BUKEK SIANSU : Seri Keempat - Lanjutan Seri Ketiga
puterinya itu adalah seorang anak yang
amat cerdik, maka tentu saja tidak dapat dibohonginya semudah itu. "Ibu
ada apakah? Harap Ibu beritahu
kepadaku, siapa yang menyusahkan hati Ibu? Akan kuhajar dia!" Swat Hong
mengepal
kedua tinjunya yang kecil seolah-olah
orang yang menyusahkan hati ibunya sudah berada disitu dan akan
dihantamnya. Melihat sikap anaknya ini,
hati Liu Bwee
terharu sekali dan ingin dia menangis lagi, akan tetapi
ditekannya perasaan harunya dan dia
tertawa. "Aih, Hong-ji, kalau ada yang kurang ajar kepada ibumu, apakah
Ibumu tidak dapat menghajarnya
sendiri?" Swat Hong tertawa. "Memang aku tahu bahwa kepandaian Ibu
juga hebat,
biarpun tidak sehebat Ayah, akan tetapi
tidak puas kalau aku tidak menghajar dengan kedua tanganku sendiri
kepada orang yang menyusahkan hati
Ibu." "Anakku yang baik...!" Untuk menekan harunya, LIu Bwee
mengangkat
tubuh anaknya, dipeluk, diciuminya
kemudian dia membentak, "Terbanglah!" dan melempar tubuh anak itu ke
atas.
Swat Hong bersorak gembira. Itulah
sebuah diantara permainan mereka. Dia senang sekali kalau dilempar ke udara
oleh Ibunya, terutama kalau ayahnya
yang melakukannya karena lemparan ayahnya membuat tubuhnya "terbang"
tinggi
sekali. Namun kini lemparan ibunya
cukup menggembirakan hatinya karena biarpun Ibunya tidak sekuat ayahnya,
lemparannya cukup membuat tubuhnya
melambung tinggi melewati puncak pohon! Ketika tubuhnya melayang turun,
ibunya sudah siap menyambutnya, akan
tetapi dasar anak nakal, dia menggunakan kesempatan ini untuk berlatih!
Dia cepat membalikkan tubuh sehingga
kedua kakinya diatas dan cepat dia menggunakan kedua tangannya untuk
menyerang ibunya, mencengkram ke arah
ubun-ubun. Itulah jurus terakhir yang dilatihnya dari ayahnya yang
seharusnya dilakukan dengan loncatan ke
atas dan menyerang ubun-ubun kepala lawan, akan tetapi kini
dilakukannya ketika dia melayang turun!
"Haaiiiit...!!" Untuk memperingatkan ibunya, Swat Hong menjerit
sebelum
menyerang. Tentu saja Liu Bwee tidak perlu
diperingatkannya lagi. Semenjak menjadi isteri Pangeran Han Ti Ong,
wanita puteri nelayan yang tentu saja
seperti semua penghuni Pulau Es telah memiliki dasar ilmu silat tinggi,
telah digembleng oleh suaminya dengan
ilmu-ilmu simpanan yang tinggi sehingga dia menjadi seorang yang sakti
seperti semua keluarga kerajaan itu.
Melihat kegembiraan puterinya, dia pun cepat mengelak, dari samping dia
menyambar kedua lengan anaknya dan
dengan bentakan nyaring kembali tubuh anaknya dilemparkan ke atas! Tubuh itu
melayang tinggi dan tiba-tiba dari atas
Swat Hong berteriak girang, "Heiii, Ibu... itu Ayah datang....!!"
Mendengar ini, Liu Bwee cepat lari
kepinggir tebing tinggi dan memandang ke laut. Wajahnya berseri-seri,
jantungnya berdebar karena penuh rindu
kepada suaminya. Benar saja. Tampak sebuah perahu dan dia mudah mengenal
suaminya yang mendayung perahu itu
dengan kekuatan dahsyat sehingga perahu kecil meluncur seperti seekor ikan
hiu yang marah. Akan tetapi alis wanita ini
berkerut ketika dia melihat dua orang lain di dalam perahu. Seorang
wanita muda yang cantik! Hatinya terasa
tidak enak. Dia tidak akan mengikat suaminya, dan sebagai seorang
isteri pangeran calon raja tentu saja
dia maklum bahwa suaminya berhak mengambil selir-selir sebanyaknya. Akan
tetapi entah mengapa, kedatangan
suaminya dengan dua orang itu, terutama seorang wanita cantik, mendatangkan
rasa gelisah yang aneh didalam hatinya.
"Ibuuuu.....tolong dulu aku...........!"
</P>
<P>
Teriakan Swat Hong ini mengejutkan
hatinya. Dia menengok dan melihat tubuh anaknya meluncur turun. Dia kaget
dan baru sadar bahwa ketegangan
mendengar suaminya pulang membuat dia lupa kepada puterinya. Sungguhpun Swat
Hong telah memiliki ginkang yang cukup
baik akan tetapi meluncur turun dari tempat tinggi seperti itu ada
bahayanya patah atau setidaknya salah
urat. Untuk meloncat sudah tidak ada waktu lagi, maka cepat dia menyambar
sebuah ranting kayu di dekat kakinya,
melontarkan kayu itu dengan tepat melayang di bawah kaki Swat Hong dan
anak ini juga idak menyianyiakan
pertolongan ibunya. Dia menginjak kayu itu dan tenaga luncuran kayu itu dapat
menahan dan mengurangi tenaga luncuran
tubuhnya sendiri dari atas sehingga dia dapat meloncat kebawah dengan
aman. Seperti tidak pernah mengalami
bahaya apa-apa, anak itu lalu lari ke arah ibunya dan berteriak girang,
"Ayah datang, Ibu?" Ibunya hanya
mengangguk tanpa menoleh, tetapi memandang ke arah perahu yang makin mendekat
pantai. "Heii, Ayah bukan datang
sendiri! Ada seorang wanita dan anak laki-laki bersama ayah di dalam
perahu!"
Liu Bwe tetap tidak menjawab akan
tetapi memandang tajam penuh selidiki ke arah perahu. "Wah, jangan-jangan
itu
selir dan putera..ayah!" Swat Hong
yang memang berwatak terbuka itu berkata mengomel. Dia pun sudah tahu akan
kebiasaan para pangeran untuk mengambil
selir, maka dia tidak akan merasa heran pula kalau ayahnya juga
mempunyai selir di luar pulau Es, biar
pun hatinya merasa tidak senang dan penuh iri memandang kepada anak
laki-laki di dalam perahu itu.
Mendengar ucapan yang tanpa disengaja oleh Swat Hong merupakan benda tajam
menusuk hatinya itu, Liu Bwee menjawab,
Perempuan itu masih terlalu muda untuk menjadi ibu anak laki-laki itu,
Sungguhpun bukan tidak mungkin dia
adalah selir Ayahmu karena dia memang cantik." Jawaban ini keluar dari
lubuk
hati Liu Bwee sehingga keluar melalui
mulutnya seperti tidak disadarinya. Barulah dia kaget ketika kalimat itu
telah terucapkan. Cepat dia menoleh ke
arah puterinya dan merasa menyesal telah mengeluarkan katakata yang
penuh cemburu tadi. Segera digandengnya
tangan anaknya dan untuk mengapus kata-katanya dari hati anaknya dia
berkata riang, "Ehh, kenapa kita
disini saja? Hayo kita sambut Ayahmu!" Berlarilarianlah mereka menuruni
tebing
untuk menyambut kedatangan Pangeran Han Ti
Ong di pantai pasir. Sikap wanita yang penuh kegembiraan ini
menyembunyikan semua perasaanya
sehingga Swat Hong sudah lupa lagi akan kedukaan ibunya tadi. Sebenarnya,
memang amat giranglah hati Liu Bwee
melihat kembalinya suaminya sungguhpun kegembiraanya itu akan lebih besar
andai kata suaminya pulang sendirian
saja. Semenjak suaminya pergi beberapa bulan yang lalu dia mengalami
penderitaan batin yang hebat. Memang
dia maklum bahwa dirinya tidak disukai oleh keluarga kerajaan, karena
dianggap seorang wanita berdarah
rendah. Kebencian keluarga itu menjadi-jadi ketika mendapat kenyataan betapa
Han Ti Ong tidak mau mengambil
selir.Hal ini dianggap oleh mereka Bahwa Liu Bwee menggunakan daya upaya untuk
mengikat suaminya!. Apalagi karena Liu
Bwee tidak mempunya anak laki-laki, maka kebencian mereka makin
bertambah. Sudah tentu saja, yang
merasa paling benci adalah mereka yang mengharap agar Han Tiong pangeran
calon raja itu memperistrikan puteri
mereka! Pada waktu itu, raja yang sudah tua menderita sakit dan sudah
menjadi dugaan umum bahwa usianya takan
bertahan lama lagi. Agaknya raja itu hanya menantikan kembalinya
puteranya yang menjadi putera mahkota,
yaitu pangeran Han Ti Ong untuk mewariskan singasana kepada puteranya
ini. Akan tetapi, karena keadaan Han Ti
Ong yang lain daripada para pangeran lain, suka merantau, isterinya
orang rendah dan hanya satu, tidak
punya selir, tidak punya putera, maka Liu Bwee maklum bahwa di antara
keluarga raja terdapat persekutuan yang
menentang diangkatnya suaminya menjadi calon raja! Hal inilah yang
mendukakan hatinya. Dia menganggap
bahwa dirinya menjadi penghalang Bagi suaminya dan hal inilah yang paling
merusak hatinya. Maka dapat dibayangkan
betapa gembira hatinya melihat suaminya pulang! Ketika ibu dan anak ini
tiba dipantai, ternyata pasukan
kehormatan telah berbaris dan siap menyambut pulangnya pangeran yang dihormati
itu. Tentu saja Liu Bwee dan Swat Hong
mendapat tempat kehormatan paling depan dan ketika akhirnya perahu itu
menempel dipantai dan Han Ti Ong
melompat keluar sambil tersenyum lebar, Swat Hong menjadi orang pertama yang
berlari menyambut.
"Ayah....!!" "Ha-ha, Hong-ji, kau makin cantik saja!" Han
Ti Ong menerima puterinya itu dan
mengangkatnya tinggitinggi, lalu
melemparkan tubuh anaknya keudara. Sambil tertawa-tawa Swat Hong melayang
turun dan langsung menyerang ayahnya
dengan jurus Kek-seng-jip-hai (Bintang Terompet Meluncur ke Laut ) seperti
yang dilakukanya kepada ibuya tadi.
"Ha-ha-ha, bagus juga!"Ayahnya tertawa, menyambar kedua lengan yang
mencengkram ubun-ubunnya, lalu
memondong puterinya, dan mencium dahinya. Sambil memondong puterinya Han Ti Ong
menghampiri istrinya yang sudah maju
menyambutnya, memandang penuh kemesraan dan berkata halus, Harap kau
baik-baik saja selama aku pergi."
Liu Bwee memandang suaminya, tersenyum akan tetapi di balik senyum itu tampak
oleh Han Ti Ong ada sesuatu yang
menggelisahkan hati istrinya, apalagi ketika mendengar suara istrinya lirih.
"Ayahanda raja sedang menderita
sakit parah." Han Ti Ong mengangguk. Ucapan yang pendek itu sudah mencakup
semua isi hati istrinya. Dia sudah
mengenal hati istrinya yang tercinta itu dan tahu dia bahwa menjelang
kematian ayahnya, ada hal-hal yang
menggelisahkan istrinya. Tentu saja tentang warisan tahta kerajaan dan
istrinya yang datang dari keluarga
berdarah "rendah" itu tentu saja mengkhawatirkan bahwa keturunan
istrinya
itu akan menjadikan persoalan bagi
pengangkatan raja! Maka dia memandang isterinya dengan sinar mata menghibur,
kemudian seperti teringat dia berkata,
"Ahh, hampir aku lupa. Aku datang bersama seorang muridku, namanya Sing
Liong akan tetapi di daratan besar sana
dia dikenal sebagai Sin-tong." "Hai, seorang sin-tong (anak ajaib)?
Hemm, ingin aku tahu sampai di mana
keajaibannya!" "Hong-ji, jangan!" ibunya menegur, akan tetapi
anak itu
meloncat ke depan dan pada saat itu,
Sin Liong sudah turun dari atas perahu. Baru saja dia berjalan menghampiri
gurunya, tiba-tiba ada bayangan
berkelebat dan tahu-tahu seorang gadis cilik dengan gerakan seperti seekor
burung garuda menyambar telah
menyerangnya dari depan, sebuah kaki kecil telah menghantam dadanya.
"Bukk!!"
Tanpa dapat ditanyakan lagi, Sin Liong
roboh terjengkang, dadanya terasa nyeri dan napasnya sesak. Akan tetapi
dia bangkit berdiri, mengebutkan
pakaianya yang menjadi kotor, memandang anak perempuan yang lebih muda
daripada dia itu, menggeleng kepala dan
berkata tenang, "Sungguh sayang sekali, seorang anak-anak yang masih
bersih dikotori kebiasaan buruk
mempergunakan kekerasan untuk memukul orang tanpa sebab."
"Aihhh..." Swat Hong
tertegun, lalu menoleh kepada ayahnya
yang terdengar tertawa keras, "Ayah, dia tidak bisa apa-apa, mengapa
disebut Sin-tong? Serangan biasa saja
membuatnya roboh terjengkang!" "Ha-ha-ha, kaulihat dia roboh, akan
tetapi
apakah kau tidak lihat sesuatu yang
ajaib? Dia tidak marah malah menyayangkan dirimu, bukankah itu ajaib?"
"Anak yang luar biasa dia..."
terdengar Liu Bwee berkata lirih dan kini Swan Hong juga memandang Sin Liong .
Akan tetapi dia masih merasa tidak puas
dan berkata, "Dia tidak marah karena takut dan pengecut, Ayah!"
"He,
Sin Liong, apakah engkau takut kepada Swat
Hong ini?" Han Ti Ong berteriak kepada Sin Liong. Anak ini
menggeleng kepala. "Suhu mengerti
bahwa teecu tidak takut terhadap apa pun dan siapa pun." Swat Hong
membusungkan dadanya yang masih gepeng
itu, menegakan kepalanya dan menantang, "Bocah sombong ,kalau kau tidak
takut, hayo kaulawan aku!" Dia
sudah siap memasang kuda-kuda. Sin Liong menggeleng kepalanya. "Adik yang
baik,
aku tidak akan menggunakan kepandaian
apapun juga untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain, apalagi
terhadap seorang anak-anak seperti
engkau." Gadis cilik itu sudah menerjang maju, dipandang oleh Sin Liong
dengan sikap tenang saja, berkedip pun
tidak menghadapi serangan anak perempuan itu. Tiba-tiba tubuh Swat Hong
terhuyung ke belakang dan ternyata
lengannya sudah ditangkap oleh ibunya dan ditarik ke belakang. "Swat Hong,
kau terlalu sekali! Seharusnya kau
minta maaf kepada Suhengmu itu!" Swat Hong menoleh, melihat ayahnya
tersenyum, melihat pandang mata semua
orang dari prajurit sampai perwira penuh kagum terhadap Sin Liong.
Barulah dia ingat bahwa dia telah
melanggar pelajaran pertama dari ayahnya, bahkan dari semua penghuni pulau
bahwa ilmu silat pulau Es tidak boleh
sembarangan dikeluarkan untuk menyerang orang tanpa alasan! Dan dia telah
menyerang Sin Liong tanpa sebab
apa-apa, padahal Sin Lion adalah murid ayahnya atau suhengnya (kakak
seperguruan). Biarpun dia berwatak
keras dan tidak mengenal takut, akan tetapi sifatnya yang gembira dan mudah
berubah membuat Swat Hong dapat
mengusir semua rasa penasaran dan sambil tersenyum dan muka ramah dia menjura
ke arah Sin Liong sambil berkata,
"Suheng, harap maafkan aku yang kurang ajar tehadap murid Ayah." Sin
Liong
terkejut. Kiranya bocah ini puteri
suhunya! Dia pun menjura dan berkata, Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sumoi.
Kepandaianmu memang hebat, tentu saja
aku bukan tandinganmu." "Hi-hik, wah, dia baik sekali, Ayah!"
Swat Hong
lalu meloncat menghampiri Sin Liong,
menggandeng tangannya dan diajak lari ke pinggir di mana dia menghujani
Sin Liong dengan pertanyaan-pertanyaan.
"Siapakah nama lengkapmu, Suheng? Dari mana kau datang? Bagaimana kau
dapat menjadi murid Ayah? Apa saja yang
sudah diajarkannya kepadamu? Mengapa pula kau disebut Sin-tong?"
"Payah
juga Sin Liong menghadapi hujan
pertanyaan dari anak perempuan yang baru saja menyerangnya seperti seekor
burung garuda akan tetapi yang kini
sudah bersikap demikian ramah dan baik terhadapnya ini. Akan tetapi baru
saja dia memperkenalkan namanya, yaitu
Kwan Sin Liong dan belum sempat menjawab pertanyaan yang lain,
perhatiannya, juga Swat Hong dan semua
orang yang berada disitu tertarik oleh keributan yang terjadi ketika
Kwat Lin turun dari atas perahu. Begitu
Kwat Lin turun dari perahu, wanita yang masih belum sadar betul dari
gangguan ingatannya karena malapetaka
hebat yang menimpa dirinya, menjadi perhatian semua orang. Wanita ini
memang berwajah manis dan gagah,
apalagi ketika turun dari perahu itu rambutnya yang awut-awutan berkibar
tertuip angin, pakaiannya yang terlalu
longgar itu membuat dia kelihatan makin aneh dan penuh rahasia. Kwat Lin
turun dengan sikap tenang, akan tetapi
matanya bergerak liar menyapu semua orang yang memandangnya, kemudian
mata itu berhenti memandang kepada Liu
Bwee yang telah melangkah menghampirinya. "Dia ini siapakah?" Liu
Bwee
bertanya tanpa mengalihkan pandang
matanya dari wajah pucat itu sambil didalam hatinya menduga-duga dan menanti
jawaban yang diharapkan dari suaminya
karena pertanyaan itu sesungguhnya diajukan kepada suaminya. Akan tetapi
sebelum Han Ti Ong menjawab, tiba-tiba
Kwat Lin, wanita itu membentak, "Manusia-manusia busuk! Kubunuh
engkau!"
Dan dia sudah meloncat ke depan dan
menyerang Liu Bwee dengan pukulan yang dahsyat. "He, Twanio! jangan
begitu...!!" Sin Liong berteriak
mencegah, namun terlambat karena Kwat Lin sudah menyerang dengan cepatnya.
Sedangkan para penghuni Pulau Es,
termasuk Swat Hong dan Pangeran Han Ti Ong sendiri, hanya memandang dengan
tenang-tenang saja! "Wuuuutttt...
plak-plak...!" Tubuh Kwat Lin terplanting ketika pukulannya tertangkis
oleh
Liu Bwee dan wanita ini sudah menampar
pundaknya sebagai serangan balasan. Hal ini membuat Kwat Lin yang memang
belum sadar benar itu makin marah.
Dengan nekat dia melompat bangun dan menerjang lagi, Pangeran Han Ti Ong
sudah mendahuluinya menotok pundaknya
sambil berkata, "Tenanglah, Nona," Kwat Lin kembali roboh, akan
tetapi
tubuhnya disambar oleh Han Ti Ong.
Ternyata dia telah ditotok lemas. Dengan lambaian tangan, Pangeran itu
memanggil empat orang wanita pelayan
yang kelihatan tangkas-tangkas. "Dia sedang sakit ingatannya tidak
sewajarnya." Ucapan ini ditujukan
kepada istrinya yang memandang marah. mendengar ini, Liu Bwee
mengangguk-angguk dan kemarahannya di
wajahnya berubah menjadi iba. "Bawa dia ke kamar tamu dan rawat dia
baik-baik," kata Liu Bwee kepada
empat orang pelayan itu yang segera menggotong tubuh Kwat Lin pergi dari situ.
Barulah Pangeran Han Ti Ong kini
mempedulikan sambutan resmi dari para pangeran dan pasukan penghormatan. Tadi
dia seolah-olah menganggap mereka semua
itu seperti patung belaka. Dengan megah Pangeran itu lalu langsung
diantar ke kamar ayahnya Sang Raja yang
sedang sakit dan yang telah lama menanti kedatangan puteranya ini
sedangkan Sin Liong langsung diajak
oleh Swat Hong ke bagian istana di mana dia dan ibunya tinggal, yaitu di
bagian kiri istana besar. Tepat seperti
telah diduga oleh semua penghuni Pulau Es, tiga hari kemudian setelah
pulangnya Pangeran Han Ti Ong, raja tua
meninggal dunia setelah sempat menyaksikan Han Ti Ong dinobatkan
menjadi penggantinya, merajai Pulau Es
dalam upacara yang amat sederhana. Dapat dibayangkan betapa tidak puas
dan penasaran rasa hati para pangeran
yang membenci Han Ti Ong karena usaha mereka memanaskan hati mendiang
ayah mereka tentang keadaan Han Ti Ong
tidak dipedulikan oleh raja tua itu. Dan untuk memberontak secara
terang-terangan, tentu saja mereka
tidak berani karena di dalam pulau itu, pada waktu itu Han Ti Ong merupakan
orang yang paling sakti. Maka, mereka
itu hanya diam saja biarpun tidak pernah lengah barang seharipun untuk
mencari peluang dan kesempatan yang
baik untuk menjatuhkan Han Ti Ong, atau lebih tepat lagi, menjatuhkan Lui
Bwee yang mereka anggap sebagai biang
keladi dari "penyelewengan" Han Ti Ong dari kebiasaan keluarga raja
di
Pulau Es! Setengah bulan kemudian, berkat
perawatan yang baik dari Liu Bwee dan para pelayan, juga dengan
pengobatan tusuk jarum oleh Raja Han Ti
Ong sendiri, ditambah obat-obatan berupa daun-daun yang dicari para
anak buah Pulau Es atas petunjuk Sin
Liong, gangguan ingatan yang diderita oleh The Kwat Lin menjadi sembuh.
Pada suatu pagi, wanita yang bernasib
malang ini duduk seorang diri di dalam taman istana, taman yang bukan
berisi bunga bungan hidup, melainkan
terisi ukir-ukiran bunga dari batu-batu beraneka warna, dihias salju dan
patung patung kayu. Sudah berhari-hari,
dia duduk di taman ini dan didiamkan saja karena menurut Raja Han Ti
Ong, wanita malang ini harus dibiarkan
pulih kembali ingatannya dan tidak boleh diganggu. Namun, diam-diam dia
sendiri melakukan pengawasan karena
entah bagaimana, makin lama dia menjadi tertarik dan tahu bahwa dia jatuh
hati kepada gadis ini!" Tiba-tiba
Kwat Lin melompat bangun karena mendengar gerakan di belakangnya. Sebagai
seorang hali silat kelas tinggi,
sedikit suara saja cukup membuat dia siap waspada . Ketika dia membalik, dia
melihat Han Ti Ong yang berdiri di situ
sambil memandangnya dengan senyum ramah. The Kwat Lin yang kini sudah
sembuh sama sekali, memandang penuh
keheranan lalu menegur, "Siapakah engkau? Dan mengapa engkau bisa berada
di
tempat aneh ini?" Melihat sikap
gadis ini dan mendengar pertanyaan-pertanyaan itu, legalah hati Raja Han Ti
Ong. Sikap dan kata-kata itu sudah cukup
membuktikan bahwa Kwat Lin telah sembuh sama sekali, telah kembali
kepada keadaan sebelum mengalami
tekanan batin hebat, maka tentu saja tidak mengenalnya dan tidak mengerti
mengapa dan bagaimana bisa berada di
pulau itu. "Nona, girang hatiku mendapat kenyataan bahwa Nona telah sembuh
dari lupa ingatan yang Nona derita
belasan hari ini." "Lupa ingatan? Sekaranglah aku kehilangan ingatan
karena
aku tidak mengenal engkau dan tidak
tahu mengapa dan bagaimana aku bisa berada di tempat ini." "Memang
begitulah. Tadinya Nona lupa ingatan,
dan baru sekarang Nona sadar sehingga Nona lupa lagi apa yang Nona telah
alami selama belasan hari ini. Sungguh
aku ikut merasa berduka dan terharu akan nasib Ca-sha Sin-siap yang amat
malang...." Tba-tiba wajah itu
menjadi merah sekali dan kemudian berubah pucat, "Kau... kau tahu apa yang
terjadi kepada kami...?" Raja Han
Ti Ong tersenyum dan memandang wajah yang mengguncangkan hatinya itu dengan
senyum mesra. Tentu saja, Nona. Aku dan
muridkulah yang mengubur jenazah dua belas orang suhengmu, dan aku dan
muridku pula yang menolongmu membawa
kesini kemudian mengobatimu sehingga sembuh hari ini. Aku adalah Raja Han
Ti Ong, raja pulau ini dan kau berada
di Pulau Es." Mata yang indah ini terbelalak. "Apa...? Di... di Pulau
Es... dan aku telah mendengar nama
besar Pangeran Han Ti Ong..." "Sekarang telah menjadi Raja Han Ti
Ong, raja
sebuah pulau kecil tak berarti, Nona, dan
aku belum mengetahui namamu karena selama ini kau tidak menyebut
namamu." Kwat Lin menjatuhkan diri
berlutut dan menahan isaknya. Saya menghaturkan banyak terima kasih atas
pertolongan Paduka, dan maafkan kalau
saya tidak mengenal penolong saya. Saya bernama The Kwat Lin, orang
termuda Cap-sha Sin-hiap, dan...kalau
paduka menaruh kasihan kepada saya, saya ingin segera pergi dari sini ...
sekarang juga...." "Nona The,
aku adalah seorang yang tidak bisa menyimpan rahasia hati. ketahuilah, semenjak
pertama kali melihatmu dan melihat
penderitaanmu, timbul rasa iba dan sayang di dalam hatiku. Karena itu, kalau
kiranya engkau suka aku akan merasa
berbahagia sekali kalau Nona mau tinggal didalam istanaku ini, sebagai
seorang istriku, istri ke dua."
Kwat Lin terkejut sekali. Dia telah berhutang budi kepada raja ini, dan
sekarang raja ini secara demikian terus
terang menyatakan cintanya dan ingin mengambil dia sebagai isteri! Dia
menjadi isteri raja? Dia yang telah
dinodai oleh Pat-jiu Kai-ong? "Tidak! Maaf... saya... saya harus pergi
sekarang juga. Hanya satu tujuan hidup
saya, dan Paduka tentu tahu... yaitu untuk membunuh iblis Pat-jiu
Kai-ong." Han Ti Ong
mengangguk-angguk. "Aku mengerti dan aku sudah menduga bahwa seorang dara
perkasa seperti
engkau tentu saja tidak akan mau
menerima tawaranku dan tidak mungkin aku mengharapkan seorang dara seperti
Nona akan jatuh cinta begitu saja
kepadaku. Akan tetapi aku pun tidak terlalu mengharapkan yang ajaib. Aku
jatuh cinta kepadamu, Nona, dan adanya
aku berani meminangnya secara terang-terangan, karena aku yakin Nona
akan menerimanya berdasarkan cita-cita
tunggal Nona itulah. Bagaimana mungkin Nona akan membalas dendam kepada
Pat-jiu Kai-ong, sedangkan Cap-sha
Sin-hiap saja tidak mampu mengalahkannya. Akan tetapi kalau engkau menjadi
istriku, hemmm...soal membalas dendam
kepada Pat-jiu Kai-ong sama mudahnya dengan membalikan telapak tangan."
Ucapan ini berkesan mendalam, memang
buat Kwat Lin termangu-mangu. Dia bukan gadis lagi dan tidak mungkin dia
menjadi istri orang, dan baginya
setelah berhasil membalas dendam, hanya kematianlah yang akan mengakhiri noda
yang dideritanya. Akan tetapi, menjadi
istri kedua Raja Han Ti Ong yang sakti, lain lagi halnya, apa pula kalau
orang sakti itu sendiri sudah tahu akan
keadaanya. "Apakah... apakah Paduka akan mengajarkan ilmu kesaktian
kepada saya? tanyanya dan kini dia
mengangkat muka, memandang raja itu, diam-diam harus mengakui bahwa
laki-laki ini gagah dan tampan,
sungguhpun usianya tentu tidak kurang dari empat puluh tahun. "Terserah
kepadamu. kalau engkau suka memenuhi hasrat hatiku yang ingin
memperistrimu. Kalau kau menghendaki, dalam waktu
pendek saja aku dapat menangkap musuhmu
itu dan menyeretnya kedepan kakimu. Atau, engkau boleh mempelajari ilmu
dan aku berani tanggung bahwa selama
setahun saja engkau akan mengalahkan musuhmu itu." "Be...benarkah
itu?"
"Nona The Kwat Lin. Han Ti Ong
bukan orang biasa membohong, pula aku tidak ingin mendapatkan dirimu dengan
jalan membohong. Aku telah bicara terus
terang dan andaikata engkau menolak sekalipun, aku tidak akan
memaksamu. Sekarang juga, kalau engkau
menolak, akan kusediakan perahu untukmu. Nah, engkau yang memutuskan."
Tentu saja timbul keraguan hebat
didalam hati Kwat Lin. Dia mengerti betapa lihainya Pat-jiu Kai-ong. Tentu
saja dapat pergi ke Bu-tong-pai dan
melaporkan malapetaka yang menimpa Cap-sha Sinhiap itu kepada gurunya,
ketua Bu-tong-pai, Kui Bhok Sianjin.
Akan tetapi, gurunya sudah tua sekali, dan belum tentu gurunya mau
mencampuri urusan dunia, biarpun
murid-muridnya terbunuh. Mengandalkan para saudara seperguruan, agaknya akan
sukar mengalahkan Pat-jiu Kai-ong, dan
terrutama sekali yang memperberat hatinya, kalau dia pergi ke
Bu-tong-pai, tentu semua orang akan
tahu tentang malapetaka yang menimpa dirinya, bahwa dia telah diperkosa
oleh Pat-jiu Kai-ong. ke mana dia akan
menaruh mukanya kalau semua orang mengetahuinya akan hal itu?
Sebaliknya, kalau dia berada di Pulau
Es, selain tak seorang pun akan tahu tentang hal yang memalukan itu, juga
dia akan mempunyai kesempatan besar
untuk melakukan balas dendam itu! Akan tetapi, benarkah pria di depannya
ini akan mampu mengajarnya sehingga dalam
waktu setahun dia akan lebih pandai dari Pat-jiu Kai-ong? Dia tidak
akan puas kalau tidak dapat membunuh
jembel iblis itu dengan tangannya sediri. Biarpun dia sudah banyak
mendengar nama besar Pangeran dari
Pulau Es yang kini menjadi raja itu, namun bagaimana dia dapat membuktikan
kesaktianya? Apakah orang ini lebih
lihai dari gurunya dan terutama sekali, lebih lihai dari Pat-jiu Kai-ong?
Perlahan-lahan Kwat Lin bangkit berdiri
dan sejenak memandang kepada Han Ti Ong yang juga sedang memandangnya.
Keduanya berpandangan dan akhirnya Kwat
Lin berkata, "Saya ingin sekali dapat membalas dendam dengan tangan
saya sendiri. Akan tetapi, bagaimanakah
saya dapat yakin bahwa dalam setahun saya dapat belajar di sini dan
menangkan iblis itu?" Han Ti Ong
tersenyum dan mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubahnya. "Inilah
pedang
yang kutemukan ketika aku dan muridku
menolongmu." Kwat Lin menerima pedang itu dan air matanya turun bertitik
akan tetapi segera dihapusnya. Itulah
Angbwe- kiam pedang dari twa-suhengnya! "Engkau meragu, baiklah.
Kaupergunakan pedangmu dan kauserang
aku untuk menguji apakah aku dapat melatihmu selama setahun sehingga kau
lebih lihai daripada Pat-jiu
Kai-ong." Kwat Lin menimang-nimang pedang Ang-bwe-kiam di tangannya.
Pat-jiu
Kai-ong telah dikeroyok oleh dia dan
dua belas orang suhengnya. Mereka telah mainkan Ngo-heng-kiam, bahkan
telah membentuk barisan Sin-kiam-tin
ketika mengeroyok kakek iblis itu namun akhirnya mereka semua kalah,
sungguhpun sejenak kakek itu terdesak.
kini, kalau hanya dia seorang diri menyerang raja ini, mana bisa dipakai
ukuran apakah dia lebih lihai dari
Pat-jiu Kai-ong? "Nona, jangan ragu-ragu. Percayalah, kalau engkau benar
rajin belajar, dalam waktu setahun
engkau pasti akan dapat mengalahkan dia. Hiat-ciang Hoat-sut dan
Pat-mo-tung-hoat dari kakek itu
sebetulnya kosong saja," kata raja itu, seolah-olah dapat membaca isi hati
Kwat-lin. Dara itu terkejut, kemudian
mengambil keputusan untuk menguji orang ini sebelum dia menyerahkan
dirinya yang sudah ternoda itu menjadi
istrinya sebagai penebus latihan ilmu untuk membalas dendam. "Baiklah,
saya akan menguji kepandaian Paduka,
harap Paduka bersiap dan mengeluarkan senjata." "Ha-ha-ha, Pat-jiu
Kai-ong
membutuhkan tongkatnya dan pukulan
beracunya untuk mengalahkan Cap-sha Sin-hiap, akan tetapi aku cukup
menggunakan ini." Dia meraih
kebawah dan tanganya sudah membentuk batu karang sedemikian rupa sehingga batu
karang itu berbentuk panjang seperti
pedang! "Harap Paduka siap!" Kwan Lin berseru dan tiba-tiba pedangnya
menyambar dengan cepat, melakukan
tusukan ke arah leher sedang tangan kirinya sudah memukul ke arah dada.
Serangan berganda dengan pedang dan
pukulan tangan kiri ini merupakan jurus hampuh dari Ngo-heng-kiam-sut.
Tiba-tiba tubuh raja itu bergerak,
serangan Kwat Lin telah dapat dielakkan dan pada detik berikutnya, leher
dara itu tersentuh ujung batu karang
dan dadanya juga tersentuh kepalan tangan kiri Han Ti Ong. Kwat Lin
menjerit lirih karena maklum bahwa
kalau tusukan batu dan pukulan tadi dilanjutkan oleh Han Ti Ong tentu dia
telah roboh dan tewas seketika. Akan
tetapi yang lebih mengejutkan hatinya adalah gerakan raja itu. "Paduka...
Paduka mengunakan jurus Hui-po-liu-hong
(Air Tumpah Muncrat Pelangi Melengkung) dari Ngo-heng-kiam-sut
Bu-tong-pai!" Han Ti Ong
tersenyum, "Persis sekali dengan seranganmu tadi, akan tetapi jauh lebih
lihai karena
sekali serang berhasil, bukan? Nah,
kalau engkau memiliki kesempurnaan dalam jurus ini tadi, bukankah mudah kau
mengalahkan musuhmu? Kwat Lin tertegun,
akan tetapi dia masih belum puas. "Saya ingin mencoba lagi!"
"Boleh,
boleh. kauseranglah aku sepuluh jurus
yang paling lihai dan aku tanggung bahwa engkau akan kukalahkan dengan
jurusmu yang sama." Dengan
pengerahan tenaga dan memilih jurus-jurus terampuh, Kwat Lin menyerang lagi,
akan
tetapi setiap kali menyerang satu
jurus, dia menjerit lirih karena benar saja, dia selalu dikalahkan oleh
jurusnya sendiri. Jurus itu digerakan
oleh Han Ti Ong sedemikian aneh dan sempurnanya, demikian cepat dan
mengandung tenaga mujijat sehingga
biarpun dia mengenal jurusnya sendiri, dia tidak sempat lagi mengelak atau
menangis! Setelah sepuluh kali dia
terkena sentuhan ujung batu atau usapan tangan kiri lawan yang lihai ini dia
menjadi yakin, lalu menjatuhkan diri
berlutut. "Saya menerima penawaran Paduka!" Ha Ti Ong memegang kedua
pundaknya dan mengangkatnya bangun
berdiri. Mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan wajah raja itu
berseri melihat betapa wajah Kwat Lin
menjadi merah sekali dan ada kedukaan hebat tersembunyi dibalik kemerahan
wajah karena malu itu. dengan mesra Han
Ti Ong mengusap pipi halus kemerahan itu dan berkata lirih, "Aku tahu,
Kwat Lin. Peristiwa terkutuk menimpa
dirimu membuat kau jijik terhadap pria dan muak terhadap hubungan antara
pria dan wanita. Akan tetapi, aku
bukanlah pria yang mengutamakan hubungan badani saja, Kwat Lin. Aku akan
menghapus kejijikan dan kemuakan itu.
Percayalah, aku cinta dan iba kepadamu. Keputusan yang kauambil ini tepat
sekali dan tidak akan mendatangkan
sesal di kemudian hari. Mari,mari kita mengumumkan pernikahan kita. Semoga
engkau berbahagia." Han Ti Ong
mencium dan mengecup mesra dan halus pinggir mata Kwat Lin, kemudian
menggandeng
tangannya dan mengajaknya berjalan
memasuki istana dari pintu belakang yang menembus ke "Taman" itu.
Tentu saja
tidak ada kehebohan terjadi ketika Han
Ti Ong mengumumkan keputusanya mengambil The Kwat Lin, sebagai istri ke
dua, sunguhpun hal ini mendatangkan
bermacam-macam tanggapan dalam hati para penghuni Pulau Es. Pesta diadakan,
pesta yang sederhana saja tetapi cukup
meriah. Sebagian besar penghuni Pulau Es bersuka cita dan mengharapkan
bahwa dari pernikahan ini, raja akan
dikurniai seorang putera. Juga terjadi bermacam tanggapan di kalangan
keluarga raja. Ada kekecewaan akan
tetapi ada pula harapan. Kecewa karena sekali lagi Raja Han Ti Ong mengambil
"orang luar" sebagai selir,
akan tetapi timbul harapan karena mungkin melalui istri ke dua ini mereka dapat
"memukul" Liu Bwee yang
mereka benci. Ternyata kemudian oleh Kwat Lin Bahwa semua ucapan yang
dikeluarkan oleh
Raja Pulau Es itu ketika meminangnya
bukan hanya bujukan kosong belaka. Raja itu benar-benar jatuh cinta
kepadanya dan hal ini terasa olehnya
setelah dia menyerahkan dirinya menjadi selir Raja Han Ti Ong. Dengan
sepenuh jiwa raganya, Han Ti Ong
mencurahkan kasih sayang kepadanya sedemikian besarnya sehingga lambat laun
dia pun jatuh cinta kepada suaminya
ini. Dan dia yang tadinya hendak belajar ilmu silat sebagai dorongan
terutama dengan mengorbankan dan
menyerahkan diri sebagai selir, setelah menerima pencurahan cinta kasih yang
amat mesra dan mendalam, mulailah
berbalik pikir. Apalagi setelah sembilan bulan kemudian semenjak dia menjadi
selir, dia melahirkan seorang anak
laki-laki. Kwat Lin merasa betapa hidupnya berubah sama sekali, kalau dulu
dia hanya seorang pendekar wanita yang
seringkali menghadapi banyak kesengsaraan hidup, kini menjadi seorang
yang mulia dan terhormat, bahkan dia
mendapat kenyataan bahwa suaminya benar-benar memiliki ilmu kepandaian
yang luar biasa tingginya! Timbullah
keinginan hatinya untuk mengangkat diri menjadi permaisuri, dan dia merasa
berhak karena bukankah dia yang
mempunyai keturunan laki-laki, dan selain menjadi permaisuri, juga menjadi
pewaris semua ilmu kesaktian dari Pulau
Es. Kalau sudah demikian, baru dia akan mencari dan membunuh Pat-jiu
Kai-ong. Kebenciannya terhadap kakek
iblis jembel itu kini menjadi tipis sekali. Memang kalau dipikir betapa
selama tiga hari tiga malam kakek itu
mempermainkanya, merengut kehormatan dengan memperkosa secara amat
menghina akan tetapi ada segi lain yang
membuat dia diam-diam berterima kasih kepada kakek itu. Kalau tidak ada
peristiwa hebat itu, agaknya selama
hidupnya dia tidak akan dapat bertemu dengan Han Ti Ong, apalagi menjadi
istrinya dan sekaligus pewaris
ilmu-ilmunya! Sin Liong belajar ilmu silat dengan tekun bersama suhengnya, Swat
Hong yang lincah jenaka.Dan mulai tampaklah
bakatnya yang luar biasa. Tidak mengherankan kalau para tokoh
kang-ouw ingin memiliki bocah ini dan
menjadikan Sin Liong sebagai bahan perebutan, karena dia pantas disebut
Sin-tong. Han Ti Ong sendiri yang
merupakan manusia luar biasa dan memiliki kecerdasan yang disebut
Kwee-bak-put-bong (sekali melihat tidak
bisa lupa lagi), diam-daim menjadi kagum sekali karena dia harus akui
bahwa dalam hal kecerdasan dan kekuatan
pikiran, dia masih kalah oleh muridnya ini! Yang amat mengagumkan
hatinya adalah betapa di balik semua
bakat yang luar biasa ini terpendam watak yang amat luar biasa, watak yang
penuh kehalusan, kelembutan dan kasih
sayang dan iba terhadap orang lain yang amat mendalam, di samping watak
yang wajar seadanya. Benar-benar
seorang bocah yang ajaib! Diam-diam Sin Liong mengerti bahwa diangkatnya Kwat
Lin menjadi istri Han Ti Ong, biarpun
hal ini merupakan hal yang lumrah bagi seorang raja, namun akan
mendatangkan banyak ketidak baikan,
terutama di pihak ibu sumoinya. Apalagi ketika dia melihat sikap dan
perubahan pada diri bekas pendekar
wanita Bu-tong-pai itu Akan tetapi karena dia hanyalah seorang anak kecil
yang tidak tahu apa-apa dan yang sama sekali
tidak berhak mencampuri "Urusan dalam" suhunya, maka tentu saja
dia hanya berdiam diri, hanya mengikuti
perkembangan keadaan dengan hati tidak enak. Yang dikhawatirkan oleh
anak yang belum tahu apa-apa memang
sungguh terjadi. Semenjak mengambil Kwat Lin sebagai isteri kedua, Liu Bwee
menderita tekanan batin yang amat
hebat. Mula-mula tidak terasa olehnya ketika suaminya makin jarang bermalam
di dalam kamarnya karena hal ini
dianggapnya limrah setelah suaminya memiliki isteri lain yang baru. Akan
tetapi perasaan kewanitaannya yang
halus segera dapat menangkap kehambaran cinta kasih yang dicurahkan suaminya
kepadanya. Dan terutama sekali setelah
The Kwat Lin mengandung, suaminya tidak pernah datang lagi menginap
dikamarnya, dan kalau sekali-sekali
datang, tidak ada cumbu rayu dan kemesraan sama sekali, hanya untuk
menanyakan kesehatan dan agaknya
suaminya datang hanya demi kesopanan belaka! Hati seorang wanita amatlah
halusnya, mudah tersinggung, mudah
gembira, mudah marah, mudah berduka, mudah jatuh cinta dan mudah pula
membenci! Setelah Kwat Lin melahirkan
seorang anak lakilaki, mulailah hati Liu Bwee digerogoti iri dan hal ini
mendatangkan kebencian hebat. Dia mulai
merasa tersiksa batinya, merasa kesepian, rasa rindu yang makin
menghimpit terhadap belaian kasih
sayang suaminya membuat Liu Bwee makin tersiksa, menambah kebenciannya
terhadap Kwan Lin yang makin dipuja
suaminya itu. Liu Bwee bukan seorang wanita yang gila akan kedudukan. Dia
tidak mengejar kedudukan dan dia sama
sekali tidak khawatir akan menurunya derajatnya apabila madunya itu
diangkat menjadi permaisuri karena
mempunyai seorang putera. Akan tetapi Liu Bwee adalah seorang wanita yang
haus akan kasih sayang, maka dapat
dibayangkan betapa hebat penderitaan batinnya setelah cintanya disiasiakan
oleh suaminya yang telah jatuh di bawah
telapak kaki Kwat Lin. Melihat penderitaan batin yang dialami oleh Liu
Bwee ini, diam-diam bersoraklah para
keluarga raja. Bagi mereka, biarpun putera raja bukan keturunan dari
seorang ibu yang masih berdarah
"agung" seperti mereka, namun masih lebih baik dari pada kalau
dilahirkan oleh
seorang iu seperti Liu Bwee, hanya anak
seorang nelayan Pulau Es rendah! Pula kebencian mereka yang terdorong
oleh iri hati terhadap Liu Bwee membuat
mereka condong kepada Kwan Lin sehingga kelahiran Han Bu Ong, nama
putera itu, disambut dengan penuh
kegembiraan oleh keluarga raja dan juga oleh semua penghuni Pulau Es sebagai
penyambutan terhadap lahirnya seorang
putera raja yang akan menjadi pangeran mahkota! Tujuh tahun telah lewat
semenjak Sin Liong berada di Pulau Es.
Dipandang begitu saja, agaknya keadaan Pulau Es dan kerajaan kecilnya
selam tujuh tahun itu tidak terjadi
perubahan sesuatu, para penghuninya masih hidup dengan tenang dan tentram
penuh kedamaian seperti puluhan, bahkan
ratusan tahun yang lalu. Raja Han Ti Ong tidak kalah bijaksana dalam
mengendalikan pemerintahan kecilnya
sehingga para penghuni Pulau Es hidup bahagia, sedangkan
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi
hanya sedikit sekali. Namun sesungguhnya terjadi perubahan yang amat besar
dan banyak! The Kwat Lin yang kini
menjadi permaisuri, diangkat secara resmi oleh Han Ti Ong sehingga kedudukan
Liu Bwee tergeser menjadi istri selir,
bukan hanya menjadi wanita pertama yang paling tinggi tingkat
kedudukanya, namun juga telah menjadi
seorang wanita yang memiliki kesaktian hebat, hanya kalah oleh suaminya
dan beberapa tokoh lain di Pulau Es.
Namun, hasratnya untuk membalas dendam terhadap Pat-jiu Kai-ong agaknya
telah lenyap sama sekali! Dia kelihatan
hidup bahagia tenggelam dalam belaian penuh kasih sayang dari suaminya
dan melihat puteranya yang kini telah
berusia enam tahun dan menjadi seorang anak laki-laki yang tampan dan
sehat biarpun tubuhnya agak kecil,
sebagai pangeran, tentu saja Bu Ong digembleng oleh ayahnya sendiri sejak
kanak-kanak. Sin Liong telah memperoleh
kemajuan yang mentakjubkan dan mengagumkan Han Ti Ong sendiri. Semua
ilmuyang diajarkan oleh raja itu,
sekali dilatih dapat dilakukan dengan hampir sempurna! Tentu saja dalam waktu
beberapa tahun dia telah jauh melampaui
tingkat kepandaian sumoinya, dan setelah dia berusia empat belas tahun,
Sin Liong telah jauh meninggalkan
tingkat sumoinya. Bukan hanya dalam hal ilmu silat, akan tetapi juga dalam
ilmu sinkang dia maju pesat karena
tanpa diperintah oleh suhunya, dengan tekun Sin Liong berlatih seorang diri
di bawah hujan salju yang amat dingin
sehingga dia dapat menampung inti sari tenaga im-kang yang amat hebat.
Selain tekun mempelajari ilmu silat
yang diturunkan oleh suhunya tanpa ada yang disembunyikan itu, Sin Liong
juga rajin sekali membaca kitab-kitab
yang banyak terdapat didalam kamar perpustakaan istana. Dia dikenal oleh
semua ahli sastra di Pulau Es dan
mereka ini amat kagum dan suka kepada Sin Liong melihat ketekunan bocah ajaib
ini. Tidak ada bosannya Sin Liong
membaca kitab-kitab kuno dan setiap bertemu hurup baru yang tidak dikenalnya,
dia mencatatnya untuk kemudian
ditanyakan kepada para ahli itu. Dengan cara demikian, biarpun tidak dibimbing
langsung, namun Sin Liong telah dapat
memperkaya perbendaharaan kata-kata sehingga dia mampu membaca
kitab-kitab yang paling kuno di dalam
perpustakaan itu. Kitab kuno tidaklah seperti kitab biasa, karena selain
huruf-hurufnya kuno, juga huruf-huruf
itu mengandung arti yang amat mendalam. Karena inilah, maka kitab-kitab
yang amat kuno di pulau itu jarang atau
hampir tidak pernah dibaca orang. Han Ti Ong sendiri segan membaca
kitab-kitab itu, karena selain sukar,
juga isinya hanyalah sajak-sajak kuno yang dianggapnya tidak ada gunanya
dan melelahkan otaknya. Namun semua
kitab itu "dilalap" semua oleh Sin Liong! Bukan ini saja, namun anak
ajaib
ini dapat menemukan sesuatu yang
tersembunyi didalam sajak-sajak itu! Dia menemukan rangkaian ilmu silat sakti
yang masih merupakan "rangka"
terselubung di dalam huruf-huruf kuno yang sukar dimengerti itu, bahkan
menemukan
pula ilmu yang masih dirahasiakan oleh
Han Ti Ong, ilmu yang selama ratusan tahun mengangkat nama Pulau Es,
yaitu ilmu inti sari dasar gerakan
semua ilmu silat. Dengan ilmu ini yang sudah dikuasainya, maka Han Ti Ong
dapat mengalahkan tujuh orang tokoh
sakti dengan jurus-jurus, jurus ilmu silat mereka sendiri ketika Han Ti Ong
menolong Sin Long di jeng-hoa-sian.
Kini, secara tidak disengaja, bahkan di luar kesadaran Sin Liong sendiri,
bocah ajaib ini telah menemukan ilmu itu
"terselip" dan terselubung di antara sajak-sajak kuno yang
kelihatanya
tidak ada gunanya itu. Selain
memperoleh kemajuan hebat dalam ilmu silat, juga selama berada di Pulau Es, Sin
Liong memperoleh kesempatan memperdalam
ilmunya mengenal daun dan tumbuhan obat dengan jalan menyelidikinya di
pulau-pulau kosong di sekitar Pulau Es.
Dia memang mendapat tugas untuk mencari bahan-bahan obat di pulau-pulau
itu untuk kepentingan para penghuni
Pulau Es, Dan dalam kesempatan melaksanakan tugasnya ini, Sin Liong tidak
menyia-nyiakan waktu untuk menyelidiki
lebih banyak lagi tetumbuhan dan khasiatnya untuk kesehatan tubuh
manusia. Dengan adanya Sin Liong di
Pulau Es, banyaklah sudah penghuni yang terhidar dari bahaya penyakit, dan
untuk ini, Han Ti Ong merasa berterima
kasih sekali sehingga dia tidak segan-segan menurunkan ilmu pengobatan
tusuk jarum kepada muridnya itu. Selain
Sin Liong, tentu saja Swat Hong sebagai puteri raja, juga memperoleh
kemajuan pesat dan dalam usia tiga
belas tahun itu dia telah memilik ilmu kepandaian yang sukar dicari
tandinganya. Dengan demikian, hampir
semua orang di Pulau Es memperoleh kemajuan masing-masing. Raja Han Ti Ong
memperoleh kebahagiaan cinta kasih
dalam diri Kwat Lin yang telah menjadi permaisurinya. The Kwat Lin sendiri
yang tadinya mengalami malapetaka yang
dianggapnya lebih hebat daripada kematian sendiri, telah memperoleh
banyak keuntungan, memperoleh cinta kasih yang mesra, kedudukan tinggi
sekali, dan ilmu kepandaian yang amat
hebat pula. Hanya seorang saja yang
sama sekali tidak memperoleh kemajuan lahir maupun batin yaitu Liu Bwee!
Dia menderita makin hebat, terutama
batinnya karena semenjak beberapa tahun ini, suaminya sama sekali tidak
pernah lagi mendekatinya! Lenyaplah
wataknya yang periang dan kini Liu Bwee lebih banyak mengurung dirinya di
dalam kamar, menyulam atau membaca
kitab. Dia seolah-olah menjadi seorang pertapa dan biarpun wajahnya tidak
membayangkan sesuatu, masih tetap
cantik manis dan pakaiannya selalu bersih, namun sesungguhnya hatinya terluka
dan selalu meneteskan darah, batinnya
terhimpit dan terbakar oleh rindu yang tak kunjung henti, kehausan akan
belaian kasih sayang seorang pria yang
tak pernah terpuaskan. Keadaan di dalam istana dengan adanya penderitaan
Liu Bwee, dengan adanya para anggauta
keluarga istana yang masih menaruh benci kepadanya dan tidak melihat
kesempatan untuk menjatuhkan wanita ini
karena Liu Bwee selalu bersikap diam dan tidak memperlihatkan sesuatu,
merupakan api dalam sekam yang setiap
saat tentu akan berkobar atau meledak. Hal ini tidak saja dirasakan oleh
semua angauta keluarga raja, bahkan
dirasakan pula oleh Sin Liong dan Swat Hong. Sering kali Sin Liong
kehilangan kejenakaan Swan Hong yang
merupakan ciri khas dara ini. Kalau dia melihat dara itu termenung seorang
diri, dia menarik nafas panjang dan
sekali waktu dia menegus, "Eh, Sumoi. Kenapa kau termenung dan wajahmu
suram? lihat, hari tidak sesuram
wajahmu, sinar matahari mencairkan salju dengan cahaya yang keemasan!"
Swat
Hong memandang pemuda itu dan menarik
nafas panjang. "Betapa aku tidak tidak akan muram menyaksikan keadaan
yang begini dingin di dalam istana,
Su-heng? Ayah memang masih biasa dan baik kepadaku, juga ibu baik kepadaku.
Akan tetapi antara Ayah dan Ibu
seolah-olah terdapat jurang pemisah yang amat dalam. Tidak pernah lagi aku
menyaksikan keduanya beramah tamah dan
bersendau gurau seperti dahulu lagi. Apakah karena Ibu Permaisuri...?"
"Ssst, Sumoi. Kita tidak mempunayi
hak untuk bicara mengenai orang-orang tua itu. Hal itu adalah urusan mereka
sendiri." "Aku mengerti,
Suheng. Akan tetapi aku melihat kedukaan hebat bersembunyi di balik senyum Ibu
kepadaku. Aku tahu betapa dia rindu
kepada Ayah, rindu yang membuatnya seperti gila...." "Hushh...."
"Aku tidak
membohong, Suheng. Seringkali aku
mendengar Ibuku mengigau memanggil nama Ayah dan menangis dalam tidur. Ibu
selalu gelisah kalau tidur dan biarpun
dia hendak menyembunyikannya dariku, namun aku tahu betapa Ibu menderita
sengsara batin yang hebat, menderita
rindu yang menghancurkan batinnya...." Dara itu kelihatan berduka sekali,
kemudian berkata lagi, "Suheng,
apa sih perlunya orang saling mencinta kalau akibatnya hanya mendatangkan rindu
dan kecewa?" "Itu bukan
cinta, Sumoi, Ahh, kau takan mengerti dan semua orang takan mengerti karena
sudah lajim
menganggap hawa nafsu sama dengan
cinta. Hawa nafsu menuntut pemuasan, menuntuk kesenangan dan ingin
memilikinya untuk diri sendiri. Dan
semua inilah yang menimbulkan kecewa dan duka, Sumoi." Sumoinya
terbelalak.
"Aihh, kau bicara seperti
kakek-kakek saja! Dari mana memperoleh filsafat macam itu, Suheng?" Karena
tertarik,
dara yang mudah ini sudah melupakan
kedukaanya dan menjadi riang gembira lagi, matanya memandang suhengnya
dengan berseri penuh godaan.
"Dari... hemm, kukira dari kesadaran, Sumoi. Bukan filsafat. Aku sudah
kenyang
membaca filsafat, dan apa artinya
filsafat kalau hanya untuk diafal? Tidak ada bedanya dengan benda mati yang
hanya diulang-ulang, dipakai perhiasan,
dijadikan alat untuk terbang melayang diawang-awang yang kosong.
Terlalu banyak kitab kubaca sudah, dan
mungkin juga karena memperhatikan keadaan mendatangkan kesadaran." Dia
menarik napas panjang. "Suheng,
kau tadi mencela aku yang kaukatakan murung. Akan tetapi aku juga seringkali
melihat engkau seperti orang berduka.
Apakah kau tidak senang tinggal di Pulau Es?" "Aku suka sekali
tinggal di
sini, Sumoi. Kurasa jarang terdapat
tempat seindah ini, masyarakat setenteram ini. Akan tetapi, kalau aku
melihat hukuman-hukuman yang dibuang ke
Pulau Neraka..." "Aih, hal itu bukan urusan kita, Suheng. Bukankah kau
tadi juga mengatakan bahwa urusan
antara Ayah dan Ibu bukan urusanku? Maka urusan hukuman itu pun sama sekali
bukan urusan kita." Kau keliru,
Sumoi. Urusan Ayah Bundamu memang merupakan urusan pribadi mereka. Akan tetapi
urusan orangorang terhukum adalah
urusan umum, urusan kita juga. Aku merasa tidak senang sekali dengan adanya
peraturan itu. Aku akan berusaha untuk
mengingatkan Suhu...." "Tapi Ayah seorang Raja, Suheng!"
"Raja pun
manusia juga." "Tapi Raja hanyalah
menjalankan hukum yang berlaku, Suheng." "Hukum pun buatan manusia.
Benda
Mati!" Tiba-tiba terdengar suara
tambur dipukul. Sejenak dua orang muda-mudi itu memperhatikan dan wajah Sin
Liong menjadi muram. "Nah, ada
lagi sidang pengadilan yang akan menjatuhkan hukuman. Entah siapa lagi sekarang
yang melakukan pelanggaran. Mari kita
lihat, Suheng!" Sin Liong digandeng tangannya oleh Swat Hong yang
menariknya ke arah bangunan di samping
istana, bangunan yang dijadikan ruang sidang pengadilan di mana
dijatuhkan hukuman terhadap mereka yang
melakukan pelanggaran-pelanggaran. Ketika mereka tiba di situ, banyak
sudah penghuni Pulau Es yang menonton
diluar ruangan, dan tentu saja dua orang muda-mudi itu mudah untuk
memasuki ruang sidang dan duduk di atas
kursi yang berderet di pinggiran. Ruangan itu luas sekali, lantainya
halus dan bersih. Isi ruang hanyalah
sebuah meja panjang dan di belakang meja panjang ini terdapat lima buah
kursi dan di kanan kiri, di pinggir
juga terdapat kursi-kursi, sedangkan di depan meja, di bagian tengah tetap
kosong. Pada saat Sin Liong dan Swat
Hong tiba di ruangan itu, di belakang meja telah duduk hakim, yaitu
seorang kakek tua keluarga kerajaan
yang biasa bertugas sebagai hakim, sedangkan di sebelah kanannya, di kursi
kebesaran, tampak duduk Han Ti Ong
sendiri bersama permaisurinya. Hal ini merupakan keanehan karena biasanya
raja hanya datang tanpa permaisurinya
dan duduk bersama dengan para pangeran lain. Agaknya permaisuri Raja Han
Ti Ong sekarang ini ingin pula melihat
pengadilan dilakukan di Pulau Es. Para pesakitan yang sudah berlutut di
depan meja, di atas lantai, hanya tiga
orang. Seorang lakilaki tinggi besar penuh brewok yang matanya lebar dan
gerak-geriknya kasar, seorang laki-laki
muda yang tampan dan seorang wanita yang usianya empat puluhan, namun
masih cantik dan wanita ini berlutut di
samping laki-laki muda yang kelihatan ketakutan, tidak seperti
laki-laki tinggi besar dan Si Wanita
yang kelihatan tenang-tenang saja. Dengan suara lantang jaksa penuntut
membacakan tuntutan kepada laki-laki
tinggi besar yang sudah berlutut ke depan setelah namanya dipanggil, yaitu
Bouw Tang Kui. Bouw Tang Kui telah
berkali-kali diperingatkan karena sikapnya yang kasar, suka menggunakan
kepandaian menghina yang lemah dan suka
mencuri. Terakhir ditangkap karena melakukan pencurian,mengambil batu
hijau mustika penyedot racun ular milik
orang lain. Karena kejahatanya membahayakan Pulau Es, dapat menimbulkan
kekacauan dan permusuhan, maka hukuman
yang paling berat patut dijatuhkan atas dirinya, selain untuk
memberantas kejahatan dari permukaan
pulau juga sebagai contoh kepada semua penghuni pulau." Hening sejenak,
kemudian terdengar suara hakim tua yang
lemah dan agak gemetar, "Bouw Tang Kui, kau sudah mendengar tuduhan
atas dirimu. Kau diperkenankan membela
diri." Bouw Tang Kui yang berlutut itu memberi hormat kepada raja,
kemudian dengan suaranya yang kasar dan
nyaring berkata,"Hamba mengaku telah melakukan perbuatan itu karena
hamba ingin memiliki mustika batu
hijau. Hamba telah menerima banyak budi dari Sri baginda, kalau sekarang
dianggap berdosa, hamba siap menerima
segala macam hukuman yang dijatuhkan kepada hamba." Hakim berfikir
sejenak, kemudian sambil mengetok meja
dia berkata, "Pengadilan memutuskan hukuman buang ke Pulau Neraka kepada
Bouw Tang Kui." Suasana menjadi
hening. Keputusan hukuman ini merupakan yang lebih hebat dari pada penggal
kepala. Banyak di antara mereka yang
mendengarkan, menahan nafas dengan muka pucat, ada yang menaruh hati
kasihan kepada Bouw Tang Kui. Akan
tetapi pesakitan itu sendiri setelah memandang kepada raja, lalu berkata,
suaranya penuh pahit getir,
"Hukuman apa pun bagi hamba tidak terasa berat, yang terasa berat adalah
bahwa
hamba dipaksa untuk memusuhi Pulau Es
yang hamba cintai!" "Jadi engkau menerima keputusan hukuman?"
hakim
bertanya. "Hamba mene...."
"Nanti dulu!!" tiba-tiba terdengar suara nyaring dan Han Ti Ong
sendiri mengangkat
muka memandang tajam ketika melihat Sin
Liong telah berdiri dari kursinya dan mengeluarkan seruan itu. "Harap
Suhu dan para Cu-wi sekalian maafkan
saya. Akan tetapi pesakitan berhak untuk dibela dan saya hendak
membelanya. Saudara Bouw Tang Kui ini
dianggap berdosa dan memang dia telah melakukan pelanggaran. Akan tetapi
patutkah kalau kesalahannya itu lalu
dijadikan tanda bahwa dia seorang jahat yang tidak bisa diampuni lagi?
Saya hendak bertanya, siapakah di
antara Cu-wi sekalian yang tidak pernah melakukan kesalahan?" "Semua
manusia
pasti pernah melakukan kesalahan dan
karena kita semua manusia, maka kita pun tentu pernah melakukan kesalahan.
Siapakah yang mau kalau kesalahan yang
dilakukannya itu lalu dijadikan tanda bahwa selamanya dia akan bersalah
atau berdosa, dan patut dihukum tanpa
ampun lagi? Kesalahan yang dilakukan oleh Bouw Tang Kui adalah sebuah
penyelewengan biasa yang dilakukan oleh
manusia yang berbatin lemah. Manusia yang berbatin lemah dan melakukan
penyelewengan sama saja dengan seorang
yang sedang menderita semacam penyakit, hanya bedanya, yang sakit bukan
tubuhnya melainkan hatinya. Akan
tetapi, setiap orang sakit bisa sembuh! Maka, menghukumnya dengan hukuman keji
itu sama dengan membunuhnya!"
Hening sekali keadaan di situ setelah pemuda tanggung ini mengeluarkan
pembelaanya. "Akan tetapi di sini
sudah diadakan hukum sejak ratusan tahun dan kita semua harus tunduk kepada
hukum!" kata Han Ti Ong ketika
melihat betapa hakim ragu-ragu untuk menjawab. Dia maklum bahwa Sin Liong
disuka
banyak orang di situ, dan selain ini,
agaknya para pejabat itu juga sungkan mendebat karena pemuda itu adalah
murid raja. Karena inilah maka Han Ti
Ong sendiri yang mengeluarkan suara membantah. "Harap Suhu memaafkan
teecu kalau teecu terpaksa mendebat.
Saudara Bouw melanggar hukum yang dianggap berdosa, lalu menurut hukum
harus dibuang ke Pulau Neraka. Dari
manakah timbulnya pelanggaran yang disebut dosa? Kalau tidak ada hukum,
mana mungkin ada dosa? Kalau tidak ada
larangan, mana mungkin ada pelanggaran? Hukumlah yang menciptakan dosa
dan pelanggaran, hukum adalah keji
karena hukuman yang dijatuhkan sebetulnya lebih kotor daripada dosa itu
sendiri! Kalau dia dianggap bersalah
lalu dibuang ke Pulau Neraka, bukankah hal itu membuat dia menjadi makin
jahat dan mendendam? Andaikata seorang
penderita sakit, penyakitnya menjadi makin parah! Apakah hukuman
pembuangan ke Pulau Neraka itu akan
menginsafkannya? Suhu, sudah berkali-kali teecu menyatakan bahwa hukuman
seperti ini tidak patutu dilakuakan di
Lebih baik menuntut mereka yang tersesat agar kembali ke jalan benar
dari pada menghukum mereka dengan kekerasan
yang akan membuat meraka menjadi lebih jahat lagi." Kwat Sin Liong,
kau tak berhak untuk mencela hukum yang
sudah menjadi tradisi kami! Hakim, lanjutkan persidangan dan pembelaan
yang dilakukan atas diri Bouw Tang Kui
tidak dapat diterima!" bentak Han Ti Ong yang merasa tersinggung juga
mendengar betapa peraturan yang
dijunjung tinggi selam ratusan tahun oleh nenek moyangnya itu kini disangkal
dan dicela oleh seorang bocah yang
menjadi muridnya! Sin Liong menghela nafas dan terpaksa dia duduk kembali.
"Ssttt, kau terlampau
berani...." Swat Hong berbisik. "Hemmm... tiada gunanya...." Sin
Liong balas berbisik.
Suara jaksa yang lantang sudah
memanggil nama dua orang pesakitan yang lain, laki-laki tampan dan wanita
cantik
itu. Mereka maju dan berlutut di depan
pengadilan. "Sia Gin Hwa dan Lu Kiat telah ditangkap karena melakukan
perjinaan. Karena Sin Gin Hwa telah
menjadi istri syah dari Ji Hoat, maka perbuatan itu merupakan perbuatan
hina yang hamat berdosa, melanggar
larangan keras yang telah disyahkan hukum. Karena itu, tidak ada pengampunan
baginya dan mohon pengadilan
menjatuhkan hukuman terberat kepadanya. Adapun Lu Kiat, biarpun masih muda dan
belum beristri, namun dia telah
berjinah dengan istri orang, maka dia pun harus dijatuhi hukuman yang layak.
Kemudian terserah kepada hakim."
Wanita itu menundukan mukanya yang menjadi merah sekali ketika mendengar suara
mengejek dari mereka yang menonton di
luar ruangan sidang, akan tetapi sikapnya masih tenang-tenang saja.
Adapun Lu Kiat, pemuda itu menjadi
pucat wajahnya, akan tetapi dia juga menundukan mukanya, kelihatan gelisah
sekali. "Pengadilan memutuskan
hukuman buang ke Pulau Neraka kepada Sia Gin Hwa dan hukuman rangket seratus
kali kepada Lu Kiat!" "Hamba
tidak menerima!" Tiba-tiba Sia Gin Hwa berteriak. "Yang melakukan
perjinaan adalah
hamba berdua, maka kalau dibuang pun
harus hamba berdua!" "Tidak, hamba menerima hukuman rangket seratus
kali!"
teriak pula Lu kiat. "Laki-laki
apa kau ini? Ketika merayuku, kau berjanji akan bersama-sama menderita
andaikata dibuang ke Pulau
Neraka!" Sia Gin Hwa memaki dan terjadilah ribut mulut antara mereka.
"Diam!!"
Teriakan menggetarkan dari Han Ti Ong
membuat mereka berdiri menjatuhkan diri mohon pengampunan. "Karena kalian
melakukan perbuatan yang memalukan
sekali, menodakan nama baik Pulau Es, maka sepatutnya kalian berdua
sama-sama dibuang ke Pulau Neraka!"
kata Raja itu dengan suara tenang namun penuh wibawa. Sia Gin Hwa memegang
tangan kekasihnya dan menangis sambil
menciumi tangan itu, akan tetapi wajah Lu Kiat menjadi makin pucat.
Kembali Sin Liong bangkit berdiri.
"Maaf, Suhu. Teecu terpaksa membantah lagi! Mereka memang telah melakukan
perbuatan yang melanggar hukum yang
ada, akan tetapi apakah perbuatan mereka itu sudah demikian jahatnya maka
sampai mereka dihukum buang? Teecu kira
di balik perbuatan mereka itu tentu ada sebab dan alasannya. Mereka
menjadi korban nafsu, akan tetapi kalau
seoarang istri sampai melakukan penyelewengan, tentu pihak suami juga
ada kesalahannya. Tidak perlukah
diselidiki mengapa wanita ini yang telah bersuami sampai berjina dengan pria
lain? Mengapa dia sampai tidak dapat
menahan dorongan nafsu berahi? Tentu ada sebab-sebabnya." " Sin
Liong,
engkau seorang bocah belum dewasa, tahu
apa tentang nafsu berahi?" bentak gurunya, agak tertegun juga karena
dia mendapatkan kebenaran tersembunyi
di balik bantahan muridnya itu. Terdengar suara ketawa ditahan di
sana-sini, bahkan permaisuri sendiri
menahan senyumnya. "Teecu...teecu...mengerti dari kitab...." "Pembelaan
seorang anak yang belum dewasa terhadap
perjinaan yang dilakukan orang dewasa tidak dapat diterima. Laksanakan
hukumannya dan buang mereka bertiga
sekarang juga ke Pulau Neraka!" kata Han Ti Ong. Persidangan dibubarkan
dan
tiga orang pesakitan itu lalu digiring
keluar untuk dilaksanakan hukuman atas diri mereka, yaitu dibuang ke
Pulau Neraka, hukuman yang paling
mengerikan dan paling di takuti oleh semua penghuni Pulau Es karena mereka
semua tahu bahwa di buang ke Pulau
Neraka berarti hidup tersiksa dan sengsara, lebih hebat dari kematian!
Peristiwa seperti inilah yang membuat
hati Sin Liong memberontak. Dia amat cinta dan kagum kepada suhunya, akan
tetapi peraturan hukum di Pulau Es ini
dianggapnya terlalu kejam. Sebaliknya, Han Ti Ong yang maklum akan
kekecewaan hati muridnya yang dia
kagumi dan cinta, berusaha menyenangkan hati muridnya itu dengan menurunkan
ilmu-ilmu simpanannya sehingga dalam
waktu setahun lagi saja ilmu kepandaian pemuda yang berusia lima belas
tahun itu menjadi makin hebat. Boleh
dibilang dialah orang satu-satunya yang menjadi pewaris ilmu-ilmu Pulau
Es. Biarpun Permaisuri juga mewarisi
banyak ilmu dahsyat namun dibandingkan dengan Sin Liong dia kalah bakat
sehingga kalah sempurna gerakannya, apa
lagi dalam hal tenaga sinkang dia kalah jauh. Hal ini adalah karena Sin
Liong adalah seorang yang pada dasarnya
memiliki batin kuat dan tidak pernah terseret oleh nafsu, sebaliknya
The Kwat Lin adalah seorang wanita yang
dibangkitkan nafsunya semenjak dia diperkosa oleh Pat-jiu Kai-ong.
</P>
<P>
Dan pada suatu hari terjadilah suatu
hal yang sudah lama diduga-duga akan terjadi hal yang menjadi akibat
daripada keadaan yang ditekan-tekan di
dalam istana yang dimulai dengan masuknya The Kwat Lin yang kini telah
menjadi permaisuri itu ke Pulau Es.
Pagi hari itu, Sin Liong tengah duduk seorang diri di tempat yang menjadi
tempat kesukaannya bersama Swat Hong,
yaitu di tepi pantai yang paling sunyi, pantai yang tak pernah tertutup
salju karena pasir berwana putih yang
terjadi dari pecahan batu karang dan segala macam kulit kerang dan
kepompong itu seolah-olah selalu
mengeluarkan hawa hangat. Selagi dia duduk termenung itu terdengarlah olehnya
suara tabur dipukul gencar, tanda bahwa
pagi hari itu diadakan persidangan pengadilan yang amat penting, sidang
yang diadakan kurang lebih tiga bulan semenjak
tiga orang pesakitan terakhir itu di buang ke Pulau Neraka.
Suara tambur itu seolah-olah
menghantami isi dada Sin Liong, karena suara itu suara yang paling tidak
disukainya, suara yang menandakan bahwa
akan ada orang lagi yang dihukum! Maka dia tidak bergerak, mengambil
keputusan tidak akan menonton karena
menonton berarti hanya akan menghadapi hal yang menyakitkan hatinya. Akan
tetapi dia meloncat bangun ketika
mendengar suara panggilan Swat Hong, suara panggilan yang lain dari biasanya
karena suara dara itu mengandung isak
tangis yang mengejutkan. "Kwa-suheng...!!" Sin liong terkejut melihat
dara itu berlari-lari kepadanya sambil
menangis dan dengan wajah yang pucat sekali. "Ada apakah, Sumoi?"
tegurnya sebelum dara itu tiba di
depannya. "Suheng..., celaka... Ibuku..."Biarpun hatinya berdebar
penuh kaget
dan kejut, Sin Liong bersikap tenang
ketika di memegang kedua pundak Sumoinya dan bertanya, "Ada apakah dengan
Ibumu? Tenanglah, Sumoi."
"Swat Hong menahan isaknya. "Mereka... mereka menangkap Ibuku dan
membawanya ke
sidang pengadilan..." Sin Liong
mengerutkan alisnya. Sudah keterlaluan ini, pikirnya. Rasa penasaran membuat
dia berlaku agak kasar. Digandengnya
tangan Sumoinya, ditariknya dara itu dan dia berkata , "Mari kita
lihat!"
Ketika dua orang itu tiba di ruangan
pengadilan, mereka mendapat kenyataan bahwa keadaan berlainan sekali
dengan sidang pengadilan yang
sudah-sudah karena suasana amat sunyi. Tidak ada seorang pun diperbolehkan
mendekati ruangan pengadilan, bahkan
ketika Sin liong dan Swat Hong tiba disitu, mereka dihadang oleh beberapa
orang penjaga, "Maaf, atas
perintah Sribaginda, tidak ada yang boleh memasuki ruang sidang pengadilan hari
ini." Kata mereka. Dengan kedua
tangan di kepal, Swat Hong melompat maju, matanya melotot dan mukanya merah
sekali, "Apa kalian bilang? Kalian
berani melarang aku memasuki ruangan? Apakah kalian sudah bosan hidup?"
Sin
Liong cepat memegang lengan sumoinya
karena dia maklum bahwa kalau sumoinya ini sudah marah, tentu akan hebat
akibatnya. Juga para penjaga itu mundur
ketakutan karena mereka mengerti betapa lihainya Sang Puteri ini.
"Harap Saudara sekalian melaporkan
kepada atasan Saudara bahwa kami akan memasuki ruang sidang," kata Sin
Liong
dengan tenang kepada para penjaga.
"Akan tetapi kami hanya mentaati perintah. Bagaimana kami berani
melanggar?"
jawab kepala penjaga dengan muka
bingung. "Aku tahu. Ibuku yang diadili, Bukan? Nah, dengar kalian! Apa pun
yang akan terjadi dengan ibuku, aku
harus hadir, kalau perlu aku akan bunuh kalian semua agar dapat masuk!"
Kembali Swat Hong membentak. "Saudara
sekalian harap mundur dan biarkan kami masuk. Akibatnya biarkan kami
berdua yang menanggungnya,"kembali
Sin Liong berkata dan keduanya memaksa masuk. Para penjaga tidak ada yang
berani melarang akan tetapi mereka
cepat-cepat lari untuk melapor kedalam. Han Ti Ong mengerutkan alisnya
ketika melihat Sin Liong dan Swat Hong
memasuki ruang sidang, akan tetapi dia hanya mengangguk kepada para
penjaga yang kebingungan. Hal ini
melegakan hati para penjaga dan mereka cepat-cepat meninggalkan ruangan itu
untuk menjaga di luar, karena mereka
pun tidak boleh mendengarkan sidang yang sedang mengadili isteri raja!
Dapat dibayangkan betapa hancur hati
Swat Hong melihat ibunya dengan tenang berlutut di depan meja pengadilan
bersama seorang laki-laki muda yang
berpakaian sebagai pelayan dalam istana. Hatinya menduga dan dia merasa
ngeri karena melihat ibunya dan pemuda
itu berlutut di situ, dia seolah-olah melihat Sia Gin Hwa dan Lu Kiat,
dua orang pesakitan yang saling
berjinah itu! Akan tetapi dia tidak percaya! Tak mungkin ibunya...! Akan tetapi
dia menjadi lemas dan menurut saja
ketika Sin Liong menariknya dan mengajaknya duduk dideretan kursi pinggiran
yang sekali ini sama sekali kosong. Di
belakang meja panjang hanya duduk jaksa, hakim, Raja Han Ti Ong ,
permaisurinya, dan Han Bu Ong, bocah
berusia delapan tahun yang mengenakan pakaian indah dan duduk dengan
agungnya di dekat ibunya, matanya
memandang kearah Sin Liong dan Swat Hong dengan angkuh. Kemudian terdengarlah
suara nyaring Sang Jaksa, suara yang
bagi telinga Swat Hong terdengar seperti sambaran pedang yang
menusuk-nusuk hatinya dan bagi Sin
Liong seperti guntur di tengah hari! "Liu Bwee, sebagai bekas istri
Sribaginda, dari seorang anak nelayan
biasa menjadi seorang mulia terhormat, ternyata membalas budi Sribaginda
dengan aib dan noda yang hina, telah
ditangkap karena melakukan perjinahan dengan seorang pelayan muda. Dosa
ini amat besar karena selain
menimbulkan aib dan malu kepada Sribaginda, juga kalau diketahui dunia luar
akan
mencemarkan nama Kerajaan Pulau Es.
Oleh karena itu, sepatutnya dia dijatuhi hukuman yang seberat mungkin."
"Bohong...! Ibu tidak
mungkin...." Swat Hong menjerit dan hendak melompat maju menyerang jaksa
yang berani
mengeluarkan ucapan menuduh ibunya
seperti itu akan tetapi Sin Liong menangkap lengannya untuk mencegah
sumionya bergerak. "Swat Hong!
Berani engkau kurang ajar di depan Ayah?" Terdengar Han Ti Ong membentak
dengan
penuh wibawa. "Ayah, tuduhan itu
fitnah belaka! Tidak mungkin ibu melakukan hal yang kotor itu. Mana buktinya?
Siapa saksinya?" kembali Swat Hong
menjerit-jerit. "Hong-ji, jangan begitu. Ibumu tidak berdosa, akan tetapi
kita harus. tunduk kepada peraturan dan
hukum, anakku.Tenanglah." Ucapan ini keluar dari mulut Liu Bwee yang
menoleh kearah Swat Hong, suaranya
lirih dan jelas, namun mengandung kedukaan yang merobek hati. "Liu Bwee,
engkau telah mendengar tuduhan atas
dirimu. Apakah pembelaanmu?" terdengar suara hakim tua itu dengan halus
dan
lirih seperti biasanya, namun penuh
wibawa karena dalam sidang ini, dialah orang yang paling kuasa. "Saya
tidakakan membela diri, hanya seperti
dikatakan anakku tadi, agar tidak mendatangkan penasaran, harap suka
disebutkan siapa saksinya dan apa
buktinya yang memperkuat tuduhan terhadap diriku," kata Liu Bwee dengan
tenang dan suara halus. Jaksa yang
termasuk orang di antara anggauta keluarga raja yang tidak senang kepada Liu
Bwee karena dia dahulupun mengharapkan
agar Han Ti Ong memilih anak perempuannya, segera berkata lantang,
"Buktinya? Engkau ditangkap ketika
berada di dalam kamar dengan A Kiu, padahal dia bukanlah pelayanmu. Apalagi
yang kalian kerjakan kalau bukan
berjinah? Seorang wanita dan seorang laki-laki yang tidak ada hubungan apa-apa
berada di dalam kamar berdua saja!
selain itu, perjinahan kalian juga telah ada yang menyaksikan." Wajah Swat
Hong sebentar pucat dan sebentar merah.
Tak dapat dia menahan kemarahanya. Ibunya dituduh berjinah dengan
seorang pelayan! "Bohong! itu
bukan bukti!! Kalau memang ada yang menyaksikan, hayo siapa yang
menyaksikan?"
teriaknya, tidak memperdulikan cegahan
Sin Liong yang masih memegang lengannya karena khawatir kalau-kalau dara
ini mengamuk. "Akulah
saksinya!" tiba-tiba terdengar suara kecil merdu dan Han Bu Hong telah
bangkit berdiri
dengan sikap menantang. Mulut anak ini
tersenyum mengejek dan matanya bersinar-sinar. "Enci Hong, akulah yang
telah melihat ibumu dan pelayan itu di
atas ranjang...." "Ssssttt, diam...!" Permaesuri menarik
puteranya. Akan
tetapi hakim telah berkata lagi,
"Sudah terbukti kesalahan besar yang dilakukan Liu Bwee. Kesalahan paling
besar yang dapat dilakukan oleh seorang
wanita..." "Nanti dulu!" Dengan muka pucat sekali Swat Hong
memotong
kata-kata hakim. "Tidak adil kalau
begini! kita belum mendengar keterangan A Kiu. Hai, A Kiu, aku percaya bahwa
engkau seorang manusia yang menjujur
kegagahan, tidak mungkin seorang pria penghuni Pulau Es Seperti engkau
menjatuhkan fitnah sebagai seorang pengecut
hina dina. Hayo ceritakan sesungguhnya apa yang terjadi!" Suara
Swat Hong ini nyaring sekali dan muka A
Kiu menjadi pucat, kepalanya makin menunduk. Suasana menjadi hening dan
akhirnya terpecah oleh suara Raja,
"A Kiu, kau diperkenankan untuk bicara!" Tubuh itu menggigil, muka
yang
tampan itu pucat sekali ketika diangkat
memandang Raja, kemudian melirik ke arah Liu Bwee yang masih bersikap
tenang dan agung berlutut di sebelahnya.
Ketika dia melirik ke arah Swat Hong yang berdiri dengan sikap angkuh
memandang kepadanya, A Kiu mengeluh
lirih, kemudian menelungkup dan berkata dengan suara mengandung isak,
"Hamba tidak berdaya... hamba
memang berada di kamar itu... tapi... tidak seperti kesaksian Pangeran kecil...
hamba terpaksa karena..."
"Berani kau mengatakan puteraku bohong?" Jeritan ini keluar dari
mulut permaisuri dan
hawa pukulan yang dahsyat sekali
menyambar ketika permaisuri menggerakan tangan kirinya ke arah A Kiu.
"Dess...! Aungghh...!" Tubuh
A Kiu terlempar bergulingan dan rebah tak bernyawa lagi, dari mulut, hidung dan
telinganya mengalir darah. Hebat sekali
pukulan jarak jauh yang di lakukan permaesuri itu, mengenai kepala A
Kiu yang tentu saja tidak kuat
menahannya. Hakim dan jaksa saling pandang, sedangkan Raja menegur
Permaesurinya, "Kau terlalu
lancang...." "Apakah aku harus diam saja kalau seorang rendah macam
dia menghina
putera kita?" Permaesuri membantah
dengan suara agak ketus. Raja diam saja dan menarik nafas panjang. Dia
merasa bingung dan berduka sekali harus
menghadapi perkara ini, lalu memberi isyarat kepada hakim sambil
berkata, "Lanjutkan." Hakim
menelan ludah beberapa kali, kemudian berkata lantang, " Saksi utama yang
mejadi
pelaku perjinahan telah terbunuh karena
berani menghina Pangeran. Akan tetapi dia mengaku telah berada di kamar
itu, maka sudah jelas dosa yang
dilakukan oleh Liu Bwee. Karena itu sudah adil kalau dia harus dijatuhi hukuman
berat. Liu Bwee, pengadilan memutuskan
hukuman buang ke Pulau Neraka kepadamu!" "Ibuuuu..!!" Swat Hong
meronta
dan melepaskan diri dari Sin Liong,
meloncat dan menubruk ibunya. "Sssst, tenanglah, Hong-ji...." ibunya
terbisik dengan sikap masih tenang
saja, sungguhpun wajahnya kelihatan makin berduka. "Tenang? Tidak! ibu
tidak
boleh dihina sampai begini!" Swat
Hong lalu bangkit berdiri, menghadapi ayahnya dan berkata lantang, "ibuku
telah dijatuhi hukuman tanpa bukti dan
saksi yang jelas. Akan tetapi keputusan telah dijatuhkan dan saya tidak
rela melihat ibu dibuang ke Pulau
Neraka. Saya sebagai anak tunggalnya, yang takkan mampu membalas budinya
dengan nyawa, saya yang akan mewakilinya,
memikul hukuman itu. Saya yang akan mejadi penggantinya ke Pulau
Neraka, maka harap Sribaginda bersikap
bijaksana, membiarkan ibu yang sudah mulai tua ini menghabiskan usianya
di Pulau Es. Ibu, selamat
tinggal!" "Hong-ji...!" ibunya memekik, akan tetapi Swat Hong
sudah meloncat dan lari
keluar dari tempat itu dengan cepat.
Sin Liong memandang dengan alis berkerut. Tak disangkanya hal yang sudak
dikhawatirkannya akan terjadi, sesuatu
yang tidak menyenangkan, suatu yang akan meledak, ternyata sehebat ini.
"Hong-ji... ah, Hong-ji,
Anakku...!" Liu Bwee tak dapat menahan lagi tanggisnya. Dia maklum bahwa
untuk
mengejar anaknya dia tidak mungkin
dapat karena kepandaian puterinya itu sudah tinggi sekali, juga dia sebagai
seorang pesakitan, tentu saja tidak
berani melanggar hukum dan lari dari tempat itu. "Aduh, anakku... Swat
Hong... Swat Hong... apa yang mereka
lakukan atas dirimu...?" ibu yang hancur hati ini meratap. Hakim menjadi
bingung dan beberapa kali menoleh
kearah Raja seolah-olah hedak minta keputusan Han Ti Ong. Raja ini menggigit
bibir, jengkel dan marah karena tak
disangkanya bahwa urusan akan berlarut-larut seperti ini. Ketika dia
menerima laporan tentang istri
pertamanya, Liu Bwee, yang berjinah dengan seorang pelayan muda, hatinya panas
dan marah sekali. Akan tetapi dia masih
hendak membawa perkara ini kepengadilan agar diambil keputusan yang
seadil-adilnya. Siapa mengira terjadi hal-hal
yang tidak menyenangkan hatinya. Permaisurinya membunuh pelayan
muda, kemudian kini Swat Hong membela
ibunya, bahkan menggantikan ibunya "membuang diri" ke Pulau Neraka.
maka
kini,melihat betapa hakim menjadi
bingung dan minta keputusannya, dia memukulkan kepalan kanan ke telapak kiri
sambil berkata, " Sudahlah,
sudahlah! Biar kupenuhi permintaan Swat Hong. Anak yang keras kepala itu sudah
menggantikan ibunya ke Pulau Neraka.
Sudah saja! Aku perkenankan Liu Bwe tinggal terus disini!" Setelah berkata
demikian, dia menggandeng tanggan Bu
Ong dan permaisurinya, bangkit berdiri dan hendak meninggalkan tempat yang
tidak menyenangkan itu. Akan tetapi Liu
Bwee juga bangkit berdiri dan wanita ini berkata lantang, sambil
menatap wajah suaminya dengan mata
tajam. "Biarpun anakku telah menebus dosa yang tidak kulakukan, dan aku
telah diperbolehkan tinggal di sini,
akan tetapi apa artinya hidup disini bagiku setelah anakku pergi ke Pulau
Neraka? Tidak, aku tidak akan sudi
tinggal di sini lagi. Aku mulai saat ini tidak menganggap diriku sebagai
penghuni Pulau Es. Aku juga mau pergi
dari sini!" Setelah berkata demikian, Liu Bwee lalu meloncat dan pergi.
Setelah dia bukan pesakitan lagi,
setalah dia bukan terhukum, dia berani pergi, bahkan dengan sikap tidak
menghormat lagi kepada Raja yang pernah
menjadi suami dan pujaan hatinya selama bertahun-tahun itu. "Hmm,
sesukamulah!' kata Han Ti Ong perlahan
dan dengan wajah muram raja ini memasuki istana bersama permaisuri dan
Pangeran Bu Ong. Sampai ruangan
persidangan itu kosong dan mayat A Kiu dibawa pergi, Sin Liong masih duduk di
situ. Di dalam hatinya, dia merasa
menyesal melihat sikap Raja Han Ti Ong, gurunya yang di cintainya itu.
Tahulah dia bahwa perubahan pada diri
gurunya itu terutama sekali terjadi karena hadirnya The Kwat Lin yang
kini telah menjadi permaisurinya.
Diam-diam dia merasa menyesal sekali. Bukankah dia sendiri yang dahulu minta
kepada gurunya membawa pendekar wanita
Bu-tong-pai itu ke Pulau Es? Kini, wanita itu menjadi selir gurunya, dan
setelah The Kwat Lin menjadi
permaisuri, kebahagiaan ibu Swat Hong menjadi musna! Bahkan kini berekor
seperti
ini, dengan larinya Swat Hong
menggantikan ibunya ke Pulau Neraka sedang ibu dara itu sendiri pergi entah ke
mana! Dialah, langsung atau tidak
bertanggung jawab. Akan tetapi, tidak mungkin dia menegur gurunya, Juga
permaisuri tidak dapat dipersalahkan.
Betapapun juga, dia harus memperlihatkan tanggung jawabnya atas kerusakan
hidup Swat Hong dan ibunya. Kalau dia
mendiamkan saja, seolah-olah dia ikut pula persekutuan untuk merusak
hidup ibu dan anak itu. "Pulau
Neraka kabarnya merupakan tempat berbahaya sekali. Aku harus menyusul Swat Hong
dan melindunginya." Demikian dia
mangambil keputusan dalam hatinya dan dia tidak lagi berpamit kepada gurunya
`
0 comments:
Post a Comment