BUKEK SIANSU : Seri Kedua - lanjutan seri pertama
pekik dan tertawa itu membuat tiga
belas orang pendekar itu seketika seperti berubah menjadi arca, gerakan
mereka terhenti dan untuk beberapa
detik mereka hanya bengong memandang kakek itu dan jantung mereka
seolah-olah berhenti berdenyut.
Twa-suheng mereka yang bermuka gagah perkasa itu segera berseru, "Awas.
Saicu-hokang (Ilmu menggereng seperti
singa berdasarkan khikang)!" Seruan ini menyadarkan para sutenya dan
sumoinya. Mereka cepat mengerahkan sinking sehingga pengaruh Saicu-hokang itu membuyar. Pedang mereka
melanjutkan gerakannya.
"Sing-sing.... siuuuut.... trang-trang-trang..Heh-heh-heh!" Gulungan
sinar
pedang-pedang yang menyambar ke arah
tubuh kakek dari berbagai jurusan, dapat ditangkis oleh gulungan sinar
tongkat hitam yang telah diputar dengan
cepatnya oleh Pat-jiu kai-ong. Para pendekar Bu-tong-pai itu terkejut
ketika merasakan betapa telapak tangan
mereka menjadi panas dan nyeri setiap kali pedang mereka tertangkis
tongkat. Hal ini menandakan bahwa Si
kakek benar-benar amat lihai dan memiliki tenaga sakti yang amat kuat.
Juga tongkatnya yang kelihatan butut
dan hitam itu ternyata terbuat dari logam pilihan sehingga mampu menahan
ketajaman pedang di tangan mereka,
padahal semua pedang di tangan Cap-sha Sin-hiap adalah pedang-pedang pusaka
yang ampuh. "Ha..ha..ha, inikah
Ngo-heng-kiam (Ilmu Pedang Lima Unsur) dari Bu-tong-pai yang terkenal? Ha..ha,
tidak seberapa!" Sambil menggerakan
tongkatnya menangkis setiap sinar pedang yang meluncur datang, kakek itu
tertawa dan mengejek. "Bentuk
Sin-kiam-tin (Barisan Pedang Sakti)!" Teriak si Twa-suheng melihat betapa
kakek
itu benar-benar amat tangguh sehingga
semua serangan pedang mereka dapat ditangkis dengan mudahnya. Tiba-tiba
tiga belas orang pendekar itu merobah
gerakan mereka, kini mereka tidak lagi menyerang dari kedudukan tertentu,
melainkan mereka bergerak mengurung dan
mengelilingi kakek itu, sambil bergerak berkeliling mereka menyusun
serangan berantai yang susul menyusul
dan yang datangnya dari arah yang tidak tertentu. Diam-diam kakek itu
terkejut. Sejenak dia menjadi bingung.
Kalau tadi mereka itu menyerangnya dari kedudukan tertentu, biarpun
gerakan mereka tadi berdasarkan
Ngo-heng-kiam, namun dia sudah dapat mengenal dasar Ngo-heng-kiam dan dapat
menggerakan tongkat secara otomatis
untuk menangkis semua pedang yang dating menyambar. Akan tetapi sekarang,
sukar sekali menentukan dari mana
serangan akan dating, dan gerakan mengelilinginya itu benar-benar
mendatangkan rasa pusing. Marahlah
Pat-jiu Kai-ong. Tadi dia ingin mempelajari ilmu pedang Bu-tong-pai dan
memperhatikan para pengeroyoknya
sebelum membunuh mereka. Akan tetapi setelah mereka menggunakan Sin-kiam-tin
dia tahu behwa mereka kalau dia tidak
cepat mendahului mereka, dia bisa terancam bahaya. Tidak disangkanya
bahwa Si Tua Bangka Kui Bhok San-jin, ketua
dari Bu-tong-pai dapat menciptakan barisan pedang yang demikian
lihainya. Tiba-tiba terjadi perubahan
pada diri kakek ini. Tangan kirinya berubah menjadi merah sekali, merah
darah! "Hati-hati terhadap
Hiat-ciang Hoat-sut!" Si Twa-suheng berseru keras ketika melihat perubahan
warna
tangan kiri kakek itu. Pat-jiu Kai-ong
tiba-tiba mengeluarkan pekik yang amat dahsyat, lebih dahsyat daripada
tadi dan tubuhnya mendadak membalik,
tongkatnya menyambar dibarengi tangan kiri merah itu mendorong ke depan.
"Prak-prak...dessss!" Tiga
orang pengeroyok menjerit dan roboh, dua orang dengan kepala pecah oleh
tongkat,
sedangkan seorang lagi terkena pukulan
jarak jauh Hiat-ciang Hoat-sut, roboh dan tewas seketika dengan dadanya
tampak ada bekas lima jari merah
seperti terbakar, bahkan bajunya robek dan hangus. Itulah Hiat-ciang Hoat-sut,
pukulan maut yang mengerikan. Padahal
ilmu itu masih belum sempurna, dapat dibayangkan betapa hebatnya kalau
kakek ini berhasil menghisap darah, otak
dan sumsum seorang bocah ajaib seperti Sin-tong!. Sepuluh orang
pendekar Bu-tong-pai terkejut dan marah
sekali. Mereka melanjutkan serangan dengan penuh semangat dan penuh
dendam. Namun kembali Pat-jiu Kai-ong
memekik dahsyat sambil bergerak menyerang, dan kembali tiga orang lawan
roboh dan tewas. Serangan ini
diulanginya terus, tidak memberi kesempatan kepada para pengeroyoknya untuk
membebaskan diri. Empat kali terdengar
dia memekik dahsyat seperti itu dan akibatnya, dua belas orang diantara
Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai itu
tewas semua, tewas dalam keadaan masih menggurungnya dan yang masih hidup
tinggal The Kwat Lin seorang! Hal ini
memang disengaja oleh Pat-jiu Kai-ong dan kini sambil tersenyum mengejek
dia menghadapi Kwat Lin. Dapat
dibayangkan betapa perasaan dara itu melihat dua belas orang suhengnya telah
tewas semua! Dua belas orang suhengnya
yang selama ini berjuang sehidup semati dengannya, kini telah menjadi
mayat yang bergelimpangan di
sekelilingnya, seolah-olah mayat dua belas orang itu mengurung dia dan Pat-jiu
Kai-ong yang berdiri tersenyum di
depannya. "Iblis busuk, aku akan mengadu nyawa denganmu!" Kwat Lin
berseru
mengandung isak tertahan.
"Haiiiit.....!" tubuhnya melayang ke depan, pedangnya ditusukkan ke
arah dada lawan
dengan kebencian meluap-luap. Namun
dengan gerakan seenaknya kakek itu memukulkan tongkatnya dari samping
menghantam pedang yang menusuknya.
"Krekkk!" Pedang itu patah dan gagangnya terlepas dari pegangan Kwat
Lin!
Dara itu membelalakan matanya dan
melihat pandang mata kakek itu kepadanya, melihat senyum yang baginya amat
mengerikan itu, tiba-tiba dia
membalikan tubuhnya dan melayang ke arah sebatang pohon besar, dengan niat
untuk
membenturkan kepalanya pecah pada
batang pohon itu! Kwat Lin melihat ancaman bahaya yang lebih mengerikan
daripada maut sendiri, maka setelah
yakin bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan lawannya, dia mengambil
keputusan nekat untuk membunuh diri
dengan membenturkan kepalanya pada batang pohon. "Bukkkkkk!" Bukan
batang
pohon yang dibentur kepalanya,
melainkan perut lunak dan tubuhnya berada dalam pelukan Pat-jiu Kai-ong yang
entah kapan telah berada di situ
menghadangnya di depan pohon! "Lepaskan aku!!" Kwat Lin berteriak dan
tubuhnya
tiba-tiba dilontarkan oleh kakek itu,
jauh kembali ke dalam lingkaran mayat-mayat suhengnya. Dengan langkah
gontai, kakek itu tersenyum-senyum
memasuki lingkaran dan melangkahi mayat bekas para penggeroyoknya,
menghampiri Kwat Lin yang sudah bangkit
duduk dengan muka pucat dan mata terbelalak. Dia telah tersudut seperti
seekor kelinci muda ketakutan
menghadapi seekor harimau yang siap menerkamnya. Perasaan ngeri yang luar biasa
membuat Kwat Lin cepat menggerakan
tangan kanannya, dengan dua buah jari tangan dia menusuk ke arah ubun-ubun
kepalanya sendiri sambil mengerahkan
sinking. Batu karang saja akan berlubang terkena tusukan jari tangannya
seperti itu apa lagi ubun-ubun
kepalanya. "Plakkk!" "Aihhh....!" Kwat Lin menjerit ketika
tangannya itu
tertangkis dan setengah lumpuh. Ternyata
kakek itu telah berdiri di depannya dan telah mencegah dia membunuh
diri!
"Bretttt...bretttt....!" Tongkat kakek itu bergerak beberapa kali dan
seperti disulap saja seluruh
pakaian yang membungkus tubuh Kwat Lin
cabik-cabik dan cerai-berai, membuatnya menjadi telanjang bulat sama
sekali! Kwat Lin menjerit akan tetapi
tiba-tiba, seperti seekor kucing menerkam tikus, sambil mengeluarkan
suara ketawa menyeramkan, kakek itu
telah menubruk dan memeluknya sehingga mereka berdua bergulingan diatas
rumput yang bernoda darah para korban
keganasan kakek itu! Kwat Lin melawan sekuat tenaga, namun sia-sia
belaka. Untuk membunuh diri tidak ada
jalan baginya, untuk melawan pun percuma, bahkan semua jeritan tangis dan
permohonan, semua usahanya
meronta-ronta tiada gunanya sama sekali. Bahkan semua usaha ini malah
menyenangkan
hati si Kakek. Seolah-olah seekor
kucing yang menjadi gembira dapat mempermankan seekor tikus yang telah
tersudut dan tidak berdaya,
mempermainkannya dan melihatnya tersiksa dan meronta sebelum menjadi mangsanya!
Selama tiga hari tiga malam Kwat Lin
menderita siksaan yang amat hebat. Diperkosa, dihina, diejek. Pada hari
ketiga,pagi-pagi sekali dalam keadaan
lebih banyak yang mati daripada yang hidup, dalam keadaan setengah sadar,
rebah terlentang tak mampu bergerak,
hanya matanya saja yang mendelik memandang kakek itu. Kwat Lin melihat
kakek itu mengenakan pakaian, menyambar
tongkatnya dan tertawa memandang kepadanya yang masih rebah terlentang
dalam keadaan telanjang bulat di atas
rumput berdarah. "Ha-ha-ha, sekarang aku pergi, manis. Aku telah puas,
dan kalau kau mau membunuh diri,
silahkan. Ha-haha!" Biarpun Kwat lin berada dalam keadaan menderita hebat,
kehabisan tenaga, hampir mati karena
lelah, muak, jijik, malu, marah dan dendam tercampur aduk menjadi satu
dalam benaknya, namun kebencian yang
meluap-luap masih memberinya tenaga untuk berseru, "Jahanam, sekarang aku
harus hidup! Aku harus hidup untuk
melihat engkau mampus di tanganku!" "Ha..ha..ha..ha! Kalau
sewaktu-waktu kau
merasa rindu kepadaku, manis, datang
saja ke Hong-san, sampai jumpa!" Kakek itu lalu melangkah pergi
meninggalkan tempat itu meninggalkan
Kwat-Lin yang masih rebah dan kini wanita yang bernasib malang ini
menangis sesenggukan dia antara
mayat-mayat dua belas suhengnya yang sudah mulai membusuk dan berbau! Dapat
dibayangkan betapa tersiksa rasa badan
wanita muda ini. Dia dipaksa, diperkosa, dihina di antara mayat-mayat
dua belas suhengnya, bahkan sewaktu
keadaan mayat-mayat itu mulai membusuk dan menyiarkan bau yang hampir tak
tertahankan, kakek itu masih saja enak-enak
mempermainkannya. Benar-benar seorang manusia yang kejam melebihi
iblis sendiri.
</P>
<CENTER>
JILID 2
</CENTER>
<P>
Tiba-tiba Kwat lin bangkit serentak,
seolah-olah ada tenaga baru memasuki tubuhnya yang menderita nyeri, lelah
dan kelaparan karena selama tiga hari
tiga malam dia dipermainkan tanpa diberi makan atau minum oleh kakek
iblis itu. Dia berdiri tegak, telanjang
bulat, lalu memandang ke arah semua mayat suhengnya, dan matanya
menjadi liar, keluar suara parau dari
mulutnya yang pecah-pecah bibirnya oleh gigitan kakek iblis. "Suheng
sekalian, dengarlah! Aku The Kwat Lin,
bersumpah untuk membalaskan kematian suheng sekalian. Satu-satunya
tujuan hidupku sekarang hanyalah untuk
membalas dendam dan membunuh iblis busuk Pat-jiu Kai-ong!" Tiba-tiba dia
terhuyung mundur memandang wajah
twasuhengnya. Pria inilah sebetulnya yang sudah sejak dahulu mencuri hatinya.
"Twa Suheng......!" Dia
menubruk dan berlutut di dekat mayat yang sudah mulai membusuk itu.
"Jangan berduka,
Twa-suheng....jangan
menangis......" Dia berdiri sesunggukan. "Apa.....? Aku
telanjang.....? Pakaianmu......?
Seperti orang gila yang bicara dengan
sesosok mayat, Kwat Lin bertanya, kemudian dia membuka baju dan celana
luar dari mayat yang sudah kaku kejang
itu dengan agak susah, dan mengenakan pada tubuhnya sendiri. Tentu saja
agak kebesaran. "Hi-hi-hik,
pakaianmu kebesaran, Suheng......." Dia memandang wajah mayat
twa-suhengnya dan
tertawa lagi. "Hi-hik,nah,begitu,
tertawalah Twa-suheng, tertawalah para suheng sekalian......, tertawa dan
bergembiralah karena dendam kalian
pasti akan kubalaskan...! Hi-hi-hik... hu-hu-huuuhhh..." Dia menangis lagi
terisak-isak dan dengan
terhuyung-huyung dia meninggalkan tempat mengerikan itu setelah mengambil
pedang
twa-suhengnya. Pedang itu adalah pedang
pusaka terbaik di antara pedang ketiga belas orang pendekar Bu-tong-pai
itu, sebatang pedang pemberian Ketua
Bu-tong pai sendiri, pedang yang di dekat gagangnya ada gambar setangkai
bunga Bwee merah, maka pedang itu
diberi nama Ang-bwe-kiam (Pedang Bunga Bwee Merah). Dia terhuyung-huyung,
pergi tak tentu tujuan, asal
menggerakkan kedua kaki melangkah saja, langkah yang kecil-kecil dan
terhuyung-huyung karena tubuhnya masih
terasa lelah, lapar dan sakit semua. Kadang-kadang terdengar dia terisak
menangis, kemudian terkekeh geli
sehingga kalau ada orang yang bertemu dengan wanita yang bibirnya pecah-pecah
mukanya penuh debu dan air mata,
matanya membengkak dan merah, rambutnya riap-riapan dan pakaiannya terlalu
besar, ini tentu orang itu akan merasa
seram, mengira bahwa setidaknya dia adalah seorang wanita gila. Dugaan
ini memang tidak meleset terlalu jauh.
Penderitaan lahir batin yang melanda diri Kwat Lin membuat wanita malang
ini tidak kuat menahan sehingga terjadi
perubahan pada ingatannya. Pada hari yang sama ketika Cap-sha Sin-hiap
roboh di tangan kakek iblis Pat-jiu
Kai-ong di kaki Pegunungan Jeng-hoa-san, terjadi pula peristiwa hebat di
bagian lain dari Pegunungan itu. Kalau
Cap-sha Sin-hiap roboh di daerah timur pegunungan, maka di daerah barat
terjadi pula peristiwa yang hampir sama
sungguhpun sifatnya berbeda. Pada pagi hari itu, seorang wanita
berjalan seorang diri mendaki lereng
pertama dari pegunungan Jeng-hoasan sebelah barat. Wanita itu memasuki
hutan dengan wajah berseri dan harus
diakui bahwa wajah wanita cantik manis sekali, mempunyai daya tarik yang
kuat sungguhpun usianya sudah empat
puluh tahun. Tidak ada keriput mengganggu kulit mukanya yang putih halus,
mulutnya yang agak lebar itu mempunyai
bibir yang senantiasa menantang dan seolah-olah buah masak yang sudah
pecah, akan tetapi kalau orang
memperhatikan matanya, mata yang jernih dan bersinar tajam, maka hati yang
kagum
akan kecantikannya tentu akan berubah
menjadi ragu-ragu, curiga dan ngeri karena sepasang mata itu tidak
pernah, atau jarang sekali berkedip.
Mata itu terbuka terus seperti mata boneka! Dengan langkah-langkah gontai
dan lemas, membuat buah pinggulnya
menonjol dan bergoyang ke kanan kiri, wanita itu berjalan seorang diri,
memutar-mutarsebuah payung yang
dipanggulnya. Sebuah payung hitam yang tertutup, gagangnya melengkung dan
ujungnya meruncing. Pakaiannya serba
mewah dan indah, rambutnya panjang sekali, digelung ke atas seperti sebuah
menara hitam yang indah, terhias tusuk
sanggul dari mutiara dan emas. Yang menarik adalah kuku-kuku jari
tangannya. Kuku yang panjang
terpelihara, diberi warna merah, panjang meruncing dan agak melengkung seperti
kuku kucing atau harimau. Pakaiannya
yang mewah itu dibuat terlalu pas dengan tubuhnya sehingga membungkus
ketat tubuh itu, membayangkan lekuk
lengkung yang menggairahkan dari dada sampai ke kaki karena celananya yang
terbuat dari sutera merah muda itu pun ketat
sekali! Biarpun kelihatannya seperti seorang wanita cantik dan
genit (tante girang), namun
sesungguhnya dia bukanlah manusia biasa saja! Inilah dia yang terkenal sekali
di
dunia hitam kaum penjahat, karena
wanita ini bukan lain adalah Kiam-mo Cai-li (Wanita Pandai Berpayung Pedang),
sebuah julukan yang membuat bulu
tengkuk orang yang sudah mengenalnya berdiri sangking ngerinya karena wanita
yang sebenarnya hanya bernama Liok Si
ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi mengerikan dan kekejaman yang
sukar dicari bandingnya! Bahkan ia
disamakan dengan wanita cantik penjelmaan siluman rase yang biasa mengganggu
pria, dan setiap orang pria yang
terjebak dalam pelukannya tentu akan mati kehabisan darah, disedot habis oleh
siluman ini! Tentu saja bagi mereka
yang belum pernah berjumpa dengannya, sama sekali tidak akan mengira bahwa
wanita yang berlenggak-lenggok dengan
payung di pundak itulah iblis wanita yang menggeggerkan dunia kang-ouw
dengan perbuatannya yang luar biasa.
Dan mudah saja diduga mengapa pada hari itu Kiam-mo Cai-li ini mendaki
lereng Jeng-hoa-san! Tentu saja dia pun
mendengar berita menggeggerkan dunia kang-ouw akan adanya Sin-tong, Si
Bocah ajaib dan mendengar ini, kontan
keras hatinya berdebar-debar penuh ketegangandan penuh birahi! Dia dapat
membayangkan betapa tenaga mukjijat
yang dihimpunnya secara ilmu hitam dengan jalan menghisap sari tenaga
ratusan orang pria, akan meningkat
dengan hebat sekali kalau dia bisa menghisap kejantanan si Bocah Ajaib itu!
Maka begitu mendengar akan bocah ajaib
di puncak Pegunungan Jeng-hoasan di dalam Hutan Seribu Bunga, dia segera
menempuh perjalanan jauh mengunjungi
pegunungan itu. Perjalananyang jauh karena biarpun sering kali Liok Si ini
pergi merantau namun dia memiliki
sebuah pondok kecil seperti istana mewahnya terletak di tempat yang tidak
lumrah dikunjungi manusia, yaitu di
daerah Rawa Bangkai. Rawa-rawa yang liar ini terdapat di kaki Pegunungan
Luliang-san, merupakan daerah maut
karena banyak lumpur dan pasir yang berputar, merupakan perangkap maut bagi
manusia dan hewan. Namun di
tengah-tengah rawa-rawa itu, yang tidak dapat dikunjungi oleh manusia lain,
terdapat sebuah tanah datar, tanah
keras semacam pulau dan diatas pulau inilah letaknya istana kecil milik Liok
Si yang berjuluk Kiam-mo Cai-li,
bersama belasan orang pembantu-pembantuyang sudah menjadi orangorang
kepercayaannya. Dia disebut
Cai-li(Wanita Pandai) karena sebetulnya wanita ini dulunya adalah puteri
seorang
sasterawan kenamaan dan semenjak kecil
Liok Si telah mempelajari kesusasteraan sehingga dia mahir sekali akan
sastra, bahkan dia pernah menyamar
sebagai pria menempuh ujian pemerintah sehingga dia lulus dan mendapat gelar
siucai! Akan tetapi, penyamarannya
keetahuan dan seorang pembesar tinggi istana yang kagum kepadanya lalu
mengambilnya sebagai seorang selir.
Selain ilmu sastra, juga Liok Si ini semenjak kecil digembleng ilmu oleh
para sahabat ayahnya, apalagi setelah
menjadi selir pembesar tinggi di istana, dia mengadakan hubungan dengan
kepala-kepala pengawal, dengan
pengawal-pengawal kaisar yang berilmu tinggi, menyerahkan tubuhnya sebagai
pengganti ilmu silat-ilmu silat tinggi
yang diperolehnya sebagai "bayaran". Akhirnya, pembesar itu
mengetahui
akan tabiat selirnya ini yang ternyata
adalah seorang wanita yang gila pria maka dia diusir dari istana
pembesar itu. Akan tetapi, apa yang
dilakukan oleh wanita ini? Dia membunuh Si Pembesar, membawa banyak harta
benda yang dicurinya dari istana itu,
kemudian minggat! Belasan tahun kemudian, muncullah nama julukan Kiam-mo
Cai-li, namun tidak ada yang menduga
bahwa dia adalah Liok Si yang dahulu menjadi selir bangsawan dan yang
membunuh bangsawanitu sehingga menjadi
orang buruan pemerintah. Liok Si berjalan sambil tersenyum-senyum,
kadang-kadang senyumnya melebar dan
tampak giginya yang putih mengkilat dan di kedua ujungnya terdapat sebuah
gigi yang agak meruncing sehingga
sekelebatan mirip gigi caling sihung. Hatinya gembira sekali kalau dia
membayangkan betapa akan sedapnya kalau
dia dapat memperoleh bocah ajaib itu. "Hemmm, aku harus bersikap halus
dan hati-hati terhadapnya, menikmatinya
selama mungkin. Hemmm..." Tiba-tiba dia terkejut dan menghentikan
langkahnya, akan tetapi kembali dia
tersenyum manis matanya mengerling tajam penuh kegairahan ketika melihat
lima orang laki-laki berdiri di
depannya dengan sikap gagah. Pandang matanya menyambar-nyambar dan terbayang
kepuasan dan kekaguman. Memang, hati
seorang wanita gila pria seperti Liok Si tentu saja menjadi berdebar
tegang ketika melihat lima orang pria
yang usianya rata-rata tiga puluh tahun lebih bertubuh tegap-tegap dan
rata-rata berwajah tampan dan gagah!
Seperti melihat lima butir buah yang ranum dan matang hati! "Aih-aihh...
Siapakah Ngo-wi (Anda berlima) yang
gagah perkasa ini? Dan apakah Ngo-wi sengaja hendak bertemu dan bicara
dengan aku?" Seorang di antara
mereka, yang usianya tiga puluh tahun, mukanya bulat dan alisnya seperti golok
hitam dan tebal, berkata, "Apakah
kami berhadapan dengan Kiam-mo Cai-li dari Rawa Bangkai?" Wanita itu
memainkan bola matanya memandangi wajah
merka berganti-ganti dengan berseri, mulunya tersenyum ketika menjawab,
"kalau benar mengapa? Kalian ini
siapakah?" "Kami adalah Kee-san Ngo-hohan(Lima Pendekar dari Gunung
Ayam)".
"Kiam-mo Cai-li mengeluarkan bunyi
"tsk-tsk-tsk" dengan lidahnya tanda kagum. Segera dia menjura dan
berkata
manis. "Aih, kiranya lima pendekar
yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai murid-murid
utama Hoa-san-pai? Aih, terimalah
hormatnya seorang wanita bodoh seperti aku." "Harap Toanio(Nyonya)
tidak
mengejek dan bersikap merendah. Kami
sudah tahu siapa adanya Kiam-mo Cai-li, dan karena melihat engkau mendaki
Jeng-hoa-san, maka terpaksa kami
memberanikan diri untuk menghadang." "Ehm...! Maksud kalian?"
Senyumnya makin
manis dan kerling matanya makin
memikat. "Kami telah mendengar akan berita bahwa tokoh-tokoh kang-ouw
sedang
berusaha untuk memperebutkan Sin-tong
yang berada di Hutan Seribu Bunga dan kami mendengar pula bahwa Kiam-mo
Cai-li merupakan seorang di antara
mereka yang hendak menculik Sin-tong. Karena kami telah berhutang budi,
diberi obat oleh Sin-tong maka kami
hanya dapat membalas budinya dengan melindunginya terutama dari tangan...
maaf, para tokoh kaum sesat yang tentu
tidak mempunyai itikad baik terhadap dirinya. Andaikata kami tidak
berhutang budi sekalipun, mengingat
bahwa Sin-tong adalah seorang anak ajaib yang telah banyak menolong orang
tanpa pandang bulu, sudah menjadi
kewajiban orang-orang gagah untuk melindunginya." Kembali Kiam-mo Cai-li
tersenyum. "Terus terang saja,
memang aku mendengar tentang Sin-tong dan aku ingin mendapatkannya, maka hari
ini aku mendaki Jeng-hoa-san. Habis
kalian mau apa?" Kalau begitu, kami minta dengan hormat agar kau suka
membatalkan niatmu itu, Toanio. Kalau kau
memaksa hendak menganggu Sin-tong, terpaksa kami akan merintangimu
dan tidak membolehkan kau melanjutkan
perjalanan!" "Hi-hi-hik, galak amat! Lima orang laki-laki muda tampan
gagah bertemu dengan seorang wanita
cantik penuh gairah, sungguh tidak semestinya kalu bermain senjata mengadu
nyawa!" "Hemm, habis
semestinya bagaimana?" tanya orang pertama dari Kee-san Ngo-hohan yang
betapapun juga
merasa jerih mendengar nama besar
wanita ini dan mengharapkan wanita itu akan mengalah dan pergi dari situ,
tidak mengganggu Sin-tong. Mata itu
tajam mengerling dan senyumnya penuh arti, bibirnya penuh tantangan.
"Mestinya? Mestinya kita bermain
cinta memadu kasih!" "Perempuan hina!" "Jalang!"
"Siluman betina" Lima orang
itu telah mencabut senjata
masing-masing yaitu senjata golok besar yang selama ini telah mengangkat nama
mereka
di dunia kang-ouw. Kelima orang
pendekar ini memang merupakan ahli-ahli bermain golok dengan Ilmu
Hoa-san-to-hoat yang terkenal, dan
selain itu juga mereka semua mahir akan ilmu menotok jalan darah yang
bernama Sam-ci-tiam-hoat, yaitu ilmu
menotok menggunakan tiga buah jari tangan.
"Siaaaattt...singg...siang..."
"Ha-ha, bagus! kalian memang gagah
sekali bermain golok, tentu lebih gagah kalau bermain cinta, hi-hik!"
Kiam-mo Cai-li mengelak dan tiba-tiba
payung hiatmnya berkembang terbuka. Payung itu merupakan senjata isimewa,
terbuat dari baja yang kuat dan kainnya
terbuat dari kulit badak yang kering dan sudah dimasak lemas, namun
kuatnya luar biasa dapat menahan
bacokan senjata tajam. Adapun ujung payung itu meruncing, merupakan ujung
pedang, dan gagangnya yang melengkung
itu pun dapat digunakan sebagai senjata kaitan yang lihai.
"Trang-trang-trang...!!"
Bunga api berpijar ketika golok-golok itu tertangkis oleh payung dan karena
kini tubuh
wanita itu tertutup payung yang
berkembang dan berputar-putar, maka sukarlah bagi lima orang itu untuk
menyerangnya dari depan. Mereka lalu
berloncatan dan mengurung wanita itu. "Hi-hik, hayo keroyoklah. Kalu baru
kalian lima orang ini saja, masih
terlampau sedikit bagiku. Hi-hik, hendak kulihat sampai dimana kekuatan
kalian apakah patut untuk menjadi
lawan-lawanku untuk bermain cinta!" "Perempuan rendah!" Orang
pertama dari
lima pendekar itu marah sekali,
goloknya menyambar dahsyat, tapi tiba-tiba golok itu terhenti di tengah udara
karena telah terikat oleh sebuah benda hitam
panjang yang lembut. Kiranya wanita itu telah mengudar gelung
rambutnya dan ternyata rambut itu
panjangnya sampai ke bawah pinggulnya, rambut yang gemuk hitam, panjang dan
harum baunya, bahkan bukan itu saja
keistemewaannya, rambut itu dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh,
sebagai cambuk yang kini berhasil
membelit golok orang pertama dari Kee-san ngo-hohan! Sebelum orang ini
ssempat menarik goloknya, tangan kiri
Kiam-mo Cai-li bergerak menghantam tengkuk orang itu dengan tangan
miring. "Krekk!" Laki-laki
itu mengeluh dan roboh tak dapat bangkit kembali karena dia telah terkena
totokan
istimewa yang membuat tubuhnya lumpuh
sungguhpun dia masih dapat melihat dan mendengar. Empat orang lainnya
terkejut dan marah sekali. Mereka
memutar golok lebih gencar lagi, bahkan kini tangan kiri mereka membantu
dengan serangan totokan
Sam-ci-tiam-hoat yang ampuh! Namun orang yang mereka keroyok itu tertawa-tawa
mempermainkan mereka. Setiap serangan
golok dapat dihalau dengan mudah oleh payung yang diputar-putar sedangkan
ujung rambut yang panjang itu
mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil dan menyambar-nyambar di atas kepala
mereka, tidak menyerang, hanya mendatangkan
kepanikan saja karena memang dipergunakan untuk mempermainkan
mereka. "Mampuslah!" Orang ke
dua yang menyerang dengan golok ketika goloknya ditangkis, cepat dia
"memasuki"
lowongan dan berhasil mengirim totokan.
Karena tempat terbuka yang dapat dimasuki jari tangannya di antara
putaran payung itu hanya di bagian
dada, maka dia menotok dada kiri wanita itu. Dalam keadaan seperti itu,
menghadapi lawan yang amat tangguh,
pendekar ini sudah tidak mau lagi mempergunakan sopan santun yang tentu
tidak akan dilanggarnya kalau keadaan
tidak mendesak seperti itu. "Cusss...!" tiga buah jari tangan itu
tepat
mengenai buah dada kiri yang besar,
tapi dia hanya merasakan sesuatu yang lunak hangat, sedangkan wanita itu
sama sekali tidak terpengaruh, bahkan
mengerling dan berkata, "Ihh, kau bersemangat benar, tampan. Belum
apa-apa sudah main colek dada,
hihik!" Tentu saja pendekar ini menjadi merah sekali mukanya. Dia merasa
malu
akan tetapi juga penasaran. Ilmu totok
yang dimilikinya sudah terkenal dan belum pernah gagal. Tadi jelas dia
telah menotok jalan darah yang amat
berbahaya di dada wanita itu, mengapa wanita itu sama sekali tidak
merasakan apa-apa, bahkan menyindirnya dan
dianggap dia mencolek dada? Dengan marah dia menerjang lagi bersama
tiga orang sutenya. "Sudah cukup,
sudah cukup, rebah dan beristirahatlah kalian!" Tiba-tiba payung itu
tertutup
kembali, berubah menjadi pedang yang
aneh dan segulung sinar hitam menyambar-nyambar mendesak empat orang itu,
kemudian dari atas terdengar
ledakan-ledakan dan berturut-turut tiga orang lagi roboh terkena totokan ujung
rambut wanita sakti itu. Seperti orang
pertama, mereka ini pun roboh tertotok dan lumpuh, hanya dapat memandang
dengan mata terbelalak namun tidak
menggerakan kaki tangan mereka! Orang termuda dari mereka kaget setengah
mati melihat betapa empat orang
suhengnya telah roboh. Namun dia tidak menjadi gentar, bahkan dengan kemarahan
dan kebencian meluap dia memaki,
"Perempuan hina, pelacur rendah, siluman betina, aku takkan mau sudah
sebelum
dapat membunuhmu!" "Aihhh...
kau penuh semangat akan tetapi mulutmu penuh makian menyebalkan hatiku!"
Golok itu
tertangkis oleh payung sedemikian
kerasnya sehingga terpental dan sebelum laki-laki itu dapat mengelak, sinar
hitam menyambar dan ujung rambut telah
membelit lehernya! Pria itu berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan
libatan rambut dari lehernya dengan
kedua tangan, akan tetapi begitu wanita itu menggerakkan kepalanya,
rambutnya terpecah menjadi banyak
gumpalan dan tahu-tahu kedua pergelangan lengan orang itu pun sudah terbelit
rambut yang seolah-olah hidup seperti
ular-ular hitam yang kuat. "Nah, kesinilah, Tampan. Mendekatlah, kekasih.
Kau perlu dihajar agar tidak suka
memaki lagi!" Laki-laki itu sudah membuka mulut hendak memaki lagi, akan
tetapi libatan rambut pada lehernya
makin erat sehingga dia tidak dapat bernapas, kemudian rambut itu
menariknya mendekat kepada wanita yang
tersenyum-senyum itu! Kini laki-laki itu sudah berada dekat sekali,
bahkan dada dan perutnya telah menempel
pada dada yang membusung dan perut yang mengempis dari wanita itu.
Tercium olehnya bau wangi yang aneh dan
memabokkan, akan tetapi karena lehernya terbelit kuat-kuat, dan
napasnya tak dapat lancar, maka dia
terpaksa menjulurkan lidahnya keluar. "Aihhh, kau perlu diberi sedikit
hajaran, Tampan!" Empat orang
pendekar yang tertotok melihat dengan mata terbelalak penuh kengerian betapa
wanita iut kini mendekatkan muka sute
mereka yang termudda, kemudian membuka mulut dan mencium mulut sute
mereka yang terbuka dan lidah yang
terjulur keluar itu.Mereka melihat tubuh sute mereka berkelojot sedikit
seperti menahan sakit, mata sute mereka
terbelalak, namun wanita itu terus mencium dan menutup mulut pria itu
dengan mulutnya sendiri yang lebar. Tak
dapat terlihat oleh empat orang pendekar itu betapa wanita itu yang
kejam dan keji seperti iblis, telah
menggunakan giginya untuk menggigit sampai terluka lidah sute mereka yang
terjulur keluar, kemudian menghisap
darah dari luka di lidah itu! Mereka berempat hanya melihat betapa wanita
itu memejamkan mata, baru sekarang
mereka melihat wanita itu memejamkan mata, kelihatan penuh nikmat, akan
tetapi wajah sute mereka makin pucat
dan mata sute mereka yang terbelalak itu membayangkan kenyerian dan
ketakutan yang hebat. Agaknya wanita
itu tidak puas karena darah yang dihisapnya kurang banyak, maka kini dia
melepaskan mulut pemuda itu dan
memindahkan ciuman mulutnya ke leher si Pemuda. Dapat dibayangkan betapa kaget
empat orang pendekar itu melihat bahwa
mulut sute mereka penuh warna merah darah! "Sute...!!!" Mereka
berseru
akan tetapi tidak dapat menggerakkan
kaki tangan mereka. Sute mereka meronta-ronta seperti ayam disembelih,
matanya melotot memandang ke arah para
suhengnya seperti orang minta tolong, kemudian tubuhnya berkelojotan
ketika wanita itu kelihatan jelas
menghisaphisap lehernya ternyata bahwa urat besar di lehernya telah ditembusi
gigi yang meruncing dan kini dengan
sepuasnya wanita itu menghisap darah yang membanjir keluar dari urat di
leher itu! Mata yang melotot itu makin
hilang sinarnya dan pudar, wajahnya makin pucat dan akhirnya tubuh yang
meregang-regang itu lemas. Orang termuda itu pingsan karena kehilangan
banyak darah, takut dan ngeri. Kiam-mo
Cai-li melepaskan libatan rambutnya dan
tubuh itu tergulig roboh, terlentang dengan muka pucat dan napas
terengah-engah. 'Sute...!" Kembali
mereka mengeluh dan dengan penuh kengerian mereka melihat betapa wanita itu
menggunakan lidahnya yang kecil merah
dan meruncing itu untuk menjilati darah yang masih belepotan di bibirnya
yang menjadi makin merah. Wajahnya
kemerahan, segar seperti kembang mendapat siraman, berseri-seri dan ketika
dia mendekati empat orang itu, mereka
terbelalak penuh kengerian. Akan tetapi, wanita itu tidak menyerang
mereka, agaknya dia sudah puas
menghisap darah orang termuda tadi. Hanya kini kedua tangannya bergerak -gerak
dan sekali renggut saja pakaian empat
orang itu telah koyak-koyak. Kemudian dia bangkit berdiri, dengan gerakan
memikat seperti seorang penari
telanjang, dia membuka pakaiannya, menanggalkan satu demi satu sambil
menari-nari! Sampai dia bertelanjang
bulat sama sekali di depam empat orang itu yang membuang muka dengan
perasaan ngeri dan sebal! "Kalian
layanilah aku, puaskanlah aku, senangkan hatiku dan aku akan membebaskan
kalian berlima. Lihat, bukankah tubuhku
menarik? Aku hanya ingin mendapatkan cinta kalian, aku tidak
menginginkan nyawa kalian."
"Cih, siluman betina! Kauanggap kami ini orang-orang apa? Kami adalah
murid
Hoa-san-pai yang tidak takut mati.
Seribu kali lebih baik mampus daripada memenuhi seleramu yang terkutuk
melayani nafsu berahimu yang
menjijikan!" kata empat orang itu saling susul dan saling bantu. Kiam-mo
Cai-li
tersenyum. "Hi-hik, begitukah?
Kalau begitu, baiklah, kalian melayani aku sampai mampus!" Dia lalu
membungkuk
dan menarik lengan seorang di antara
mereka, kemudian menggunakan kuku jari kelingking kiri menggurat beberapa
tempat di punggung dan tengkuk pria
ini. Orang itu menggigil, menggigit bibir menahan sakit, akan tetapi karena
dia tidak mampu mengerahkan sinkang,
dia tidak dapat melawan pengaruh hebat yang menggetarkan tubuhnya melalui
luka-luka goresan kuku beracun dari
kelingking itu. Mukanya menjadi merah, juga matanya menjadi merah dan
napasnya terengah-engah. Tiga orang
pendekar yang lain memandang penuh kekhawatiran dan kengerian. Tiba-tiba
wanita itu terkekeh, menggunakan tangan
membebaskan totokan sehingga orang itu dapat menggerakkan kaki
tangannya dan terjadilah hal yang
membuat tiga orang pendekar yang masih rebah lumpuh itu terbelalak penuh
kengerian. mereka melihat Sute mereka
itu seperti seorang gila menerkam dan mendekap tubuh wanita itu penuh
gairah nafsu! Dengan mata terbelalak
mereka melihat betapa wanita itu menyambutnya dengan kedua lengan terbuka,
bergulingan di atas rumput dan tampak
betapa wanita itu membiarkan dirinya diciumi, kemudian mengalihkan
mulutnya yang lebar ke leher Sute
mereka! Mereka bertiga terpaksa memjamkan mata agar tidak usah menyaksikan
peristiwa yang memalukan dan terkutuk
itu. Mereka mengerti bahwa Sute mereka melakukan hal terkutuk itu karena
terpengaruh oleh racun yang diguratkan
oleh kuku jari kelingking si iblis betina, dan mereka tahu pula bahwa
Sute mereka yang diamuk pengaruh
jahanam itu tidak tahu bahwa darahnya dihisap oleh wanita itu yang seperti
telah dilakukan pada orang pertama tadi
kini juga menghisap darahnya sepuas hatinya. Dapat diduga lebih dahulu
bahwa tiga orang yang lain juga
mengalami siksaan yang sama tanpa dapat berdaya apa-apa tanpa dapat melawan.
Hal ini dilakukan berturut-turut oleh
Kiam-mo Cai-li dan tiga hari tiga malam kemudian, dia meninggalkan tempat
itu sambil menjilat-jilat bibirnya
penuh kepuasan. Setelah dia melempar kerling ke arah lima tubuh telanjang
yang sudah menjadi mayat semua itu,
bergegas dia pergi mendaki Jeng-hoa-san untuk mencari Sin-tong yang amat
diinginkan. Lima orang Kee-san
Ngo-hohan itu mengalami kematian yang amat mengerikan. Tubuh mereka kehabisan
darah, kulit mengeriput. Mereka seperti
lima ekor lalat yang terjebak ke sarang laba-laba dan setelah semua
darah mereka disedot habis oleh
laba-laba, mayat mereka yang sudah kering dan habis sarinya itu dilemparkan
begitu saja. Kwa Sin Liong, atau yang
lebih terkenal dengan nama panggilan Sin-tong, pada pagi hari itu seperti
biasa setelah mandi cahaya matahari,
lalu menjemur obat-obatan dan tidak lama kemudian berturut-turut datanglah
orang-orang dusun yang membutuhkan
bahan obat untuk bermacam penyakit yang mereka derita. Sin tong mendengarkan
dengan sabar keluhan dan keterangan mereka
tentang sakit yang mereka derita, menyiapkan obat-obat untuk mereka
semua dengan hati penuh belas kasihan.
Semua ada sebelas orang dusun, tua muda laki perempuan yang memandang
kepada bocah itu dengan sinar mata
penuh kagum dan pemujaan. Baru bertemu dan memandang wajah Sin-tong itu
saja, mereka sudah merasa banyak
berkurang penderitaan sakit mereka. Seolah-olah ada wibawa yang keluar dari
wajah bocah penuh kasih sayang itu yang
meringankan rasa sakit yang mereka derita. Tentu saja hal ini
sebenarnya terjadi karena kepercayaan
mereka yang penuh bahwa bocah itu akan dapat menyembuhkan penyakit
mereka, sehingga keyakinan ini sendiri
sudah merupakan obat yang manjur. Dan bocah ajaib itu memang bukanlah
seorang dukun yang menggunakan
kemujijatan dan sulap atau sihir untuk mengobati orang, melainkan berdasarkan
ilmu pengobatan yang wajar. Dia memilih
buah, daun, bunga atau akar obat yang memang tepat mengandung khasiat
atau daya penyembuh terhadap
penyakit-penyakit tertentu itu. Tiba-tiba terdengar nyanyian yang makin lama
makin
jelas terdengar oleh mereka semua. Juga
in Liong, bocah ajaib itu, berhenti sebentar mengumpulkan dan memilih
obat yang akan dibagikan karena
mendengar suara nyanyian yang aneh itu. Akan tetapi begitu kata-kata nyanyian
itu dimengertinya, dia mengerutkan
alisnya dan menggeleng-geleng kepala. "Aihh, kalau hidup hanya untuk
mengejar kesenangan, apapun juga tentu
tidak akan dipantangnya untuk dilakukan demi mencapai kesenangan!" kata
Sin Liong. "Huh-ha-ha, benar
sekali, Sin-tong. Untuk mencapai kesenangan harus berani melakukan apapun juga,
termasuk membunuh para tamu-tamu yang
tiada harganya ini!" Terdengar jawaban dan tahu-tahu disitu telah berdiri
Pat-jiu Kai-ong! Sebagai lanjutan
kata-katanya, tongkatnya ditekankan kepada tanah di depan kaki lalu lima kali
ujung tongkat itu bergerak menerbangkan
tanah dan kerikil ke depan. Tampak sinar hitam berkelebat menyambar
lima kali, disusul jerit-jerit
kesakitan dan robohlah berturut-turut lima orang dusun yang berada di depan Sin
Liong, roboh dan berkelojotan kemudian
tewas seketika karena tanah dan kerikil itu masuk ke dalam kepala
mereka! "Hi-hi-hik, kepandaian
seperti itu saja dipamerkan di depan Sin-tong lihat ini!" Tiba-tiba
terdengar
suara ketawa merdu dan tau-tahu di situ
telah berdiri seorang wanita cantik yang bukan lain adalah Kiammo
Cai-li! Dia menudingkan payung hitamnya
yang tertutup itu ke arah para penghuni dusun yang berwajah pucat dan
dengan mata terbelalak memandang lima
orang teman mereka yang telah tewas. "Cuat-cuat-cuat...!" Dari ujung
payung itu meluncur sinar-sinar hitam
dan berturut-turut, enam orang dusun yang masih hidup menjerit dan roboh
tak bergerak lagi, leher mereka
ditembusi jarum-jarum hitam yang meluncur keluar dari ujung payung itu! Sejenak
Sin Liong terbelalak memandang kepada
kedua orang itu yang berdiri di sebelah kanan dan kirinya. Kemudian dia
memandang ke bawah, ke arah tubuh
sebelas orang dusun yang telah menjadi mayat. Mukanya menjadi merah, air
matanya berderai dan dengan suara
nyaring dia berkata sambil menudingkan telunjuknya bergantian kepada Pat-jiu
Kai-ong dan Kiam-mo Cai, "Kalian
ini manusia atau iblis? Kalian berdua amat kejam, perbuatan kalian amat
terkutuk. Membunuh orang-orang tak
berdosa seolah kalian pandai menghidupkan orang. Bocah itu memandang kepada
sebelas mayat dan sesenggukan menangis.
"Hi-hi-hik, Sin-tong yang baik, apakah kau takut kubunuh? Jangan
khawatir, aku datang bukan untuk
membunuhmu," kata Kiam-mo Cai-li, agak kecewa melihat betapa bocah ajaib
itu
menangis dan membayangkannya ketakutan.
Sin Liong mengangkat muka memandang wanita itu, biarpun air matanya
masih berderai turun namun pandang
matanya sama sekali tidak membayangkan ketakutan, "Kau mau bunuh aku atau
tidak, terserah. Aku tidak takut!"
"Ha-ha-ha! Benar hebat! Sin-tong, kalau kau tidak takut kenapa
menangis?"
Pat-jiu Kai-ong menegur. "Apa kau
menangisi kematian orang-orang tak berharga itu?" Kiam-mo Cai-li
menyambung.
"Mereka sudah mati mengapa ditangisi?
Aku menangis menyaksikan kekejaman yang kalian lakukan, kau menangis
karena melihat kesesatan dan kekejaman
kalian." Dua orang tokoh sesat itu terbelalak heran saling pandang
kemudian mereka teringat kembali akan
niat mereka terhadap anak ajaib ini, maka keduanya seperti dikomando saja
lalu tertawa, dan keduanya dengan
kecepatan kilat menyerbu ke depan hendak menubruk Sin-Liong yang berdiri
tegak dan memandang dengan sinar mata
sedikitpun tidak membayangkan rasa takut! "Desss......!" Karena
gerakan
mereka berbarengan, disertai rasa
khawatir kalau-kalau keduluan oleh orang lain, maka melihat Pat-jiu Kai-ong
sudah lebih dekat dengan Sin-tong,
Kiam-mo Cai-li lalu merobah gerakannya, tidak hendak menangkap Sin-tong
karena dia kalah dulu, melainkan
melakukan gerakan mendorong dengan kedua tangannya ke arah Pat-jiu Kai-ong!
Pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh
wanita iblis ini dahsyat sekali, membuat Pat-jiu Kai-ong terkejut ketika
ada angin panas menyambar, maka dia cepat menunda niatnya menangkap
Sin-tong dan bergerak menangkis. Keduanya
merasakan dahsyatnya tenaga lawan dan
terpental ke belakang! Sejenak mereka saling berpandangan dan Pat-jiu
Kai-ong yang lebih dulu dapat menguasai
dirinya lalu tertawa, "Ha-ha-yha, lama tidak jumpa, Kiam-mo Cai-li
menjadi makin gagah saja!"
"Pat-jiu Kai-ong, selama ada aku disini, jangan harap kau akan dapat
merampas
Sin-tong dari tanganku!" Wanita
itu berkata dan memandang tajam, siap menghadapi kakek yang dia tahu merupakan
lawan yang tangguh itu. "Aha,
Kiam-mo Cai-li, sekali ini kau mengalahlah kepadaku. Aku membutuhkannya untuk
menyempurnakan ilmuku..."
"Hi-hik, Ilmu Hiat-ciang Hoat-sut, bukan? Kau sudah cukup tangguh,
Kai-ong, dan
betapa mudahnya bagimu untuk mencari
seratus orang anak lagi untuk kau hisap darah, otak dan sumsumnya. Jangan
Sintong!" "Hemmmm, kau mau
menang sendiri. Apa kaukira aku tidak tahu mengapa kau menghendaki Sin-tong?
Dia
masih terlalu muda, Cai-li, tentu tidak
akan memuaskan hatimu. Apa sukarnya bagimu mencari orangorang muda yang
kuat dan menyenangkan?"
"Cukup! Kita mempunyai keinginan sama, dan jalan satu-satunya adalah untuk
memperebutkannya dengan
kepandaian!" "Ha-ha-ha, bagus sekali. Memang aku ingin mencoba
kepandaian Wanita Pandai
dari Rawa Bangkai!" Liok Si, Si
Wanita Pandai Berpayung Pedang dari Rawa Bangkai sudah tak dapan menahan
kemarahannya melihat ada orang berani
merintanginya, maka sambil berteriak keras dia sudah menerjang maju
dengan senjatanya yang istimewa, yaitu
payung hitam yang tangkainya sebatang pedang runcing itu. "Trakkk!"
Pat-jiu Kai-ong sudah menggerakkan tongkatnya
menangkis. Gempuran dua tenaga raksasa membuat keduanya terpental
lagi ke belakang dan Pat-jiu Kai-ong
cepat meloncat ke depan, tongkatnya berubah menjadi segulungan sinar hitam
yang menyambar ganas. "Trakk!
Trakkk!!" Dua kali senjata payung dan tongkat bertemu di udara dan
keduanya
terhuyung ke belakang. Diam-diam mereka
berdua terkejut sekali dan maklum bahwa dalam hal tenaga sakti,
kekuatan mereka berimbang. Sebelum
mereka melanjutkan pertandingan mereka, tiba-tiba mereka melangkah mundur
dan memandang tajam karena
berturut-turut ditempat itu telah muncul lima orang kakek yang melihat cara
munculnya dapat diduga tentu memiliki
kepandaian tinggi. Mereka muncul seperti setan-setan, tidak dapat
didengar atau dilihat lebih dahulu,
tahu-tahu sudah berdiri di situ sambil memandang ke arah Pat-jiu Kai-ong
dan Kiammo Cai-li dengan bermacam
sikap. Ketika dua orang datuk kaum sesat atau golongan hitam ini melihat
dengan penuh perhatian mereka terkejut
sekali. Biarpun diantara lima orang itu ada yang belum pernah mereka
jumpai, namun melihat ciri-ciri mereka,
kedua orang datuk golongan hitam ini dapat mengenal mereka yang
kesemuanya adalah orang-orang aneh di dunia
kang-ouw yang masing-masing telah memiliki nama besar sebagai
orang-orang sakti. Sementara itu,
ketika melihat dua orang kakek dan nenek tadi bertanding memperebutkan
dirinya, Sin Liong menjadi makin
berduka. Tak disangkanya bahwa di tempat yang penuh damai ini di mana dia
selama hampir tiga tahun tinggal penuh
ketentraman dan kedamaian, yang membuat dia hampir melupakan
kekejaman-kekejaman manusia ketika
terjadi pembunuhan ayah-bundanya, kini dia menyaksikan kekejaman yang lebih
hebat lagi di mana sebelas orang dusun
yang sama sekali tidak berdosa dibunuh begitu saja oleh dua orang itu.
Maka dia lalu duduk di atas batu,
bersila dan tak bergerak seperti arca, hatinya dilanda duka, dan dia
memandang dengan sikap tidak
mengacuhkan. Bahkan ketika muncul lima orang aneh itu, dia pun tidak membuat
reaksi apa-apa kecuali memandang dengan
penuh perhatian namun dengan sikap sama sekali tidak mengacuhkan. Orang
pertama adalah seorang kakek berusia
enam puluh tahun, bertubuh tinggi besar dengan muka merah seperti tokoh
Kwan Kong dalam cerita Sam-kok,
kelihatan gagah sekali, di punggungnya tampak dua batang pedang menyilang,
matanya lebar alisnya tebal dan
suaranya nyaring ketika dia tertawa, "Ha-ha-ha, kiranya bukan hanya orang
gagah
saja yang tertarik kepada Sin-tong,
juga iblis-iblis berdatangan sungguhpun tentu mempunyai niat lain!" Dengan
ucapan yang jelas ditujukan kepada
Kiammo Cai-li dan Pat-jiu Kai-ong ini, dia memandang dua orang itu dengan
terang-terangan. Orang ini bukanlah
orang sembarangan, namanya sendiri adalah Siang-koan Houw, akan tetapi dia
lebih terkenal dengan sebutan Tee-tok
(Racun Bumi) karena selain merupakan seorang ahli racun yang sukar dicari
tandingannya, juga dia amat ganas
menghadapi lawan tidak mengenal ampun dan selain itu, juga dia amat jujur dan
blak-blakan, bicara dan bertindak tanpa
pura-pura lagi. Ilmu silatnya tinggi sekali, dan yang paling terkenal
sehingga menggegerkan dunia persilatan
adalah ilmu pukulannya yang disebut Pek-lui-kun (Ilmu Silat Tangan
Kilat) dan Ilmu Pedangnya Ban-tok
Siang-kiam (Sepasang Pedang Selaksa Racun)! Tidak ada orang yang tahu dimana
tempat tinggalnya karena memang dia
seorang perantau yang muncul dimana saja secara tak terduga-duga seperti
kemunculannya sekarang ini di Hutan
Seribu Bunga. "Huhh, bekas Suteku yang tetap goblok!" kata orang
kedua.
"Masa masih tidak mengerti apa
yang dikehendaki dua iblis ini. Jembel busuk itu tentu ingin menghisap darah
dan
otak Sin-tong untuk menyempurnakan Ilmu
Iblisnya Hiat-Ciang Hoat-sut. Sedangkan iblis betina genit ini apa lagi
yang dicari kecuali sari kejantanan
Sin-tong? Hayo kalian menyangkal, hendak kulihat apakah kalian begitu tak
tahu malu untuk menyangkal!" Orang
yang kata-katanya amat menusuk ini adalah seorang kakek yang beberapa tahun
lebih tua daripada Tee-tok, bahkan
menyebut Tee-tok sebagai bekas sutenya karena memang demikian. Dia bertubuh
tinggi kurus dan mukanya seperti
tengkorak mengerikan, di ketiaknya terselip sebatang tongkat panjang dan
gerak-geriknya ketika bicara seperti
seekor monyet tidak mau diam, bahkan kadang-kadang menggaruk-garuk kepala
atau pantatnya, matanya liar memandang
ke kanan-kiri. Inilah dia tokoh hebat yang berjuluk Thian-tok (Racun
Langit), bekas suheng Tee-tok yang
memiliki kepandaian khas. Selain lihai dalam hal racun sesuai dengan nama
dan julukannya, juga dia adalah seorang
pemuja Kauw Cee Thian atau Cee Thian Thaiseng, Si Raja Monyet itu,
yaitu sebatang tongkat yang dia beri
nama Kim-kauw-pang seperti tongkat Si Raja Monyet. Juga dia telah
menciptakan ilmu silat tangan kosong yang
meniru gerak-gerik seekor monyet yang diberinya nama
Sin-kauw-kun(Ilmu Silat Monyet Sakti).
Seperti juga Tee-tok, dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, dan
tidak ada yang tahu lagi nama aslinya,
yaitu Bhong Sek Bin. "Hemmm, setelah ada aku disini jangan harap segala
macam iblis dapat berbuat sesuka hati
sendiri!" kata orang ke tiga, suaranya kasar dan keras, pandang matanya
seperti ujung pedang menusuk. Orang ini
bernama Ciang Ham julukannya Thian-he Te-it, Sedunia Nomor satu!
Usianya kurang lebih 50 tahun, dan dia
adalah ketua dari Perkumpulan Kang-jiu-pang (Perkumpulan Lengan Baja)
yang didirikannya di Secuan. Di tangan
kirinya tampak sebatang senjata tombak gagang panjang, dan selain
terkenal sebagai seorang ahli bermain
tombak, dia pun terkenal sebagai seorang ahli bermain tombak, dia pun
terkenal memiliki lengan sekuat baja!
Pakaiannya ringkas seperti biasa dipakai oleh seorang ahli silat dan
setiap gerak-geriknya menunjukkan bahwa
dia telah mempunyai kepandaian silat yang sudah mendarah daging di
tubuhnya. Orang ke empat adalah seorang
berpakaian sastrawan, sikapnya halus, usianya 50 tahun tapi masih
tampak tampan, tubuhnya sedang dan dia
sudah menjura ke arah kedua orang datuk golongan hitam itu. Di
pinggangnya terselip sebatang mauwpit
alat tulis pena panjang. "Kami berlima dengan tujuan yang sama datang ke
tempat ini, tidak sangka bertemu dengan
dua orang tokoh terkenal seperti Ji-wi (Anda berdua), Pat-jiu Kai-ong
dan Kiam-mo Cai-li, terutama sekali
kepada Cai-li, terimalah hormatku." Pat-jiu Kai-ong sudah segera dapat
mengenal siapa orang ini, akan tetapi
Kiam-mo Cai-li tidak mengenalnya. Hati wanita ini yang tadinya panas
mendengar kata-kata menentang dari tiga
orang pertama, merasa seperti dielus-elus oleh sikap dan kata-kata
orang berpakaian sastrawan yang tampan
ini. Maka dia pun membalas penghormatannya dan dengan lirikan mata
memikat dan senyum simpul manis sekali
dia bertanya, "Harap maafkan, kana tetapi siapakah saudara yang manis
budi dan yang tentu memiliki ilmu
kepandaian bun dan bu(Sastra dan silat) yang tinggi ini?" Laki-laki itu
tersenyum dan menjawab halus,
"Saya yang rendah dinamakan orang Gin-siauw Siucai (Pelajar Bersuling
Perak),
seorang yang suka bersunyi di
Beng-san." Kiam-mo Cai-li kembali menjura, tersenyum dan berkata,
"Aihhh, sudah
lama sekali saya telah mendengar nama besar
Cin-siauw Siucai, sebagai seorang ahli silat tinggi, terutama
sekali sebagai seorang peniup suling
yang mahir dan sudah lama pula mendengar akan keindahan tamasya alam di
Beng-san. Mudah-mudahan saja saya akan
berumur panjang untuk mengunjungi Beng-san yang indah, menjadi tamu
Gin-siauw Siucai yang ramah dan sopan,
tidak seperti kebanyakan pria yang kasar tak tahu sopan santun!" Ucapan
terkhir ini jelas ditujukannya kepada
tiga orang tokoh pertama yang kasar-kasar tadi. Orang ke lima dari
rombongan itu adalah seorang tosu
berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat,
tangan kiri memegang sebuah hudtim
(Kebutan Pendeta) dan tangan kanan memegang sebuah kipas yang tiada hentinya
digoyang-goyang menipasi lehernya
seolah-olah dia kepanasan, padahal hawa di Hutan Seribu Bunga itu sejuk! Kini
dia membuka mulut dan terdengarlah
suaranya yang merdu menyanyikan sajak dalam kitab To-tek-kheng, kitab utama
dari kaum tosu (Pemeluk Agama To)! Amat
sempurna, namun tampak tak sempurna, tampak tidak lengkap, sungguhpun
kegunaannya tiada kurang Terisi penuh,
namun tampaknya meluap tumpah, tampaknya kosong, sungguhpun tak pernah
kehabisan Yang paling lurus, kelihatan
bengkok, yang paling cerdas, kelihatan bodoh, yang paling fasih,
kelihatan gagu. Api panas dapat
mengatasi dingin, air sejuk dapat mengatasi panas, Sang Budiman, murni dan
tenang dapat memberkati dunia!"
"Huah-ha-ha-ha! Anda tentulah lam-hai Seng-jin (Manusia Sakti Laut
Selatan),
bukan? Sajak-sajak To-tekkheng agaknya
telah menjadi semacam cap Anda, ha-ha-ha!" kata Pat-jiu Kai-ong sambil
tertawa mengejek. Tosu itu berkata ,
"Siancai! Pat-jiu Kai-ong bermata tajam, dapat mengenal seorang tosu
miskin dan bodoh." "Ah,
jangan merendah, Totiang," kata Kiam-mo Cai-li, "Siapa orangnya yang
tidak tahu bahwa
biarpun Anda seorang yang berpakaian
tosu dan kelihatan miskin, namun memiliki sebuah istana dan menjadi
majikan dari Pulau Kura-kura. Ini
namanya menggunakan pakaian butut untuk menutupi pakaian indah di sebelah
dalamnya." "Siancai! Pujian
kosong...!" Tosu itu berkata dan mukanya menjadi merah. Tee-tok Siangkoan
Houw
mngeluarkan suara menggereng tidak
sabar. "Apa apaan semua kepura-puraan yang menjemukan ini? Patjiu Kai-ong
dan Kiam-mo Cai-li, ketika kami berlima
datang tadi, kami melihat kalian sedang memperebutkan Sin-tong dan
tentu sebelas orang dusun ini kalian
berdua yang membunuhnya!" "Tee-tok, urusan itu adalah urusan kami
sendiri.
Perlu apa kau mencampuri?" Pat-jiu
Kai-ong menjawab dengan senyum dan suara halus seperti kebiasaannya namun
jelas bahwa dia merasa tak senang.
"Bukan urusanku, memang! Akan tetapi ketahuilah, kami berlima mempunyai
maksud yang sama, yaitu masing-masing
menghendaki agar Sin-tong menjadi muridnya. Biarpun kami saling
bertentangan dan berebutan, namun kami
memperebutkan Sin-tong untuk menjadi murid kami atau seorang di antara
kami. Sedangkan kalian berdua,
mempunyai niat buruk!" kata pula Tee-tok yang terkenal sebagai orang yang
tidak
pernah menyimpan perasaan dan
mengeluarkannya semua tanpa tedeng aling-aling lagi melalui suaranya yang
nyaring. "Tee-tok, jangan sombong
kau! Mengenai kepentingan masing-masing memperebutkan Sin-tong, adalah urusan
pribadi yang tak perlu diketahui orang
lain. Yang jelas, kita bertujuh masing-masing hendak memiliki Sin-tong,
Untuk kepentingan pribadi masing-masing
tentu saja sekarang bagaimana baiknya? Apakah kalian ini lima orang
yang mengaku sebagai tokoh-tokoh sakti
dan gagah dari dunia kang-ouw hendak mengandalkan banyak orang
mengeroyok kami berdua. Aku, Kiam-mo
Cai-li sama sekali tidak takut biarpun aku seorang kalian keroyok berlima,
akan tetapi betapa curang dan hinanya
perbuatan itu. Terutama sekali Gin-siauw Siucai, tentu tidak begitu
rendah untuk melakukan
pengeroyokan!" kata Kiammo Cai-li yang cerdik. "Perempuan sombong
kau, Kiam-mo Cai-li!"
Tee-tok membentak marah dan melangkah
maju. "Siapa sudi mengeroyokmu? Aku sendiri pun cukup untuk mengenyahkan
seorang iblis betina seperti engkau
dari muka bumi!" "Tee-tok, buktikan omonganmu!" Kiam-mo Cai-li
membentak
dan dia pun melangkah maju.
"Eh-eh, nanti dulu! Apa hanya kalian berdua saja yang menghendaki
Sin-tong? Kami
pun tidak mau ketinggalan!" kata
Pat-jiu Kai-ong mencela. "Benar sekali! Perebutan ini tidak boleh
dimonopoli
oleh dua orang saja! Aku pun tidak
takut menghadapi siapa pun untuk memperoleh Sin-tong!" Thian-te Te-it
Ciang
Ham membentak menggoyang tombak
panjangnya melintang di depan dada. "Siancai, siancai...!" Lam-hai
Seng-jin
melangkah maju, menggoyang kebutannya.
"Harap Cuwi(Anda Sekalian) suka bersabar dan tidak turun tangan secara
kacau saling serang. Semua harus diatur
seadilnya dan sebaiknya. Kita bukanlah sekumpulan bocah yang biasanya
hanya saling baku hantam memperebutkan
sesuatu. Sudah jelas bahwa kita bertujuan sama, yaitu ingin memperoleh
Sin-tong. Akan tetapi kita lupa bahwa
hal ini sepenuhnya terserah kepada pemilihan Sin-tong sendiri. Maka
marilah kita berjanji. Kita bertanya
kepada Sin-tong, kepada siapa ia hendak ikut dan kalau dia sudah
menjatuhkan pilihannya, tidak
seorangpun boleh melarang atau mencampuri, Bagaimana?" "Hemm, tidak
buruk
keputusan itu. Aku setuju!" kata Tee-tok.
"Aku pun setuju!" kata Thian-tok dan yang lain pun tidak mempunyai
alasan untuk tidak menyetujui keputusan
yang memang adil ini, kemudian melanjutkan dengan kata-kata sengaja
dibikin keras agar terdengar oleh
Sin-tong. "Tentu saja harus jujur tidak membohongi Sin-tong akan maksud
hati
sebenarnya. Misalnya yang mau mengambil
murid, yang hendak menghisap darahnya atau hendak memperkosa dan
menghisap sari kejantanannya juga harus
berterus terang!" Tentu saja dua orang tokoh golongan hitam itu
mendongkol sekali dan ingin menyerang
Thian-tok yang licik itu. "Isi hati orang siapa yang tahu? Boleh saja kau
bilang hendak mengambil murid, akan
tetapi siapa tahu kalau kau menghendaki nyawanya?" Kiam-mo Cai-li mengejek
Thian-tok. "Kau...! Majulah,
rasakan Kim-kauw-pang pusakaku ini!" "Boleh! Siapa takut?"
Wanita itu balas
membentak. "Siancai...!"
Lam-hai Seng-jin mencela dan melangkah maju. "Apakah kalian benar-benar
hendak menjadi
kanak-kanak? Katanya tadi sudah setuju,
nah marilah kita mendengar sendiri siapa yang menjadi pilihan
Sin-tong." Tujuh orang itu lalu
menghampiri Sin-tong yang masih duduk bersila seperti sebuah arca, hatinya
penuh kengerian menyaksikan tingkah laku
tujuh orang itu. "Sin-tong yang baik. Lihatlah, kau satu-satunya
wanita di antara kami bertujuh.
Lihatlah aku, seorang wanita yang hidup kesepian dan merana karena tidak
mempunyai anak, kau mendengar bahwa
engkau pun sebatangkara, tidak mempunyai ayah bunda lagi. Marilah anakku,
marilah ikut dengan aku, aku akan
menjadi pengganti ibumu yang mencintaimu dengan seluruh jiwaku. Mari hidup
sebagai seorang Pangeran di istanaku,
di Rawa Bangkai, dan engkau akan menjadi seorang terhormat dan mulia.
Marilah Sin-tong, Anakku!" Sin
Liong mengangkat muka memandang sejenak wajah wanita itu, kemudian dia menunduk
dan tidak menjawab, juga tidak
bergerak, hatinya makin sakit karena dia dengan jelas dapat melihat kepalsuan
di
balik bujuk-rayu manis itu, apalagi
kalau dia mengingat betapa wanita ini dengan tersenyum-senyum dapat begitu
saja membunuh jiwa enam orang dusun
yang tidak berdosa! Dia merasa ngeri dan tidak dapat menjawab. "Sin-tong,
aku adalah ketua dari Pat-jiu Kai-pang
di Pegunungan Hong-san. Sebagai seorang ketua perkumpulan pengemis,
tentu saja aku kasihan sekali melihat
engkau seorang anak yang hidup sebatangkara. Kau ikutlah bersamaku,
Sin-tong, dan kelak engaku akan menjadi
raja Pengemis. Bukankah kau suka sekali menolong orang? Orang yang
paling perlu ditolong olehmu adalah
golongan pengemis yang hidup sengsara, kau ikutlah dengan aku, dan Pat-jiu
Kai-ong akan menjadikan engkau seorang
yang paling gagah di dunia ini!" Kembali Sin-tong memandang wajah itu
dan diam-diam bergidik. Orang yang
dapat membunuh lima orang dusun sambil tertawa-tawa seperti kakek ini
sekarang menawarkan kepadanya untuk
menjadi raja pengemis! Dia tidak menjawab juga, hanya kembali menundukkan
mukanya. "Anak ajaib, anak baik,
Sin-tong, dengarlah aku. Aku adalah Gin-siauw Siucai, seorang sastrawan yang
mengasingkan diri dan menjadi pertapa
di Beng-san. Selama hidupku aku tidak pernah melakukan perbuatan jahat
dan selama puluhan tahun aku tekun
menghimpun ilmu silat, ilmu sastra dan ilmu meniup suling. Aku ingin sekali
mengangkat engkau sebagai muridku,
Sin-tong." "Ha-ha-ha, kau turut aku saja, Sin-tong. Biarpun aku
seorang yang
kasar, namun hatiku lemah menghadapi
anak-anak. Aku sendiri memiliki seorang anak perempuan sebaya denganmu.
Biarlah kau menjadi saudaranya, kau
menjadi muridku dan kau takkan kecewa menjadi murid Tee-tok. Pilihlah aku
menjadi gurumu, Sin-tong."
"Tidak, aku saja! Aku Bhong Sek Bin, namaku tidak pernah kukatakan kepada
siapapun
dan sekarang kukatakan di depanmu,
tanda bahwa aku percaya dan suka sekali kepadamu. Akulah keturunan dari Dewa
Sakti Cee Thian Thai-seng, akulah yang
mewarisi ilmu Kim-kauw-pang. Kau jadilah murid Thian-tok dan kelak kau
akan merajai dunia kang-ouw,
Sin-tong." "Lebih baik menjadi muridku. Aku Thian-he Te-it Ciang Ham,
di kolong
dunia nomor satu dan ketua dari Kang-jiu-pang di Secuan. Menjadi muridku
berarti menjadi calon manusia
terpandai di kolong langit!"
"Siancai...siancai..! Kaudengarlah mereka semua itu, Sin-tong. Semua
hendak
mengajarkan ilmu silat dan memamerkan
kekayaan duniawi, tidak seorangpun yang hendak mengajarkan kebatinan
kepadamu. Akan tetapi pinto (aku) ingin
sekali mengambil murid kepadamu, hendak pinto jadikan engkau seorang
calon Guru Besar Kebatinan. Kau
berbakat untuk itu, siapa tahu, kelak engkau akan memiliki kebijaksanaan besar
seperti Nabi Lo-cu sendiri, dan engkau
menjadi seorang nabi baru. Kau jadilah murid Lam-hai Sengjin, Sin-tong!"
Hening sejenak. Semua mata ditujukan
kepada bocah yang masih duduk bersila seperti arca dan yang tidak pernah
menjawab kecuali mengangkat muka
sebentar memandang orang yang membujuknya. Kemudian terdengar suaranya, halus
menggetar dan penuh duka. "Terima
kasih kepada Cuwi Locianpwe. Akan tetapi saya tidak dapat ikut siapapun juga
di antara Cuwi karena di balik semua
kebaikan Cuwi terdapat kekerasan dan nafsu membunuh sesama manusia. Tidak,
saya tidak akan turut siapapun, saya
lebih senang tinggal disini, di tempat sunyi ini. Harap Cuwi sekalian
tinggalkan saya, saya akan mengubur
mayat-mayat yang patut dikasihani ini." "Wah, kepala batu! Kalau
begitu,
aku akan memaksamu!" kata Tee-tok
yang berwatak berangasan dan kasar. "Eh, nanti dulu! Siapa pun tidak boleh
mengganggunya!" bentak Thian-tok.
"Siancai...sabar dulu semua! Jelas bahwa bocah ajaib ini tidak mau memilih
seorang diantara kita secara sukarela.
Karena itu, tentu kita semua ingin merampasnya secara kekerasan. Maka
harus diatur sebaik dan seadil mungkin.
Kita bukan kanak-kanak, kita adalah orang-orang yang telah menghimpun
banyak ilmu, maka sebaiknya kalau kita
sekarang masing-masing mengeluarkan ilmu dan mengadu ilmu. Siapa yang
keluar sebagai pemenang, tentu saja
berhak meimiliki Sin-tong," kata Lam-hai Seng-jin yang lebih sabar
daripada
yang lain. "Mana bisa diatur
begitu?" bantah Pat-jiu kai-ong yang khawatir kalau-kalau lima orang itu
akan
mengeroyok dia dan Kiam-mo Cai-li.
"Lebih baik seorang lawan seorang, yang kalah masuk kotak dan yang menang
harus menghadapi yang lain setelah
beristirahat. Begitu baru adil!" "Tidak!" bantah Kiam-mo Cai-li,
wanita yang
cerdik ini dapat melihat kesempatan
yang menguntungkannya kalau terjadi pertandingan bersama seperti yang
diusulkan Lam-hai Seng-jin. Dalam
pertempuran seperti itu, siapa cerdik tentu akan keluar sebagai pemenang.
"Kalau diadakan satu lawan satu,
terlalu lama. Sebaiknya kita bertujuh mengeluarkan ilmu dan saling serang
tanpa memandang bulu. Dengan demikian,
satu-satunya orang yang kelaur sebagai pemenang, Jelas dia telah lihai
daripada yang lain." Akhirnya
Pat-jiu kai-ong kalah suara dan ketujuh orang itu telah mengelurkan senjata
masing-masing, membentuk lingaran besar
dan bergerak perlahan-lahan saling lirik , siap untuk menghantam siapa
yang dekat dan menangkis serangan dari
manapun juga! Benar-benar merupakan pertandingan hebat yang kacau balau
dan aneh! Sin Liong yang masih duduk
bersila, memandang dengan mata terbelalak dan dia menjadi silau ketika
tujuh orang itu sudah mulai
menggerakkan senjata masing-masing untuk menyerang dan menangkis. Gerakan
mereka
demikian cepatnya sehingga bagi Sin Liong,
yang kelihatan hanyalah gulungan-gulungan sinar senjata dan bayangan
orang berkelebatan tanpa dapat dilihat
jelas bayangan siapa. Memang hebat pertandingan ini karena dipandang
sepintas lalu, seolah-olah setiap orang
melawan enam orang musuh dan kadang-kadang terjadi hal yang lucu.
</P>
<P>
Ketika Tee-tok menyerang Pat-jiu
Kai-ong dengan siang-kiamnya, sepasang pedangnya ini membabat dari kiri kanan.
Pat-jiu Kai-ong terkejut karena pada
saat itu dia sedang menyerang Lam-hai Seng-jin yang di lain pihak juga
sedang menyerang Gin-siauw Siucai! Akan
tetapi terdengar suara keras ketika sepasang pedang Tee-tok itu bertemu
`
NIce artikel mas..
ReplyDeleteHappy blogging..
nice posting
ReplyDeleteSemoga kedepanya semakin menunjukan eksistensinya dalam berkarya :)
@cadis : Thanks Sobat..
ReplyDelete@Jefry : Thanks Sobat..