memilih jalan ke kanan. Setelah kini
matanya terbiasa, ternyata terowongan itu tidaklah terlalu gelap benar.
Ada sinar matahari yang masuk dan
memantul sampai ke dalam terowongan, entah dari mana masuknya sinar itu. Dia
berjalan agak cepat ke depan dan
terowongan yang dipilihnya itu ternyata berakhir pula dengan simpangan, kini
simpang empat! "Aihhh....!"
dia mengeluh lalu mengerahkan
khingkangnya berteriak memanggil,
"Sumoi....!" Gema
suaranya mengaung dan membuat
panggilannya itu tidak jelas lagi, mirip auman suara harimau marah! Dia lari
memasuki terowongan sebelah kiri
setelah meneliti ke bawah tidak melihat bekas tapak sepatu sumoinya saking
banyaknya tapak kaki di situ, tapak
kaki kecil-kecil dari orang-orang kerdil. Terowongan ini panjang sekali,
menurut taksirannya tentu tidak kurang
dari dua li jauhnya dan hatinya makin risau. Sudah begini lama dan jauh
dia mengejar dan mencari Swat Hong,
akan tetapi bekas dan jejaknyapun belum ditemukan. "Sumoi....!!" Dia
berteriak lagi kuat-kuat ketika lorong
itu berakhir di sebuah ruangan bawah tanah atau dalam gunung yang cukup
lebar. Sebagai jawabannya, tiba-tiba
terdengar suara berdesingan dan dari depan, kanan dan kiri menyambar
sinar-sinar hitam. Pandang mata yang
tajam dari Sin Liong dapat melihat bahwa benda-benda bersinar itu adalah
anak panah-anak panah yang dilepas dari
tempat rahasia. Cepat dia memutar tongkat pendek yang berubah menjadi
segulung sinar yang melindungi seluruh
tubuhnya. Sampai beberapa lama dia menangkis dan akhirnya penyerang
gelap itu pun berhenti. Di ruang itu
kini penuh dengan anak panah hitam yang agaknya beracun. Dia bergidik.
Bagaimana nasib sumoinya di tempat
berbahaya ini? "Sumoi....!!" Dia segera membalikan tubuhnya karena
ruangan
itu merupakan jalan buntu, lalu berlari
kembali melalui terowongan yang panjangnya ada dua li itu sampai dia
tiba di jalan simpang empat tadi, kini
dia melihat terowongan kedua sambil berteriak-teriak memanggil nama
sumoinya. "Swat Hong....! Han Swat
Hong....!!" Panggilan ini dia lakukan dengan pengerahan khikang sekuatnya
sehingga dinding terowongan itu menjadi
tergetar karenanya. Namun tidak ada jawaban melainkan gema suaranya
sendiri yang melengking panjang. Sin
Liong menjadi panik, matanya terbelalak dan mukanya pucat. Baru sekali ini
dia merasa sedemikian gelisahnya dan
dia menyesali diri sendiri mengapa dia tadi tidak melarang sumoinya
memasuki gua-gua rahasia penuh jebakan
ini, kalau perlu melarang dengan kekerasan! Dia berlari terus dengan
hati gelisah, akan tetapi dengan
kewaspadaan penuh karena dia maklum bahwa tempat itu merupakan tempat rahasia
yang amat berbahaya, perpaduan antara
kekuasaan alam dan manusia. Tak mungkin tangan manusia membuat gua-guh
dan lorong-lorong batu dalam gunung
ini, akan tetapi hasil ciptaan alam ini dipergunakan oleh manusia,
diperbaiki dan bahkan dipasang
jebakan-jebakan yang jahat! "Haiiitttt!" Sin Liong cepat meloncat ke
atas, lalu
meluncur kembali ke belakang sambil
berjungkir balik dan jatuh berdiri kembali di jalan yang telah dilalui,
terbelalak memandang ke depan. Kiranya
secara tibatiba sekali, tentu digerakan oleh alat rahasia yang terinjak
olehnya tadi ketika berlari, di
depannya telah terbuka lubang yang panjang ada tiga meter, terbuka tiba-tiba
sehingga kalau dia tadi tidak berhasil
dan lari terus, tentu akan terjeblos ke dalam jurang itu. Terdengar
suara mendesis-desis dari dalam lubang
yang hitam gelap, akan tetapi desis itu dan bau hamis membuat Sin Liong
bergidik dan tahulah dia bahwa di dalam
lubang itu terdapat banyak ular berbisa! Jebakan yang amat keji!
"Keparat....!" desisnya
dengan marah melihat kekejaman manusia kerdil itu yang tidak segan
mempergunakan cara
yang amat menjijikkan untuk mengalahkan
lawan. Dia melompati lubang itu dan melanjukan larinya. Ketika dia
berjalan satu li lebih, lorong itu pun
berhenti di jalan batu yang merupakan sebuah ruangan besar pula, bahkan
ruangan ini cuacanya cukup terang,
entah memperoleh sinar dari mana, agaknya ada lubang-lubang dari mana sinar
matahari dapat masuk. Tiba-tiba,
seolah-olah muncul dari dalam dinding batu, tampak seorang kerdil yang luar
biasa. Bentuknya pendek tegap seperti
orang-orang kerdil yang tadi, akan tetapi wajahnya menandakan bahwa dia
sudah tua dan sepasang matanya seperti
bintang pagi, tajam bersinar-sinar sedangkan kumis dan jenggotnya
panjang, juga bentuk pakaiannya lebih
mewah dari yang lain. Kakek kerdil ini memegang sebatang pedang yang
bersinar-sinar tanda bahwa pedang itu
adalah sebuah benda pusaka yang ampuh. Selagi Sin Liong memandang penuh
perhatian dan maklum bahwa tentu di
dinding kiri ini terdapat pintu rahasianya yang tadi terbuka cepat untuk
dilewati kakek ini, tiba-tiba terdengar
suara dari sebelah kiri dan kembali secara tiba-tiba muncul seorang
kerdil lain yang tubuhnya amat tegap
besar membayangkan kekuatan. Juga orang kerdil ke dua ini pakaiannya
mewah, sikapnya gagah dan mukanya penuh
dengan berewok tebal menghitam. Kedua orang ini dari tubuh atas sampai
ke pinggang ukurannya seperti manusia
biasa, akan tetapi dari pinggang ke bawah amatlah pendeknya sehingga
kelihatan aneh dan lucu. Orang Ke dua
yang brewok dan mukanya membayangkan kekerasan dan kegagahan ini memegang
sebatang toya yang lebih panjang dari
pada tubuhnya sendiri. Juga toya ini bersinar-sinar tanda sebatang
senjata yang baik. Sin Liong yang
selalu bersikap sabar dan tidak menghendaki permusuhan, biarpun dilanda
kekhawatiran, masih dapat menekan
perasaannya dan menjura dengan penuh hormat, "Harap Jiwi-locianpwe sudi
memaafkan kalau saya lancang tanpa
diundang memasuki daerah kekuasaan Jiwi ini. Akan tetapi saya kehilangan
Sumoi di sini dan kalau Jiwi sudi
berlaku demikian baik hati untuk mengembalikan Sumoi kepada saya, saya
berjanji akan meninggalkan tempat ini
bersama Sumoi dan tidak akan berani mengganggu lagi." Dua orang kakek itu
saling pandang dan melihat betapa Sin
Liong mengamat-amati dinding yang kini telah tertutup kembali dan sama
sekali tidak ada tanda-tanda bahwa di
situ ada pintu rahasianya, mereka tertawa dan kakek berjenggot yang
rambutnya sudah mulai ada ubannya itu
berkata, "Orang muda, kalian memusuhi The-lihiap dan bilang tidak ada
permusuhan dengan kami? Ha-ha, orang
muda, siapakah engkau? Dan siapa pula Sumoimu itu?" "Namaku Kwa Sin
Liong
dan....sesungguhnya kami tidak
mempunyai permusuhan dengan Cuwi di tempat ini." "Kalau begitu
mengapa mencari
The Kwat Lin Lihiap?" "Kami
mempunyai urusan pribadi dengan dia, hanya urusan yang amat sekali tidak
menyangkut
diri orang lain." Kembali dua
orang kekek itu tertawa. "Ha-ha-ha, aku Ji Bhong dan semua anak buahku, kami
bangsa kerdil memang tidak ada urusan
denganmu, akan tetapi sekali kalian memusuhi The-lihiap, berarti kalian
adalah musuh kami juga. Menyerahlah,
orang muda, kalau kau tidak ingin mengalami keksengsaraan seperti
Sumoimu." Sin Liong terkejut
sekali, bukan hanya karena mendengar bahwa mereka ini ternyata adalah kaki
tangan
The Kwat Lin, terutama sekali mendengar
akan sumoinya. "Di mana Sumoi? Apa yang kalian lakukan dengan dia?"
bentaknya. "Ha-ha-ha, menyerahlah
dan baru kita bicara!" Ji Bhong, kakek yang menjadi ketua bangsa kerdil
itu
menjawab. Tentu saja Sin Liong menjadi
gelisah sekali dan dia lalu menerjang maju dengan tongkat pendeknya.
"Sing....siuuuut....
trang-trang....!!" Dua orang kakek itu sudah menggerakan pedang dan toya,
cepat dan kuat
sekali gerakan mereka. Namun kini kedua
orang itu berhadapan dengan Kwa Sin Liong murid utama Raja Pulau Es
yang telah mewarisi ilmu yang
hebat-hebat, maka dalam keadaan penuh kekhawatiran itu, Sin Liong sudah
menggerakan tongkat pendeknya
sedemikian rupa sehingga ketika menangkis, dua orang kakek itu berteriak keras
karena merasa betapa ada hawa dingin
menyusup ke dalam lengan mereka melalui senjata, membuat lengan mereka
seperti hampir membeku! Namun keduanya
memang lihai. Cepat mereka memindahkan senjata di tangan kiri dan
mengirim serangan-serangan
bertubi-tubi. Biarpun berada dalam keadaan gelisah dan marah, Sin Liong masih
merasa
tidak tega untuk membunuh orang, maka
dia mengeluarkan suara melengking keras, tongkatnya dibuang ke bawah dan
dengan dua tangan kosong dia memapaki
pedang dan toya yang menyambarnya dari kanan kiri, lalu dengan berani dia
menangkap dua senjata itu dengan kedua
tangan kosong! Dua orang kakek itu terbelalak. Kalau orang menangkap
toya dengan tangan kosong hal ini masih
biasa saja, akan tetapi menangkap pedang pusaka dengan tangan
telanjang? Benar-benar berani mati
karena tangan yang bagaimana kuat pun tentu akan tersayat! Ji Bhong
berteriak dan mengerahkan tenaga
membetot kembali pedangnya untuk menyayat tangan lawan yang menggenggamnya,
akan tetapi betapapun ia mengerahkan
tenaga, pedang itu tetap tidak bergerak sedikit pun dari genggaman Sin
Liong. Demikian pula kakek brewok yang
membetot-betot toyanya, percuma saja, Sin Liong kembali memekik keras,
kedua tangannya bergerak sedikit
dan...tubuh kedua orang kakek itu terlempar membentur dinding kanan kiri! Hawa
pukulan yang dingin dan kuat sekali
keluar melalui kedua senjata itu dan menyerang melalui lengan mereka
masingmasing dan memukul dada, membuat
dada terasa sakit dan napas mereka sesak. Keduanya bersandar dinding,
terengah-engah dan terbelalak memandang
pemuda luar biasa itu dan tiba-tiba mereka lenyap melalui pintu kecil
yang terbuka secara aneh. "Kalian
hendak lari ke mana?" Sin Liong meloncat dan mengejar ke kiri, namun
dinding
itu sudah tertutup kembali dan kakek
berjenggot panjang dan kakek brewok itu telah lenyap dari dinding kanan
kiri. Sin Liong menancapkan pedang di
atas lantai, lalu menggunakan toya rampasannya menghantami dinding kiri,
namun hanya batu permukaan saja yang
remuk, sedangkan dinding tebal itu tetap utuh. Akhirnya Sin Liong membuang
toyanya, menghapus peluhnya dan
mengerutkan alis. Tempat ini amat berbahaya dan sukar dilalui, bagaimana dia
akan dapat menolong Swat Hong? Teringat
akan sumoinya ini, dia menjadi panik lagi. Andaikata sumoinya berada di
sampingnya saat itu, tentu pemuda ini
tidak menjadi bingung dan akan tetap tenang saja. Akan tetapi
membayangkan betapa sumoinya terancam
bahaya, benar-benar menggelisahkan hatinya. Dia merasa bertanggung jawab
akan keselamatan sumoinya, dan dia
merasa seolah-olah mendengar suara ayah bunda dara itu mencelanya mengapa
dia sampai membiarkan dara itu terancam
bahaya. Sin Liong menghampiri dinding kiri, lalu memeriksa, tangannya
meraba-raba. Lebih satu jam dia
menyelidiki, akhirnya secara tidak sengaja tangannya meraba sebuah di antara
puluhan batu menonjol di dinding itu!
Cepat dia menyambar pedang rampasannya dan sekali bergerak, tubuhnya
sudah menyelinap melalui lubang rahasia
itu dan... dia bingung lagi karena kiranya di sebelah sana dinding batu
itu pun hanya merupakan sebuah lorong
lain lagi! Dan tidak tampak jejak kekek yang menjadi ketua bangsa kerdil
tadi. Kembali dia berjalan dengan
ngawur, tidak tahu akan dibawa ke mana oleh lorong yang dilaluinya ini. Entah
berapa banyak lorong yang dilaluinya
dan kini dia bahkan tidak tahu lagi mana jalan keluar. Dia pun tidak ingin
keluar sebelum dapat menolong Swat
Hong! Dan cuaca makin gelap, dia pun teringat bahwa mungkin sekarang di
"dunia luar" sudah mulai
senja. Bagaimanapun juga, dia tidak akan keluar sebelum menemukan Swat Hong.
Sin Liong
berjalan terus, ke mana saja asal
bergerak dan dia memperhatikan lorong yang dilaluinya agar jangan melalui
sebuah lorong untuk kedua kalinya.
Keadaan makin gelap dan akhirnya dia hanya dapat melangkah maju dengan
meraba-raba. Tiba-tiba tampak sinar
terang di depan, menembus kegelapan yang mengerikan itu. Sin Liong
melangkah maju menuju ke sinar terang
tadi. Akan tetapi tiba-tiba dia menahan langkahnya. Tidak salah lagi,
sinar terang itu tentulah api yang
sengaja dibuat orang kerdil untuk memancing dan menjebaknya! Betapapun juga,
dia tidak takut. Dengan hati-hati dia
bergerak lagi melangkah maju menghampiri sinar yang ternyata kini tampak
olehnya adalah sebatang obor yang
gagangnya tertancap di dinding. Dan anehnya, kakinya yang melangkah hati-hati
tidak menemui jebakan apa-apa sampai
dia tiba di tempat obor itu. Apa artinya ini? Mengapa mereka memberi
sebatang obor itu kepadaku? Sin Liong
tidak perduli, lalu mengambil obor itu dan diam-diam berterima kasih
sekali karena memang keadaan cuaca yang
amat gelap itu membuat dia butuh sekali akan sebatang obor. Kini dia
dapat melanjutkan usahanya mencari Swat
Hong. Selagi dia berjalan maju dengan hati-hati, dia mendengar suara
mendengung dari belakang. Sin Liong
cepat menoleh akan tetapi tidak melihat apa-apa. Sinar obor itu hanya
mendatangkan cahaya dalam jarak
terbatas sekali dan di sebelah sananya kelihatan hitam pekat. Akan tetapi suara
itu makin lama makin keras dan akhirnya
tampaklah meluncur masuk ke dalam cahaya obor benda-benda hitam kecil
yang mengeluarkan suara
berdengung-dengung. Lebah! Banyak sekali lebah hitam yang datang berterbangan,
Seakan
berlomba untuk mencapai sinar terang
itu. Sinar api obor itulah yang menarik lebah-lebah itu dan Sin Liong
maklum sekarang mengapa mereka
memberikan sebatang obor. Tentu untuk menarik lebahlebah itu, dan kalau
lebah-lebah itu cukup berharga untuk
dipancing mereka, tentu merupakan lebah berbahaya, lebah yang sengatannya
mengandung bisa yang mematikan. Dia
sudah tahu akan lebah-lebah beracun seperti ini. Sin Liong cepat mengambil
sehelai saputangan, menyelipkan pedang
di pinggangnya, dan menggunakan saputangan yang diputar-putar untuk
mengusir lebah-lebah itu. Namun, tertarik
oleh sinar api obor di antara kegelapan yang luar biasa, lebahlebah
itu seperti gila dan sama sekali tidak
takut akan usiran menggunakan saputangan ini. Biarpun mereka tidak dapat
menyerang Sin Liong karena terhalang
saputangan, namun mereka tetap beterbangan di sekeliling Sin Liong,
menanti saat baik untuk menyerang!
Celaka, pikir Sin Liong. Tidak mungkin dia harus berdiri di situ semalaman
hanya untuk berkelahi melawan lebah-lebah
ini. Apa gunanya ada obor kalau hanya mendatangkan kerepotan ini?
Sambil tetap melindungi tubuhnya dengan
putaran saputangan, Sin Liong menancapkan gagang obor pada celah-celah
batu dinding, lalu pergi menjauh.
Ternyata lebahlebah itu tidak lagi mepedulikannya setelah dia tidak memengang
obor, dan kini binatang-binatang kecil
itu beterbangan menyambar ke arah obor. Sin Liong duduk bersandar
dinding, memandang dari jauh.
Dilihatnya banyak lebah yang mati karena menyerbu api, makin lama makin banyak.
Hatinya tidak tega. Binatang-binatang
itu tidak berdosa. Entah mengapa mereka dapat dibikin marah dan menyerbu
api seperti gila itu. Dia harus
menghentikan bunuh diri masal yang mengerikan itu. Diremasnya batu-batu dari
dinding dan ditimpuknya ke arah obor
sambil berteriak-teriak. "Aduh....! Aduh, mati aku....!" Ini adalah
siasatnya yang timbul sebelum
memadamkan obor. Mereka itu sengaja memberi obor untuk memancing lebah-lebah.
Baiklah, dia akan pura-pura menjadi
korban sengatan lebah beracun. Kiranya hanya dengan cara ini dia akan dapat
memancing orang-orang kerdil itu. Kalau
mereka menggunakan siasat memancing dan menjebak, biarlah demi
keselamatan Swat Hong dia pun
mempergunakan siasat itu! Semalam Sin Liong berada di dalam gelap. Tidak ada
orang datang mengintai atau
menjenguknya. Ketika inilah dia pergunakanuntuk beristirahat dan biarpun dia
sama
sekali tidak dapat tidur. Mana mungkin
dia tidur kalau hatinya gel isah memikirkan Swat Hong seperti itu?
Betapapun juga, dia dapat melepaskan
lelah dan memulihkan tenaga, dan terbayanglah percakapan dengan Swat Hong
di dalam hutan. Dia menghela napas
panjang. Biarpun di depan gadis itu dia berpura-pura tidak mengerti,
sesungguhnya dia tahu belaka bahwa dara
yang tadinya angkuh dan keras hati itu, kini agaknya mulai menyatakan
cintakasihnya kepadanya. Dia dapat
menduga pula bahwa cinta kasih di hati gadis itu bersemi karena memperoleh
pupuk cemburu, mencemburukan dia dengan
Soan Cu dan Siangkoan Hui! Hal ini membuat hatinya terasa seperti
ditusuk, perih dan duka. Tentu saja dia
tidak mungkin mau menyakit hati Swat Hong dengan menyatakan bahwa dia
tidak mencita gadis itu, tidak mencinta seperti di harapkan gadis itu.
Tidak mungkin dia mau melibatkan diri ke
dalam cinta kasih seperti itu, yang
telah begitu banyak contohnya hanya mendatangkan kesengsaraan belaka. Lihat
saja kehidupan ayah Swat Hong, Raja Han
Ti Ong yang menjadi rusak dan hancur lebur karena Raja yang bijaksana
dan perkasa itu takluk kepada cinta
kasih berahi seperti itu. Lihat saja penghidupan ayah Soan Cu, yang menjadi
gila karena kematian isterinya yang
tercinta, juga merupakan cinta memiliki yang hanya akan berakhir dengan
kesengsaraan. masih banyak lagi
contohcontoh. Cinta kasih yang terdorong oleh berahi dan kesengsaran ini pasti
akan disusul dengan keinginan memiliki,
menguasai dan mengikat. Pengikatan diri inilah yang akan mencelakakan,
yang akan menimbulkan duka karena
kehilangan, perpisahan atau kekecewaan karena cemburu dan lain-lain.
Pengikatan diri kepada sesuatu memang
menimbulkan kenikmatan duniawi, menimbulkan kesenangan lahir yang hanya
sementara saja sifatnya, kemudian
diakhiri dengan bermacam duka dan kesengsaraan. Yang paling menimbulkan sesal
dalam hati Sin Liong adalah kenyataan
bahwa penolakannya terhadap cinta kasih gadis-gadis itu tentu akan
mendatangkan kekecewaan kepada mereka,
namun dia pun yakin bahwa kekecewaan itu pun hanya akan sementara saja
sifatnya. Kalau mereka, termasuk Swat
Hong, sudah tertarik kepada seorang laki-laki lain, kekecewaan itu pun
akan lenyap tanpa bekas lagi. Cuaca
tidak segelap tadi, tanda bahwa agaknya malam telah terganti pagi. Untuk
melanjukan siasatnya, Sin Liong lalu
merebahkan diri di bawah obor yang telah padam rebah di antara
bangkai-bangkai lebah yang hangus. Tak
lama kemudian jantungnya berdebar karena telinganya yang menempel lantai
mendengar suara-suara gerakan kaki. Ada
orang-orang datang menghampirinya! Tepat seperti yang diharapkannya,
muncullah dua orang kakek itu bersama
enam orang kerdil lain. Mereka segera menghampiri dan merubungnya, bahkan
ada tangan yang menyentuh dada dan
pergelangan tangannya. Cepat Sin Liong menggunakan ilmunya, menghentikan
detak jantung dan pernapasannya.
"Dia telah mati....!!" Terdengar suara di atasnya. Dia tidak melihat
siapa
yang bicara karena dia rebah miring.
"Kita laporkan kepada Lihiap!" terdengar suara kekek berjenggot
panjang.
Pada saat itu, Sin Liong membalikan
tubuhnya, tangannya menyambar dan dia telah menangkap lengan seorang
kerdil, lalu menotoknya roboh. Tujuh
orang kerdil yang lain terkejut sekali, berloncatan dan lenyap di balik
dinding melalui pintu-pintu rahasia,
meninggalkan Si Kerdil yang telah roboh tertotok. Memang Sin Liong hanya
membutuhkan seorang saja. Dia lalu
mengangkat bangun orang itu, membebaskan totokannya dan menghardik, "Hayo
tunjukan aku di mana temanku wanita itu
ditawan!" Orang kerdil itu menjadi pucat dan menggeleng-geleng
kepalanya. "Aku..... aku tidak
tahu...." "Bohong! Hayo katakan, aku hanya ingin menolong dan
membebaskannya.
Kalau kau mengaku terus terang, aku
akan membebaskanmu." "Aku.... aku tidak berani...." kemudian
orang itu
berkata, suaranya mengandung rasa takut
dan dia menoleh ke kanan kiri seolah-olah takut kata-katanya terdengar
oleh dinding di kanan kirinya.
"Hemm, aku tahu. Kalau kau mengaku, engkau takut dihukum oleh atasanmu.
Akan
tetapi kau menunjukan tempat itu karena
kupaksa dan mereka tentu tahu akan hal itu." "Aku... aku takut.....
takut disiksa...."orang itu
berkata setengah menangis Sin Liong menjadi gemas. Orang yang pengecut ini
memaksa
dia harus mengeraskan hati. Apa boleh
buat, demi keselamatan Swat Hong! Dia lalu menggunakan jarinya memijit
tengkuk orang itu, memijit jalan darah
sambil berkata, "Kau hanya takut kepada mereka dan tidak takut kepadaku?
Nah, kautunjukan atau kubiarkan kau
tersiksa seperti ini selama hidupmu!" Orang itu menyeringai, makin lama
makin lebar dan tubuhnya
mengeliat-geliat menahan rasa nyeri yang menyerang tubuhnya. Akan tetapi, rasa
nyeri
itu tidak dapat ditahannya lagi dan dia
roboh terguling, menggeliat dan berkelojotan seperti orang sekarat,
mulutnya merintih, "Bebaskan
aku.... atau bunuh aku saja..." Sin Liong merasa kasihan sekali, akan
tetapi dia
mengeraskan hatinya. "Aku tidak
akan membunuhmu dan juga tidak akan menyembuhkanmu. Kalau kau tidak mau
menunjukan tempat sahabatku itu, selama
hidup kau akan menderita seperti ini!" "Tolong.... aduhhhh... baik,
kutunjukkan tempatnya.... tapi ....
tapi bebaskan dulu aku......" Girang bukan main rasa hati Sin Liong.
Dengan
beberapa totokan dia membebaskan orang
itu yang segera menggeliat dan memijit-mijit dadanya, kemudian memandang
kepada Sin Liong penuh rasa takut dan
ngeri. "Aku akan menunjukan tempatnya, akan tetapi....kau harus tahu
bahwa kalau gadis itu sudah mati, maka
bukanlah aku pembunuhnya." Tentu saja kata-kata ini membuat Sin Liong
terkejut bukan main. Dia tidak mau
banyak bicara lagi, melainkan berkata dengan suara terengah . "Lekas....
tunjukkan....!" Dan dia menyambar
pergelangan tangan orang itu agar jangan sampai melarikan diri melalui
tempat-tempat rahasia. Orang kerdil itu
mengajak Sin Liong berlari melalui lorong-lorong dan ternyata
lorong-lorong itu amat ruwet
bangunannya, berbelit-belit dan banyak sekali persimpangannya. Pantas saja dia
tidak berhasil, pikir Sin Liong dan
merasa kagum. Lorong rahasia ini memang amat hebat. Akhirnya setelah
melalui jarak yang kurang lebih lima li
jauhnya, tibalah mereka di dalam lorong yang tidak rata, lebar sempit
dan di situ banyak terdapat
gundukan-gundukan batu pedang dandari atas bergantungan pula batu-batu yang
runcing. Mereka berada di dalam
guha-guha besar yang berbeda sekali dengan guha-guha darimana Sin Liong dan
Swat Hong masuk.
<CENTER>
JILID 19
</CENTER>
"Di mana tempatnya?" Sin
Liong bertanya, suarnya gemetar karena dia merasa tegang sekali. Benarkah bahwa
Swat
Hong terancam nyawanya dan mungkin
sekali sudah tewas? Hampir dia memekik untuk melampiaskan kekhawatirannya.
Tidak! Tidak mungkin! Tidak boleh!
"Di mana dia? Hayo katakan!" Dia mengguncang tangan orang kerdil itu.
Tubuh
orang itu menggigil. "Dia... di
dalam guha sana itu.... lihat, di sana ada lubang besar, bukan?"
"Hayo kita ke
sana!" "Tidak.... tidak, aku
takut....! Mereka menjebaknya di sana, tempat itu adalah sarang laba-laba
raksasa
yang mengerikan. Kurasa dia sudah tewas
....." Sin Lion tidak perduli dan menyeret orang itu menuju ke lubang
besar yang berada di sebelah kiri
lorong, melalui bantu-batu menonjol yang ujungnya seruncing pedang. Setelah
tiba di situ, tiba-tiba dia mendengar
suara lirih. "Sumoi....!" Dia berteriak. "Suheng.... aihhhh....
Suheng....!" Terdengar suara
tangis. Swat Hong yang menangis. Masih hidup! Hampir Sin Liong bersorak saking
girangnya dan dia mendorong orang
kerdil itu sampai terguling-guling lima meter jauhnya. Orang kerdil itu
merangkak dan pergi akan tetapi Sin
Liong tidak memperdulikannya lagi. Dia sudah memasuki guha dan terus ke
dalam, membelok ke kiri, ke arah suara
Swat Hong. Tiba-tiba dia terbelalak, otomatis dia memasang kuda-kuda
dengan pedang tiangkat tinggi-tinggi
dan tangan kiri siap di depan dada. Matanya yang terbelalak memandang
tajam kepada seekor laba-laba raksasa
sebesar kerbau, dengan sepasang anggauta bulat seperti mata melotot
kepadanya. Di belakang laba-laba itu
tampak sarang laba-laba yang bukan main besarnya, benag sarang laba-laba
itu sebesar jari-jari tangan, nampak
kuat sekali dan di tengah-tengah sarang itu, tubuh Swat Hong menempel
dengan kedua lengan terpentang, juga
kakinya agak terpentang dan bagian tubuh dara itu agaknya melekat kepada
sarang itu, tak dapat dilepaskan lagi.
Gadis itu menangis ketika melihatnya dan hanya dapat berkata,
"Suheng....., cepat kau bunuh
binatang menjijikan itu....!" Sin Liong mencium bau harum yang aneh dan
keras,
dan maklumlah dia bahwa tempat itu
penuh dengan hawa beracun! Laba-laba ini selain besar sekali juga beracun.
Heran dia mengapa Swat Hong masih dapat
hidup, akan tetapi dia tidak memperdulikan atau memusingkan hal itu,
yang penting adalah menolong sumoinya.
"Tenanglah, Sumoi. Aku segera menolongmu," katanya dengan suara
gemetar
saking girang dan terharunya Laba-laba
itu memandang buas. Begitu melihat Sin Liong, dia merangkak maju dengan
cepat sekali dan tiba-tiba, berbarengan
dengan gerakan kaki depan dan mulutnya, sinar putih menyambar ke arah
Sin Liong. Itulah benang besar yang
mengandung daya lekat luar biasa sekali, Sin Liong menggerakan pedang
rampasannya dan tali putih itu terbabat
putus, kemudian dia melangkah maju, mengelak dari sambaran tali ke dua
kemudian dari samping dia menggerakan
kaki menendang. "Desss....!!" Betapa besar pun ukuran tubuh binatang
itu,
namun terkena tendangan kaki Sin Liong,
dia terlempar, terbanting pada dinding batu, terhuyung-huyung lalu
menghamburkan banyak benang putih ke
arah Sin Liong. Pemuda perkasa ini meloncat untuk mengelak dan ketika dia
memandang lagi, ternyata laba-laba itu
telah lari menghilang melalui sebuah lubang di celah-celah dinding batu.
Cepat Sin Liong menghampiri Swat Hong,
berusaha menurunkan tubuh gadis itu, akan tetapi ternyata sukar sekali
karena sarang itu mengandung daya lekat
yang dapat merobek pakaian Swat Hong. Sin Liong menggerakan pedangnya
karena dia melihat bahwa sarang itu
tergantung pada benang-benang pokok terbesar yang malang melintang dan
melekat pada tanah dan pada
langit-langit guha. Pedangnya menyambar-nyambar dan runtuhlah sarang itu,
membawa
tubuh Swat Hong terjatuh ke bawah.
Gadis itu telah lemas sekali dan tentu akan terbanting kalau saja tidak
disambar oleh Sin Liong. Pemuda itu
membersihkan benang-benang laba-lana itu dan memondong tubuh sumoinya yang
lemas menjauhi tempat itu. Ketika dia
tiba di bagian yang lebar dari lorong itu, dia menurunkan sumoinya yang
duduk bersandar batu. "Bagaimana
keadaanmu, Sumoi?" tanyanya sambil memeriksa nadi lengan sumoinya. Detik
jantungnya lemah, mukanya pucat dan
tenaganya habis, akan tetapi yang mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa
sumoinya itu telah keracunan!
"Untung.... untung kau datang, Suheng.... kalau tidak.....aku sudah hampir
tidak
kuat....." Gadis itu tiba-tiba
merangkul dan menangis dipundak Sin Liong. Pemuda itu membiarkan saja Swat Hong
menangis. Tak lama kemudian dia
berkata, "Laba-laba itu beracun, kau terkena hawa beracun, akan tetapi
berapa
lama kau tertawan seperti itu?"
"Sejak malam tadi....... ahhhh, mengerikan sekali, Suheng...."
"Sudahlah, mari
kubantu engkau mengusir hawa beracun
yang mengeram di tubuhmu." "Nanti dulu aku harus menceritakan dulu
kepadamu....." Swat Hong berkata
terengah-engah, "ceritaku akan dapat mengusir kengerian yang masih
mencengkeram hatiku suheng." Sin
Liong mengangguk. Menurut halis menyelidikan tadi, biarpun terserang hawa
beracun namun keadaan Swat Hong tidak
berbahaya dan malah lebih berbahaya ketegangan dan pukulan batin yang
dideritanya selama satu malam itu.
Memang menceritakan kengerian yang mencengkeram merupakan obat mujarab pula,
seolah-olah kengerian yang
ditahan-tahan itu memperoleh jalan keluar dan dapat meringankan hati yang
tertekan.
"Aku mengejar mereka dan mereka
itu lenyap. Aku penasaran dan mencari terus, selalu tampak berkelebatnya
bayangan mereka sehingga pengejaranku
terarah. Aku sama sekali tidak mengira bahwa mereka memang memancingku ke
tempat ini. Ketika aku melihat bahwa
cuaca mulai gelap, aku melihat pula sinar api di depan dan terus aku
mengejarnya. Kemudian, di antara sinar
obor aku melihat beberapa orang kerdil lari memasuki guha ini. Aku cepat
mengejar dan melihat bayangan mereka
dekat sekali. Kupikir asal dapat menangkap seorang diantara mereka dan
memaksanya menjadi petunjuk jalan,
tentu beres. Maka melihat bayangan mereka begitu dekat di dalam guha ini,
aku menerjang dan melompat maju,
bermaksud menangkap seorang di antara mereka." in Liong mendengarkan penuh
perhatian dan diam-diam dia
membandingkan pengalaman sumoinya dan pengalamannya sendiri. Ternyata jalan
pikiran
mereka untuk menawan seorang lawan
adalah sama, hanya sayangnya, sumoinya tidak tahu bahwa dia sedang dipancing
memasuki jebakan yang amat mengerikan.
"Ketika aku meloncat itu, aku tidak tahu bahwa di depanku terdapat
sarang laba-laba itu. Tubuhku
tertangkap, aku meronta-ronta namun laba-laba itu terus menambah tali-tali
mengerikan itu yang mempunyai daya
melekat luar biasa. Aku meronta terus sampai kehabisan napas dan melihat
laba-laba itu begitu dekat, seolah-olah
hendak menjilatku dan hendak menggigit, aku pingsan entah beberapa
kali." "Hemm, engkau masih
untung dapat terhindar, Sumoi. Sungguhpun aku merasa heran sekali...."
"Dapat
kaubayangkan betapa ngeriku, Suheng,
ketika aku siuman, tak jauh dari situ terdapat obor yang mendatangkan
cahaya remang-remang amat mengerikan,
dan aku terjerat sama sekali tak mampu bergerak, dan laba-laba itu ......
mendekati aku, lalu mundur kembali,
mendekati lagi seperti ragu-ragu.....ihh, melihat kaki yang berbulu itu,
meraba-raba....." Swat Hong
kembali menutupi mukanya dan terisak-isak. "Memang hebat sekali pengalamanmu,
Sumoi. Akan tetapi yang penting, engkau
dapat terhindar. Hanya satu hal aku tidak mengerti, mengapa selama itu
laba-laba raksasa tadi tidak
menggigitmu? Padahal dia amat berbisa." "Berkat inilah," Swat
Hong mengeluarkan
sebuah batu sebesar kepalanya, batu yang
berkilauan mengeluarkan cahaya hijau. "Ah kiranya engkau membawa bekal
Batu Mustika Hijau? Pantas! Tentu saja
binatang itu tidak berani menggigitmu, bahkan setiap kali mendekat
menjadi ketakutan dan mundur kembali.
Untung sekali, Sumoi. Sekarang, marilah kubantu engkau mengusir hawa
beracun dari tubuhmu." "Baik,
Suheng.... aku...... ahhhh......" Tiba-tiba napasnya menjadi sesak dan
Swat Hong
terguling pingsan! Sin Liong cepat menyambar
tubuh sumoinya dan memeriksanya. Dia merasa heran sekali karena
begitu memeriksa, dia mendapat
kenyataan bahwa keadaan sumoinya tidak seringan yang diduganya semula. hal ini
adalah karena tadi sumoinya meletakan
Batu Mustika Hijau itu di pinggangnya, maka ketika pada pemeriksaan
pertama, hawa beracun agak tertolak
oleh mustika itu sehingga kelihatanya hanya ringan. Sekarang, setelah batu
itu dikeluarkan, daya tolak racun dari
batu itu meninggalkan tubuh Swat Hong dan hawa beracun yang amat jahat
itu menyerang sepenuhnya membuat Swat
Hong roboh pingsan. Sin Liong tidak ragu-ragu lagi, cepat dia memijat
tengkuk dan mengurut kedua urat besar
di pundak. Swat Hong mengeluh lirih dan membuka matanya. "Sumoi, kau
ternyata terluka hebat juga di sebelah
dalam tubuhmu oleh hawa beracun itu. Lekas kaubuka baju atas, aku harus
mengerahkan sinkang, menempelkan tangan
di punggungmu, langsung tidak tertutup pakaian." Suara Sin Liong
sungguh-sunggu dan Swat Hong juga
mengerti akan keadaannya yang berbahaya. Dia merasa penting dan dadanya sesak
sekali, maka tanpa membuang waktu lagi
dia lalu membuka bajunya, duduk membelakangi Sin Liong dan membiarkan
punggungnya terbuka sama sekali.
"Aughhh....ahhh, panas sekali..... ah, Suheng, badanku seperti dibakar
rasanya...." Swat Hong merintih
sambil memegangi bajunya dan mencegah baju itu merosot. "Tenanglah, Sumoi.
Biar
kumulai, kau menerima sajalah hawa
sinkang dariku." Sambil duduk bersila di belakang Swat Hong, Sin Liong
lalu
mnyalurkan tenaga sinkang yang dingin,
menempelkan telapak tangan pada pungung yang berkulit putih mulus, halus
dan pada saat itu panas sekali. Setelah
telapak tangannya menempel, baru Sin Liong tahu betapa hawa beracun itu
mendatangkan hawa panas yang makin lama
makin hebat. Ahh, dia terlalu semberono, mengira luka sumoinya tadi
ringan saja sehingga tidak segera
mengobati sumoinya. Swat Hong merasa tersiksa, mulutnya terbuka dan dia
merintih-rintih. Hawa panas luar biasa
yang menyerang dari dalam membuatnya berpeluh, akan tetapi kini terasa
olehnya betapa dari telapak tangan di
punggungnya itu masuk perlahan-lahan hawa dingin, sedikit demi sedikit.
Dia ingin membatu Sin Liong akan tetapi
diurungkannya niat itu. Biarlah, dia ingin melihat sampai di mana
pemuda itu akan membelanya. Dia tahu
bahwa mengerahkan Swat-im-sin-kang untuk mengusir hawa beracun yang panas
itu membutuhkan pengerahan tenaga yang
kuat, apalagi harus dilakukan sedikit demi sedikit dengan hatihati
sehingga akan menghabiskan tenaga.
Pula, begitu merasa telapak tangan pemuda itu di punggungnya yang telanjang,
semacam perasaan aneh memasuki hatinya
dan dia ingin agar telapak tangan suhengnya itu tidak lekas dilepaskan
dari pungungnya! Karena itulah dia
tidak mau membantu, membiarkan suhengnya mengerahkan tenaga sendiri untuk
mengusir hawa beracun itu. Sin liong
tidak menaruh curiga, hanya mengira bahwa sumoinya terlalu lelah sehingga
tidak kuat membantunya. Hal ini malah
membuat dia makin bersemangat mengerahkan tenaganya. Mukanya mulai
meneteskan keringat dan dia memejamkan
matanya, memusatkan seluruh hati dan pikirannya ke dalam usaha
pengobatan itu. Dia tidak tahu betapa
sumoinya tersiksa, bukan hanya tersiksa oleh bentrokan antara tenaga
Swat-im-sin-kang yang mengusir hawa
beracun panas melainkan juga tersiksa oleh perasaannya sendiri yang tidak
karuan. Tidak melihat betapa Swat Hong
mengepal tangan kirinya, mulutnya terbuka terengah-engah, dan dimukanya
tidak hanya peluh yang menetes,
melainkan juga air mata! Juga keuda orang muda ini tidak tahu betapa di tempat
itu muncul bayangan seorang kakek yang
berdiri tegak memandang mereka sambil mengelus jenggotnya. Kakek ini
berpakaian rapi dan sederhana bentuknya
namun yang terbuat dari kain yang mahal, jenggotnya yang panjang
terpelihara rapi, sudah banyak
putihnya, dan rambutnya yang putih juga tersisir rapi dan digelung ke atas,
diikat dengan pembungkus rambut sutera
biru dan ditusuk dengan tusuk konde emas. Wajah kakek ini biarpun sudah
tua namun masih kelihatan tampan dan
bersih, ketampanan yang membayangkan kekejaman, apa lagi dari sinar mata
dan tarikan mulutnya yang seperti orang
mengejek. Kalau tidak melihat mulut dan sinar matanya, kakek ini tentu
akan menimbulkan rasa hormat karena dia
lebih pantas menjadi seorang pendeta atau pertama yang agung. Kakek itu
mengelus jenggotnya dan pandang matanya
tertuju kepada tubuh belakang Swat Hong yang telanjang. Sinar matanya
seperti membelai-belai punggung yang
melengkung indah itu, yang terakhir di bawah membesar sampai ke pinggul
yang hanya tertutup sebagian oleh baju
yang merosot, dari samping punggung tampak membayang tonjolan buah dada
yang gagal tertutup sama sekali oleh
baju yang dipegang oleh tangan Swat Hong. Dalam keadaan tanggung-tanggung
ini, telanjang sama sekali bukan dan
tertutup rapat juga bukan, keadaan Swat Hong mendatangkan daya tarik yang
luar biasa, dan mudah membangkitkan
berahi seorang pria yang memang benaknya penuh terisi oleh
khayalan-khayalan cabul! Siapakah kakek
yang usianya kurang lebih enam puluh tahun akan tetapi masih begitu
tertarik melihat punggung telanjang
seorang dara? Dia adalah seorang bertapa yang belum lama turun dari
pertapaannya di lereng Pegunungan
Himalaya. Selama dua puluh tahun dia meninggalkan daratan besar merantau ke
barat dan akhirnya bertapa di lereng
Himalaya, bertemu dengan pertapa-pertapa sakti dan mempelajari ilmu.
Dahulunya dia adalah seorang tosu yang
ingin memperdalam ilmunya. Akan tetapi setibanya di Himalaya, dia
bertemu dengan ahli ilmu hitam sehingga
pelajaran Agama To diselewengkan menjadi pelajaran kebatinan yang penuh
dengan ilmu sihir yang aneh-aneh. Dan
karena memang di dalam dirinya belum bersih, ilmu hitam yang
dipelajarinya membuat semua kekotoran
di dalam dirinya itu menonjol dan mencari jalan keluar, dibantu dengan
ilmu sihirnya sehingga pendeta Agama To
ini menyeleweng menjadi seorang pertapa atau pendeta palsu yang tidak
segan-segan melakukan apa pun demi
mencapai kenikmatan dan kesenangan dunia. Nama pendeta ini adalah Ouwyang
Cin Cu, sorang yang memiliki kepandaian
silat tinggi, akan tetapi lebih-lebih lagi, memiliki kekuatan sihir
yang membuat dia terpakai sekali tenaganya
oleh Jenderal An Lu Shan. Berkat ilmu sihir dari Ouwyang Cin Cu
inilah, yang merupakan obat
"guna-guna" , maka An Lu Shan yang kasar itu berhasil memikat hati
Yang Kui Hui!
Bertapa atau melakukan segala usaha
penekanan terhadap nafsu adalah usaha sia-sia dan palsu belaka, karena
tidak mungkin akan berhasil selama di
dalam dirinya masih berkecamuk nafsu itu sendiri. penekanan hanyalah akan
menghentikan timbulnya nafsu itu sementara
waktu saja, akan tetapi bukanlah berarti bahwa nafsu itu sudah mati.
Sewaktu-waktu, jika penekanannya
berkurang kuatnya, tentu akan meledaklah nafsu yang ditahan-tahan. seperti api
dalam sekam , sewaktu-waktu dapat
membakar. karena yang menekan nafsu ini pun sesungguhnya adalah nafsu sendiri
dalam lain bentuk atau lain nama yang
kita berikan kepadanya. Keinginan tidak mungkin dilenyapkan dengan lain
keinginan, karena akan menjadi
lingkaran setan yang tiada berkeputusan. Apa artinya bertapa di tempat sunyi,
meninggalkan masyarakat agar tidak
melihat lagi wanita dan timbul nafsu berahi kalau nafsu berahi itu sendiri
masih bercokol di dlam batinnya, kalau
dirinya sendiri setiap saat digerogoti oleh nafsu berahi yang masih
bercokol di dalam batin itu?
Sebaliknya, biarpun hidup di antara seribu orang wanita cantik, kalau memang
tidak
ada nafsu berahi di dalam hatinya sama
sekali bersih, pasti tidak akan ada gangguan sesuatu di dalam batin.
Jadi yang penting bukanlah mencari
pelarian, bukanlah melarikan diri dari segala macam nafsu, dalam hal ini
sebagai contoh adalah nafsu berahi,
melainkan membebaskan diri dari nafsu berahi. Dan kebebasan ini hanya dapat
terjadi apabila kita mengerti benar,
mengenal benar diri sendiri, mengenal nafsu berahi yang membakar kita, dan
tak mungkin kita dapat mengenal tanpa
kita mempelajari, mengawasi, mengamati dengan seksama tanpa usaha untuk
mendudukannya! Dengan pengamatan ini
maka segala akan tampak jelas, segala akan kita kenal dan dari pengamatan
akan timbul pengertian, dari pengertian
akan muncul suatu tindakan yang berlainan sama sekali dari tindakan
palsu pelarian. Demikianlah halnya
dengan Ouwyang Cin Cu, karena puluhan tahun lamanya dia menahan-nahan dan
menekan nafsu, setelah kini dia
menguasai ilmu yang tinggi, memperoleh jalan muda untuk melampiaskan
nafsu-nafsunya, dia membiarkan
nafsu-nafsunya bersimaharajalela, seolah-olah untuk menebus pertapaannya yang
selama puluhan tahun itu! Begitu turun
gunung kembali ke timur untuk menikmati seluruh sisa hidupnya dengan
segala macam kesenangan yang diinginkan
tubuhnya, dia mendengar tentang pemberontakan An Lu Shan. Memang dia
seorang yang cerdik, maka tampaklah
olehnya kesempatan terbuka baginya untuk mencari kedudukan tinggi,
kemuliaan sebagai seorang penguasa. Dia
mengunjungi An Lu Shan dan dengan demonstrasi kepandaiannya, baik silat
maupun sihir, dia diterima dengan tangan
terbuka dan diberi kedudukan tinggi, yaitu penasihat urusan dalam dari
Jenderal itu! Tentu saja dia tidak
dapat menjadi penasehat urusan perang karena dia sama sekali tidak mengerti
akan ilmu perang. Mulailah Ouwyang Cin
Cu hidup mewah dan terhormat di dalam istana An Lu Shan, segala
kehendaknya terlaksana. Kemewahan,
kehormatan, dan pelampiasan nafsu berahinya karena disediakan banyak
pelayan-pelayan wanita muda yang
cantik-cantik untuk kakek ini! Pada waktu itu, Ouwyang Cin Cu diutus oleh An
Lu Shan untuk mengunjungi Rawa Bangkai,
karena An Lu Shan yang sudah tahu akan kelihaian dua orang wanita The
Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li, mempunyai
niat untuk menarik kedua wanita itu sebagai pembantu dalam dan
pengawalnya. Hal ini menunjukan
kecerdikan Jenderal itu. Dia tahu bahwa The Kwat Lin adalah bekas Ratu Pulau
Es, maka selain memiliki ilmu silat
yang hebat, tentu juga memiliki ambisi-ambisi pribadi terhadap kerajaan
yang hendak mereka gulingkan dan
rampas. maka kalau wanita seperti itu diberi kesempatan memperoleh kekuasaan
dengan pasukan yang kuat, kelak tentu
akan menjadi penghalang dan saingan belaka. Berbeda kalau wanita itu
ditugaskan mengawalnya, segala
gerak-geriknya dapat diawasi selain tenaganya dapat dipergunakan untuk
mengawalnya sehingga dia akan merasa
lebih aman dan terjamin keselamatannya. Demikianlah, Ouwyang Cin Cu lalu
diutusnya mengunjungi Rawa Bangkai
setelah lima orang utusan pertama ke Rawa Bangkai yaitu Bi Swi Nio, Liem
Toan Ki dan tiga orang kakek lain
berhasil dengan baik mengunjungi Rawa Bangkai. Sekali ini, Ouwyang Cin Cu
membawa surat pribadinya yang dengan ramah
mengundang kedua orang wanita itu untuk mengunjungi istananya untuk
mengadakan perundingan. Kedatangan
Ouwyang Cin Cu menimbulkan kegemparan, juga disambut dengan kagum oleh The
Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li. Ketika
lima orang utusan yang terdahulu datang, Kiam-mo Cai-li telah memberikan
rahasia jalan menuju ke Rawa Bangkai
tanpa menyeberangi rawa, yaitu melalui jalan terowongan di bawah tanah,
dari balik gunung yang dijaga oleh
orang-orang kerdil yang juga sudah takluk dan menjadi kaki tangannya. Maka
kedatangan Ouwyang Cin Cu sekali ini
tidaklah sukar, dan Ouwyang Cin Cu dengan kepandaiannya yang tinggi dapat
menyelinap melalui terowongan dan
menembus ke pulau di tengah rawa. Betapa kagetnyasemua orang ketika melihat
seorang kakek datang menunggangi seekor
harimau! The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li melompat ke depan, siap untuk
menghadapi lawan, akan tetapi Ouwyang
Cin Cu yang masih duduk di atas pungung harimau itu tertawa,
memperlihatkan deretan giginya yang
masih lengkap. "Apakah Jiwi yang bernama The-lihiap dan Kiam-mo Cai-li
yang
terkenal itu?" "Benar,
siapakan Totiang?" tanya The Kwat Lin hati-hati karena sikap tosu ini
menunjukan bahwa
dia adalah seorang yang berilmu tinggi.
"Ha-ha-ha, benar-benar tidak berlebihan yang pinto dengar. Kalian
selain gagah perkasa juga amat cantik.
Pinto adalah Ouwyang Cin Cu, utusan pribadi An-goanswe dan inilah surat
beliau untuk Jiwi!" Dia menggosok
kedua telapak tangannya dan tampaklah asap mengepul tinggi. Asap itu
membentuk bayangan seorang pelayan
istana yang cantik, yang berjalan terbongkok-bongkok kepada kedua orang
wanita itu dan menyerahkan sebuah
sampul surat! Tentu saja The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li bengong terlongong
menyaksikan permainan sulap yang hebat
ini. The Kwat Lin menerima surat itu sambil mengerahkan sinkangnya
dan.....wushhhh, wanita pelayan itu
lenyap tanpa bekas! "Ha-ha-ha, The-lihiap benar hebat!" Ouwyang Cin
Cu
berseru dan dia meloncat turun dari
atas punggung harimau, lalu meniup ke arah harimau itu dan..... harimau itu
tertiup dan melayang tinggi lalu lenyap
di angkasa! Tentu saja semua ini adalah hasil sihir dari Ouwyang Cin
Cu. Harimau dan pelayan wanita itu
tentu saja tidak ada sesungguhnya, yang ada hanyalah Ouwyang Cin Cu yang
mempergunakan kekuatan sihirnya
mempengaruhi dua orang wanita itu sehingga mereka melihat apa yang dikhayalkan
oleh Ouwyang Cin Cu! Padahal, yang
menyerahkan surat adalah pendeta itu sendiri yang datang dengan jalan kaki.
Kiam-mo Cai-li tertawa. "Hi-hik,
kiranya utusan An-goanswe adalah seorang tukang sulap!" Ouwyang Cin Cu
memandang wanita itu sambil tersenyum.
Mereka saling pandang dan sudah ada kecocokan di antara mereka. Kiam-mo
Cai-li dapat melihat bahwa kakek itu,
biarpun usianya sudah enam puluh tahun, namun masih tampan gagah dan
matanya bersinar-sinar penuh nafsu
berahi! Sebaliknya Ouwyang Cin Cu juga dapat mengenal Kiam-mo Cai-li,
seorang wanita yang biarpun usianya
sudah setengah abad lebih, namun memiliki nafsu yang besar dan awet muda
karena terlalu banyak mempermainkan dan
menghisap hawa muda dari banyak perjaka! Dia tersenyum makin lebar dan
berkata, "Bukankah Cai-li suka
akan ilmu sulap? Kita berdua suka bicara dan bersikap terang-terangan, tanapa
menutupi badan sama sekali,
bukan?" kalau bukan Kiam-mo Cai-li yang terkena sihir itu, tentu dia akan
menjerit
saking kaget dan ngerinya. Betapa tidak
akan ngeri kalau tiba-tiba dia melihat dia sendiri dan Ouwyang Cin Cu
tidak berpakaian sama sekali, telanjang
bulat sama sekali di tengah-tengah orang banyak itu! Akan tetapi,
ketika dia melirik dan melihat bahwa The
Kwat Lin dan yang lain-lain tidak mengadakan berubahan apa-apa,
tahulah dia bahwa yang melihat mereka
telanjang bulat itu hanyalah mereka berdua! Diapun tersenyum dan
menjelajahi tubuh telanjang kakek itu
dengan pandang mata kagum, seperti yang dilakukan pula oleh Ouwyang Cin
Cu kepadanya. Pertapa cabul itu lalu
diterima sebagai tamu terhormat, dijamu oleh The Kwat Lin dan Kiam-mo
Cai-li. Seperti dapat diduga lebih
dulu, di antara Ouwyang Cin Cu dan Kiam-mo Cai-li segera terjadi hubungan
gelap yang amat mesra. The Kwat Lin
tahu akan hal ini dan diam-diam merasa geli, akan tetapi karena dia pun
tahu akan kesukaan Kiam-mo Cai-li yang
sering mengeram laki-laki muda di dalam kamarnya, dia pura-pura tidak
tahu. Persiapan lalu dibuat oleh kedua
orang wanita itu untuk ikut Ouwyang Cin Cu mengunjungi An Lu Shan. Akan
tetapi sebelum mereka berangkat,
terjadilah peristiwa kedatangan Sin Liong dan Swat Hong yang dikabarkan oleh
orang-orang kerdil kepada mereka.
Ketika mendengar dengan jelas dan tahu bahwa yang datang menyerbu adalah Kwa
Sin Liong dan Han Swat Hong, muka The
Kwat Lin menjadi pucat sekali. Dia tahu bahwa biarpun dia jarang bertemu
tanding di daratan besar setelah dia
lari dari Pulau Es, namun menghadapi kedua orang muda itu dia tidak boleh
main-main, apalagi menghadapi Sin Liong
yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian hebat sekali dapat dikatakan
mewarisi seluruh kepandaian bekas
suaminya, Han Ti Ong! "Aihh...., mereka datang.....??" tak terasa
lagi keluar
seruan dari mulutnya. Kiam-mo Cai-li
dan Ouwyang Cin Cu yang sedang duduk berhadapan di meja makan bersama The
Kwat Lin, memandang dengan kaget dan
juga heran. Baru sekarang Cai-li menyaksikan sahabatnya itu kelihatan
takut! "Siapakah mereka,
Lin-moi?" Persahabatan antara The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li telah
menjadi sedemikian
eratnya sehingga mereka saling menyebut
moi-moi dan cici. "Mereka?" Kwat Lin menjawab dan mukanya masih
pucat.
"Mereka adalah penghuni Pulau Es.
Kwa Sin Liong adalah murid utama dari Han Ti Ong, sedangkan Han Swat Hong
adalah puterinya!"
"Ahhh...." Kiam-mo Cai-li dapat menduga bahwa tentu kedatangan mereka
itu mempunyai niat
yang tidak baik. "Habis, apa yang
harus kita lakukan?" "Kita harus siap menghadapi mereka. Mereka lihai
sekali,
terutama Sin Liong! Atau jebakan agar
mereka terperosok. kalau sampai mereka berhasil menerobos ke sini,
berbahaya sekali!" kata Kwat Lin,
masih tetap takut. "Wah, Ibu. Mengapa bingung? Bukankah di sini terdapat
Bibi
Cai-li, juga ada Ouwyang Totiang, dan
Ibu sendiri di samping puluhan orang anak buah. Biarkan mereka datang dan
kita hancurkan mereka!" Tiba-tiba
Bu Ong berkata dengan gayanya yang jumawa. Mendengar ini, Ouwyang Cin Cu
tertawa dan mengelus kepala pemuda
tanggung itu. "Engkau hebat sekali, Han-kongcu! masih kecil ini memiliki
keberanian yang luar biasa. Benar puteramu,
The-lihiap. Biarlah para orang kerdil menjebak mereka, kalau
jebakan itu tidak berhail, biarlah
pinto yang menghadapi mereka. Li-hiap dan Cai-li boleh siap-siap saja
menyambut mereka sebagai tawanan atau
sebagai mayat." Kiam-mo Cai-li segera mengatur sendiri orang-orang kerdil
untuk memancing dan menjebak Sin Liong
dan Swat Hong, sedangkan Ouwyang Cin Cu mengintai dan membayangi gerakan
dua orang muda itu. The Kwat Lin juga sudah
siap-siap kalau kedua orang pembantu itu gagal. Demikianlah,
setelah Sin Liong berhasil
menyelamatkan Swat Hong dan sedang mengobatinya, muncul Ouwyang Cin Cu
mengagumi
ketelanjangan punggung Swat Hong yang
berkulit putih mulus dan halus menggairahkan hatinya itu. Melihat betapa
dengan pengerahan sinkang pemuda itu
berhasil mengusir hawa beracun, dia menjadi kagum sekali kepada pemuda
itu. Timbullah keinginan yang aneh
dalam batin kakek yang penuh kecabulan itu. Berahinya yang tadi bergolak
hanya dengan melihat punggung yang
putih mulus dari Swat Hong itu kini berubah. Dia dapat melihat bahwa pemuda
dan pemudi di dalam guha itu masih
murni, maka timbullah keinginannya menyaksikan mereka itu bermain cinta!
Memang demikianlah, Kecabulan bukan
hanya keinginan untuk berjinah sendiri dengan orang yang menimbulkan
berahinya, melainkan juga dapat
berbentuk keinginan untuk menyaksikan orang lain bermain cinta. Hal ini juga
timbul karena kekagumannya menyaksikan
pemuda itu sanggup mengusir hawa beracun dengan sinkang, tanda bahwa
pemuda itu merupakan lawan tangguh.
Jika dia berhasil menggunakan sihir dan guna-guna untuk membuat pemuda itu
"jatuh" tentu dalam keadaan
seperti yang dikehendakinya itu, akan mudah saja menawan dua orang muda yang
agaknya ditakuti oleh The Kwat Lin itu.
Bagaikan bayangan setan saja, kakek itu menyelinap di balik batu dan
tak lama kemudian tampak asap mengepul
dari tiga batang hio (dupa) yang menyebarkan bau harum, sedangkan kakek
itu sendiri sudah duduk bersila, kedua
lengan diluruskan ke depan, ke arah muda-mudi itu dan sepasang matanya
terbelalak memandang seperti sepasang
mata setan! Ilmu sihir yang dipergunakan oleh Ouwyang Cin Cu adalah ilmu
hitam yang dikuasainya dengan
latihan-latihan yang berat dan mengerikan. Di dalam ilmu ini terkandung
kekuasaan
mujijat yang hanya dikenal oleh mereka
yang memuja setan iblis dan segala roh jahat yang mereka percaya
ditambah dengan kekuatan dari tenaga
sakti (sinkang) dan latihan yang tekun, dicampur dengan bermacam mantra
yoga. Untuk melatih kekuatan matanya,
bertahun-tahun Ouwyang Cin Cu bertapa menghadapi dupa membara sampai
kekuatan pandang matanya dapat membuat
api membara di ujung dupa itu membesar atau mengecil, mengepulkan asap
atau tidak menurut kehendak pikiran
yang disalurkan melalui pandangan matanya yang tajam itu. Kini, dibantu
dengan bau asap dupa yang harum dan
aneh, dia mulai menjatuhkan sihirnya, matanya memandang dengan pengaruh
yang amat dahsyat, bibirnya
berkemak-kemik membaca mantra. Mula-mula Swat Hong yang terpengaruh hawa
mujijat
itu. Hal ini tidaklah mengherankan
karena tentu saja Sin Liong memiliki daya tahan yang jauh lebih kuat
dibandingkan dengan sumoinya, juga
memang sebelumnya Swat Hong sudah tersiksa oleh perasaannya sendiri,
perasaan mesra yang aneh yang sejak
tadi menyelinap dan mengaduk hatinya ketika merasa betapa telapak tangan
suhengnya menyentuh punggungnya. Karena
memang sudah timbul perasaan wajar dari seorang gadis yang normal dan
sehat, terdorong oleh rasa cintanya
kepada suhengnya itu, maka tidaklah mengherankan ketika diserang oleh
kekuatan sihir, Swat Hong mudah sekali
terkena. Dia mengeluh dan merintih lirih, tubuhnya gemetar semua,
mukanya berubah merah seperti dibakar,
napasnya terengah-engah, kedua tangannya mengepal dan dia tidak peduli
lagi bajunya yang tadi ditahan dengan
tangan di bagian depan daadnya, merosot dan terbuka. Setelah gelisah
bergerak ke kanan kiri, kemudian dia
menoleh, memandang kepada suhengnya yang masih duduk bersila dengan muka
menunduk dan mata terpejam.
"Iihhhh.... aahhh.... Suheng....!" Swat Hong mengeluh, lalu
membalikan tubuhnya dan
serta merta merangkul leher Sin Liong
sambil terengah-engah seperti orang hendak menangis. Sin Liong membuka
matanya dan dapat dibayangkan betapa
kagetnya ketika dia melihat bahwa sumoinya dalam keadaan setengah
telanjang karena pakaian bagian atasnya
terlepas setelah merangkulnya. "Su....Sumoi!" Dia berseru dan barulah
dia merasa betapa kepalanya seketika
menjadi pening, pandang matanya menjadi berkunang dan hidungnya mencium
bau yang harum dan aneh sekali. Baru
sekarang terasa olehnya betapa tubuh sumoinya mendekap ketat dan jari-jari
tangannya merasakan kulit yang lunak
halus dan hangat. Jantungnya berdebar dan pada saat itu, dengan isak
tertahan Swat Hong telah memperketat
pelukannya dan menciumnya. "Suheng....!" Bagaikan dalam mimpi Sin
Liong
merasa seolah- olah dia terseret oleh
harus yang amat dahsyat, yang membuat bibirnya membalas ciuman itu, yang
memaksa kedua lengannya merangkul dan
mendekap. Namun, seketika itu juga timbul hawa panas dari pusat di
pusarnya, hawa panas yang naik ke atas
dan membuyarkan semua hal yang membuat dia pening dan seperti mabok itu.
Memang pada dasarnya Sin Liong adalah
seorang anak yang ajaib, yang sama sekali tidak pernah dipermainkan oleh
lamunan yang bukan-bukan, yang bersih
sama sekali, kebersihan yang khas dan wajar, tidak dibuat-buat dan memang
pada dasarnya dia memiliki kekuatan
batin yang tidak lumrah manusia biasa. Maka begitu dia terserang oleh sihir
yang amat mujijat, biarpun dia sendiri
belum tahu bahwa ada orang jahil yang mempermainkannya, namun secara
otomatis kebersihan hatinya telah
meninggalkan hawa panas menolak kekuasaan asing yang kotor itu. Begitu hawa
panas naik dan membuyarkan pengaruh
jahat, seperti baru terbuka mata pemuda itu. Baru tampak olehnya kepulan
asap yang harum, keadaan Swat Hong yang
tidak wajar. Seketika tahulah dia bahwa keadaan ini bukan sewajarnya
dan pasti dibuat oleh seorang yang
jahat. Begitu telinganya menangkap suara gerakan dari kiri, dia cepat
menengok dan tampaklah olehnya seorang
kakek tua yang duduk bersila dan meluruskan kedua lengannya ke arah
mereka, dan dari kedua lengan itu, juga
dari kedua matanya, menyambar tenaga mujijat ke arah mereka. Lengking
yang panjang dan nyaring dahsyat dan
mengandung getaran tenaga sakti dari dalam pusarnya, keluar dari mulut Sin
Liong dan dia sudah meloncat berdiri.
Lengkingan yang dahsyat itu menyebar getaran yang sedemikian kuatnya
sehingga kekuatan sihir yang
dipergunakan Ouwyang Cin Cu buyar sama sekali, bahkan tubuh kekek itu tergetar.
Swat Hong juga terbebas dari
cengkeraman sihir itu, dia menjadi pucat sekali, terbelalak, mengeluh perlahan
lalu terguling roboh, pingsan! Dapat
dibayangkan betapa kaget rasa hati Ouwyang Cin Cu ketika dia sedang
menikmati hasil ilmu sihirnya, melihat
betapa muda-mudi itu sudah mulai terpengaruh, tiba-tiba pemuda itu
mengeluarkan suara melengking
sedemikian dahsyatnya sehingga dia merasa betapa jantungnya seperti akan copot!
Melihat betapa pengaruh sihirnya buyar,
dia segera bangkit berdiri. "Manusia jahat, apa yang telah
kaulakukan?"
Sin Liong menegur dan melompat ke depan
kakek itu. Kakek itu mengerahkan tenaga mujijatnya, disalurkan melalui
tangan kanannya yang dibuka jari-jari
tangannya dan diselojorkan ke arah muka Sin Liong, memandang tajam sambil
berkata, "Orang muda berlututlah
kau di depan Ouwyang Cin Cu....!" Akan tetapi, untuk kedua kalinya kakek
itu
mengalami kekagetan. Biasanya, setiap
orang lawan akan dapat dibikin tidak berdaya dengan kekuatan sihirnya.
Akan tetapi sekali ini pemuda itu hanya
memandang kepadanya dengan sinar mata jernih halus dan sama sekali
tidak berlutut seperti yang
diperintahkannya dengan suara berwibawa itu. Dia memperhebat pencurahan tenaga
sihirnya, namun tetap saja pemuda itu
sama sekali tidak terpengaruh. Tentu saja Sin Liong dapat merasakan
serangan tenaga mujijat ini, dia merasa
betapa ada hawa yang menyerangnya, keluar dari lengan dan pandang mata
kekak itu, yang membuatnya tergetar dan
seperti ada kekuatan mujijat memaksanya agar dia menjatuhkan diri
berlutut di depan kakek itu. Namun dia
mengerti bahwa hal itu tidak semestinya dan tidak sewajarnya, maka dia
tidak mau mentaati perintah itu
melainkan memandang dengan sinar mata tajam penuh teguran kepada kakek yang
dianggapnya jahat itu. Melihat betapa
kekuatan sihirnya sekali ini tidak berhasil, Ouwyang Cin Cu menjadi
penasaran sekali . Sihirnya boleh gagal
akan tetapi dia masih memiliki ilmu silat dan kekuatan yang dahsyat.
Dara itu cantik menarik. Usahanya
menikmati tontonan yang tidak senonoh gagal, maka sebaiknya pemuda ini
dibunuh saja dan dara itu ditawan!
"Mampuslah kau...." Bentaknya penasaran dan kini dia tidak
menggunakan ilmu
sihir lagi, melainkan meloncat dan
menerkam seperti seekor serigala kepada Sin Liong, tangan kirinya
mencengkeram ke arah dahi pemuda itu
sedangkan sedangkan tangan kanannya dengan jari terbuka membacok ke arah
dada kiri lawan. "Plak!
Desss...." Sin Liong menangkis dengan kedua tangannya dan akibatnya tubuh
kakek itu
terdorong ke belakang sampai
terhuyung-huyung. Mata kakek itu terbelalak saking kagetnya. Tak disangkanya
bahwa
pemuda yang sanggup membuyarkan ilmu
sihirnya ini juga berhasil menangkis serangan dan membuat tubuhnya
terhuyung dan hampir jatuh! Maklum
bahwa dia berhadapan dengan sorang pemuda yang luar biasa. Ouwyang Cin Cu
meloncat, membalikan tubuhnya dan lari!
Teringat dia akan sikap takut yang tampak pada wajah bekas Ratu Pulau
Es ketika mendengar akan kedatangan
pemuda dan pemudi ini dan baru sekarang dia tahu mengapa bekas Ratu itu
kelihatan takut-takut. Kiranya pemuda
ini memang memiliki kesaktian yang amat hebat! Dia perlu mencari bantuan,
karena menghadapi seorang diri saja
amat berbahaya. Sin Liong yang ingin menangkap kakek itu dan mencari
keterangan tentang The Kwat Lin, segera
mengejar sambil berseru, "Orang tua jahat, kau hendak lari ke mana?
Tungu, kau harus menjawab beberapa
pertanyaanku!" Mendengar suara Sin Liong dekat sekali di belakangnya,
Ouwyang Cin Cu mempercepat larinya,
akan tetapi dengan gerakan yang lebih cepat lagi Sin Liong terus
mengejarnya. Setelah keluar dari dalam
jalan terowongan itu, di lapangan terbuka yang agak jauh letaknya dari
guha di mana Sin Liong meninggalkan
Swat Hong tadi, terpaksa Ouwyang Cin Cu tidak dapat melarikan diri lagi
karena Sin Liong telah menyusul dekat sekali di belakangnya. "Kakek
jahat, berhenti dulu!" Sin Liong membentak.
"Haaaeeeeeeehhhh!!" Tiba-tiba
Ouwyang Cin Cu membalikan tubuhnya dan begitu membalik, segulung sinar biru
menyambar ke arah pusar Sin Liong dan
sinar putih menyambar ke antara kedua matanya. Sinar biru itu adalah
sebatang pedang tipis yang biasanya
dibelitkan di pinggang sebagai sabuk oleh kakek itu, sedangkan sinar putih
itu adalah jenggot panjangnya yang
ternyata dapat dipergunakan sebagai senjata yang sangat ampuh!
"Hemmm....!!"
Sin Liong yang sudah menduga bahwa
kakek yang jahat itu tentu tidak segan-segan bermain curang, sudah menjaga
diri maka begitu melihat menyambarnya
sinar biru dan putih itu, cepat dia sudah mencelat ke atas. Demikian
cepat gerakan pemuda ini sehingga
Ouwyang Cin Cu melongo, mengira bahwa pemuda itu pandai menghilang! Akan
tetapi gerakan angin menyambar di
belakangnya membuat dia membalik dan ternyata pemuda itu telah berada di
belakangnya dan tadi ketika mengelak
pemuda itu telah mempergunakan ginkang untuk meloncat melalui atas
kepalanya. Akan tetapi gerakan pemuda
itu sedemikian cepatnya sehingga dia sendiri sampai hampir tidak
melihatnya, hanya melihat bayangan
berkelebat dan pemuda itu lenyap. Berdebar jantung kakek itu. Selama
hidupnya belum pernah ia bertemu dengan
lawan seperti ini! "Hiaaaahhh!!" Dia mengusir rasa gentarnya dan
mulai
mainkan pedangnya dengan gerakan yang
amat cepat. Pedang itu berubah menjadi gulungan sinar biru dan
mengeluarkan suara bedesing-desing
nyaring sekali, dan serangan pedang ini masih dia selingi dengan
pukulan-pukulan tangan kiri dengan
telapak tangan terbuka, memukulkan hawa sinkang yang amat kuat. Memang
Ouwyang Cin Cu bukan orang sembarangan.
Pertapa Himalaya ini selain pandai sihir, juga memiliki ilmu silat yang
tinggi, tenaga sinkangnya amat kuat dan
pedang yang dipergunakannya adalah sebatang pedang tipis dari baja biru
yang amat ampuh. Akan tetapi satu kali
ini dia bertemu dengan batunya! Tubuh Sin Liong berkelebatan dan ke mana
pun pedang dan tangan kiri menyerang,
selalu hanya bertemu dengan angin belaka. Dua puluh jurus lebih kakek itu
menyerang bertubi-tubi sampai napasnya
terengah-engah. Tiba-tiba Sin Liong berseru, "Lepas pedang!"
"Plakk!
Desss.....!!"
"Aiiiihhhh....!!" Pedang itu terlepas dari tangan Ouwyang Cin Cu dan
jatuh ke atas tanah
mengeluarkan suara mendencing nyaring.
Ternyata bahwa lengan kanan kakek tua itu kena ditampar oleh jari tangan
Sin Liong, mendatangkan rasa nyeri yang
amat hebat, bukan hanya nyeri, akan tetapi juga hawa dingin seolah-olah
menggigit daging dan urat, membuat
tangan kakek itu tidak kuat lagi memegang pedang. Untung bagi Ouwyang Cin
Cu, pada saat pedangnya terlepas itu,
muncul The Kwat Lin dan Kiammo Cai-li! Bagaikan dua sosok bayangan setan,
dua orang wanita sakti ini sudah
menerjang ke depan sambil meloncat dan terdengar suara melengking tinggi dari
mulut Kiam-mo Cai-li ketika dia
menyerang berbareng dengan The Kwat Lin yang juga menyerang tanpa mengeluarkan
suara.
"Heeeeeeeeeiiiiiiiiitttttttttt!!! Wir-wirrr......singggg.....
singggg!!" Pedang payung di tangan Kiam-m-
Cai-li sudah bergerak menyambar
menyusul lengkingannya, juga dibarengi dengan menyambarnya rambut panjangnya
dan kuku tangan kirinya yang sekaligus
menerjang dengan serangan yang amat dahsyat! Namun Sin Liong lebih
memperhatikan sinar pedang merah yang
menyambarnya tanpa suara itu karena dia tahu bahwa pedang Ang-bwe-kiam di
tangan The Kwat Lin yang menyambar
tanpa suara itu jauh lebih berbahaya dari pada semua serangan Kiam-mo Cai-li
yang banyak ribut itu.
"Hemmmm...!" Sin Liong mendengus dan kaki tangannya bergerak
menangkis rambut dan kuku,
tubuhnya mencelat menghindari sinar
merah pedang The Kwat Lin dan ujung kakinya yang menendang pergelangan
tangan Kiam-mo Cai-li berhasil
menangkis tusukan pedang payung. Pada saat itu, dari belakang, menyambar sinar
biru dari pedang Ouwyang Cin Cu yang
ternyata telah menyambar pula pedangnya yang tadi terlepas dan kini ikut
mengeroyok. "Ahhh!" Sin Liong
berseru, membiarkan pedang lewat dekat sekali dengan lehernya karena dia memang
sengaja berlaku lambat dan begitu
pedang lewat, jari tangannya menyentil, kuku jari tangannya bertemu batang
pedang biru itu. "Tringgggg....
Auuhhh....!" Untuk kedua kalinya, pedang biru itu terlepas dari pegangan
tangan
Ouwyang Cin Cu dan kini melayang jauh
dan lenyap kedalam semak-semak ! The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li sudah
menerjang lagi, akan tetapi Sin Liong
meloncat jauh ke belakang, lalu berkata kepada The Kwat Lin, "Subo, tungu
dulu!" Suaranya halus akan tetapi
penuh wibawa sehingga tanpa disadarinya sendiri, Kiam-mo Cai-li menghentikan
gerakannya, memandang kepada pemuda itu
dengan sinar mata penuh cahaya kagum. Otomatis hatinya tergerak melihat
pemuda yang luar biasa ini, pemuda yang
wajahnya mengeluarkan cahaya lembut, sedikit pun tidak membayangkan
kekerasan dan yang memiliki sepasang
mata yang aneh dan indah. "Hemmmm, bocah kurang ajar! Engkau masih ingat
bahwa aku adalah Subomu (Ibu
Gurumu)!" bentak The Kwat Lin dengan suaranya menyindir untuk menutupi
guncangan
hatinya. "Subo adalah isteri Suhu,
mana teecu berani kurang ajar? Kedatangan teecu bersama Sumoi adalah untuk
memenuhi pesan Suhu." Kembali hati
The Kwat Lin terguncang penuh rasa takut dan ngeri, takut kalau-kalau
suaminya yang dia tahu amat sakti itu
muncul di situ. Akan tetapi mendengar bahwa Sin Liong datang memenuhi
pesan suaminya, hatinya lega karena hal
itu berarti bahwa suaminya tidak ikut datang! "Hemm, pesan apakah dari
Suhumu?" Sin Liong yang memang
berawatak polos dan tidak suka menyembunyikan sesuatu di dalam hatinya, berkata
lantang, "Subo, Suhu minta agar supaya
semua pusaka Pulau Es yang Subo bawa pergi, diserahkan kembali kepada
teecu untuk teecu kembalikan ke Pulau
Es." Mendengar permintaan ini tanpa menjawab lagi The Kwat Lin lalu
menggerakan pedangnya dan mengirim
serangan langsung yang amat dahsyat. Gerakannya memang cekatan sekali dan
pedangnya hanya tampak sebagai sinar
mereh yang meluncur seperti panah api menuju ke arah tubuh Sin Liong.
Pemuda ini kembali mencelat ke belakang
berjungkir balik dan berdiri dengan tenang. "Subo harap dengarkan
permintaan teecu. Pusaka-pusaka itu
tidak boleh di bawa keluar dari Pulau Es. Teecu tidak suka melawan Subo,
akan tetapi kalau Subo tidak
mengembalikan pusaka-pusaka itu, terpaksa teecu...." "Heiiiiihhh,
mampuslah!"
bentak The Kwat Lin dan tubuhnya sudah
melayang ke depan dengan cepat seperti seekor burung garuda terbang
menyambar, didahului oleh sinar mereh
pedang Ang-bwe-kiam di tangannya. Terpaksa Sin Liong mengelak sambil
membalas dengan totokan tangan kirinya
menuju ke pergelangan tangan yang memegang pedang, namun bekas ibu
gurunya itu dengan cepat telah menarik
kembali pedangnya dan melanjutkan serangannya secara bertubi-tubi dengan
jurus-jurus pilihan dari Ngaheng- kiamsut
yang dimainkan oleh The Kwat Lin ini hebat bukan main karena
diperkuat dengan latihan- latihannya di
Pulau Es di bawah bimbingan suaminya, Han Ti Ong yang sakti. Juga
berkat latihan sinkangnya di pulau
dingin itu, tenaga yang menggerakkan pedang itu pun amat luar biasa sehingga
Angbwe- kiam menyambar-nyambar dengan
hawa dingin yang menyusup tulang lawannya biarpun tubuh belum sampai
tercium pedang. Tubuh Sin Liong lenyap
dan yang tampak hanya bayangannya saja berkelebatan di antara dua sinar
pedang itu yang bergulung-gulung
mengurung dirinya. Pemuda itu terpaksa mengerahkan seluruh keringanan tubuhnya
untuk mengelak dan berloncatan ke
sana-sini, kemudian mempercepat lagi gerakannya ketika Kiam-mo Cai-li sudah
menerjang juga dengan kemarahan meluap
karena kejatuhannya tadi dianggapnya amat memalukan. Tiga orang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali,
ketiganya memegang senjata-senjata pusaka ampuh, mengeroyok Sin Liong
dengan mati-matian! Bukan main hebatnya
pertandingan mati-matian itu! Sekali ini, baru sekali inilah, Sin Liong
benar-benar diuji semua hasil jerih
payahnya mempelajari ilmu silat tinggi di Pulau Es. Diuji hasil warisan
hampir seluruh ilmu kepandaian Raja
Pulau Es Han Ti Ong yang telah dikuasainya secara matang. Dengan tangan
kosong saja dia menghadapi serbuan maut
yang dilancarkan secara bertubi-tubi oleh tiga orang lawan yang sakti
itu. Sebelumnya, dengan tingkat kepandaian
Sin Ling yang sudah luar biasa tingginya, sukar lagi diukur sampai
di mana tingkatnya, dengan mudah dia
dapat mengikuti semua gerakan tiga orang lawannya dan karena itu dia dapat
menghindarkan diri dari semua serangan.
Dengan ilmunya mengenal semua dasar gerakan ilmu silat yang
dipelajarinya dari kitab kuno Inti Sari
Gerakan Silat, sekali pandang saja dia dapat mengetahui perkembangan
gerakan lawan dan bahkan dengan mudah
dapat menirunya. Akan tetapi ada dua hal yang penting yang membuat dia
repot juga menghadapi pengeroyokan tiga
orang lihai itu. Pertama, harus diakui bahwa biarpun tingkat ilmu
silatnya lebih tinggi dan dia memiliki
dasar lebih kuat dan lebih bersih sehingga sinkangnya kuat sekali, namun
dia kalah matang dalam latihan. Usianya
masih terlalu muda dan dia belum mengalami banyak pertandingan, apalagi
melawan orang-orang yang ahli, tidak
seperti tiga orang pengeroyoknya yang telah mempunyai pengalaman banyak
sekali dalam pertandingan silat. Kedua,
dan ini merupakan kenyataan yang paling hebat, adalah bahwa Sin Liong
memiliki dasar watak yang halus budi
dan penuh belas kasihan. Wataknya ini membuat dia tidak tega menjatuhkan
pukulan maut, apalagi membunuh
lawannya. Andaikata dia tidak memiliki dasar watak seperti ini, dengan
kepandaiannya yang hebat, tentu dia
akan mampu membunuh mereka seorang demi seorang. Tadi pun, kalau dia
menghendaki, tentu Kiam-mo Cai-li sudah
dapat dia robohkan untuk selamanya. Kini, menghadapi tiga orang lawan
yang mengeroyoknya dan yang berusaha
sunguh-sunggu untuk membunuhnya, Sin Liong menjadi repot juga. Apalagi dia
hanya mengelak, menangkis, dan
kadangkadang membalas serangan dengan gerakan yang diperlambat dan diperlunak
karena takut kalau-kalau salah tangan
membunuh orang. Dengan demikian, dia lebih banyak diserang daripada balas
menyerang. Seratus jurus telah lewat
dan pemuda yang luar biasa ini belum juga dapat dikalahkan oleh para
pengeroyoknya. Hal ini membuat mereka
bertiga menjadi penasaran, marah dan malu sekali. Biarpun di tempat itu
tidak ada orang lain kecuali para anak
buah mereka yang kini mulai bermunculan dan mengurung tempat itu,
orang-orang katai dan juga para anak
buah Rawa Bangkai, namun tiga orang itu tentu saja merasa malu bahwa
mereka bertiga maju bersama dengan
senjata lengkap sampai seratus jurus tidak mampu membekuk atau menewaskan
seorang pemuda yang bertangan kosong!
The Kwat Lin yang selama ini merasa bahwa dia tidak menemukan tandingan,
biarpun tahu betapa lihainya murid
bekas sumoinya ini, namun dia telah dibantu oleh dua orang pandai dan belum
juga dapat menang, maka dia merasa
penasaran sekali. Kiam-mo Cai-li yang selama ini terkenal sebagai datuk kaum
sesat yang lihai, selama hidupnya baru
sekali ini dia mengeroyok seorang pemuda dengan dua orang teman yang
kepandaiannya lebih tinggi dari dia
sendiri, maka dia pun penasaran.Terutama sekali Ouwyang Cin Cu. Sebelum ini
sukar membayangkan bahwa dia, yang
memiliki ilmu-ilmu luar biasa, akan mengeroyok seorang pemuda seperti itu.
Hal ini benar-benar menyakitkan hati
dan menghancurkan kebanggaan hati mereka akan ilmu kepandaian mereka
masing-masing yang sudah terkenal di
dunia kang-ouw. "Pemuda setan, mampuslah!!" Ouwyang Cin Cu berteriak
keras, pedang birunya untuk ke sekian
lainya menyambar ganas ke arah leher Sin Liong, sedangkan tangan kirinya
mencengkeram ke arah perut. Pada saat
itu, Sin Liong baru saja menyingkirkan pedang di tangan The Kwat Lin yang
menyambar kakinya dengan cara menendang
pergelangan tangan bekas ibu gurunya itu sehingga The Kwat Lin terpaksa
menarik kembali pedangnya dan meloncat
ke samping. "Hiaaaaaattttt!!" Kiam-mo Cai-li yang sudah memuncak
kemarahannya itu pun membarengi
serangan Ouwyang Cin Cu dari belakang, kukunya mencengkeram ke arah punggung
Sin Liong sedangkan pedang payungnya
berputar-putar mengancam tengkuk. Dalam detik berbahaya itu Sin Liong
maklum akan datangnya ancaman maut dari
depan dan belakang. Tiba-tiba dia berteriak, tubuhnya melesat ke atas
dan tak dapat dicegah lagi, pedang
payung bertemu dengan pedang biru. "Cringgggggg.....!!" Pada saat
itulah Sin
Liong yang mencelat ke atas itu
bergerak cepat bukan main, tubuhnya sudah berjungkir balik, menukik turun dan
kedua tangannya menyambar seperti
sepasang garuda. "Plak! Plak!" Ouwyang Cin Cu dan Kiam-mo Cai-li
mengeluh.
Kakek itu terhuyung dan memuntahkan
darah segar, sedangkan Kiam-mo Cai-li terguling-guling, kemudian meloncat
berdiri dengan muka pucat. Baju di
pundak ke dua orang sakti ini robek terkena tamparan tangan Sin Liong!
"Orang muda, lihai ini....!!"
Tibatiba Ouwyang Cin Cu berseru aneh sekali, pedang birunya diputar-putar
merupakan sinar biru bergulunggulung di
depannya. Sin Liong mengira bahwa kakek itu akan menyerangnya atau akan
menggunakan senjata rahasia, maka dia
memandang penuh perhatian. Terkejutlah dia ketika sekali memandang,
berarti sekali menuruti kata-kata kakek
itu, dia merasa betapa pandang matanya sukar dialihkan lagi dari
gulungan sianr biru itu! "Orang
muda, engkau telah lelah, mengasolah.... duduklah kau.....!" kembali suara
kakek itu mendengung dengan aneh dan
mendatangkan pengaruh yang ajaib. Sin Liong menggoyang-goyang kepalanya,
berusaha mengusir pengaruh yang
memaksanya untuk duduk itu. Seketika dia merasa tubuhnya lelah bukan main. Dia
maklum bahwa kakek itu kembali
menggunakan ilmu hitamnya dan kesadaran ini mendatangkan kekuatan kepada
dirinya. Dia mengerahkan sinkangnya
untuk menolak pengaruh itu sehingga tubuhnya kadang-kadang diserang
kelelahan, kemudian lenyap lagi, datang
lagi seolah-olah terjadi "pertandingan" yang tidak tampak. Akan
tetapi,
karena terlalu mencurahkan perhatiannya
kepada kakek yang menyerangnya dengan sihir, dan menggunakan sinkangnya
untuk melawan pengaruh aneh itu,
perhatian Sin Liong terhadap dua orang lawan lainya menjadi berkurang banyak.
Dua orang wanita itu tentu saja tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Melihat betapa pemuda itu
kelihatan bengong dan menghentikan
gerakannya, Kiam-mo Cai-li cepat menyerang, akan tetapi dia didahului oleh
The Kwat Lin yang sudah menusukkan
Ang-bwe-kiam ke arah lambung Sin Liong, disusul oleh tusukan pedang payung
dan cengkeraman kuku tangan kiri
Kiam-mo Cai-li, kemudian disusul oleh hantaman tangan kiri The Kwat Lin yang
mengandung imkang amat dahsyatnya.
Ketika merasa adanya angin yang menyambar-nyambar menyerangnya, Sin Liong
berusaha mengelak. Dengan kedua
tangannya yang melakukan gerakan membalik, dia dapat memukul tangan Kiam-mo
Cai-li dan The Kwat Lin yang memegang
pedang dan gerakannya ini hebat bukan main sehingga kedua wanita itu
memekik dan pedang mereka terlepas dari
pegangan! Akan tetapi, kuku jari tangan Kiam-mo Cai-li yang beracun itu
berhasil mencengkeram pundak dekat
tengkuk Sin Liong dan pada saat yang hampir sama, tangan kiri The Kwat Lin
menghantam punggungnya dengan hebat.
"Plakk! Dessss....!!" Tubuh Sin Liong terguling, cengkeraman kuku
tangan
Kiam-mo Cai-li belum tentu akan dapat
merobohkan karena secara otomatis hawa sinkang di tubuhnya melindungi
tempat yang dicengkeram, akan tetapi
hantaman tangan kiri The Kwat Lin yang mengandung tenaga im-kang yang
dingin itu terlalu keras bagi Sin Liong
yang pada saat itu sedang mencurahkan tenaga melawan sihir Ouwyang Cin
Cu. Dia masih terlindung oleh
sinkangnya yang otomatis sehingga tidak mengalami luka dalam yang terlalu
parah,
akan tetapi guncangan yang hebat akibat
pukulan itu membuat dia pingsan! Melihat pemuda yang membuatnya malu
dan penasaran itu sudah roboh pingsan,
dengan gemasnya ouwyang Cin Cu meloncat dekat, mengangkat tangan kirinya
menghantam ke arah ubun-ubun kepala Sin
Liong untuk membunuhnya. "Wuuuuuttt... plakk! Ehhhh? Kiam-mo Cai-li,
mengapa kau menangkis dan
melindunginya?" Ouwyang Cin Cu membentak kaget dan melotot memandang
kepada kekasih
barunya ini. Kiam-mo Cai-li tersenyum
penuh arti, matanya yang indah itu dengan lirikan yang memikat. "Sayang
sekali kalau dibunuh begitu saja!"
katanya sambil mengusap dagu Sin Liong yang masih pingsan. "Dia adalah
sin-tong, kalau aku bisa mendapatkan
dia, manfaatnya melebihi seratus orang jejaka lain...." "Huh, kau
memang
cabul!" Ouwyang Cin Cu mencela
akan tetapi tidak berani turun tangan lagi. "Tidak, dia harus dibunuh!
kalau
dibiarkan hidup berbahaya sekali, akan
tetapi juga jangan sampai ada bekasnya, jangan sampai ada yang tahu
bahwa kita yang membunuhnya. Kita
lempar dia di sumur ular, juga gadis itu. Mereka berdua harus mati, akan
tetapi tidak boleh meninggalkan
jejak!" "Ah, ya.... gadis itu....!" Ouwyang Cin Cu yang teringat
kepada gadis
berpunggung putih mulus itu segera
berlari ke dalam guha terowongan untuk mencari Swat Hong. Tentu saja dia
tidak akan membunuh gadis itu begitu
saja sebelum melakukan kecabulan yang sama seperti yang berada di dalam
benak Kiam-mo Caili! Akan tetapi tak
lama kemudia dia kembali dengan muka berubah. "Dia.... dia tidak
ada!"
"Apa....?" The Kwat Lin
berseru dengan muka pucat. "Kalau begitu..... lekas kita lemparkan dia ini
ke sumur
ular kemudian cari gadis itu sampai
dapat....! The Kwat Lin sendiri menggotong tubuh Sin Liong yang masih
pingsan itu dan beramai mereka menuju
ke sebuah sumur di dalam guha terowongan. Sumur ini lebarnya hanya satu
setengah meter, dalamnya sukar diukur
karena amat gelap dan dari atas orang dapat menangkap suara
mendesis-desis karena sumur itu penuh
dengan ular-ular berbisa. Hawa yang memuakkan dapat tercium dari atas,
bau yang harum aneh bercampur amis.
Tanpa ragu-ragu lagi The Kwat Lin melemparkan tubuh yang pingsan itu ke
dalam sumur. Mereka semua menanti,
ingin mendengar keluhan atau rintihan atau pekik ketakutan dari pemuda yang
diberikan kepada ular-ular berbisa itu.
Namun tidak terdengar sesuatu dan mereka menganggap bahwa tentu pemuda
yang pingsan itu tidak sadar kembali
dan terus mati karena dikeroyok ular dalam keadaan pingsan.
<CENTER>
JILID 20
</CENTER>
"Cepat kerahkan orang untuk
mencari gadis itu!" The Kwat Lin berkata, dan sibuklah mereka semua
mencari Swat
Hong, namun sampai habis seluruh lorong
terowongan itu dijelajahi dan sampai jauh di luar, di sekitar Rawa
Bangkai, tetap saja tidak tampak bayangan
gadis itu yang seolah-olah lenyap ditelan bumi! "Heran sekali, tadi
ketika ditinggalkan pemuda itu, dia
masih pingsan!" kata Ouwyang Cin Cu ketika mereka bertiga kembali
berkumpul
di dalam guha di depan sumur ular.
"Kenapa kau pucat sekali? Gadis itu tidak terlalu berbahaya kukira.
Andaikata dia berhasil melarikan diri,
biarkan dia datang. Pemuda itu yang lebih hebat pun dapat kita basmi,"
kata Kiam-mo Cai-li ketika melihat betapa
The Kwat Lin nampak ketakutan dan mukanya pucat. "Aihhh... kau tidak
tahu....! Lenyapnya Swat Hong begitu
aneh...., aku takut kalau-kalau...." "Mengapa? Apa yang perlu
ditakuti?"
Ouwyang Cin Cu juga berkata.
"Kalau ayahnya yang datang, kita celaka. Baru muridnya saja sudah demikian
sukar
dilawan, apalagi Gurunya..."
"Bekas suamimu?" Kiam-mo Cai-li bertanya. "Raja Pulau Es?"
Ouwyang Cin Cu juga
berkata sambil menengok ke kanan kiri,
karena gentar juga mendengar tentang guru pemuda luar biasa tadi. "Kalau
begiu, sebaiknya kita cepat mengunjungi
utara dan menghadap An Tai-goanswe," kata Kiam-mo Cai-li. "Benar,
kalau
terlalu lama, tentu aku akan ditegur.
Beliau telah menanti-nanti!" kata pula Ouwyang Cin Cu karena kini hatinya
gentar sekali seperti halnya Kiam-mo
Cai-li. "Memang sebaiknyakita pergi hari ini juga. Akan tetapi hatiku
belum puas kalau belum yakin benar akan
kematian Sin Liong. Pemuda itu terlalu berbahaya dan lihai, siapa tahu
dia masih belum mati di dalam
sana." "Aiihhhh, siapa dapat hidup di lempar ke dalam sumur yang
penuh ular
berbisa itu?" Ouwyang Cin Cu
berkata sambil bergidik karena dia merasa ngeri juga memikirkan hal itu.
Kiam-mo
Cai-li tertawa. "Thelihiap,
mengapa khawatir? Aku sebagai pemilik tempat ini mengerti betul bahwa sumur itu
merupakan sumur maut. Entah sudah
berapa banyak..... eh, orang-orang yang kulempar ke situ dan tidak pernah ada
yang dapat hidup kembali. Sumur itu
dahulunya memang merupakan sarang ular-ular berbisa, kemudian kutambah lagi
dengan ratusan ekor ular berbisa lain.
Kurasa jangankan baru pemuda itu, biar dewa sekalipun kalau terjatuh ke
dalam sumur itu tentu mampus!" Dan
memang apa yang diceritakan oleh wanita ini benar. Sudah banyak pria yang
dia lempar ke dalam sumur itu, yaitu
para pria yang diculiknya dan menjadi korban nafsu berahinya. Setelah dia
merasa bosan, para korban itu dilempar
ke dalam sumur menjadi mangsa ular-ular berbisa. "Betapapun juga,aku
masih belum yakin benar, Cai-li."
"Kalau begitu, kita runtuhkan saja guha ini agar sumur tertutup dan tidak
ada
jalan keluar lagi baginya andaikata dia
benar masih hidup." Ouwyang Cin Cu memberikan usulnya. "Memang baik
sekali begitu," kata The Kwat Lin.
Kiam-mo Cai-li setuju dan mengerahkan semua anak buah Rawa Bangkai, juga
orang-orang katai untuk meruntuhkan
guha itu sehingga sumur ular itu tertutup oleh batu-batu besar dan tidak
ada jalan keluar dari tempat yang
terpendam batu-batu besar itu. Kemudian bergegas tiga orang ini mengajak anak
buah mereka meninggalkan Rawa Bangkai
dan diam-diam secara terpencar, mereka melakukan perjalanan ke utara
untuk membantu pergerakan Jenderal An
Lu Shan yang sudah mulai mempersiapkan kekuatannya untuk menyerbu kota
raja. Ke manakah perginya Swat Hong?
Apakah dia berhasil siuman dan sempat melarikan diri? Tidak mungkin,
Andaikata dia siuman dan melihat Sin
Liong dikeroyok, dia pasti akan membantu suhengnya itu, kalau perlu sampai
mati bersama. Bukan watak Swat Hong
untuk melarikan diri, menyelamatkan dirinya sendiri apalagi suhengnya
terancam bahaya. Tidak, ketika
pertolongan tiba, dara ini masih dalam keadaan pingsan. Ketika Sin Liong lari
mengejar Ouwyang Cin Cu, muncullah
seorang kakek tua renta yang bercaping lebar, berdiri memandang Han Swat
Hong samabil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Kemudian dia menghampiri dara itu, membetulkan bajunya yang lepas,
lalu memanggul tubuh gadis yang pingsan
itu keluar dari dalam guha dengan gerakan yang cepat sekali. Setelah
berada di dalam sebuah hutan yang jauh
di luar daerah Rawa Bangkai, kakek itu berhenti, menurunkan Swat Hong
dan mengurut tengkuk gadis itu beberapa
kali, Swat Hong membuka matanya dan menlihat seorang kakek tua renta,
akan tetapi hampir dia jatuh lagi
karena tubuhnya masih lemah. "Duduklah dulu, engkau masih pening dan lemah."
Suara ini sedemikan halusnya sehingga
mengelus hati Swat Hong yang menjadi tenang dan sabar kembli. Dia duduk,
memejamkan mata sebentar mengusir
kepeningannya, lalu mengangkat muka memandang kakek yang berdiri didepannya
sambil tersenyum itu. "Kau.... kau
siapakah....?" "Anak baik, apakah benar namamu Han Swat Hong?"
Swat Hong
terbelalak lalu mengangguk.
"Apakah kau datang dari Pulau Es?" Kembali Swat Hong terkejut dan
terheran, akan
tetapi untuk kedua kalinya dia
mengangguk. "Kau.... kau siapakah....?" "Hemmm.... kalau begitu
Ibumu adalah Liu
Bwee dan ayahmu Han Ti Ong?" Swat
Hong tak dapat menahan keheranan hatinya. "Bagaimana engkau bisa
tahu?" kakek
itu tersenyum, memperlihatkan mulut
yang sudah tak bergigi lagi. "Mengapa tidak tahu kalau Han Ti Ong itu
adalah cucuku?"
"Ouhhh...!" Swat Hong terbelalak sebentar, kemudian cepat menjatuhkan
diri berlutut. Kiranya
dia berhadapan dengan Kong-couwnya
(kakek buyut) yang pernah dia dengar telah meninggalkan Pulau Es sebagai
seorang pertapa! Kini mengertilah dia
bahwa kakek buyutnya ini telah menolongnya. "ha-ha-ha, kebetulan saja aku
mendengar pemuda itu
memanggil-manggilmu sehingga aku tertarik akan She Han yang diteriakkannya.
Melihat engkau
berada dalam bahaya, aku segera
membawamu keluar dari guha ke tempat ini." "Saya menghaturkan terima
kasih atas
pertolongan Kong-couw... akan tetapi,
di mana Suheng?" "Hemm, pemuda yang lihai itu, dia Suhengmu?"
"Benar,
Kong-couw, dia adalah murid Ayah."
"Ahh, dia terlalu berbahaya keadaannya. Kau beristirahatlah di sini,
pulihkan tenagamu, aku akan kembali ke
sana dan melihat keadaannya." Swat Hong mengangguk dan kakek itu
berkelebat pergi dari situ. Swat Hong
merasa kagum sekali. Kakek buyutnya itu sudah tua sekali, tentu lebih
dari seratus tahun usianya namun
gerakannya masih demikian ringan dan cepat. Hatinya merasa lega melihat
kakeknya itu pergi untuk menolong Sin
Liong, maka dia lalu duduk bersila dan mengatur pernapasannya untuk
memulihkan tenaganya. Samar-samar
teringatlah dia akan peristiwa di dalam guha dan mukanya terasa panas sekali.
Teringatlah dia betapa dia telah
menjadi seperti gila di dalam guha itu, ketika suhengnya mengobatinya dan
mengusir hawa beracun dari tubuhnya.
Kalau dia membayangkan peristiwa itu..... betapa dia tanpa malu-malu
memeluk suhengnya, menciumnya.... ah,
dia bisa mati karena malu! Namun semua itu hanya teringat seperti dalam
mimpi saja, bayang-bayang suram dan dia
sendiri masih tidak percaya apakah peristiwa itu benar-benar terjadi,
ataukah hanya dalam mimpi belaka? Kalau
sungguh terjadi betapa malunya! Dan agaknya tidak mungkin dia berani
melakukan hal itu, sungguhpun di sudut
hatinya memang terdapat suatu kerinduan yang hebat terhadap suhengnya.
Akan tetapi siapa tahu, di dalam guha
yang aneh itu. Aihh, kalau benar-benar telah terjadi hal itu , betapa dia
dapat bertemu muka dengan suhengnya?
Karena pikiran dan hatinya tak pernah berhenti bekerja dan melamun, waktu
berlalu dengan amat cepatnya sampai
tidak terasa oleh Swat Hong bahwa kakek buyutnya telah pergi setengah hari
lamanya! Baru dia sadar kembali dan
teringat akan kakek ini setelah kakek itu datang kembali ke situ tahu-tahu
sudah duduk di dekatnya, menghapus
keringat dari dahi yang berkeriput itu. "Aihh...!" Kakek itu menarik
napas
panjang sambil memandang Swat Hong yang
sudah membuka mata dan memandang kakek itu dengan penuh pertanyaan.
"Bagaimana, Kong-couw? Mana
Suheng?" Kembali kakek iru menarik napas panjang dan menggeleng-geleng
kepalanya.
"Mereka sungguh jahat, Suhengmu
biar lihai tidak dapat melawan kelicikan dan kecurangan mereka. Suhengmu
tertangkap dan.... terbunuh...."
Sepasang mata itu terbelalak, mukanya pucat sekali. "Terbunuh? Suheng....
terbunuh....?" "Ya, dilempar
ke dalam sumur ular...." "Aahhhh....!" Swat Hong menjadi lemas
dan tentu akan
roboh kalau tidak di sambar oleh kakek
itu. Dara itu pingsan dengan muka pucat sekali. Kakek itu merebahkannya
dan mengerutkan alisnya, merasa kasihan
sekali karena dia dapat menyelami perasaan gadis ini, cucu buyutnya
yang agaknya mencinta Suhengnya.
Setelah siuman dari pingsannya, Swat Hong menangis dengan sedihnya. kakek itu
membiarkan dia menangis beberapa
lamanya, kemudian berkata dengan suara halus dan penuh pengertian, "Han Swat
Hong, aku tidak menyalahkan engkau
berduka dan menangis, karena kematian Suhengmu itu amat menyedihkan. Akan
tetapi, kita harus berani membuka mata
melihat dan menghadapi kenyataan seperti apa adanya. Suhengmu tewas, hal
ini adalah suatu kenyataan yang tidak
dapat diubah oleh siapa dan oleh apapun juga. Sudah demikianlah jadinya,
tidak akan berobah biarpun kita akan
berduka sampai menangis air mata darah sekalipun. karena itu lihatlah
kenyataan ini dan bersikaplah tenang
dan tabah." Swat Hong menyusut matanya. "Dia.... dia adalah
satu-satunya
orang.... setelah aku kehilangan Ibu
dan Ayah...." Sukar membendung membanjirnya air mata akan tetapi
perlahan-lahan, mendengarkan nasihat
kakek buyutnya, dapat juga Swat Hong menekan kedukannya dan menghentikan
tangisnya. "Kong-couw, apakah yang
terjadi dengan Suheng? Harap ceritakan dengan sejelasnya." Kakek itu
menarik
napas panjang. "Aku terlambat.
Ketika tiba di sana, tempat itu sudah kosong. The Kwat Lin dan teman-temannya
sudah melarikan diri dari Rawa Bangkai.
Aku menangkap seorang katai yang masih tinggal di sana dan dari orang
inilah aku mendengar betapa Suhengmu
dikeroyok dan akhirnya dapat ditangkap dan dilempar ke dalam sumur ular."
"Ketika dia dilempar belum mati,
apakah dia tidak dapat ditolong?" Swat Hong bertanya penuh harapan. Kakek
itu,
yang selama dalam perantauannya setelah
meninggalkan Pulau Es, menyebut diri sendiri Han Lojin (Kakek Han),
menggeleng kepala. "Guha
terowongan itu diruntuhkan oleh Kwat Lin, sumur ular telah tertutup batu-batu
besar.
Suhengmu tidak mungkin dapat ditolong
lagi karena sumur itu penuh ular berbisa dan Suhengmu pingsan ketika
dilempar ke situ." Sepasang mata
yang merah karena tangis itu mengeluarkan sinar berapi dan kedua tangan itu
dikepal, "Aku harus bunuh mereka!
Aku harus balaskan kematian Suheng! kalau tidak, hidupku tidak ada artinya
lagi. Kong-couw, sekarang juga aku akan
cari mereka!" Dia sudah bangkit berdiri dan hendak pergi dari situ.
Akan tetapi kakek itu memegang
lengannya dan berkata dengan suara penuh wibawa, "Tahan dulu!" Swat
Hong
memandang kakek itu dengan alis
berkerut. "Mengapa engkau menghalangi niatku membalas dendam?"
"Melakukan
sesuatu dengan tergesa-gesa tanpa
pertimbangan lebih dulu adalah perbuatan bodoh dan sikap yang ceroboh. Karena
tidak mengukur kekuatan sendiri,
Suhengmu telah membeli dengan nyawanya. Apakah perbuatan bodoh seperti itu
hendak kau contoh pula? Aku mendengar
keterangan dari si katai itu bahwa mereka itu bersama anak buahnya pergi
ke utara, ke Telaga Utara untuk
menggabungkan diri dengan pemberontak An Lu Shan. kalau engkau menyusul ke
utara, mana mungkin engkau seorang diri
akan menghadapi mereka yang mempunyai pasukan ratusan ribu orang?
Apakah kau hanya akan mengantar nyawa
dengan sia-sia belaka di sana?" "Aku tidak takut, Kong-couw!"
Kakek itu
tersenyum. "Tentu saja tidak takut,
akan tetapi bodoh kalau sampai begitu. Kau ini akan membalaskan kematian
Suhengmu ataukah akan membunuh
diri?" Swat Hong sadar dan terkejut juga karena baru sekarang terbuka
matanya
bahwa dia hanya menuruti hati duka dan
sakit. Dia menunduk dan berkata dengan lirih, "Aku harus membalaskan
kematian Suheng, dan juga aku harus
merampas kembali semua pusaka Pulau Es yang dilarikan The Kwat Lin untuk
memenuhi pesan terakhir Ayahku."
"Baiklah, akan tetapi engkau tidak mungkin bisa melaksanakan tugas berat
itu
seorang diri saja. Marilah pergi
bersamaku, aku sudah hafal akan keadaan di Telaga Utara dan biarlah aku yang
akan mrnyelidiki di sana nanti."
Swat hong tentu merasa girang sekali memperoleh bantuan kakeknya yang berilmu
tinggi dan dia tidak membantah. Maka
berangkatlah ke dua orang ini ke utara. Setelah tiba di dekat Telaga
Utara, Han Lojin mulai menyelidiki
sebagai sebagai seorang tukang pancing yang bercaping lebar. Swat Hong dia
suruh menanti di dalam kuil tua di
sebelah hutan. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Han Lojin kemudian
bertemu dengan cucu mantunya, Liu Bwee,
dan Ouw Sian Kok yang dikeoyok oleh orang-orangnya An Lu Shan dan
menyelamatkan kedua orang itu. Dia
tidak berhasil bertemu dengan The Kwat Lin karena wanita ini, bersama dengan
Kiam-mo Cai-li dan juga Ouwyang Cin Cu,
telah memperoleh tugas lebih dulu dari An Lu Shan dan telah berangkat
ke kota raja untuk menyelundup dan membantu gerakan dari dalam secara
rahasia. Oleh karena inilah , maka ketika
menyelidiki ke Telaga Utara, Han Lojin
tidak pernah mellihat The Kwat Lin dan akhirnya dia malah bertemu dan
menyelamatkan cucu mantunya.
Demikianlah, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok ikut bersama kakek sakti itu memasuki
hutan.Ketika tiba di kuil, kakek itu
berkata kepada Liu Bwee, "Engkau akan bertemu dengan seseorang yang tidak
kausangkasangka, maka bersiaplah engkau
menghadapi peristiwa ini." Tentu saja Liu Bwee menjadi terheran-heran
dan tidak mengerti. Akan tetapi pada
saat itu, terdengar suara orang , "Kong-couw, aku sudah pulang?" dan
munculah Swat Hong! Tiba-tiba Swat Hong
yang berlari ke luar itu berhenti dan seperti telah berubah menjadi
patung. Ibu dan anak itu saling
berpandangan, keduanya tidak bergerak seperti terkena pesona.
"Ibuuuuu.....!!"
"Swat Hong..... Hong-ji,
anakku....!" Keduanya berlari ke depan, kedua lengan terbuka, air mata
bercucuran di
wajah yang berseri penuh kebahagiaan,
keduanya bertemu, saling rangkul dan saling dekap sambil menangis!
Pertemuan yang sama sekali tidak pernah
mereka sangka-sangka, pertemuan yang mengundang keharuan hati
mendatangkan segala bayangan duka yang
dipendam di lubuk hati. Ouw Sian Kok terbatuk-batuk menahan haru.
Teringat dia akan puterinya sendiri,
namun diam-diam dia merasa girang bahwa Liu Bwee dapat berjumpa dengan
anaknya. Dia saling pandang dengan Han
Lojin dan tersenyum sambil mengangguk-angguk, dan pergi menjauh untuk
memberi kesempatan kepada ibu dan anak
itu saling bertemu dan bicara. "Ibu...., Ayah.... Pulau Es....." Liu
Bwee mengangguk dan menghusap rambut
puterinya. "Aku sudah tahu....." ".......dan Suheng......"
Liu Bwee
memandang puterinya dan mengangkat dagu
Swat Hong. "Apa maksudmu? Suhengmu kenapa?" Melihat ibunya belum
tahu,
Swat Hong terisak lagi menangis.
"Hong-ji, tenanglah. Mari kita bicara yang baik. Mengapa Suhengmu? Apa
saja
yang telah terjadi sejak kita
berpisah?" "Suheng.... Suheng telah tewas, Ibu...." Liu Bwee
terkejut bukan main,
terbelalak dan memandang pucat kepada
putrinya akan tetapi melihat puterinya menangis penuh duka, dia
mendekapnya dan menghibur, "mati
hidup bukanlah urusan kita, Hong-ji. tenanglah dan ceritakan semua
pengalamanmu kepada Ibumu." Swat
Hong lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak ibunya meninggalkan Pulau
Es, menceritakan dengan lengkap namun
singkat dan didengarkan oleh ibunya penuh perhatian. Ketika puterinya itu
bercerita tentang Soan Cu, Liu Bwee
menengok dan menggapai ke arah Ouw Sian Kok sambil berseru, "Ouw-twako, ke
sinilah. Anakku telah bertemu dengan
puterimu, Ouw Soan Cu!" Mendengar seruan ini, Ouw Sian Kok melompat bangun
dan lari menghampiri, berkata kepada
Swat Hong, "Aihhh, han-siocia (Nona Han), benarkah kau telah bertemu
dengan anakku?" Suaranya agak
gemetar karena keharuan hatinya mendengar tentang puterinya. Swat Hong
memandang
laki-laki setengah tua yang gagah itu,
lalu mngangguk. Kiranya ibunya telah bertemu dan bersahabat dengan ayah
Soan Cu, pikirnya! Dia telah mendengar
akan ayah Soan Cu yang lari meninggalkan Pulau Neraka semenjak isterinya
meninggal dunia. jadi inikah orangnya?
Dia lalu melanjutkan penuturannya yang amat menarik hati itu sampai pada
peristiwa penyerbuannya bersama
suhengnya ke Rawa Bangkai sehingga suhengnya tewas dan dia tertolong oleh kakek
buyutnya. Hening sekali setelah Swat
Hong mengakhiri ceritera, hanya isak tertahan gadis itu masih terdengar.
"Hemm, sungguh jahat sekali The
Kwat Lin itu!" tiba-tiba Ouw Sian Kok berkata sambil mengepal tinjunya.
"Han-siocian, aku Ouw Sian Kok
bersumpah untuk membantumu menghadapi iblis betina itu!" Swat Hong
mengangkat
mukanya memandang. "Terima kasih,
Paman Ouw....." "Akan tetapi, aku harus menemui anaku lebih dulu. Di
manakah
engkau bertemu dengan dia untuk
terakhir kalinya?" "Dia kami tinggalkan di Puncak Awan Merah di
Pegunungan
Tai-hang-san, di tempat tingal Tee-tok
Siangkoan Houw." "Kalau begitu,biar aku menyusul ke sana!" kata
Ouw Sian
Kok dengan gembira. "Setelah aku
bertemu dengan dia, barulah kita beramai mencari iblis betina itu untuk
sama-sama menghadapinya dan
menghancurkannya! Bagaimana pendapat Locianpwe?" Dia berpaling kepada
kakek Han
yang sejak tadi hanya mendengarkan
saja. Juga Swat Hong dan Liu Bwee menoleh dan memandang kakek itu karena
betapapun juga, mereka mengharapkan
bantuan kakek ini, juga keputusannya. Sampai lama Han Lojin diam saja,
merenung dan memandang jauh, kemudian menghela
napas panjang. "Aihh, tak kusangka akan begini jadinya....!
Tadinya, ingin sekali aku melihat
kalian berdua melupakan semua hal yang telah lalu, mulai hidup baru dengan
aman dan tenteram, menjauhi urusan
kekerasan dunia yang hanya mendatangkan dendam dan bunuh-bunuhan antara
sesama manusia, sambil mendidik Swat
Hong pula. Akan tetapi melihat gejalanya..... mengingat pula hancurnya
Pulau Es ..... dan memang sudah
seharusnya kalau pusaka-pusaka itu dikembalikan ke tempat asalnya...... ahhhh,
aku Si Tua Bangka yang sudah lama
mencuci tangan dari urusan duniawi, sekarang terseret pula! Betapa
menyedihkan!" "Locianpwe,
kalau kita masih hidup di dunia ramai, betapa mungkin kita menghindarkan diri
untuk
mencampuri urusan dunia ramai? Yang
penting kita selalu berada di pihak yang benar." Ouw Sian Kok membantah.
Kakek itu menggeleng-geleng kepala.
"Engkau belum mengerti, apa sih artinya pihak yang benar? Apa sih artinya
kebenaran? Kebenaran yang dapat disebut
dengan mulut, bukankah kebenaran adanya! Ahhh, sudahlah, tanpa adanya
kesadaran, mana mungkin dapat mengerti?
Engkau hendak mencari puterimu, memang sudah sepatutnya dan semestinya
sejak dahulu kaulakukan hal itu.
Sekarang aku akan menyertai Liu Bwee dan puterinya ini ke kota raja......"
"Ke
kota raja?" Ouw Sian Kok berseru
heran. "Ya, karena The Kwat Lin telah menerima tugas dari An Lu Shan untuk
menyusun kekuatan di sana menanti saat
pemberontakan tiba. Dan kita tidak perlu terseret oleh pemberontakan,
melainkan hanya hendak mencari The Kwat
Lin dan minta kembali pusaka-pusaka Pulau Es." "Dan membunuh mereka
untuk membalaskan kematian
suheng!" Swat Hong berseru penuh semangat. Han Lojin tidak menjawab seruan
Swat Hong
itu, melainkan menoleh kepada Ouw Sian
Kok, sambil berkata, "Ouw Sian Kok, kalau kau hendak mencari puterimu,
pergilah dan kelak kau boleh menyusul
kami di kota raja....." "Tidak, Locianpwe. Setelah saya mendengar
bahwa
iblis betina itu berada di kota raja,
saya juga harus ikut ke kota raja untuk menghadapinya!" Liu Bwee
memandang kepada tokoh Pulau Neraka ini
dan kebetulan sekali Ouw Sian Kok juga memandangnya, maka pertemuan dua
pasang sinar mata itu sudah cukup bagi
mereka untuk mengetahui isi hati masing-masing. liu Bwee maklum bahwa
pria yang gagah itu ingin membantunya
karena mengkhawatirkan dirinya, sebaliknya Ouw Sian Kok juga maklum bahwa
bekas ratu Pulau Es itu girang sekali
mendengar bahwa dia akan membantu. Maka tanpa banyak cakap lagi
berangkatlah empat orang ini menuju ke
kota raja. Pada waktu itu, suasana di seluruh negeri telah menjadi
panas. Kekacauan terjadi dimana-mana
ketika tersiar berita bahwa pemberontakan An Lu Shan mulai bergerak dari
utara. Tersiar berita bahwa di tapal
batas utara telah di mulai perang saudara antara pasukan pemberontak dan
pasukan pmerintah yang tidak kuat
membendung datangnya pasukan pemberontak yang seperti air bah membanjir ke
selatan. Berita ini sudah cukup untuk
membangkitkan semangat golongan sesat untuk bangkit dan mempergunakan
kesempatan selagi keadaan negara kacau,
rakyat bingung dan pasukan-pasukan ditarik untuk diperbantukan
menghadapi pemberontak sehingga
keamanan tidak terjamin lagi. Memang perang telah dimulai. An Lu Shan telah
membuka kedoknya dan dengan
terang-terangan mulai menggerakan pasukannya. Pada waktu itu, pasukan pemerintah
yang terkuat adalah pasukan penjaga
tapal batas utara yang dianggap merupakan bagian atau daerah yang paling
penting untuk dijaga dengan kuat, maka
otomatis pasukan yang terkuat berada di bawah pimpinan Jenderal ini.
Pada jaman itu, kerajaan Tang dipimpin
oleh kaisar Beng Ong yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, seorang
kaisar yang sayangnya memiliki
kelemahan, yaitu menjadi hamba dari nafsu berahi sehingga dia seperti boneka
lilin di dalam tangan halus selir Yang
Kui Hui. Pada waktu itu, Kerajaan Tang mempunyai dua buah kota raja atau
ibu kota. Yang pertama, di mana Kaisar
Beng Ong duduk bertahta dan menjadi pusat pemerintahannya, adalah ibu
kota Tian-an. Adapun ibu kota yang ke
dua adalah Lok-yang. An Lu Shan yang selain mempunyai bala tentara yang
besar jumlahnya dan pasukan-pasukan
pilihan, juga dibantu oleh banyak orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi.
Hal ini adalah karena banyak
orang-orang kang-ouw merasa tidak suka kepada Kaisar tua yang berada di bawah
telapak kaki selir cantik itu, juga
banyak pembesar yang diam-diam merasa dendam kepada Yang Kui Hui karena
selir ini dengan mudah begitu saja
mempengaruhi Kaisar untuk memecat pembesar-pembesar tinggi dan menggantikan
kedudukan mereka dengan kedudukan lebih
rendah, semua ini untuk menarik keluarga-keluarganya agar dapat
menduduki tempat-tempat penting!
Gerakan pemberontakan An Lu Shan dimulai dari utara di dekat Peking, terus
membanjir ke selatan. Dengan mudahnya
dia melumpuhkan semua perlawanan yang dilakukan oleh pasukan-pasukan yang
masih setia kepada Kaisar, bahkan
pasukan yang takluk segera menyerah dan menjadi pasukan pembantunya. Dengan
mudah saja pasukan-pasukan pemberontak
menyeberangi Sungai Kuning dan menyerbu Lok-yang, ibu kota ke dua dari
kerajaan Tang. Komandan pasukan yang
mempertahankan Lok-yang, ibu kota ke dua dari Kerajaan Tang ini adalah
seorang panglima yang setia dan dengan
gigih dia memimpin pasukannya mempertahankan Lok-yang mati-matian. Akan
tetapi, yang amat melemahkan pertahanan
itu adalah gangguan-gangguan dari dalam kota itu sendiri yang dilakukan
oleh kaki tangan An Lu Shan. Pada saat
Lok-yang diserbu inilah rombongan Han Lojin berada di Lok-yang ketika
mereka berusaha mencari The Kwat Lin
yang dikabarkan membantu An Lu Shan dengan mempersiapkan diri di ibu kota
itu. Han Lojin, Ouw Sian Kok, Liu Bwee
dan Swat Hong terkurung di dalam kota Lok-yang ketika ibu kota ke dua
ini di serbu pemberontak. Mereka
menyaksikan sendiri betapa Panglima Coa Cun dengan gagah berani mempertahankan
ibu kota ke dua itu dengan pasukannya
sehingga tidaklah mudah bagi pasukan pemberontak untuk menguasai kota
raja ini. Han Lojin dan rombongan yang
memang bermaksud untuk mencari The Kwat Lin, ikut hilir mudik bersama
parang penghuni yang ketakutan,
memasang mata dan ketika terjadi pembakaran di pusat pasar dan
serangan-serangan gelap yang ditujukan
kepada komandan-komandan pasukan oleh serombongan orang yang gerakannya
amat lihai, Han Lojin dan rombongannya
cepat mendatangi tempat kekacauan ini. Akhirnya setelah lari ke
sana-sini setiap mendengar ada
kekacauan yang dilakukan oleh segerombolan mata-mata musuh, di taman belakang
istana pangeran muda yang berkuasa di
Lok-yang, mereka melihat gerombolan pengacau itu dan serta merta
Han-Lojin, Ouw Sian Kok, Liu Bwee Dan
Swat Hong menyerbu dan mencari The Kwat Lin. Akan tetapi, mereka
berhadapan dengan belasan orang
pengacau yang dipimpin oleh Kiam-mo Cai-li! Gerombolan itu sedang berusaha
untuk membakar istana pangeran dengan
panah-panah api dan para pengawal istana itu sudah malang melintang tewas
oleh mereka. "Dialah Kiam-mo
Cai-li, pemiliki istana Rawa Bangkai," kata Han Lojin sambil menuding ke
arah
seorang wanita cantik yang pakainnya
mewah dan sedang memimpin belasan orang pembantunya itu untuk menghujankan
anak panah ke arah istana. Sebagian
dari istana itu mulai terbakar. Mendengar bahwa wanita itu adalah seorang
di antara pembunuh-pembunuh suhengnya,
Swat Hong sudah tidak dapat menahan kesabaran hatinya lagi. Dia meloncat
keluar dari tempat sembunyinya dengan
pedang di tangan, serta merta menyerang sambil membentak, "Iblis betina
Kiam-mo-cai-li, bersiaplah engkau
menebus nyawa Suheng Kwa Sin Liong!!" "Singggggg... syuuuuuutttt.....
aiihhhh.....!" Kiam-mo Cai-li
cepat mengelak dengan meloncat ke belakang dan rambutnya yang panjang seperti
hidup saja bergerak menyambar ke arah
pergelangan tangan Swat Hong. Namun dara ini cukup cekatan. Melihat sinar
hitam menyambar, dia sudah membalikkan
pedangnya membacok sehingga putuslah segumpal rambut, membuat Kiam-mo
Cai-li berteriak kaget dan marah.
Ketika dia memandang dan melihat bahwa yang muncul ini adalah gadis teman Sin
Liong, gadis dari Pulau Es seperti yang
di ceritakan oleh The Kwat Lin, dia terkejut bukan main. Apalagi
melihat han Lojin, Ouw Sian Kok, dan
Liu Bwee yang jelas membayangkan kelihaian. "Panah roboh mereka!"
Tiba-tiba dia berteriak sambil melompat
jauh ke belakang untuk memberi kesempatan kepada dua belas orang
pembantunya menyerang empat orang ini.
Dua belas orang itu adalah anak buah Kiam-Mo Cai-li dari Rawa Bangkai
yang telah dididik khusus menggunakan
anak panah berapi. Ketika mereka mendengar aba-aba ini dan mengenal wajah
Swat Hong sebagai gadis yang pernah
menyerbu Rawa Bangkai, cepat mereka membidikan anak panah mereka, dan
tampaklah sinar-sinar berapi menyambar
ke pada empat orang itu. "Wir-wir-wir....!!" Mengerikan sekali
datangnya
anak-anak panah yang ujungnya bernyala
itu, dapat dibayangkan betapa mengerikan kalau anak panah yang bernyala
itu mengenai tubuh! Namun, empat orang
itu bukanlah orang-orang sembarangan. Dengan amat mudahnya Han Lojin dan
Ouw Sian Kok mengebutkan ujung baju
meruntuhkan semua anak panah yang menyambar ke arah mereka, sedangkan Liu
Bwee dan Swat Hong juga sudah
meruntuhkan semua anak panah yang menyambar ke arah mereka dengan pedang
sehingga
anak-anak panah itu patah-patah.
"Iblis betina !" Swat Hong meloncat maju, pedangnya diputar cepat dan
dia
sudah menerjang Kiam-mo Cai-li dengan
dahsyat. "Trangggg! Trik-trikkkk!" Pedang payung di tangan Kiam-mo
Cai-li
sudah menangkis dan kuku-kuku jarinya yang
panjang mengeluarkan suara berjentrik ketika dia mencengkeram ke
arah Swat Hong yang dapat dielakan oleh
dara ini. "Kalian hadapi mereka. wanita itu lihai dan berbahaya, aku
harus menjaga Swat Hong," kata han
Lojin kepada Ouw Sian Kok dan Liu Bwee. Liu Bwee mengangguk dan hatinya lega
karena dengan bantuan kakek suaminya
itu, dia tidak mengkhawatirkan keselamatan puterinya. Maka bersama Ouw
Sian Kok dia lalu mengamuk dan
celakalah dua belas orang anak buah Rawa Bangkai itu karena mana mungkin mereka
dapat melawan dua orang lihai dari
Pulau Es dan Pulau Neraka ini? Biarpun mereka semua telah menggunakan pedang
dan golok menyerang dan mengeroyok,
namun seorang demi seorang roboh dan tidak dapat bangkit kembali. Adapun
pertandingan antara Swat Hong melawan
Kiam-mo Cai-li amat seru dan menegangkan. Biarpun pada dasarnya Swat Hong
memiliki ilmu silat tinggi yang lebih
murni dan kuat, namun menghadapi seorang datuk kaum sesat seperti Kiam-mo
Cai-li yang amat cerdik dan banyak
pengalaman, beberapa kali hampir saja dia terkena cakaran kuku panjang
beracun itu. Tiga macam senjata Kiam-mo
Cai-li amat membingungkan Swat Hong. Dengan gerakan pedang yang cepat,
Swat Hong dapat membendung pedang
payung dan kuku-kuku jari tangan kiri iblis betina itu, bahkan dia mulai
mendesak dengan permainan pedangnya
yang cepat dan mengandung tenaga dingin itu. "Mampuslah!" Swat Hong
membentak dan pedangnya menusuk.
"Tranggg...! Brettt...!!" Pedangnya bertemu dengan pedang payung dan
berhasil
menembus dan merobek kain payung, akan
tetapi pedangnya itu tercepit di antara batang-batang payung sehingga
kedua pedang bertemu dan saling
melekat. "Hi-hi-hik, kalulah yang mampus!" Kiam-mo Cai-li berseru,
tangan
kirinya bergerak mencengkeram ke arah
dada Swat Hong. Kalau sampai kena dicengkeram kuku-kuku beracun itu, dada
Swat Hong tentu akan berbahaya sekali.
"Plak!" Swat Hong sudah siap dan tangan kirinya menangkap pergelangan
tangan lawan dari bawah. Kini
terjadilah adu tenaga karena kedua tangan mereka sudah tidak bebas lagi. Pada
saat itu, rambut panjang Kiam-mo Cai-li
bergerak menyambar ketika dia menggerakan kepalanya sambil tertawa.
Bagaikan ular hidup saja, gumpalan
rambut itu menyambar dengan totokan maut! Swat Hong terkejut bukan main,
namun hatinya menjadi lega kembali
melihat berkelebatnya bayangan kakek buyutnya. "plakkkk!!!" Rambut
itu
disambar oleh tangan Han Lojin.
"Aihhh.... lepaskan....!" Kiammo Cai-li menjerit karena betapapun dia
berusaha
menarik rambutnya, tetap saja tidak
dapat terlepas bahkan semakin erat. "Swat Hong, lepaskan dia,
mundurlah!"
Han Lojin berseru. Swat Hong tidak
berani membantah, lalu melepaskan pegangan tangannya dan menarik pedangnya
melompat mundur. "Kiam-mo Cai-li,
aku hanya ingin bertanya kepadamu!" Han Lojin berkata, suaranya halus.
Melihat kakek ini yang dia tahu amat
lihai, Kiam-mo Cai-li yang cerdik lalu menjatuhkan diri berlutut di depan
kakek itu, menunduk dan berkata,
"Locianpwe, maafkan saya, saya tidak berani melawan Locianpwe yang sakti.
Pertanyaan apakah yang hendak Locianpwe
(Kakek Gagah Perkasa) ajukan kepada saya?" Melihat sikap Kiam-mo Cai-li
yang begitu ketakutan, Swat Hong
mengerutkan alisnya, akan tetapi Han Lojin mengelus jenggotnya. "Hemmm,
semua
orang pernah melakukan penyelewengan
dalam hidupnya. Penyesalan yang disertai kesadaran tinggi mendatangkan
pengertian sehingga si penyeleweng akan
merasa jijik untuk melanjukan penyelewengannya. Kiam-mo Cai-li, sayang
kalau kepandaian seperti yang kaumiliki
itu dipergunakan untuk kejahatan. Aku hendak bertanya, di mana adanya
The Kwat Lin?" "The Kwat Lin?
Ohh, dia berada di...... neraka bersamamu!" Tiba-tiba wanita itu dari
bawah
menyerang dengan payung dan kuku
beracunnya. "Cepppp.... bresss....!" "Keparat....." Swat
Hong menjerit dan
pedangnya bergerak secepat kilat
sebelum Kiam-mo Cai-li sempat mencabut kembali pedangnya dari dada kakek itu.
"Prepppp....! Aihhhh....!!"
Darah muncrat-muncrat dari lambung Kiam-mo Cai-li dan dada han Lojin. Kakek itu
masih berdiri tegak sambil tersenyum
ketika pedang dicabut keluar dadanya. Kiam-mo Cai-li mengeluarkan teriakan
seperti binatang buas ketika dia
menubruk Swat Hong dan menyerangnya. namun Swat Hong sudah mengelak dan dari
samping kembali pedangnya menyambar. "Crokkkkk!!"
Tubuh Kiam-mo Cai-li yang sudah terhuyung itu tidak dapat
mengelak lagi, lehernya tertusuk pedang
dan dia roboh terguling, berkelojotan dengan mata mendelik memandang ke
arah Swat Hong.
"Locianpwe....!" Ouw Sian Kok yang sudah berhasil bersama Liu Bwee
merobohkan dua belas orang
itu, meloncat dan merangkul kakek itu
karena kekek yang masih berdiri tegak itu mendekap dadanya yang
bercucuran darah. Kakek itu
menggelengkan kepala, memandang kepada Swat Hong. "Aihhh, kau ganas
sekali, Swat
Hong....!" "Kong-couw.... dia
jahat.... patut di bunuh!" Swat Hong berkata, memandang mayat Kiam-mo
Cai-li yang
kini sudah tidak bergerak lagi itu.
"Hayaaaa.... selamanya belum pernah dirobohkan orang, sekali ini
terperdaya
kelicikan seorang wanita.... memang
sudah semestinya begini...... kalian..... kurangilah atau lenyapkan sama
sekali.... keganasan..... kekerasan,
bunuh membunuh ini.... karena siapa menggunakan kekerasan akan menjadi
korban kekerasan pula.... nah, selamat
berpisah anak-anak....." Tubuh yang bediri tegak itu masih berdiri akan
tetapi kalau tidak dirangkul tentu akan
roboh karena pada saat itu juga Han Lojin telah mengembuskan napas
terakhir. Memang luar biasa sekali
kakek ini. pedang payung yang ditusukan secara curang oleh Kiam-mo Cai-li
menembus dada dan menembus pula
jantungnya, namun dia masih mampu berdiri tegak dan berkata-kata! Liu Bwee dan
Swat Hong berlutut sambil menangis. Akan
tetapi Ouw Sian Kok berkata, "Harap kalian bangkit berdiri dan mari
kita lekas membawa pergi jenazah
Locianpwe ini keluar kota." Liu Bwee menyusut air matanyadan menggandeng
tangan Swat Hong, menarik gadis itu
bangkit berdiri. "Ouw-twako benar, Hong-ji. Kita tidak mempunyai urusan
apa-apa lagi di sini, keadaan makin
kacau. Tugas kita berada di ibu kota pertama, Tiang-an." Diingatkan akan
ini, bahwa The Kwat Lin berada di
Tiang-an, Swat Hong memandang ibunya."Kami tadi telah memaksa seorang di
antara mereka itu mengaku di mana
adanya The Kwat Lin. Dia berada di Tiangan, tugasnya sama dengan Kiam-mo
Cai-li yaitu mengacau kota raja di
waktu pemberontak menyerbu ke sana." Swat Hong mengangguk, sekali lagi
melirik ke arah mayat Kiam-mo Cai-li,
rasa lega dan puas menyelinap di hatinya mengingat akan kematian
suhengnya yang betapapun juga kini
sudah agak terbalas dengan matinya wanita ini, kemudian dia mengikuti ibunya
pergi dari tempat itu. Perang, perang,
perang! Selama dunia berkembang, agaknya tiada pernah hentinya terjadi
perang di antara manusia. Selama
sejarah berkembang, terbukti bahwa di setiap jaman manusia melakukan perang,
baik dari jaman batu sampai jaman
modern! Agaknya betapapun majunya manusia dari segi lahiriah, sebaliknya
dalam segi batiniah manusia bahkan
makin mundur! Betapa tidak? Di jaman dahulu, yang dikatakan perang adalah
mereka yang langsung menceburkan diri
dalam perang campuh, dan mereka ini pula yang menjadi korban, yang
membunuh atau dibunuh. Makin lama,
perkembangan perang menjadi makin ganas dan makin kejam, makin tidak adil
dan makin menjauhi apa yang kita sebut
prikemanusiaan. Sekarang, di jaman modern, yang langsung memegang
senjata banyak selamat karena dia
menguasai teknik perang, pandai menjaga diri, pandai bersembunyi. Sebaliknya,
rakyat yang tidak tahu apa-apa mati
konyol! Perang, di sudut mana pun terjadinya di dunia ini, dengan kata apa
pun diselimutinya, dengan kata-kata
indah macam perjuangan, perang suci, perang membela negara, membela agama,
membela kehormatan dan lain-lain, tetap
saja perang yang berarti bunuh-bunuhan di antara manusia, membunuh
hanya untuk melampiaskan dendam dan
kembencian sehingga amatlah buasnya, jauh melampaui kebuasan binatang
apapun juga yang hidup di dunia ini.
Kita semua bertanggung jawab untuk ini! Perang yang terjadi antara bangsa,
antara golongan, antara kelompok,
meletus karena kita! Perang antara bangsa atau negara hanya menjadi akibat
dari kepentingan Si Aku, bangsaku,
agamaku, kebenaranku, kehormatanku, kemerdekaanku dan sebagainya yang
bersumber kepada aku. Perang antara
bangsa hanya bentuk besar dari perang antara tetangga dan perang antara
tetangga adalah bentuk besar dari
perang antara keluarga atau perorangan dan semua ini bersumber kepada perang
di dalam batin kita sendiri. Batin kita
setiap hari penuh dengan nafsu keinginan, iri hati, dendam, benci dan
semua bentuk kekerasan dan kekejaman,
kalau semua itu menguasai batin kita semua, menguasai dunia, herankah
kita kalau selalu terdapat permusuhan
dan perang di dunia ini? Semenjak sejarah tercatat, setiap pihak yang
melakukan perang tidak menganggapnya
sebagai suatu hal yang buruk. Sebaliknya malah, bermacam dalih diajukan
menjadi semacam kedok di depan wajah
perang yang dilakukannya, kedok berupa untuk membela diri, perang untuk
keadilan, dan perang untuk perdamaian!
Betapa menggelikan. Perang untuk keadilan! Perang untuk perdamaian!
Dengan cara membunuh-bunuhi sesama
manusia. Kita selalu terjebak ke dalam perangkap penuh tipu muslihat ini
yang berupa kata-kata indah. Pendapat
bahwa tujuan menghalalkan cara merupakan penipuan diri sendiri dan
berlawanan dengan kenyataan. Mungkinkah
untuk mencapai tujuan baik menggunakan cara yang jahat? yang penting
adalah caranya, bukan tujuannya. Tujuan
adalah masa depan yang belum ada, hanya merupakan akibat, sebaliknya
cara adalah masa kini, saat ini, nyata!
Dengan dalih "menumbangkan kekuasaan lalim" itulah An Lu Shan
memimpin
ratusan ribu bala tentaranya menyerbu
ke selatan. Pada saat seperti itu, An Lu Shan dan semua pengikutnya
menganggap bahwa mereka itu
"berjuang" dan mereka sama sekali tidak mau melihat bahwa kelak andai
kata mereka
berhasil dan memegang kekuasaan, ada
pula pihak-pihak yang akan mengecapnya "kekuasaan lalim" yang lain
dan
yang baru pula! Di lain pihak Kaisar
Han Ti Tiong atau Beng Ong yang sudah tua itu bersama para punggawanya
yang setia tentu saja melakukan
perlawanan yang gigih dengan dalih "menghancurkan dan membasmi
pemberontak".
Mereka ini lupa bahwa peristiwa
pemberontakan itu sesungguhnya timbul karena ulah mereka sendiri. Kekuatan bala
tentara yang dipimpin An Lu Shan memang
hebat. Dalam beberapa bulan saja, sekali menyerbu, dia telah menguasai
seluruh daerah di sebelah utara Sungai
Huangho. Pasukanpasukannya akhirnya berhasil merobohkan pertahanan
Lok-yang yang memduduki ibu kota ke dua
itu. Kemudian An Lu Shan kembali mengumpulkan kekuatan pasukannya dan
melanjutkan penyerbuannya menuju ke
kota raja Tiang-an! Kematian Kiam-mo Cai-li membuat Jenderal ini menyesal,
tentu saja penyesalan ini didasari
bahwa dia kehilangan seorang pembantu yang boleh diandalkan! Ketika Kaisar
yang sudah tua itu mendengar betapa
Lok-yang dalam beberapa hari saja terjatuh ke dalam tangan pemberontak An
Lu Shan, mulailah terbuka matanya
betapa selama ini tidak terlalu mengacuhkan urusan pertahanan dan sebagian
besar waktunya hanya dihabiskannya di
dalam kamar tidur dan di atas ranjang yang lunak hangat dan harum dari
selirnya tercinta, Yang Kui Hui.
Bangkitlah semangatnya, semangat mudanya yang kini terlalu lama terpendam itu
dan dia berhasil mengobarkan semangat
para pasukannya yang dikumpulkannya di Ling Pao di mana kaisar membentuk
benteng pertahanan yang cukup kuat.
Bahkan sekali ini dia memimpin sendiri untuk berperang menghadapi An Lu
Shan dengan hati penuh kemarahan. Hati
siapa tidak akan sakit kalau mengingat betapa dia telah memberi anugerah
besar kepada An Lu Shan, bahkan
selirnya yang tercinta telah menganggap An Lu Shan sebagai putera angkat. Dan
kini jenderal itu memberontak!
Perbuatan apa pun yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, tidak lah
benar jika di belakangnya bersembunyi
pamrih apa pun. Sesuatu perbuatan boleh jadi oleh umum dianggap sebagai
perbuatan baik, namun apabila perbuatan
itu menyembunyikan pamrih, baik yang disadari maupun tidak, maka
perbuatan itu tidak benar. Perbuatan
menolong orang lain oleh umum dianggap baik, namun jika hal itu dilakukan
dengan pamrih apa pun, itu bukanlah
menolong namanya, melainkan hanya memberi pinjam untuk kelak ditagih
kembali dalam bentuk pembalasan budi!
Selama yang berbuat itu merasa bahwa dia berbuat baik, merasa bahwa dia
menolong, di dalam perasaan ini sudah
terkandung pamerih! Jelas tidak benar! Dan selama ada pamrih di balik
setiap perbuatan, pasti akan
mendatangkan penyesalan, kebanggaan, kekecewaan, dendam, penjilat, penindasan
dan
lain-lain. Setiap berbuatan barulah
benar jika didorong atau didasari oleh CINTA KASIH! Demikian pula dengan
Kaisar. Karena dia merasa bahwa dia
telah menolong An Lu Shan, merasa telah berbuat baik kepada jenderal itu
maka timbullah penyesalan, kemarahan
dan kebencian karena yang pernah ditolongnya itu tidak dengan kebaikan.
Pamrih yang tersembunyi di balik
pertolongannya dahulu itu adalah menghendaki pembalasan berupa kesetiaan,
penghormatan, atau setidaknya
menghendaki agar jangan jenderal itu berani melawannya! Contoh ini tanpa kita
sadari terjadi di dalam penghidupan
kita sehari-hari. Kita miskin akan cinta kasih sehingga setiap perbuatan
kita dicengkeram pamrih. Kalau cinta
kasih memenuhi hati kita, maka segala pamrih akan lenyap tanpa bekas dan
setiap perbuatan kita adalah wajar dan
tentu saja benar karena dasarnya cinta kasih yang melekat pada bibir
setiap orang, yang menjadi hampa karena
disebut-sebut dan disanjung-sanjung, diberi pengertian lain, dan
dipecah-pecah! Di mana terdapat
cemburu, benci, sengsara, marah, dan lain-lain, cinta kasih tidak akan ada. Di
mana terdapat si "aku" yang
selalu mengejar keuntungan dan kesenangan lahir batin, cinta kasih tidak akan
pernah ada. karena bagi Si Aku, cinta
kasih berarti kesenangan untuk "aku" lahir batin yang berupa
ketenteraman, jaminan, kepuasan, dan
kenikmatan. Maka, sekali satu di antara yang dikejar itu luput,
berakhirlah cinta kasihnya dan berubah
menjadi cemburu, kemarahan dan kebencian! Dengan penuh kemarahan Kaisar
memimpin barisan-barisan yang dapat
dikumpulkannya, didampingi oleh seorang jenderal yang setia kepadanya,
seorang jenderal yang ahli dalam perang
bernama Kok Cu It yang menjadi komandan barisan itu. Barisan ini lalu
bergerak dari Ling Pao. Bertemulah dua
barisan yang bermusuhan itu di pegunungan dan terjadilah perang yang
amat dahsyat di sela Gunung Tung Kuan.
Perang yang amat mengerikan dan mati-matian, di mana mayat manusia
`
very informative post for me as I am always looking for new content that can help me and my knowledge grow better.
ReplyDelete