula
yang
menolong cucuku, Taihiap?" Ouw
Kong Ek dituntun anak buahnya datang mendekat. Sin Liong mengerutkan alisnya.
"To-cu, engkau sungguh kejam,
membunuh mereka seperti itu." Kakek itu terbelalak. "Aku? kejam? Dan
mereka
ini...?" Dia menuding ke arah
mayat-mayat para bajak laut. "Dan...hei, siapa dia ini? Ah, bukankah dia
ini
pemimpin mereka?" Ouw Kong Ek
sudah melangkah maju menghampiri Koan Sek yang berdiri dengan muka pucat.
"Tahan
dulu, Tocu! Memang dia pemimpin bajak,
akan tetapi nyawa cucumu berada didalam tangannya!" "Soan
Cu...!" Ouw
Kong Ek memandang tubuh dara yang
dipondong oleh Sin Liong dan berada dalam keadaan pingsan itu. "Mengapa
dia?"
"Terkena senjata beracun."
Kemudian dia memandang Koan Sek dan membentak, "hayo kauberikan obat
penawar senjata
gelapmu!" Tok-gan-hai-liong Koan
Sek adalah seorang yang sudah berpengalaman, seorang yang menjelajah di dunia
kang-ouw, maka dia tentu saja cerdik
sekali. Tadi ketika menyaksikan betapa semua anak buahnya, juga sutenya,
tewas secara mengerikan, dia ketakutan
setengah mati dan kehilangan akalnya. Akan tetapi sekarang setelah dia
melihat kesempatan untuk menolong diri,
timbul kembali keberaniannya dan dia tersenyum. "Agaknya kita telah
salah masuk. Tidak tahu pulau apakah
ini dan siapa kalian ini?" tanyanya kepada Sin Liong karena dia merasa
jerih sekali menghadapi pemuda yang dia
tahu amat lihai dan sama sekali bukan tandingannya itu. "Kau belum
tahu? Ini adalah Pulau Neraka dan dia
itu adalah ketuanya." Dia menuding kepada Ouw Kong Ek. "Sedangkan
Nona
ini adalah cucunya. Maka kau harus
cepat memberikan obat penawarnya." "Ha-ha, mudah saja! Mudah saja
memberi
obat penawarnya. Aihh, kiranya kami
telah memasuki sebuah pulau iblis dengan penghuni-penghuninya seperti iblis
pula! Benar-benar kami telah membuat
kesalahan besar! Orang muda, mudah saja mengobati luka Nona ini, akan
tetapi bagaimana dengan aku sendiri?
Anak buahku telah tewas semua dan aku dalam cengkraman kalian!"
"Engkau...
engkau akan kusiksa, kucincang sampai
hancur!" Ouw Kong Ek membentak. "Ha-ha-ha, boleh! Lakukan sekarang,
karena aku tidak takut mati setelah aku
melihat bahwa aku mempunyai banyak teman terutama sekali cucumu. Kalau
orang tidak lagi menyayangkan kematian
seorang dara jelita muda remaja seperti dia ini, apalagi kematian
seorang tua bangka seperti aku.
Ha-ha-ha! biarlah aku mati ditemani oleh dara remaja ini!" Ouw Kong Ek
sudah
marah sekali, kedua tangannya dikepal
sehingga suling batang alang-alang itu hancur di tangannya. Melihat
kemarahan ketua Pulau Neraka itu, Sin
Liong Berkata, "Ouw-tocu apa yang dikatakan benar. Sudah kuperiksa luka
cucumu dan ternyata dia terkena racun
yang aneh sekali yang belum pernah aku melihatnya. Maka, biarlah kita
menukar keselamatannya dengan
keselamatan Soan Cu. Betapapun juga , nyawa Soan Cu jauh lebih berharga dari
pada
kehidupan seorang sesat seperti
dia." "Ha-ha-ha , itu baru omongan yang tepat!"
Tok-gan-hai-liong Koan Sek yang
merasa "mendapat angin"
berkata dengan dada dibusungkan. Dia tidak takut lagi sekarang. Nyawa cucu
ketua Pulau
Es berada di tangannya. Apalagi yang
ditakutinya? "Iblis keparat! Hayo kauberikan obat untuk cucuku dan kau
boleh minggat dari sini!"Ouw Kong
Ek membentak. "Ha-ha-ha, aku Tok-gan-hai-liong Koan Sek bukan seorang
tolol."
Dia lalu menoleh kepada Sin Liong.
"Orang muda apakah kedudukanmu di Pulau Neraka ini?" Dia memang tidak
dapat
menduga karena tadi dia mendengar ketua
Pulau Neraka menyebut taihiap (pendekar besar) kepada pemuda ini. Dan
kalau ada yang dipercaya di situ. Maka
satu-satunya orang adalah pemuda ini. "Aku bukan penghuni Pulau Neraka
aku adalah seorang dari Pulau
Es...." "heeeehhh...??" Mata Tok-ganhai- liong yang tinggal satu
itu terbelalak
dan mukanya pucat. Dia merasa
seolah-olah dalam mimpi. Setelah bertemu dengan Pulau Neraka yang aneh dan
mengerikan di mana semua anak buahnya
tewas, dia bertemu pula dengan seorang pemuda sakti yang mengaku datang
dari Pulau Es, sebuah sebutan yang
tadinya dikiranya hanya terdapat dalam dongeng tahyul belaka. Mimpikah dia?
Ataukah dia sudah mati ditelan badai
dan sekarang ini adalah pengalaman dari rohnya? "Pulau... Pulau...
Es...?"
Dia berkata lirih. Sin Liong mengangguk
tak sabar. Dia tadi mengaku sebenarnya, siapa mengira malah membuat
kepala bajak ini menjadi termangu-mangu
seperti orang sinting. "Kalau begitu, aku hanya mau memberikan obat
penawar jika engkau yang mengantarku
sampai ke sebuah perahu di pantai Pulau Neraka ini." "Jahanam, kau
tidak
percaya kepadaku?" Ouw Kong Ek
membentak dan para pembantunya sudah mengangkat senjata mengancam.
"Terserah,
bunuhlah. Aku toh akan mati bersama dia
ini." Sin Liong menyerahkan tubuh Soan Cu yang masih pingsan kepada
kakeknya, kemudian berkata,
"ouw-tocu, biarlah kita memenuhi permintaannya. Harap sediakan perahu
untuknya."
Terpaksa Ouw Kong Ek menggerakan
kapalanya memberi isyarat kepada anak buahnya, kemudian memandang kepada
kepala bajak itu dengan mata mendelik.
Koan Sek lalu berjalan bersama Sin Liong dan dua anak buah Pulau Neraka
menuju ke tepi laut. Setelah sebuah
perahu dipersiapkan, kepala bajak itu mengeluarkan sebuah benda dari dalam
sakunya. Benda itu ternyata adalah
seekor kuda laut sebesar ibu jari tangan yang sudah kering. "Nona itu
terkena racun yang terkandung dalam
duri ikan yang tidak dapat diobati kecuali dengan ini. Bubuklah dan masak,
lalu minumkan airnya. Tentu dia akan
sembuh." Sin Liong mengerutkan alisnya. Sudah banyak pengetahuannya
tentang pengobatan akan tetapi tentu
saja belum pernah dia mengenal rahasia racun yang keluar dari dalam
lautan. Dia menyerahkan bangkai kuda
laut kering itu kepada dua orang penghuni Pulau Neraka sambil berkata,
"Berikan ini kepada Ouw-tocu,
suruh menumbuk halus dan masak dengan air, kemudian minumkan kepada Nona.
Bagaimana hasilnya supaya cepat melapor
ke sini. Aku menunggu di sini." Dua orang itu menerima kuda laut mati
dan berlari memasuki pulau, sedangkan
Sin Liong lalu duduk di tepi pantai dengan sikap tenang. "Kau tidak mau
membiarkan aku pergi?" Koan Sek
bertanya penuh khawatir. "Jangan tergesa-gesa," jawab Sin Liong.
"Aku harus
yakin dulu bahwa obatmu benar-benar
manjur, baru aku akan membolehkan engkau pergi. Bukankah itu adil
namanya?"
Koan Sek menghela napas dan menjatuhkan
diri duduk di dalam perahu. Dia maklum bahwa kalau melawan, dia tidak
akan menang. "Dia pasti akan
sembuh. Dalam keadaan seperti ini, mana aku berani main-main?" Sin Liong
diam
saja. Kepala bajak itu menggunakan mata
tunggalnya untuk memandangi pemuda itu penuh selidik, kemudian
bertanya, "Orang muda, benarkah
engkau dari Pulau Es?" Sin Liong mengangguk. "Dan siapa namamu?"
"Kwa Sin
Liong. Mengapa engkau
bertanya-tanya?" "Tadinya aku mengira bahwa Pulau Es hanyalah sebuah
dongeng..." "Hemm..,
memang sekarang hanya tinggal
dongeng..." Sin Liong berkata sambil merenung jauh membayangkan keadaan
Pualu Es
yang telah terbasmi oleh badai dan kini
tinggal menjadi sebuah pulau kosong yang menyedihkan. "Nguuk...
nguuukkk..." Sin Liong menoleh dan
tersenyum "Eh, Enci biruang. Kau menyusulku?" Biruang itu
menghampiri, dan
memperlihatkan taringnya ketika dia
melihat Koan Sek di atas perahu di depan pemuda itu. "Binatang yang
hebat!"
Koan Sek berkata dan bulu tengkuknya
berdiri. Pemuda ini seperti bukan manusia biasa ! dan mempunyai binatang
peliharaan seperti itu! "Kau
bilang tadi... tinggal dongeng apa maksudmu?" "Tidak apa-apa,
lupakanlah," kata
Sin Liong sambil mengelus biruang yang
sudah bertiarap di depannya. "Orang muda she kwa... eh, Tai-hiap...
kenapa kau mau membebaskan aku?"
Sin Liong mengangkat mukanya memandang dan kepala bajak itu menjadi lebih
heran lagi melihat betapa pandang mata
pemuda itu sama sekali tidak membayangkan kebencian atau permusuhan
dengannya? "Mengapa tidak? engkau
pun membebaskan Soan Cu." Sin Liong menengok dan tampaklah dua orang tadi
datang berlari-lari. "Kwa-taihiap,
Nona sudah sembuh!" Sin Liong mengangguk kepada Koan Sek. "Pergilah,
cepat!
Lebih cepat lebih baik dan harap kau
jangan sekali-kali mendekati pulau ini." Koan Sek menjawab, "Terima
kasih.
Satu kalipun sudah cukuplah!" Dia
mengkirik. "Pulau Iblis seperti ini siapa yang ingin melihatnya
lagi?" Dia
lalu menggerakan dayungnya dan perahu
meluncur cepat meninggalkan Pulau Neraka. Ketika Sin Liong bersama
biruangnya tiba kembali ke tengah pulau
benar saja bahwa Soan Cu telah sembuh sama sekali dari pengaruh racun.
Hanya luka di pahanya yang tinggal dan
luka itu sudah diobati oleh Kong-kongnya. Para penghuni Pulau Neraka
sedang sibuk menyingkirkan mayat-mayat
yang bergelimpangan mengerikan itu dan Sin Liong lalu diajak masuk ke
pondoknya oleh Ouw Kong Ek dan Soan Cu.
"Taihiap, lagi-lagi engkau yang datang menolong kami, "kata Ouw Kong
Ek. "Kalau engkau tidak segera
datang entah bagaimana dengan aku. Mungkin sudah mati, Sin Liong," kata
Soan Cu
dengan mata bersinarsinar penuh kagum
dan terima kasih. "Ahh, mengapa Tocu dan kau masih bersikap sungkan
terhadap aku? Bukankah kita ini
sahabat? Kedatanganku bukan hanya kebetulan saja. Aku datang dengan maksud yang
sama seperti setahun yang lalu, yaitu
mencari Sumoi. Apakah dia tidak datang ke sini?" Soan Cu dan kakeknya
memandang kaget dan juga heran, dan di
dalam pandang mata Ouw Kong Ek terkandung rasa hati tidak senang. Sin
Liong maklum akan ketidaksenangan hati
kakek itu, maka dia menarik napas panjang dan berkata, "Harap saja Tocu
tidak menyangka yang bukan-bukan
terhadap Sumoi. Apa yang dilakukan oleh Suhu di sini sama sekali tidak ada
sangkut pautnya dengan Sumoi."
"Jadi Taihiap sudah tahu apa yang diperbuat oleh Han Ti Ong di sini?"
Sin Liong
mengangguk. "Aku dapat menduganya.
Tentu dia marah-marah karena puterinya pernah ditahan di sini."
"Bukan hanya
marah-marah!" kata Soan Cu
mengepal tinju. "Orang itu sombong sekali! Dia menghina kakek, biar pun
tidak
melakukan pembunuhan tapi dia memukul
semua orang!" "Kau juga dipukulnya?" Sin Liong bertanya.
"Tadinya,
melihat aku seorang wanita dan masih
muda, dia tidak mau memukulku, akan tetapi karena melihat kakek dipukul,
aku menyerangnya dan aku roboh oleh
tamparan. Dia memang sakti, akan tetapi ganas dan kejam, bahkan semua
catatanmu dihancurkan! Sekali waktu
kami akan menuntut balas, kami akan menyerang Pulau Es!" Sin Liong menarik
napas panjang. "Lupakan saja niat
itu, selain tidak baik juga tidak ada gunanya. Kerajaan Pulau Es tidak ada
lagi sekarang, telah musnah."
"Hei...? Apa maksudmu, Taihiap...?" kakek itu bertanya, terbelalak.
"Apa yang
telah terjadi?" Soan Cu juga
bertanya. "Dilanda badai... habis seluruhnya, semua penghuninya termasuk
suhu dan
seluruh benda di sana habis terbasmi
kecuali bangunan istana yang telah kosong sama sekali..." Sin Liong lalu
menuturkan dengan singkat malapetaka
yang penimpa Pulau Es, dan betapa secara aneh dan kebetulan saja dia dan
Sumoinya terluput dari bencana. Kakek
dan cucu itu mendengarkan dengan melongo kemudian kakek itu bertepuk
tangan dan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Ha-ha-ha-ha! Dendam ratusan tahun lenyap dalam sekejap mata!
kami
orang-orang buangan yang dianggap
berdosa, dianggap dikutuk tuhan, malah masih dapat hidup melanjutkan riwayat,
sedangkan penghuni Pulau Es yang suci
dan agung, kaum bangsawan yang tinggi, sekali sapu saja musnah! Ha-ha-ha,
siapa yang lebih dilindungi tuhan? Han
Ti Ong, tanpa kami bergerak, engkau dan kerajaanmu lenyap sudah!" Kakek
itu tertawa-tawa sampai air matanya
keluar sehingga sukar dikatakan apakah dia itu tertawa, ataukah menangis.
Mengapa Taihiap sekarang mencari Nona
Swat Hong ke sini? Apa yang terjadi dengan dia?" Sin Liong lalu
menceritakan niat perjalanannya bersama
Swat Hong, yaitu untuk mencari ibu Swat Hong yang sampai kini tidak
diketahui berada di mana. Dan betapa di
jalan mereka menjadi bungung dan tersesat karena badai telah
menciptakan pemandangan yang berbeda di
permukaan laut sehingga sehingga mereka mendarat di gunung es dan
betapa dia menemukan biruang hitam.
"Sumoi berangkat melanjutkan perjalanan mencari Pulau Neraka karena
disangkanya ibunya berada di sini,
sedangkan aku mengobati biruang." Sin Liong menutup ceritanya, tentu saja
dia segera menceritakan kemarahan Swat
Hong kepadanya. "Apakah dalam beberapa hari ini dia tidak dantang ke
sini?" Soan Cu menjawab,
"Untung saja dia tidak datang, Sin... eh, Taihiap." "Soan Cu
mengapa engkau meniru
kakekmu, bersungkan kepadaku dan
menyebut Taihiap segala?" "Biarlah, Taihiap," Kata Ouw Kong Ek.
"Tidak pantas
kalau dia menyebut namamu begitu saja.
Dan engkau memang menolong kami dan pantas disebut Taihiap karena
kepandaianmu tinggi sekali."
"Kaukatakan tadi untung Sumoi tidak datang ke sini, mengapa?"
"Andaikata dia
datang, tentu akan terjadi apa-apa yang
tidak baik antara dia dan Kong-kong. Ketahuilah, semenjak Raja Pulau Es
datang mengacau di sini, Kong-kong
jatuh sakit, dan kebencian kami semua terhadap Pulau Es makin mendalam. Maka
kalau Sumoimu, Swat Hong datang, tentu
akan terjadi hal yang tidak baik." Sin Liong mengangguk-angguk, merasa
lega bahwa sumoinya tidak mendahului
datang ke Pulau Neraka, akan tetapi juga menimbulkan kegelisahannya karena
dia jadi tidak tahu ke mana sumoinya
yang pemarah itu kini berada! Bajak-bajak laut itu, dari mana datangnya
dan mengapa mengacau ke sini?"
tanyanya. "Entah. Tahu-tahu mereka muncul dan perahu besar mereka
terdampar di
tepi pulau." "Agaknya mereka
juga diamuk badai." "Mungkin." Soan Cu melanjutkan. "Kami
diserang selagi
kong-kong sakit. Kong-kong tidak dapat
turun dari pembaringan, maka aku yang menggantikannya, aku keluar
menyambut mereka, akan tetapi karena
kurang hati-hati, karena memandang rendah am-gi mereka, aku hampir celaka
kalau tidak ada engkau yang datang di
waktu yang tepat, Taihiap." "Akan tetapi akhirnya, biarpun sakit,
Kong-kongmu dapat membunuh semua bajak
laut itu." Sin Liong bergidik ngeri mengenangkan kematian para bajak
itu. "Ugh-ugh....!" Kakek itu
terbatuk-batuk. "Bajak-bajak macam itu saja kalau aku tidak sakit, kalau
Soan Cu
tidak memandang rendah dan kalau para
penghuni tidak baru saja diamuk badai, tidak ada artinya bagi kami. Kalau
binatang-binatang Pulau Neraka
bersembunyi ketakutan diamuk badai, mana mereka mampu masuk? Sudahlah, sekarang
saya hendak menyampaikan permohonan
yang amat penting bagi Taihiap." "Ah, Tocu, Di antara kita yang sudah
menjadi sahabat, perlu apa banyak
sungkan lagi? Kalau ada sesuatu, katakanlah saja, mana perlu menggunakan
permohonan lagi?" jawab Sin Liong.
Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu turun dari bangkunya dan menjatuhkan diri
berlutut di depan Sin Liong! Tentu saja
pemuda ini menjadi sibuk sekali, cepat membangunkan kakek itu dan
berkata, "Tocu, harap jangan
begini. Aku yang muda mana berani menerimanya? Ada keperluan apakah? katakan
saja,
aku tentu akan membantumu sedapat
mungkin." Sin Liong berkata dengan hati tidak enak, mengira akan
menghadapi
hal yang sulit. Setelah duduk kembali
dan mengatur napasnya yang terengah-engah karena kesehatannya belum pulih
kembali dan tubuhnya terasa amat lelah,
kakek itu berkata, "Kwa-taihiap, aku sudah tua dan tidak mempunyai
keturunan lain kecuali Soan Cu. Taihiap
sudah melihat sendiri keadaan di Pulau Neraka yang merupakan tempat
tidak baik untuk seorang dara seperti
Soan Cu. Oleh karena itu, setelah kini kerajaan Pulau Es tidak ada,
berarti bahwa Pulau Neraka telah bebas
dan kami bukanlah orang-orang buangan lagi. Soan Cu juga bukan keturunan
orang buangan lagi dan sewaktu-waktu
kami boleh meninggalkan pulau ini. Karena itu, aku mohon dengan sepenuh
hatiku, sudilah Taihiap membawa Soan Cu
bersama Taihiap untuk mengenal dunia ramai, dan syukur kalau Taihiap
dapat mengatur agar cucuku ini tidak usah
lagi kembali dan tinggal di Pulau Neraka ini. Kuharap permohonan ini
tidak akan ditolak oleh Taihiap."
Sin Liong mengerutkan alisnya. Permintaan yang sama sekali tidak pernah
disangkanya! "Akan tetapi,
Ouw-tocu, hendaknya diingat bahwa aku sendiri adalah seorang sebatangkara yang
tidak
mempunyai apa-apa, tidak mempunyai
tempat tinggal dan masih belum kuketahui apa akan jadinya dengan diriku
ini." "Kalau Taihiap
merantau, bawalah dia merantau, ke mana saja aku sudah pasrah sepenuhnya. Baik
dia akan
Taihiap anggap sebagai sahabat, sebagai
saudara, atau kalau mungkin.... dari lubuk hatiku kuharap sebagai calon
jodoh, aku sudah merasa lega dan
senang, asal dia tidak tersiksa tinggal di neraka ini." Sin Liong merasa
sukar
untuk menolak, akan tetapi juga berat
untuk menerima, maka dia menoleh kepada Soan Cu dan berkata, "Soal ini
sebaiknya kita serahkan kepada Soan Cu
sendiri. Kalau memang dia suka merantau meninggalkan pulau ini, tentu
saja aku tidak keberatan mengadakan
perjalanan bersama. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa aku menerima
usul perjodohan Tocu, dan sewaktu-waktu
dia boleh pergi ke mana saja, jadi aku tidak terikat oleh perjanjian
apapun juga." "Taihiap,
jangan khawatir. Memang aku sejak dulu tidak kerasan tinggal di sini, hanya
karena
kedudukanku sebagai seorang keluarga
buangan saja yang mencegah aku meninggalkan Pulau Neraka. Sekarang aku
telah bebas, dan betapapun juga, aku akan
pergi dari sini. Hanya kalau bersama Taihiap, tentu hati Kong-kong
akan merasa lebih aman, dan juga
untukku sendiri yang tidak ada pengalaman, melakukan perjalanan bersamamu
merupakan hal yang menyenangkan sekali.
Aku hendak pergi mencari ayahku, Taihiap." "Dan aku hendak mencari
Swat
Hong dan ibunya." "Kalau
begitu, mari kita mencari berdua, siapa tahu dalam mencari Sumoimu itu , aku
dapat
bertemu dengan ayahku." Setelah
mendapat banyak pesan dan melihat Kong-kongnya, membawa pula bekal berupa
pakaian dan sekantung emas simpanan
Kong-kongnya, berangkatlah Soan Cu bersama Sin Liong meninggalkan Pulau
Neraka dengan sebuah perahu. Selama
hidupnya yang lima belas tahun itu, belum pernah Soan Cu meninggalkan
pulau, maka setelah perahu meluncur
jauh dan dia hampir tidak dapat melihat lagi Kongkongnya bersama semua sisa
penghuni Pulau Neraka yang
mengantarkanya sampai ke pantai, Soan Cu tak dapat menahan bercucurannya air
matanya. "Soan Cu, mengapa kau
menangis? Kalau kau tidak tega meninggalkan kakekmu, masih belum terlambat
untuk
kembali," kata Sin Liong yang
sebetulnya merasa tidak enak sekali memikul kewajiban ini. Biarpun dia tidak
terikat sesuatu, namun sedikit banyak
dia dibebani keselamatan dara ini, dan kalau dara ini wataknya seaneh
Swat Hong, dia tentu akan menjadi lebih
pusing lagi! "Ah, tidak, Taihiap. Aku hanya merasa perih hatiku
meninggalkan tempat yang sejak kulahir
menjadi tempat tinggalku itu. Orang sedunia boleh menyebutnya Pulau
Neraka, akan tetapi setelah aku
berangkat meninggakan pulau itu, terasa olehku bahwa disitu adalah sorga."
Sin
Loing tersenyum dan mendayung perahunya
lebih cepat lagi. Pernyataan yang keluar dari mulut dara ini merupakan
pelajaran yang amat penting baginya,
membuka matanya melihat kenyataan bahwa sorga maupun neraka itu berada
dalam hati manusia itu sendiri!
Betapapun indahnya suatu tempat kalau tidak berkenan di hatinya, akan merupakan
neraka, sebaliknya betapapun buruknya
suatu tempat kalau berkenan di hatinya akan menjadi sorga! Jadi, baik
buruk, senang, susah, puas kecewa,
semua ini bukan ditentukan oleh keadaan di luar, melainkan ditentukan oleh
keadaan hati dan pikiran sendiri.
keadaan di luar merupakaan kenyataan yang wajar, dan hanya pikiranlah yang
menentukan dengan menilai,
membandingkan, maka lahirlah puas, kecewa, senang, susah, baik, buruk, dan
lain-lain
hal yang saling bertentangan itu.
Bahagialah orang yang dapat menghadapi segala sesuatu dengan mata terbuka,
memandang segala sesuatu seperti APA
ADANYA, tanpa penilaian. tanpa perbandingan. Orang bahagia tidak mengenal
susah senang, karena bahagia bukan
susah bukan pula senang, bukan puas bukan pula kecewa, melainkan suatu
keadaan di atas itu semua, sama sekali
tidak terganggu oleh pertentanganpertentangan itu. Perahu yang
ditumpangi Sin Liong dan Soan Cu
meluncur terus, ujung depannya yang meruncing membelah air yang tenang seperti
sebuah pisau membelah agar-agar biru.
Soan Cu sudah melupakan kesedihan hatinya dan kini dara itu memandang ke
depan dengan wajah berseri dan mata
bersinar-sinar penuh harapan akan masa depan yang berlainan sama sekali
dengan keadaan di Pulau Neraka. Banyak
sudah dia mendengar dongeng kakeknya yang juga hanya mendengar dari
nenek moyangnya tentang keadaan di
dunia rame, dan sekarang dia sedang menuju kepada kenyataan yang akan
dilihatnya dengan mata sendiri! Pusat
perkumpulan Pat-jiu-kaipang (Perkumpulan pengemis Tangan Delapan) berada
di lereng Pegunungan Hen-san. Dari
luar, tempat itu memang pantas disebut pusat perkumpulan pengemis karena
hanya merupakan tempat di dataran
tinggi yang dikelilingi pagar bambu yang tingginya hampir dua kali tinggi
orang, pagar yang butut dan bambu-bambu
itu mengingatkan orang akan tongkat bambu yang biasa dibawa oleh para
pengemis. Akan tetapi kalau orang
sempat menjenguk di dalamnya, dia akan terheranheran menyaksikan sebuah rumah
gedung yang pantas juga disebut sebuah
istana kecil berdiri megah dan mewah sekali! Inilah tempat tinggal
Pat-jiu Kai-ong, Si Raja Pengemis yang
menjadi ketua Pat-jiu Kaipang di lereng Hengsan! Pat-jiu kai-ong sudah
berusia kurang lebih tujuh puluh tahun,
akan tetapi dia masih kelihatan tangkas dan belum begitu tua,
sungguhpun pakaianya selalu butut,
sebutut tongkatnya, sama sekali tidak sesuai dengan keadaan gedungnya. Hanya
kalau hari sudah menjadi gelap saja
maka berubahlah raja pengemis ini, pakaiannya diganti dengan pakaian tidur
yang layaknya dipakai seorang pangeran!
Dan mulailah kehidupan yang berlawanan dengan keadaan hidupnya di waktu
siang, berbeda jauh seperti bumi dan
langit. Di waktu siang, dia lebih patut disebut seorang pengemis elaperan
yang berkeliaran di sekitar rumah
gedung itu. Akan tetapi di waktu malam, dengan pakaian indah dan tubuh
bersih, dia bersenang-senang makan
minum dengan hidangan serba lezat dan mahal, dilayani oleh lima orang
selirnya yang muda-muda, cantik dan
genit. Pat-jiu Kai-ong tinggal tinggal didalam istananya yang mewah akan
tetapi yang dikelilingi pagar bambu
tinggi sehingga tidak tampak dari luar itu bersama lima orang selirnya,
lima orang pelayan dan selosin orang
anak buahnya yang merupakan pengawal-pengawalnya. Selosin orang ini tentu
saja merupakan tokoh-tokoh dalam
pat-jiu Kai-pang, karena mereka adalah pembantu yang boleh diandalkan, atau
juga murid-murid tingkat satu dari raja
pengemis itu. para pengawal itu melakukan penjagaan siang malam secara
bergilir dan mereka tinggal di dalam
rumah samping di kanan kiri istana ketua mereka. Adapun Pat-jiu Kai-pang
mempunyai anggota yang banyak dan yang
tersebar luas di kota-kota. Dengan mengandalkan nama besar perkumpulan
itu, terutama sekali nama besar
Kai-ong, para anggauta itu dapat mengumpulkan sumbangan-sumbangan yang besar
dan sebagian dari pada hasil sumbangan
ini mereka setorkan kepada Pat-jiu kai-ong. Inilah membuat raja pengemis
menjadi kaya raya dan dapat hidup mewah
sekali. Selosin orang pembantunya, selain pengawal dan penjaga
istananya, juga bertugas untuk turun
tangan mewakili ketua mereka apabila ada cabang yang kurang dalam memberi
setoran! Pat-jiu Kai-ong sendiri yang
sudah hidup makmur jarang meninggalkan istananya di Heng-san. Hanya
urusan besar saja yang dapat menariknya
pergi meninggalkan tempat yang amat menyenangkan hatinya itu. Kurang
lebih sepuluh tahun yang lalu dia ikut
pula memperebutkan Sin-tong Si Anak Ajaib karena dia pada waktu itu
ingin cepat-cepat menyempurnakan ilmu
yang sedang diciptakan dan dilatihnya, yaitu ilmu Hiat-ciang-hoatsut
(Ilmu Sihir Tangan Darah). Jika pada
waktu itu dia berhasil merebut Sintong, tentu dalam waktu satu tahun saja
ilmunya akan sempurna. Akan tetapi
karena seperti diceritakan di bagian depan, dia gagal dan Sin-tong dibawa
pergi oleh pangeran Han Ti Ong dari
Pulau Es, maka dia harus mengorbankan puluhan orang bocah untuk dimakan
otaknya dan disedot darah dan
sumsumnya. Kini dia telah mahir dengan ilmu hitam yang mengerikan itu, akan
tetapi sayangnya, setiap tahun dia
harus mengisi tenaga itu dengan pengorbanan seorang bocah! Pada suatu hari ,
pagi-pagi sekali, selagi Pat-jiu
Kai-ong seperti biasa meninggalkan kehidupan malamnya yang mewah, berpakaian
sebagai seorang pengemis berjalan-jalan
di dalam taman bunga di belakang istananya, membawa tongkat butut dan
berlatih silat di waktu embun pagi
masih tebal, tiba-tiba seorang pengawalnya datang menghadap dan melaporkan
bahwa ada tiga orang tamu datang ingin
bertemu dengan Si Raja Pengemis. "Hemm, siapakah pagi-pagi begini sudah
datang menggangguku?" Pat-jiu
Kai-ong berkata dengan alis berkerut. Akan tetapi karena merasa penasaran, dia
tidak memerintahkan pengawalnya
mengusir orang itu dan terutama sekali ketika mendengar pelaporan itu bahwa
yang datang adalah seorang kakek
bersama dua orang muda, seorang dara jelita dan seorang muda tampan. Hatinya
tertarik sekali ketika mendengar bahwa
kakek itu mengaku sebagai seorang "sahabat lama." Ketika dia keluar
membawa tongkat bututnya dan bertemu
dengan tiga orang itu, Pat-jiu Kai-ong memandang tajam. Dia kagum melihat
pemuda yang amat tampan dan pemudi yang
amat cantik jelita itu. Wajah mereka yang mirip satu sama lain
menunjukan bahwa mereka adalah kakak
beradik, pemudanya berusia kurang lebih enam belas tahun, pemudinya lima
belas atau empat belas tahun. Sampai
lama pandang mata Pat-jiu Kai-ong melekat kepada dua orang muda itu,
keduanya membuat hatinya terguncang
penuh kagum dan andaikata dia tidak menahan perasaannya, tentu mulutnya
akan mengeluarkan air liur! Barulah dia
terkejut ketika mendengar kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha!
Pat-jiu Kai-ong kurasa engkau belum
begitu pikun untuk melupakan dua orang anakku ini. Mereka adalah Swi Liang
dan Swi Nio, ha-ha-ha! Akan tetapi
Pat-jiu Kai-ong mengerutkan alisnya, sama sekali tidak mengenal kedua nama
ini. Dia memandang dengan mata terheran
kepada laki-laki yang berdiri di depannya, seorang laki-laki berusia
kurang lebih lima puluh tahun,
berpakaian sederhana berwarna kuning, dengan kepala yang beruban itu terlindung
kain pembungkus rambut yang berwarna
kuning pula. Kakek itu tertawa lagi. "Wah, Pat-jiu Kai-ong, benar-benar
engkau telah lupa kepada kami? Lupa
kepada sahabatmu di Lusan ini?" "Ahhhh...!" Pat-jiu Kai-ong
tertawa,
mukanya berseri dan dia cepat
membungkuk untuk memberi hormat. "Kiranya sahabat Bu yang datang? maaf,
maaf,
mataku sudah lamur saking tuanya
sehingga tidak mengenal sahabat baik yang kurang lebih sepuluh tahun tak
pernah kujumpi. Jadi ini kedua anakmu
itu? Dahulu mereka baru berusia lima enam tahun, kecil dan lucu serta
berani, bahkan kalau tidak salah, anak
perempuanmu ini yang dahulu menantang pibu kepadaku. Ha-ha-ha!" Dara
berusia lima belas tahun yang cantik
jelita itu menunduk dan kedua pipinya berubah merah. "Harap Pangcu sudi
memaafkan saya." "Aih-aih...!
Ini tentu orang tua lusan ini yang mengajarnya. Menyebutku Pangcu segala!"
"Ha-ha-ha, Pangcu. Bukankah engkau
memang Ketua dari Pat-jiu Kai-pang? Mengapa tidak mau disebut Pangcu oleh
puteriku?" Kakek itu berkata.
"Wah, jangan berkelabar. Anak-anak yang baik, sebut saja aku paman.
marilah
masuk, kita bicara di dalam."
Pat-jiu-kai-ong lalu bertepuk tangan dan para pengawalnya muncul. "lekas
beritahukan para pelayan agar
mempersiapkan hidangan makan pagi yang baik untuk tamuku yang terhormat, Lu-san
Lojin (Orang Tua Dari Lusan) dan dua
orang putera-puterinya!" Para pengawal itu mundur dan Pat-jiu-kai-ong
menggandeng tangan kakeknya itu, sambil
tertawatawa mereka memasuki istana dan duduk di ruangan dalam
menghadapi meja dan duduk di
kursi-kursi yang berukir indah. Sambil memandang ke kanan kiri mengagumi
keindahan
ruangan itu, Lu-san Lojin berkata
memuji, "Sungguh hebat! Lama sudah aku mendengar bahwa Pat-jiu-kai-ong
tinggal disebuah istana yang megah,
kiranya keadaan di sini melampau segalanya yang telah kudengar. Hebat
sekali!" Sejak tadi Pat-jiu-kai-ong
merayapi tubuh pemuda dan pemudi itu dengan pandangan matanya. Dia kagum
bukan main melihat dara cantik jelita
dan pemuda yang tampan dan gagah itu. "Ha-ha, kau terlalu memuji,
sahabat. Aku tidak mengira bahwa hari
ini tempatku yang buruk akan meneriama kehormatan kedataangan seorang
tamu agung, seorang penolongku yang
budiman bersama putra dan puterinya yang begini elok." Kedua orang tua ini
lalu bercakap-cakap dengan gembira
membicarakan masa lampau. Siapakah kakek ini? Dia adalah Lu-san Lojin,
seorang ahli silat dan ahli pengobatan
yang semenjak istrinya meninggal dunia, meninggalkan dua orang anak,
lalu mengajak dua orang anaknya itu
mengasingkan diri ke puncak Lu-san, dan di sana dia bertapa sambil mendidik
dan menggembleng putera puterinya.
Sepuluh tahun yang lalu, setelah gagal merebut Sin-tong, dalam kekecewaannya
Pat-jiu Kai-ong lalu mengamuk di
sepanjang jalanan, menculik dan membunuhi bocah-bocah yang dianggapnya cukup
sehat. Ketika dia tiba di kaki
Pegunungan Lu-san, dia berada dalam keadaan keracunan hebat. Hal ini terjadi
karena dia terlampau banyak membunuh
anak laki-laki, makan otak mereka dan menghisap darah serta sumsum mereka
untuk menyempurnakan ilmunya, terlampau
banyak melatih diri dengan ilmu hitam Hiat-ciang Hoat-sut. Karena
hatinya yang penasaran mengapa dia
tidak dapat mengalahkan Han Ti Ong dan merebut Sin-tong, maka dia lupa akan
ukuran tenaga sendiri dan melatih diri
dengan ilmu hitam itu, dia terlampau terburu-buru dan akibatnya, hawa
mujijat dari ilmu itu membalik dan
membuat dia terluka dalam, keracunan hebat sehingga dia terhuyung-huyung dan
hampir pingsan ketika tiba di kaki
Pegunungan Lu-san. Dia maklum akan keadaan dirinya, tahu bahwa dia terancam
bahaya maut maka hatinya menjadi
khawatir sekali. Kebetulan baginya, pada saat itu keadaannya terlihat oleh
Lu-san Lojin yang sedang turun gunung
bersama putera-puterinya yang pada waktu itu baru berusia enam dan lima
tahun, sebagai seorang gagah dan
berilmu tinggi, Lu-san Lojin cepat menolong Pat-jiu Kai-ong. Setelah memeriksa
keadaan raja pengemis itu, dia maklum
bahwa Pat-jiu Kai-ong memerlukan perawatan khusus, maka diajaknya orang
ini naik ke puncak Lu-san. Di situ
Pat-jiu Kai-ong diobati Lu-san Lojin sampai sembuh . Selama satu bulan
berada di Lu-san, raja pengemis ini
menerima perawatan yang amat baik dari Lu-san Lojin, maka dia merasa
berterima kasih sekali dan menganggap
pertapa itu sebagai penolong dan sahabat baiknya. Juga dia mengenal dua
orang bocah yang mungil itu. Karena
kebaikan hati Lu-san Lojin, biarpun dia melihat Swi Liang sebagai seorang
anak yang mempunyai darah bersih dan
tulang kuat, dia tidak tega untuk mengganggu anak laki-laki itu. Di lain
pihak, ketika mendengar bahwa yang
ditolongnya adalah Pat-jiu kai-ong ketua Pat-jiu kai-pang, Lusan Lojin
terkejut sekali. Akan tetapi dia
menjadi bangga bahwa raja pengemis yang namanya terkenal itu menganggapnya
sebagai sahabat baik. Maka setelah
sembuh, mereka berpisah sebagai sahabat yang berjanji untuk saling
mengunjungi dan saling membantu.
"Sungguh aku tidak tahu diri dan tidak mengenal budi," setelah makan
minum
Pat-jiu Kai-ong berkata kepada tamunya.
"Sepatutnya akulah yang datang mengunjungi kalian di Lu-san, bukan
kalian yang jauhjauh datang mengunjungi
aku." "Ahhh, mengapa kau menjadi sungkan begini? Kita bersama telah
mempunyai kewajiban masing-masing
sehingga tentu saja telah sibuk dengan pekerjaan. Kamu pun hanya kebetulan
saja lewat di kaki Pegunungan Heng-san,
maka aku teringat kepadamu dan mengajak kedua anakku untuk mendekati
Pegunungan Hengsan mencarimu."
"Terima kasih, engkau baik sekali, Lu-san Lojin. Akan tetapi, kalau boleh
aku
mengetahui, kalian datang dari
manakah?" Lu-asn Lojin menarik napas panjang dan menoleh kepada puteranya,
memandang puterinya seolah-olah minta
ijinnya, Swi Liang menganggukan kepalanya kepada ayahnya, dan menunduk.
Dianggap oleh pemuda ini bahwa Pat-jiu
Kai-ong adalah seorang sahabat baik ayahnya, bahkan seperti saudara
sendiri, maka tidak ada salahnya kalau
raja pengemis itu mengetahui urusannya. Siapa tahu raja pengemis itu
dapat membantunya . "Kami baru
saja datang dari Lokyang, melakukan perjalanan sejauh itu dan ternyata sia-sia
belaka perjalanan kami untuk mencari
Tee-tok Siangkoan Houw." "Tee-tok Siangkoan Houw? Ah, ada urusan
apakah
engkau mencari racun bumi itu, Lu-san
Lojin?" "Sebetulnya urusan lama, urusan perjodohan, semenjak kecil,
antara Tee-tok dan aku telah terdapat
persetujuan untuk menjodohkan puteraku Bu Swi Liang ini dengan puterinya
yang bernama Siangkoan Hui. Akan
tetapi, setelah keduanya menjadi dewasa, tidak ada berita dari Tee-tok
sehingga hatiku merasa khawatir sekali.
Aku sudah berusaha mencarinya, namun selalu sia-sia. Akhir-akhir ini
aku mendengar bahwa dia berada di
Lokyang, akan tetapi setelah jauh-jauh kami bertiga mencarinya di sana,
ternyata dia tidak berada di sana pula.
Hemm, sikap orang tua itu masih selalu aneh dan penuh rahasia."
</P>
<P>
"Ha-ha-ha, ala salahmu sendiri!
mengapa mengikat perjanjian dengan seorang iblis seperti Tee-tok?"
"Pat-jiu
Kai-ong, jangan bergurau. Ini urusan
yang penting bagi kami, karena itu, kami mengharap bantuanmu yang
mempunyai banyak anak buah, agar suka
menyelidiki di mana kami dapat bertemu dengan Tee-tok Siangkoan Houw."
"Baik, baik... jangan khawatir.
Akan kusuruh anak buahku menyelidikinya, dan kalian bermalamlah di sini, jangan
tergesa-gesa pulang." Lu-san Lojin
menggeleng kepala. "Sudah terlalu lama kami meninggalkan pondok, kami
hanya
dapat bermalam untuk satu malam saja.
Besok pagi-pagi kami harus melanjutkan perjalanan." "Semalaman
cukuplah,
Biar kupergunakan untuk menjamu kalian
sepuas hatiku." Tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk di luar istana
raja pengemis itu. Tak lama kemudian
dua orang pengawal pribadi Kai-ong masuk dengan muka pucat dan kelihatan
takut. "Ada apa? mau apa kalian
mengganggu kami?" Kai-ong membentak marah dan menurunkan cawan araknya
keras-keras ke atas meja sehingga meja
itu tergetar. "Pangcu... ampunkan kami berdua... terpaksa kami
mengganggu karena ada peristiwa yang
amat aneh dan mengkhawatirkan kami semua." "Apa yang terjadi? Hayo
cepat
ceritakan." Dengan wajah
ketakutan, seorang di antara dua orang pengawal itu lalu menceritakan apa yang
baru
saja terjadi di luar istana. Karena
Pangcu sedang menjamu tamu, para pengawal menjaga di luar dan mereka sedang
mengagumi seekor ayam jago kesayangan
Pat-jiu Kai-ong. Raja pengemis itu memang suka sekali memelihara ayam
jago dan kadang-kadang mengadunya. Pagi
hari itu seperti biasa, seorang pelayan memandikan dan memberi makan
ayam jago itu, dan memuji-mujinya
sebagai jago peranakan tanah selatan yang amat baik. Tiba-tiba ayam jago itu
menggelepar di dalam kedua tangannya,
darah muncrat dan ayam itu mati, dadanya ditembusi sehelai benda lembut
yang kemudian ternyata adalah sebatang
daun! Di tangkai daun itu terdapat sehelai kain yang ada tulisanya.
"Kami telah meloncat dan mencari
di sekeliling, akan tetapi tidak ada bayangan seorang pun manusia, Pangcu.
Agaknya hanya iblis saja yang dapat
menggunakan sehelai daun untuk menyambit dan membunuh ayam jago dan...."
"Cukup!" Raja pengemis itu
marah sekali mendengar jagonya dibunuh orang. "Kalian tolol semua! Mana
kain yang
ada tulisan itu!" Kepala pengawal
yang mukanya penuh bewok itu dengan kedua tangan gemetar, menyerahkan sehelai
kain putih kepada ketuanya. kain itu
ada tulisannya dengan huruf-huruf kecil berwarna hitam, akan tetapi ada
noda-noda darah, darah ayam jago tadi.
Akan tetapi Pat-jiu Kai-ong yang menerima kain itu, sejenak menjadi
bingung dan baru ia teringat bahwa dia
tidak mampu membaca. Dia buta huruf! Dengan jengkel dan agak malu dia
lalu melemparkan kain itu kepada Lu-san
Lojin sambil berkata, "Harap kaubacakan ini untukku!" Lu-san Lojin
menyambar kain yang melayang ke arahnya itu,
lalu matanya memandang tulisan. Mukanya berubah, matanya
terbelalak. "Wah... apa artinya
ini?" "Lojin! bagaimana bunyinya?" Pat-jiu Kai-ong bertanya,
suaranya
membentak. Lu-san Lojin lalu membaca
huruf-huruf itu. Malam ini, semua mahluk hidup yang tinggal di rumah
Pat-jiu Kai-ong dari binatang sampai
manusia, akan kubasmi habis!" Ratu Pulau Es. "Ratu Pulau Es...?"
Pat-jiu
Kai-ong tertawa. "Siapakah dia?
Aku tidak mengenalnya. Hai pelawak dari manakah yang main-main seperti ini?
Ha-ha-ha, biar dia datang hendak
kulihat magaimana macamnya!" "Kai-ong, harap jangan main-main.
Biarpun hanya
seperti dalam dongeng, nama Pulau Es
amat terkenal, katanya penghuninya memiliki kepandaian seperti dewa,
apalagi dahulu yang terkenal dengan
sebutan Pangeran Han Ti Ong...." "Ha-ha-ha, siapa perduli? Aku tidak
ada
permusuhan dengan Han Ti Ong, bahkan
dia yang pernah mengganggu aku. Mengapa sekarang ada ratu dari sana hendak
membunuhku dengan ancaman sesombong
itu? Aku tidak percaya. He, pengawal apakah kalian tahu akan isi surat?"
Dua orang pengawal itu mengangguk.
"Sudah Pangcu." "Apa kalian takut?" "Ti... tidak,
Pangcu, Hanya... hanya
amat aneh itu..." "Sudahlah.
Setelah kalian tahu isinya, hayo kalian dua belas orang melakukan penjagaan
yang
ketat terutama malam ini. Kita jangan
mudah digertak lawan yang membadut! Biarkan dia datang, kita tangkap dia
dan kita permainkan dia,
ha-ha-ha!" "Kai-ong harap hati-hati...." kata Lu-san Lojin
setelah para pengawal itu
keluar dari ruangan itu.
"Ha-ha-ha, mengapa khawatir? Apalagi baru seorang badut, biar Han Ti Ong
sendiri yang
datang, setelah kini Hiat-ciang
Hoat-sut kulatih sempurna, aku takut apa?" Kakek dari Lu-san itu kelihatan
ragu-ragu, akan tetapi untuk menyatakan
bahwa dia takut, tentu saja dia tidak mau dengan hati berat dia bersama
dua orang anaknya menemani tuan rumah
makan minum dan bercakap-cakap sampai lewat tengah hari. Kemudian mereka
dipersilahkan mengaso sejenak dalam
kamar tamu, akan tetapi menjelang senja, mereka sudah dipersilahkan makan
minum lagi. Sekali ini mereka
benar-benar takjub. Melihat Pat-jiu Kai-ong kini bertukar pakaian, pakaian
malam
yang indah dan mewah! Mengignat betapa
siang tadi Kai-ong merupakan seorang pengemis yang berpakaian butut, dan
kini seperti seorang raja, benar-benar
membuat Lu-san Loji hampit tertawa, seperti melihat seorang badut pemain
lenong! Dan hidangan yang dikeluarkan
di meja juga istimewa, jauh lebih lengkap daripada siang tadi! "Ha-ha,
ayo makan minum. Kita berpesta sampai
kenyang!" kata tuan rumah itu mempersilahkan tamutamunya. Setelah
hidangan tinggal sedikit dan perut
mereka kenyang sekali, Pat-jiu Kai-ong mengusap-ngusap bibirnya yang
berminyak dan perutnya yang gendut,
matanya memandang ke arah Bu Swi Liang dan Bu Swi Nio penuh gairah, lalu
dia berkata, kata-kata yang sama sekali
tidak pernah disangka oleh para tamunya dan yang membuat mereka
terkejut setengah mati, "Lu-san
Loji, sekarang kau tidurlah dalam kamarmu dan jangan hiraukan badut yang hendak
mengganggu. Adapun dua orang anakmu
ini, yang cantik jelita dan tampan gagah, biarlah mereka berdua
besenang-senang dengan aku dalam
kamarku, ha-ha-ha!" "Kai-ong!" Lu-san Lojin membentak.
"Apa... maksud
kata-katamu ini?" Pat-jiu Kai-ong
memandang tamunya sambil tersenyum lebar. "Apa maksudnya? Swi Liang begini
tampan gagah dan Swi Nio cantik jelita
dan segar, sungguh aku suka sekali kepada mereka. Kalau mereka bedua
bersama dengan aku dalam kamarku, tentu
mereka akan terlindung dan....hemmm, aku ingin sekali bersenang dengan
mereka, tidur-tiduran dengan mereka
sejenak." "Kai-ong, apa kau gila??" Lu-san Lojin hampir tidak
dapat percaya
akan pendengaranya sendiri. "Eh,
mengapa? Apa salahnya aku tidur dengan dua orang keponakanku ini? Heh-heh, tak
tahan aku melihat puterimu yang muda
dan cantik segar, dan puteramu yang tampan dan ganteng ini. Anak-anak
baik, marilah kalian layani
pamanmu..." "Keparat!" Lu-san Lojin melompat ke depan dan dua
orang anaknya yang
berada di belakangnya pun sudah siap
dengan pedang di tangan. "Pat-jiu Kai-ong! Harap kau jangan main gila dan
jelaskan apa sebabnya perubahan sikapmu
ini. Mau apa engkau dengan anak-anakku?" "Ha-ha-ha! Siapa main gila?
Sebelum kalian muncul, tidak pernah ada
terjadi apa-apa di sini. Akan tetapi begitu kalian muncul, muncul pula
orang aneh yang membunuh ayamku dan
mengeluarkan ancaman. Siapa lagi kalau bukan teman dan kaki tanganmu? Dan
kau tentu sudah mendengar bahwa Pat-jiu
Kai-ong tidak pernah menyia-nyiakan kecantikan seorang dara remaja
seperti putermu ini dan puteramu yang
tampan ini tentu memiliki otak yang bersih, darah yang segar dan sumsum
yang kuat. Perlu sekali untuk menambah
keampuhan Hiat-ciang Hoat-sut agar makin kuat menghadapi lawan kalau
malam ini ada yang berani datang!"
"Iblis jahanam! Kiranya engkau seorang manusia iblis yang busuk!"
Lu-san
Lojin sudah menerjang maju dengan
kepalan tangannya. Kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sebagai
bekas murid Hoa-sanpai yang sudah
memperdalam ilmunya dengan ciptaanya sendiri, hasil renungannya di waktu
bertapa. Kepalan tangnnya menyambar
dahsyat, mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Akan tetapi kiranya
hanya dalam ilmu pengobatan saja dia
menang jauh dibandingkan dengan Pat-jiu Kai-ong. Dalam ilmu berkelahi, dia
tidak mampu menandingi Kai-ong yang
amat lihai. Sambil tertawa, Kai-ong mengebutkan ujung lengan bajunya yang
lebar dua kali dan kakek Lu-san itu
terpaksa harus menarik kembali kedua tanganya karena dari kedudukan
menyerang, dia malah menjadi yang
diserang karena pergelangan kedua tangannya terancam totokan ujung lengan
baju itu! dua orang naknya yang sudah
marah sekali karena merasa dihina, sudah menerjang maju pula dengan
pedang mereka. Swi Liang menusuk dari
samping kiri ke arah lambung kakek pengemis itu, sedangkan dari kanan Swi
Nio membabatkan pedangnya ke arah
leher. "Ha-ha, bagus! Kalian benar-benar menggairahkan!" kata kakek
itu dan
dia bersikap seolah-olah tidak tahu
bahwa dirinya diserang. Akan tetapi setelah kedua pedang itu menyambar
dekat, tiba-tiba kedua tangannya
menyambar dan.... dua batang pedang itu telah dicengkramnya dengan telapak
tangan! Swi Liang dan Swi Nio terkejut
bukan main, akan tetapi melihat betapa kedua batang pedang mereka itu
dipegang oleh tangan kakek itu, mereka
cepat menggerakan tenaga menarik pedang dengan maksud melukai telapak
tangan Pat-jiu Kai-ong. Namun usaha
mereka ini sia-sia belaka, pedang mereka tak dapat dicabut, seolah-olah
dicengkeram jepitan baja yang amat
kuat. "Manusia tak kenal budi!" "wirrrr... tar-tar!"
Pat-jiu Kai-ong merasa
terkejut melihat menyambarnya sinar kuning
dan ternyata bahwa Lu-san Lojin melolos sabuknya yang berwarna
kuning dan kini menggunakan sabuk itu
sebagai senjata. Kakek ini memang memiliki tenaga sinkang yang kuat, dan
memainkan sabuk sebagai senjata sudah
merupakan kehaliannya. Sabuk lemas di tangannya itu dapat bergerak
seperti pecut, dapat pula menjadi
sebatang senjata yang kaku dengan pengerahkan sinkangnya.
"Krekk-krekkk!" dua
batang pedang itu patah-patah dalam cengkraman
Pat-jiu Kai-ong dan sambil melompat mundur menghindarkan
sambaran ujung sabuk, raja pengemis ini
menyambitkan dua ujung pedang yang dipatahkanya ke arah Lu-san Lojin.
"Trang-tranggg!" Dua batang
ujung pedang itu terlempar ke lantai ketika ditangkis oleh ujung sabuk(ikat
pinggang) dan kini Lu-san Lojin
mendesak ke depan dengan putaran senjatanya yang istimewa. Sedangkan kedua
orang anaknya telah mundur dan hanya
menonton di pinggir karena mereka terkejut menyaksikan pedang mereka
dipatahkan begitu saja oleh kedua
tangan lawan dan mereka sama sekali tidak berdaya dan tidak berguna membantu
ayah mereka. Pada saat itu, muncullah
empat orang pengawal yang mendengar suara ribut-ribut. Melihat mereka,
Pat-jiu Kai-ong berkata, "Tangkap
dua orang muda ini, akan tetapi awas, jangan lukai mereka!" Empat orang
pengawal itu segera menubruk maju
hendak menangkap Swi Liang dan Swi Nio. Tentu saja kakak beradik ini melawan
sekuat tenaga, akan tetapi biarpun
keduanya memiliki ilmu silat tinggi, namun empat orang pengawal itu pun
merupakan murid-murid terpandai dari
Pat-jiu Kai-ong, maka ketika dua orang di antara mereka menggunakan
tongkat, dalam belasan jurus saja Swi Liang
dan Swi Nio dapat ditotok dan roboh dan lumpuh. Ha-ha-ha, belenggu
kaki tangan mereka baik-baik...
kemudian lempar mereka ke atas tempat tidurku... haha- ha!" Pat-jiu
Kai-ong
tertawa sambil menyambar tongkatnya.
Setelah dia bertongkat, maka kini dia menghadapi Lu-san Lojin dengan lebih
leluasa. Kakek dari Lu-san itu marah
bukan main melihat putera dan puterinya digotong pergi dari ruang itu. Dia
mengejar dan menggerakan ikat
pinggangnya, namun Pat-jiu Kai-ong menghadangnya sambil tertawa-tawa dan
menyerangnya dengan tongkatnya sehingga
terpaksa kakek Lu-san itu melayaninya bertanding. Pertandingan yang
amat seru dan diam-diam Pat-jiu Kai-ong
harus mengaku bahwa ilmu kepandaian kakek yang pernah menolongnya ini
memang hebat. "Pat-jiu Kai-ong,
benar-benarkah kau lupa akan budi orang? Aku pernah menyelamatkan nyawamu,
apakah sekarang engkau mencelakakan
kami bertiga?" Lu-san Lojin berkata membujuk karena khawatir melihat nasib
puterinya. "Ha-ha-ha, dahulu memang
engkau pernah menolongku, akan tetapi sekarang kalian datang dengan niat
buruk!" "Tidak! Kau salah
duga! Kami tidak ada sangkut pautnya dengan si pembunuh ayam!"
"Ha-ha-ha, Lu-san
Lojin! Kalian menyelundup ke dalam dan
bergerak dari dalam, sedangkan setan itu bergerak dari luar. Begitukah?"
Tongkat di tangan Pat-jiu Kai-ong
menyambar ganas. "Plak-plakk!" Ujung sabuk kakek Lu-san menangkis dua
kali
akan tetapi dia merasa betapa telapak tangannya
tergetar tanda bahwa tenaga Si Raja Pengemis itu benar-benar
amat kuat. "Pat-jiu Kai-ong, kau
salah menduga, kami tidak ada hubungan dengan musuh yang datang. Lepaskan
kedua anakku dan kau berjanji akan
membantumu menghadapi musuh gelap itu." "Wah, berat kalau disuruh
melepaskan. Lu-san Lojin, dengan
baik-baik. Aku tergila-gila melihat anakanakmu. Pinjamkan mereka kepadaku
untuk satu dua malam, dan kau bantu aku
menghadapi musuh, baru aku akan membebaskan kalian." "Iblis
busuk!"
Lu-san Lojin marah sekali dan dengan
nekat dia lalu mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan raja pengemis ini
karena dia maklum bahwa betapapun juga
hati yang kotor dari raja pengemis itu tidak mudah dibujuk. Satu-satunya
jalan untuk menolong anak-anaknya
adalah melawan mati-matian. "Plakkk!" Tiba-tiba ujung sabuk melibat
tongkat,
keduanya saling betot untuk merampas
senjata. Tidak mudah bagi mereka untuk dapat berhasil merampas senjata
lawan dan kesempatan ini dipergunakan
oleh Pat-jiu Kai-ong untuk menggerakan tangan kirinya dengan telapak
tangan terbuka ke arah lawan. Lu-san
Lojin terkejut melihat telapak tangan yang menjadi merah seperti tangan
berlumuran darah itu. Dia belum pernah
mengenal limu Hiat-ciang Hoat-sut dari raja pengemis itu, namun dia
pernah mendengar akan hal ini, tahu
pula betapa keji dan berbahayanya ilmu itu. Akan tetapi untuk mengelak dia
harus melepaskan sabuknya dan hal ini
pun amat berbahaya. Dengan senjata itu saja dia masih kewalahan melawan
Pat-jiu Kai-ong, apalagi tanpa senjata,
maka dengan nekat dia lalu menggerakan tangan pula menyambut pukulan
itu. "Dessss...! Aduhhh...!!"
Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya tubuh Lu-san Lojin terjengkang dan
terbanting ke atas lantai, mulutnya
mengeluarkan darah segar dan matanya mendelik. Kakek ini pingsan dan
menderita luka dalam yang amat parah!
"Lempar dia di kamar tahanan!" Pat-jiu Kai-ong berkata sambil
tertawa.
Setelah tubuh kakek yang pingsan itu
digusur pergi oleh para pengawalnya. Pat-jiu Kai-ong menghampiri meja di
mana dia tadi menjamu para tamunya,
menyambar guci arak dan menenggaknya habis, kemudian sambil tertawa-tawa
dia memasuki kamarnya. Pemuda dan pemudi
She Bu itu sudah rebah terlentang di atas pembaringan Pat-jiu Kai-ong
yang lebar. Dalam keadaan terbelenggu
kaki tanganya. Lima orang selirnya menjaga di situ. Ketiaka dia masuk
sambil tertawa gembira, Bu Swi Liang
memandang dengan mata melotot penuh kebencian, akan tetapi Bu Swi Nio
memandang dengan mata terbelalak
ketakutan dan mencucurkan air mata. Pat-jiu Kai-ong menghampiri pembaringan,
menggunakan tangannya untuk membelai
dan menghusap pipi Swi Nio dan Swi Liang sambil berkata, "Manis, jangan
menangis dan kau jangan marah. Aku akan
menemani kalian dan bersenang-senang sepuas hati setelah kami menangkan
musuh gelap yang mengancam." Dia
menengok ke arah lima orang selirnya dan berkata garang. "Temani mereka,
jaga
baik- baik jangan sampai ada yang
lolos, dan kalau ada apa-apa, cepat berteriak memanggil para pengawal.
Mengerti?" Lima orang selir itu
mengangguk dan kakek itu meninggalkan kamar lagi. Sebelum orang yang membunuh
ayam jagonya dan yang mengirim surat
ancaman itu dapat ditangkap atau dibunuh, tentu saja dia tidak bernafsu
untuk bersenang-senang dengan dua orang
muda yang tertawan itu. Dia percaya penuh bahwa menghadapi seorang
pengacau saja, para pengawalnya akan
dapat mengatasinya, akan tetapi dia harus berhati-hati dan ikut melakukan
penjagaan sendiri. Setelah keadaan
benar-benar aman barulah dia boleh bersenag-senang. Dia belum yakin benar
apakah musuh gelap itu ada hubungannya
dengan Lu-san Lojin dan kedua orang anaknya, akan tetapi ada hubungan
atau tidak, setelah tiga orang itu
dibuat tidak berdaya, berarti mengurangi bahaya. Dia harus berhati-hati,
maklum bahwa dia mempunayi banyak
musuh. Siapa tahu kalau Lu-san Lojin yang termasuk golongan putih itu juga
memusuhi. Andaikata tidak sekalipun,
mana bisa dia melepaskan dua orang muda yang cantik jelita dan tampan itu?
Pat-jiu Kai-ong duduk lagi di ruangan
tadi sambil melanjutkan minum arak. Dia maklum bahwa malam ini dua belas
orang pengawalnya menjaga dengan tertib
dan penuh kewaspadaan. Ingin dia tertawa keras-keras mengusir kesunyian
malam yang mendatangkan perasaan tidak
enak. Hemmm, Ratu Pulau Es? Hanya dongeng! Pembunuh ayam itu tidak perlu
ditakuti. Andaikata dia mampu
mengalahkan dua belas orang pengawalnya, hal yang sukar dipercaya, masih ada
dia
sendiri. Hiat-ciang Hoat-sut, ilmu yang
dilatihnya belasan tahun kini telah dapat diandalkan. Tadipun, hanya
menggunakan sebagian kecil tenaganya
saja, ilmu itu telah merobohkan Lu-san Lojin. Dia tidak takut! "Aku tidak
takut!" serunya kuat-kuat.
"Datanglah kamu, hai Ratu Pulau Es keparat! Ha-ha-ha!" Para pelayan
sudah menyalakan
lampu-lampu penerangan dan atas
perintah para pengawal, pelayanpelayan ini menambah jumlah lampu sehingga
keadaan di seluruh gedung itu menjadi
terang. Setelah menyuruh para pelayan membersihkan meja di ruangan itu,
dan sekali lagi memanggil kepala
pengawal dan menekankan agar penjagaan diperketat dan selalu diadakan
perondaan bergilir, Pat-jiu Kai-ong
lalu duduk bersila di dalam ruangan itu untuk mengumpulkan tenaga dan
mempertajam pendengarannya sehingga
biarpun dia berada di dalam istana, namun dia ikut pula menjaga dan meronda
mempergunakan ketajaman pendengarannya
untuk menangkap semua suara yang tidak wajar di luar istana. Malam makin
larut dan keadaan sunyi sekali di
istana itu dan sekitarnya. Para pelayan yang mendengar dari para pengawal,
dengan muka pucat tinggal berkelompok
di kamar seseorang di antara mereka, tidak berani membuka suara dan hanya
saling pandang dengan mata penuh rasa
takut. Para selir juga berkelompok di dalam kamar Pat-jiu Kai-ong, agar
terhibur dengan adanya Swi Liang pemuda
yang tampan itu. Bahkan ada di antara mereka yang tanpa-malu-malu
membelai pemuda itu, memegang
tangannya, mengusap dagunya, membereskan rambutnya. Akan tetapi mereka tidak
berani berbuat lebih dari itu, dan
tidak berani mengeluarkan suara. Juga para pengawal agaknya melakukan
penjagaan dengan teliti dan hati-hati,
tidak bersuara seperti biasanya kalau mereka melakukan penjagaan tentu
diisi dengan sendau gurau dan
mengobrol. Kesunyian yang mengerikan itu tidak menyenangkan hati Pat-jiu
Kai-ong.
Akan tetapi dia amat memerlukan
kesunyian ini agar penjagaan dilakukan lebih tertib dan rapi pula. dia merasa
tersiksa dan diam-diam dia memaki musuh
gelap itu. Kalau sampai tertawan, tentu akan dihukum dan disiksanya
seberat mungkin! Tiba-tiba terdengar
suara jeritan susul-menyusul yang datangnya dari dalam kamarnya! Pat-jiu
Kai-ong cepat melompat dan hanya dengan
beberapa kali lompatan saja dia sudah menerjang masuk ke dalam
kamarnya. Dilihatnya kelima orang
selirnya menangis dan kelihatan gugup dan ketakutan, akan tetapi dua orang
muda yang tadi terbelenggu di atas
pembaringannya, seperti dua tusuk daging panggang yang dihidangkan di atas
meja makan dan siap untuk diganyangnya,
kini telah lenyap tanpa bekas! "Apa yang terjadi? Keparat, diam semua!
Jangan menangis, apa yang
terjadi?" Lima orang selir itu menjatuhkan diri berlutut dan seorang di
antara mereka
bercerita dengan suara gagap,
"Ada... ada... setan...., hanya tampak bayangan berkelebat ke atas ranjang
dan...
dan mereka berdua... tahutahu telah
lenyap..." "Tolol!!" Pat-jiu Kai-ong berkelebat keluar melalui
jendela
kamar yang terbuka, terus berloncatan
memeriksa sampai dia bertemu dengan para pengawal di luar istana, namun
dia tidak melihat jejek dua orang
tawanan yang lenyap itu. "Kalian tidak melihat orang masuk?"
Bentaknya kepada
para pengawal. "Tidak ada,
Pangcu." "Bodoh! Kalau tidak ada, bagaimana dua orang tawanan itu
lenyap?" Kagetlah
para pengawal itu dan Pat-jiu Kai-ong,
dibantu oleh para pengawalnya lalu mengadakan pemeriksaan di dalam
istana. Mula-mula timbul dugaannya
bahwa tentu Lu-san Lojin dan dua orang anaknya itu benar-benar mempunyai
kawan-kawan di luar, buktinya kedua
orang muda itu ditolong mereka. Akan tetapi ketika dia menjenguk kedalam
kamar tahanan, Lu-san Lojin masih
mengeletak pingsan di atas lantai! "Cepat lakukan penjagaan tadi.
Tutupsemua
jalan masuk! Bagi-bagi tenaga!"
Pat-jiu Kai-ong memerintah dengan suara yang agak parau karena harus diakuinya
bahwa jantungnya tergetar juga oleh
rasa gentar menyaksikan sepak terjang musuh gelap yang aneh dan amat luar
biasa itu. Setelah sekali lagi
memeriksa sendiri dengan memepersiapkan tongkat ditangan, sampai tidak ada
lubang yang tidak dijenguknya di dalam
dan di sekitar gedungnya dan mendapatkan keyakinan bahwa tidak ada orang
bersembunyi di dalam gedung, Pat-jiu
Kai-ong kembali ke dalam ruangan besar dan menanti dengan jantung
berdebar. Malam telah makin larut dan
musuh yang aneh itu telah mulai memperlihatkan bahwa musuh itu memang ada
dengan menculik dua orang tawannan itu
secara aneh. Biarpun lima orang selirnya bukan ahli-ahli silat tinggi,
namun lima pasang mata tidak dapat
melihat orang yang menculik pemudapemudi itu di depan hidung mereka, sungguh
merupakan hal yang amat aneh! Pat-jiu
Kai-ong bergidik dan membalik-balik gudang ingatan di dalam otaknya.
Siapakah Ratu Pulau Es? Apalagi dengan
ratunya, dengan penghuni Pulau Es dia tidak pernah bertemu, kecuali satu
kali dengan Han Ti Ong ketika
memperebutkan Sin-tong. Dan di mana adanya pulau dongeng itu dia pun tidak
tahu.
Pertemuannya dengan Han Ti Ong tidak
boleh dianggap permusuhan, dan adaikata ada yang sakit hati, kiranya sakit
hati itu seharusnya datang dari dia, bukan
dari pihak Pulau Es atau Han Ti Ong yang telah berhasil menangkan
perebutan atas diri Sin-tong! Mengapa
kini muncul tokoh rahasia yang mengaku bernama Ratu Pulau Es? Siapakah
yang bermain-main dengan dia? Melihat
sepak terjang orang rahasia ini, caranya membunuh ayam, dapat dipastikan
bahwa orang itu kejam dan aneh, ciri
seorang tokoh golongan hitam, bukan golongan putih yang selalu datang
secara berterang. Siapakah tokoh golongan
hitam yang memusuhinya? Tentu saja banyak, dan di antara mereka, yang
paling menonjol adalah Kiam-mo Cai-li
Liok Si! Wanita itukah yang kini datang mengganggunya? "Ha-ha-ha!"
Dia
tertawa keras-keras, hatinya menjadi
besar. Mengapa dia takut? Andaikata Kia-mo Cai-li sendiri yang datang,
diapun tidak takut! Dan siapakah lain
wanita di dunia Kang-ouw yang lebih mengerikan daripada Kiam-mo Cai-li?
"Iblis atau manusia, jantan atau
betina, keluarlah dari tempat persembunyian! Hayo serbulah, aku Pat-jiu
Kai-ong tidak takut kepada siapa pun
juga! Kalau kau diam saja, berarti kau pengecut hina dan penakut,
ha-ha-ha-ha!" Karena merasa
tersiksa oleh keadaan sunyi yang mengerikan itu, Pat-jiu Kai-ong berusaha mengusir
rasa takutnya dengan teriakan keras ini
yang tentu saja didengar oleh semua penghuni gedung itu. Dan agaknya,
sebagai sambutan atas tantangannya,
tiba-tiba terdengar suara ayam jagonya yang berada di belakang, di kandang
ayam, berkeruyuk keras sekali!
"Ha-ha-ha!" Pat-jiu Kai-ong tertawa mendengar ayamnya sendiri yang
menjawab,
akan tetapi tiba-tiba dia terkejut dan
mukanya berubah. Keruyuk ayamnya itu berhenti setengah jalan dan
terputus oleh suara "kok!" suara
ayam kesakitan! Suara ini disusul suara berkotek riuh dari ayam-ayam betina di
dalam kandang, seolah-olah ada sesuatu
yang mengganggu mereka akan tetapi suara berkotek ini pun berhenti
setengah jalan dan bekali-kali
terdengar suara "ko" suara ayam dicekik atau dihentikan suara dan
hidupnya!
"Keparat...!!" Pat-jiu
Kai-ong yang bermuka merah saking marahnya itu sudah meloncat keluar dan
langsung lari
ke kandang. Hampir dia bertubrukan
dengan dua orang pengawal yang juga mendengar keanehan di kandang itu. Kini
dengan sebuah obor yang dipegang oleh
pengawal, mereka bertiga memeriksa kandang dan di bawah sinar obor
tampaklah oleh mereka bahwa dua puluh
ayam yang berada di kandang itu, jantan, betina, semua telah tewas dengan
leher putus! Darah merah muncrat ke
mana-mana, membuat lantai dan dinding kandang itu menjadi merah mengerikan.
"Jahanam...!" Pat-jiu Kai-ong
memaki dan mereka bertiga sejenak menjadi seperti arca memandang ke dalam
kandang. Sunyi di situ, bahkan tidak
ada angin berkelisik, membuat suasana menjadi menyeramkan.
"Ngeooonggg...!" Suara kucing
yang tiba-tiba terdengar ini yang membuat mereka tersentak kaget dan memandang
ke
atas genting. Si Putih satu-satunya
kucing peliharan di gedung itu, berkelebat melompat sambil menggereng,
seolah-olah menghadapi musuh dan marah.
Akan tetapi gerengannya terhenti tiba-tiba dan Pat-jiu Kai-ong cepat
melompat ke kiri ketika ada benda jatuh
dari atas genteng menimpanya. "Bukkk!" Ketika pengawal yang membawa
obor mendekat, ternyata yang terjatuh
itu adalah bangkai kucing Si Putih yang baru saja mengeong tadi!
"Jahanam...!" Pat-jiu Kai-ong
memaki untuk kedua kalinya dan tubuhnya sudah melayang ke atas genting, diikuti
oleh dua orang pengawalnya. Melihat
betapa obor yang dipegang pengawal itu tidak padam ketika dia meloncat ke
atas genting membuktikan bahwa pengawal
itu sudah memiliki ginkang yang hebat. Akan tetapi kembali ketiganya
termangu-mangu di atas genting karena
tidak tampak bayangan seorang manusian pun. Keadaan sunyi. Sunyi ekali,
terlampau sunyi seolah-olsh gedung itu
telah berubah menjadi tanah kuburan! "Hung-hung! Huk-huk-huk...!!"
Riuhlah suara tiga ekor anjng
peliharaan gedung itu menggonggong dan menyalak-nyalak di sebelah kanan gedung.
Suara ini mengejutkan mereka, apalagi
suaran gonggongan mereka yang riuh rendah itu tiba-tiba ditutup dengan
suara "kaing...! nguik...
nguikkk... nguikkkkk!" Dan suasana menjadi sunyi kembali, lebih sunyi dari
tadi
sebelum terdengar gonggongan
anjing-anjing itu. "Bedebah...!" Pat-jiu Kai-ong melompat dari atas
genting, tidak
dapat disusul oleh dua orang pengawalnya
itu saking cepatnya dan sebentar saja dia sudah tiba di sebelah kanan
gedungnya, di kandang anjing. Seperti
sudah dikhawatirkannya, tiga ekor anjing itu sudah menggeletak mati
dengan leher hampir putus dan darah
mengalir di bawah bangkai mereka. Tiga orang pengawal yang terdekat sudah
tiba pula dan mereka saling pandang
dengan muka berubah pucat! Seperti terngiang di telinga Pat-jiu Kai-ong
suara Lu-san Lojin ketika membacakan
isi surat, "Malam ini, semua mahluk hidup yang tinggal di rumah Pat-jiu
Kai-ong, dari binatang sampai manusia,
akan kubasmi habis!" Semua binatang peliharaannya , ayam, kucing, dan
anjing, sudah mati semua dan sekarang
tentu tiba gilirannya manusianya! Teringat akan ini, Pat-jiu Kai-ong
cepat berkata, suaranya sudah mulai
gemetar "Cepat, semua berkumpul denganku di dalam gedung...!"
Tiba-tiba
mereka dikejutkan oleh jeritan-jeritan
di sebelah luar dan di depan gedung itu. Mereka cepat berlari menuju ke
depan gedung dan tampaklah oleh mereka dua
orang pengawal yang berjaga di luar sudah menggeletak tak bergerak
di atas tanah. Ketika seorang pengawal
yang membawa obor mendekat, Pat-jiu Kai-ong melihat bahwa dua orang
pengawalnya yang terlentang itu telah
tewas dengan mata melotot dan dari mata, hidung, telinga, dan mulut
keluar darah hitam sedangkan di dahi
mereka itu tampak jelas cap jari tangan yang kecil panjang, tiga buah
banyaknya dan mudah dilihat bahwa itu
adalah tanda jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis. Begitu dalam
gambar jari itu sampai garis-garisnya
tampak! "Kurang ajar! Mari kita berkumpul semua...!" Akan tetapi
kembali
terdengar pekik mengerikan dari sebelah
kiri gedung. Mereka kembali berlari-lari ke tempat itu dan melihat tiga
orang pengawal lain sudah menjadi mayat
dalam keadaan yang sama seperti dua orang korban pertama. Segera
tersusul pula pekik-pekik mengerikan
itu dari belakang gedung. Pat-jiu Kai-ong dan tiga orang pengawalnya ini,
termasuk pengawal kepala Si brewok,
mengejar ke belakang dan empat orang pengawal sudah menggeletak tewas dalam
keadaan mengerikan, presis seperti yang
lain. Dalam sekejap mata saja sembilan orang pengawal telah tewas.
Mereka itu berada di depan, di sebelah
kiri, di belakang gedung, akan tetapi kematian mereka susul menyusul
begitu cepatnya, seolah-olah banyak
musuh yang datang dari berbagai jurusan. Namun, biarpun mulutnya tidak
menyataakan sesuatu, Pat-jiu Kai-ong
maklum bahwa tanda dari jari tangan itu dibuat oleh jari tangan yang sama,
dan bahwa pembunuhnya itu hanya satu
orang saja, seorang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa sehingga para
pengawal itu agaknya sama sekali tidak
mampu melakukan perlawanan. Tiga orang pengawal saling pandang dengan
muka pucat. Melihat muka mereka,
Pat-jiu Kai-ong menjadi penasaran dan merah sehingga timbul kembali
keberaniannya yang tadi agak berkurang
karena jerih. Dia berteriak memaki, "jahanan pengecut! Hayo keluarlah
dan lawan aku Pat-jiu Kai ong!"
Setelah dia mengeluarkan kata-kata ini dengan suara nyaring, keadaan menjadi
sunyi sekali, sunyi yang amat
menggelisahkan damn menyeramkan, seolah-olah dalam kegelapan dan kesunyian
malam
itu tampak mulut iblis menyeringai dan
menanti saat untuk menerkam dan mencabut nyawa ! Pat-jiu Kai-ong makin
`
0 comments:
Post a Comment