Saturday, July 28, 2012

BUKEK SIANSU : Seri Kesembilan

BUKEK SIANSU : Seri Kesembilan -
Liu Bwee, wanita cantik yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun dan masih kelihatan muda sekali itu
        mengasingkan diri dan bertapa di pulau kosong sampai hampir enam bulan lamanya. Dia sudah menemukan ketentraman
        batin, melupakan segala urusan duniawi. Namun ada saja sebabnya kalau memang belum jodohnya menjadi pertapa.
        Pada suatu hari, badai yang amat hebat mengamuk. Badai inilah yang membasahi Pulau Es dan badai ini mengamuk
        juga di pulau kosong di mana Liu Bwee bertapa itu. Hebat bukan main dan biarpun Liu Bwee tadinya sudah
        bersembunyi di dalam goa, dia diterjang air laut yang naik ke atas pulau. Berkat ketangkasan dan kepandaiannya,
        Liu Bwee berhasil menyambar ujung ranting pohon ketika tubuhnya diseret oleh harus ombak laut yang amat kuat
        dan dia berhasil naik ke puncak pohon kecil yang menyelamatkanya. Akan tetapi, air bergelombang dari arah laut
        dan dia harus berpegang kepada batang pohon itu kuat-kuat setiap kali air menghantamnya dengan kekuatan yang
        amat dahsyat. Dan hal ini berlangsung berjam-jam. Betapapun kuatnya Liu Bwee, dia hanya seorang manusia, maka
        makin lama makin lemaslah tubuhnya karena dia harus berjuang melawan air laut yang dahsyat itu. Setiap kali
        ombak datang bergulung, hampir menenggelamkan pohon itu dan selain dia harus berpengang kuat-kuat mengerahkan
        sinkangnya agar jangan sampai terseret oleh air, juga dia harus menahan napas karena iar menghantam seluruh
        tubuh dan mukanya. "Celaka...." pikirnya ketika untuk kesekian puluh kalinya dia berhasil mempertahankan
        dirinya dari serangan air laut. "Kalau terus begini, aku tidak akan kuat lagi bertahan...." Liu Bwee melihat ke
        kanan kiri. Banyak pohon yang sudah tumbang dan dia merasa ngeri. Kalau pohon di mana dia berlindung ini
        tumbang, dia tentu akan tewas. Sayang dia tidak dapat pindah ke pohon yang tinggi di sana itu, tentu dia akan
        aman dan air tidak dapat mencapai pohon itu. Kembali datang serangan air, Liu Bwee memejamkan mata, menahan
        napas dan berpegang eraterat, maklum bahwa yang datang ini adalah ombak yang amat ganas dan kuat. "Haiiii....!
        Yang di sana itu.....! Berpeganglah kuat-kuat....! Aku akan berusaha menolongmu....!!" Teriakan suara laki-laki
        ini datang dari arah pohon tinggi tadi. Liu Bwee membuka matanya, melihgat sinar hitam kecil menyambar dari
        pohon besar itu, akan tetapi pada saat itu, air pun datang menerjang dengan kekuatan yang amat dahsyat.
        "Oughhh....!" Betapapun kuat kedua tangannya Liu Bwee berpegang pada ranting pohon, namun kekuatan air itu
        lebih dahsyat lagi. Terdengar batang itu patah dan tubuh Liu Bwee hanyut terseret ombak. Dia sudah putus asa
        dan menyerahkan jiwa raganya kepada Tuhan. "Matilah aku...." bisiknya. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terasa
        nyeri dan tertahan, kemudian tubuhnya ditarik menuju ke pohon besar! Ketika dia memperhatikan, kiranya tubunya
        telah terlibat sehelai tali hitam yang amat kuat dan teringatlah dia akan sinar hitam yang tadi menyambar
        kepadanya sebelum air menghantamnya. Dia maklum bahwa ada orang menolongnya maka bangkit kembali semangatnya
        untuk melawan maut, mempertahankan hidupnya. Lui Bwee mulai menggerakkan kaki tangannya, berenang agar tidak
        sampai tengelam dan membiarkan dirinya diseret oleh tali itu ke arah pohon besar yang lebih tinggi itu.
        Napasnya terengah-engah hampir putus karena tenaganya sudah habis dipergunakan untuk melawan hantaman-hantaman
        air yang bertubi-tubi tadi. Kalau saja tidak ada tali hitam yang melingkari pinggangnya dan selain menariknya
        ke arah pohon juga menahannya dari seretan ombak, tentu dia tidak sanggup berenang ke pohon itu. Dia berenang
        hanya untuk mencegah tubuhnya tenggelam saja. Tahulah dia bahwa nyawanya diselamatkan oleh tali dan diam-diam
        dia berterima kasih sekali kepada orang yang berada di pohon dan yang belum tampak olehnya itu. Dengan seluruh
        tenaga yang masih bersisah padanya, Liu Bwee berusaha keras agar dia tidak sampai tenggelam.
        "Pertahankanlah.... sebentar lagi...." terdengar suara laki-laki tadi dari pohon dan Liu Bwee merasa betapa
        tubuhnya di tarik makin cepat ke arah pohon karena dari arah laut sudah datang lagi gelombang yang amat
        dahsyat. Ngeri juga dia menyaksikan gelombang sebesar gunung yang datang bergulung-gulung dari depan
        seolah-olah seekor naga raksasa yang datang hendak menelannya. "Cepat.... cepatlah!" Dia merintih dan dalam
        keadaan setengah pingsan dia merasa betapa tubuhnya ditarik atau lebih tepatnya diseret ke arah pohon itu.
        Akhirnya dia tiba di pohon itu dan sebuah lengan yang kuat, menyambarnya, tubuhnya diangkat ke atas pohon tepat
        pada saat gelombang itu datang bergulung-gulung. Liu Bwee mengeluh dan tak sadarkan diri! "Aneh....!"
        Lapat-lapat Liu Bwee mendengar kata-kata "aneh" itu. Akan tetapi seluruh tubuhnya sakit-sakit, kepalanya pening
        dan tenaganya habis maka dia tidak membuka mata dan membiarkan saja ketika measa betapa ada telapak tangan
        hangat menyentuh tengkuknya dan dari telapak tangan itu keluar hawa sinkang yang hangat dan yang membantu
        peredaran jalan darahnya, memulihkan kembali tenaganya secara perlahan-lahan. "Aneh sekali....!" Kini Liu Bwee
        teringat semua dan mengenal suara itu sebagai suara laki-laki yang menolongnya. Cepat dia membuka matanya dan
        menggerakan tubuhnya hendak bangkit duduk. Akan tetapi hampir dia menjerit karena tubuhnya limbung dan kalau
        laki-laki itu tidak cepat menyambar lengannya, tentu dia sudah jatuh terguling dari atas batang pohon yang
        besar itu, jatuh ke bawah yang masih direndam air laut yang masih berguncang. "Ahhhh....!" Dia berkata lalu
        mengangkat muka memandang. Seorang laki-laki, usianya tentu sudah empat puluh tahun lebih duduk di atas dahan
        di depannya. Laki-laki itu berwajah gagah sekali, alisnya tebal matanya lebar dan air mukanya yang penuh
        goresan tanda penderitaan batin itu kelihatan matang dan penuh ketulusan hati, tubuhnya tegap dan pakaiannya
        bersih dan rapi, di punggungnya tampak sebatang pedang. Laki-laki itu memandang kepadanya dengan air muka
        membayangkan keheranan, maka tentu laki-laki ini yang tadi berkali-kali menyerukan kata-kata"aneh" dan tentu
        laki-laki ini pula yang telah menolongnya karena di dalam pohon itu tidak ada orang lain kecuali mereka berdua.
        "Engkaulah yang menyelamatkan nyawaku tadi? Aku harus menghaturkan banyak terima kasih atas budi
        pertolonganmu." Liu Bwee berkata sambil memandang wajah yang gagah dan sederhana itu. Laki-laki itu mengelus
        jenggot yang hitam panjang, menatap wajah Liu Bwee kemudian berkata, "Harap jangan berkata demikian. Dalam
        keadaan dunia seolah-olah kiamat ini, alam mengamuk dahsyat tak terlawan oleh tenaga manusia manapun, sudah
        sepatutnya kalau di antara manusia saling bantu-membantu. Hemmm... sungguh aneh sekali....!" "In-kong (Tuan
        Penolong), mengapa berkali-kali mengatakan aneh?" tanya Liu Bwee. Orang itu tidak tertawa, hanya mengelus
        jenggotnya dan menatap wajah Liu Bwee tanpa sungkan-sungkan, seolah-olah dia sedang memandang benda yang aneh
        dan belum pernah dilihatnya. "Siapa kira di pulau kosong ini, di mana laki-laki pun sukar untuk hidup, terdapat
        seorang wanita yang masih muda dan cantik jelita." Liu Bwee merasa betapa mukanya menjadi panas dan dia tahu
        bahwa tentu kulit mukanya menjadi merah sekali dan diam-diam dia memaki dirinya sendiri. Huh, apa artinya kau
        bertapa sampai berbulan-bulan kalau sekarang mendengar pujian dari mulut seorang laki-laki kau merasa berdebar
        dan girang, demikian dia memaki dalam hatinya. Untuk menutupi perasaannya, dia pura-pura tidak mendengar dan
        cepat bertanya, "Bagaimana Inkong bisa tiba di temapt ini? Setahuku, di pulau ini tidak ada orang lain kecuali
        aku seorang." "Memang aku tidak tinggal di pulau ini, Toa-nio...." Kembali wajah Liu Bwee menjadi mereh
        mendengar sebutan nyonya besar ini, laki-laki itu terlalu merendahkan diri. "Aku adalah seorang perantau di
        antara pulau-pulau kosong di sekitar tempat ini, akan tetapi tidak pernah mendarat di sini karena tidak
        menyangka bahwa di sini ada orangnya. Sekali mendarat di sini, badai mengamuk dan kebetulan sekali aku melihat
        engkau berjuang melawan maut di pohon kecil itu." "Untung bagiku. engkau seolah-olah diutus oleh Thian untuk
        datang menolongku." "Aku girang berhasil menyelamatkanmu, dan aku kagum sekali. Belum tentu ada satu di antara
        seribu orang yang akan dapat bertahan melawan hantaman gelombang air laut sehebat itu berkali-kali, dan kau
        malah masih kuat berenang. Inilah yang mengherankan aku. Seorang wanita muda....." "Aku tidak muda lagi, usiaku
        sudah tiga puluh lima tahun...." "Itu masih muda namanya, setidaknya bagiku. Seorang wanita muda...." dan mata
        laki-laki itu bercahaya penuh tantangan sehingga Liu Bwee tidak membantah lagi, "cantik dan berkepandaian
        tinggi, bukan orang sembarangan, ini sudah jelas sekali, berada seorang diri di pulau kosong. Siapa tidak akan
        merasa heran?" "Aku sedang mencari puteriku yang hilang...." "Ah...!" Laki-laki itu terkejut dan memandang
        penuh perhatian. "Berapakah usianya dan siapa namanya? Aku akan membantumu mencarinya." Dia bicara dengan suara
        mengandung keperihatinan dan perasaan iba yang jelas sekali nampak sehingga Liu Bwee merasa makin tertarik dan
        berterima kasih. Jelas baginya bahwa penolongnya adalah seorang laki-laki yang baik hati, sungguhpun
        kehadirannya di bagian dunia yang amat terasing ini bukanlah hal yang tidak aneh. "Dia sudah dewasa, sekitar
        enam belas tahun, namanya Han Swat Hong...." "Ahhhh??" Kembali laki-laki itu memotong dengan seruan kaget dan
        matanya terbelalak memandang Liu Bwee. "She Han....? Apa hubungannya dengan Han Ti Ong?" "Dia anaknya...." Liu
        Bwee sendiri terkejut karena merasa telah terlanjur bicara maka dia menahan katakatanya. Laki-laki itu terkejut
        dan jelas terbayang di mukanya betapa jawaban ini sama sekali tidak disangkanya. Matanya memandang Liu Bwee
        dengan penuh perhatian dan penuh selidik, dan sampai lama dia baru bertanya. "Kalau puterimu itu adalah anak
        Han Ti Ong berarti bahwa... Paduka adalah Ratu Pulau Es...." Liu Bwee menarik napas panjang. Dia tidak dapat
        bersembunyi lagi, dan pula, orang yang telah menyelamatkan nyawanya ini memang berhak untuk mengetahui
        semuanya. Apalagi karena memang penderitaan batinnya adalah karena terkumpulanya rasa penasaran di dalam
        hatinya yang membutuhkan jalan keluar. Selain ini, sebutan "paduka" amat menyakitkan telinganya. Maka dia
        kembali menarik napas panjang. "Itu sudah lalu.... sekarang aku bukanlah ratu lagi, melainkan seorang
        buangan....." "Apa....? Seorang permaisuri dibuang dari Pulau Es?" Liu Bwee lalu menceritakan riwayatnya,
        menceritakan betapa suaminya, Raja Pulau Es telah mengambil seorang selir bernama The Kwat Lin dan betapa
        akhirnya karena ulah selir itu, dia difitnah dihukum buang Ke Pulau Neraka! "Puteriku Han Swat Hong, menjadi
        marah dan lari minggat dari Pulau Es hendak mewakili aku menerima hukuman buang di Pulau Neraka. Aku
        mengejarnya, akan tetapi tidak berhasil, bahkan aku tersesat ke pulau ini dan karena merasa putus harapan, aku
        lalu bertapa di sini sampai enam bulan lamanya. Hari ini semestinya penderitaanku berakhir, akan tetapi agaknya
        Thian masih hendak memperpanjang hukumanku makan aku dapat kauselamatkan...." Tak tertahankan lagi, Liu Bwee
        menutupi mukanya dan menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja dia terisak-isak. "Krekkk! Krekkk!" ranting kayu
        di depan laki-laki itu telah hancur berkeping-keping karena diremasnya di tangan kanannya. "Kejam! Jahat
        sekali! Orang yang merasa dirinya bersih adalah sekotor-kotornya orang! Seperti Han Ti Ong dan semua raja di
        Pulau Es! Menghukumi orang-orang dan membuang mereka ke Pulau Neraka, hidup di neraka yang amat sengsara. Akan
        tetapi mereka sendiri, Si penghukum itu, melakukan kekejian dan kejahatan bertumpuk-tumpuk dan merasa dirinya
        benar! Betapa menjemukan! Aku akan mempertaruhkan nyawa untuk menentang kejahatan dan kepalsuan macam ini!" Liu
        Bwee mengangkat mukanya memandang. Kedua pipinya masih basah oleh air matanya. "Inkong, engkau siapakah dan
        mengapa seolah-olah menaruh permusuhan dengan Pulau Es?" "Aku bernama Ouw Sian Kok, aku putera tunggal dari
        ketua di Pulau Neraka." "Ohhh....!!" Kini giliran Liu Bwee yang menjadi kaget setengah mati karena tidak
        mengira bahwa penolongnya ternyata adalah musuh besar Pulau Es! "Harap Paduka jangan khawatir...." "In-kong,
        jangan kau menyebutku Paduka. Aku bukanlah seorang permaisuri lagi melainkan seorang buangan seperti engkau
        pula, kau tahu bahwa namaku Liu Bwee, orang biasa anak nelayan, hanya bekas ratu sekarang menjadi orang
        buangan." "Hem, baiklah Liu-toanio. Dan akupun tidak suka disebut Inkong, aku lebih tua dari padamu, sebut saja
        aku Twako. Sebutlah, aku bukanlah musuh langsung dari Pulau Es, karena aku bukan seorang buangan, melainkan
        keturunan seorang buangan. Akan tetapi aku pun hanya bekas putera Ketua Pulau Neraka, karena sudah lima belas
        tahun lamanya aku meninggalkan Pulau Neraka, tidak pernah menjenguknya lagi dan menjadi perantau di antara
        pulau-pulau kosong ini...." Tiba-tiba wajah yang gagah itu kelihatan menyuram. "Eh, kenapakah Ouw-twako? Apa
        yang terjadi denganmu maka engkau menjadi demikian?" Liu Bwee bertanya, tertarik hatinya. Ouw Sian Kok menghela
        napas panjang, agaknya tidak suka menceritakan peristiwa masa lalu yang telah merobah jalan hidupnya sama
        sekali. "Aku memang sudah tidak senang tinggal di Pulau Neraka. Keadaan pulau itu membuat orang yang tinggal di
        situ menjadi buas, liar dan kejam karena terpaksa oleh kekejaman di pulau itu. Akan tetapi sebagai putera
        Ketua, aku menekan ketidak senanganku dan terutama karena aku hidup penuh kasih sayang dengan isteriku. Kami
        mempunyai seorang anak perempuan yang sudah lima belas tahun tidak pernah kulihat. Tuhan menghukum aku.
        Isteriku yang tercinta itu meninggal dan aku.... aku lalu pergi meninggalkan ayah , anakku, dan Pulau Neraka
        sampai sekarang." Sehabis bercerita, Ouw Sian Kok menundukkan mukanya dan berkali-kali menghela napas panjang.
        Liu Bwee memandang dengan mata penuh belas kasihan, bengong dan tidak dapat berkata-kata. Betapa besar
        persamaan penderitaan di antara mereka. Dia pun kehilangan suami, sunguhpun suaminya masih hidup akan tetapi
        apa bedanya dengan mati kalau suaminya sudah tidak mencintainya lagi? Dan dia kehilangan anaknya pula, sama
        benar dengan nasib Ouw Sian Kok yang kehilangan isteri dan anaknya. Hanya bedanya, kalau dia mencari-cari Swat
        Hong, adalah laki-laki ini sengaja meninggalkan puterinya. "Kasihan engkau, Ouw-twako," katanya sambil
        menyentuh tangan laki-laki yang telah menolongnya itu. Ouw Sian Kok menghela napas, kemudian tiba-tiba
        mengangkat mukanya dan tersenyum. "Betapa aneh dan lucunya. Engkau yang bernasib malang ini menaruh kasihan
        kepada aku! Hemm, isteriku dirampas oleh Tuhan, aku tidak mungkin bisa mendendam. Sebaliknya, suamimu dirampas
        wanita lain, itu merupakan hal yang lebih menyakitkan hati lagi. Sudahlah, lebih baik kita melupakan semua itu
        dan yang terpenting kita memperhatikan keadaan kita sendiri, berusaha menghindarkan bahaya. Lihat badai mulai
        berhenti dan air yang merendam pulau sudah surut dan kembali ke laut, cuaca sudah terang tidak segelap tadi!"
        Liu Bwee memandang ke bawah lalu ke kanan kiri benar saja, badai telah berhenti. Seketika lupalah dia akan
        segala kedukaan dan wajahnya berseri. Dia tidak tahu betapa Ouw Sin Kok memandangnya dengan penuh kagum melihat
        wajah yang cantik itu, dengan air mata yang masih menepel di pipi, kini terenyum dan berseri-seri. "Mari kita
        turun!" kata Liu Bwee setelah melihat bahwa dengan amat cepatnya air telah meninggalkan pulau, seperti
        serombongan anak-anak nakal yang pulang ke rumah dipanggil ibunya. Mereka meloncat turun dan menuju ke tepi
        pantai di mana Ouw San Kok menaruh perahunya. Girang hatinya bahwa sebelum meninggalkan perahu ketika badai
        mulai mengamuk, dia telah mengikat perahunya dengan kuat sekali pada batu karang sehingga kini perahunya itu
        masih berada di situ.Akan tetapi perahu Liu Bwee lenyap tak meninggalkan bekas. "Liu-toanio, mari kita
        berangkat." "Eh, ke mana?" Liu Bwee memandang penuh keheranan dan mengerutkan alisnya. "Ke Pulau Es." "Apa....?
        Apa maksudmu?" Liu Bwee hampir menjerit. "Aku tidak sudi! Aku tidak mau kembali hanya untuk menerima penghinaan
        saja." "liu-toanio, seorang wanita seperti Toanio tidak selayaknya hidup sengsara seperti ini. Han Ti Ong telah
        berlaku sewenang-wenang dan tersesat. Biarlah aku yang akan menegur dan mengingatkannya akan kesesatannya itu,
        Toanio. Aku tidak rela melihat Toanio diperlakukan dengan tidak adil, aku tidak rela melihat Toanio hidup
        sengsara. Marilah dan jangan khawatir, aku sebagai seorang laki-laki tentu akan lebih mudah menyadarkan suamimu
        yang sedang tergila-gila kepada wanita lain itu. Akulah yang bertanggung jawab, dan kupertaruhkan nyawaku untuk
        itu." Liu Bwee memandang dengan kaget dan terheran-heran, bengong dan seperti terpesona sehingga dia menurut
        saja ketika diajak naik ke perahu oleh Ouw Sian Kok. Setelah perahu meluncur, barulah dia dapat berkata,
        "Ouw-twako.... mengapa kau melakukan semua ini untukku? Mengapa engkau menolongku, membelaku mati-matian?
        Mengapa engkau begini baik kepadaku?" Sambil mendayung perahunya dengan gerakan tangkas dan kuat sekali
        sehingga perahu itu melucur amat cepatnya di permukaan air laut yang kini amat tenang, setenang-tenangnya
        seolah-olah raksasa yang habis mengamuk hebat itu kini kelelahan dan kehabisan tenaga, Ouw Sian Kok menjawab
        tanpa menoleh kepada Liu Bwee, "Engkau begitu sengsara, dan begitu tenang, mengingatkan aku kepada isteriku
        yang tercinta. Engkau begitu membutuhkan perlindungan, begitu membutuhkan bantuan.Siapa lagi kalau bukan aku
        yang membantumu, Toanio?" Liu Bwee memandang laki-laki itu dari samping, tak terasa lagi kedua matanya basah
        dan beberapa butir air mata turun di sepanjang pipinya. Sejenak dia tidak mampu menjawab. Memang dia sudah
        tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini, hanya Swat Hong yang sekarang tidak diketahuinya berada di mana.
        Tidak ada seorang pun yang menemaninya, apalagi membelanya. Maka kemunculan laki-laki gagah perkasa ini yang
        memperlihatkan sikap membelanya mati-matian itu menimbulkan sikap keharuan hatinya, apalagi mendengar betapa
        laki-laki itu ketika melihat dia teringat akan isterinya tercinta yang telah meninggal dunia, hatinya menjadi
        terharu sekali dan dia tidak tega untuk menolak lagi. Di samping itu, juga ada rasa sungkan dan malu-malu di
        dalam hati wanita ini karena dia seperti mendapat bisikan hatinya bahwa laki-laki penolongnya ini menaruh hati
        kepadanya dan rela membelanya dengan taruhan nyawa! Hal ini bukan membuat dia merasa bangga dan girang seperti
        yang mungkin akan dirasakannya jika dia masih seorang gadis muda, melainkan mendatangkan rasa sungkan dan malu
        sehingga pelayaran itu dilanjutkan dengan diam-diam karena Liu Bwee merasa sukar sekali untuk membuka mulut.
        Beberapa jam berlalu dengan sunyi. Akhirnya Ouw Sian Kok yang merasa tidak tahan berkata, "Toanio, aku mohon
        maaf sebanyaknya kalau semua ucapanku yang sudah-sudah menyinggung perasaanmu." Liu Bwee menggigit bibirnya.
        Laki-laki ini, yang gagah perkasa dan budiman harus diakuinya memiliki sifat jantan dan rendah hati. "Tidak ada
        yang harus dimaafkan," katanya lirih. "Toanio marah kepadaku?" sejenak kemudian Ouw Sian Kok bertanya lagi,
        sekali ini dia tidak dapat menahan keinginan hatinya lagi untuk tidak menengok dan menatap wajah wanita itu.
        Kebetulan sekali pada saat itu Liu Bwee juga memandang kepadanya. Sedetik dua pasang mata itu bertemu bertemu,
        akan tetapi Liu Bwee segera mengalihkan pandang matanya dan menjawab dengan gerakan kepalanya menggeleng.
        Jawaban ini cukup bagi Ouw Sian Kok. Dengan wajah berseri dan suara gembira dia berkata, "Aku girang bahwa kau
        tidak marah kepadaku, Toanio." Perahu didayungnya kuat-kuat dan perahu itu meluncur cepat sekali menuju ke
        tujuan, yaitu Pulau Es yang biarpun tidak pernah didatanginya, namun sudah diketahui di mana letaknya, karena
        sering kali dalam perantauannya dia memandang pulau itu dari jauh. Kegembiraan besar seperti yang belum pernah
        dialaminya selama lima belas tahun ini memenuhi hatinya. Kalau saja tidak ada Liu Bwee di situ, kalau saja dia
        tidak merasa malu, tentu dia akan bernyanyi dengan riang sebagai peluapan rasa gembiaranya. Dua hari dua malam
        meeka melakukan pelayaran, kalau lapar mereka makan ikan panggang di atas perahu dan minum air es yang
        mengambang di atas permukaan laut. Akhirnya tibalah mereka di Pulau Es dan dari jauh saja sudah kelihatan
        perbedaan pulau itu yang amat mengherankan Liu Bwee. "Mengapa begitu sunyi? dan begitu bersih licin? Ouw-twako,
        cepatlah mendarat, kurasa telah terjadi apaapa di sana," katanya dengan jantung berdebar, tidak saja karena
        melihat pulau di mana dia di besarkan sejak kecil itu akan tetapi juga tegang hatinya membayangkan pertemuannya
        dengan suaminya dan dengan selir suaminya. Setelah perahu menempel di pulau, Liu Bwee meloncat ke darat.
        Jantungnya berdebar tegang, akan tetapi kini disertai rasa khawatir. Pulau Es berubah bukan main. Mengapa tidak
        tampak seorang pun? Tak lama kemudian dia berlari diikuti Ouw Sian Kok yang sudah mengikat perahunya. Pria ini
        pun terheran-heran mengapa pulau yang terkenal sekali di Pulau Neraka sebagai kerajaan itu kelihatan begini
        sunyi senyap. Ketika mendekati sebuah tanjakan dan tampak Istana Pulau Es, Liu Bwee mengeluarkan seruan
        tertahan dan mukanya menjadi pucat sekali . "Apa.... apa yang terjadi.....? Dan bangunan-bangunan mereka.....
        mengapa lenyap? Hanya tinggal istana yang kosong dan rusak..... ahhh..." Terhuyung-huyung Liu Bwee berlari
        mendekati istana, tetapi diikuti oleh Ouw Sian Kok yang merasa khawatir sekali. Seperti seorang mabok, Liu Bwee
        berteriak-teriak memanggil orang-orang dan berlari memasuki istana yang sudah kosong itu, diikuti oleh Ouw Sian
        Kok yang juga merasa heran. Akan tetapi laki-laki ini segera dapat menduga apa yang telah terjadi. "Ke mana...?
        Mereka semua ke mana ....?" Liu Bwee berdiri di tengah ruangan istana yang dahulu begitu megah dan kini kosong
        dan sunyi itu. Melihat wajah yang pucat itu, mata yang terbelalak liar, Ouw Sian Kok cepat meloncat dan
        memegang lengan Liu Bwee, ditariknya keluar dari istana. Setelah tiba di luar istana, Ouw Sian Kok berkata
        suaranya tegas dan penuh rasa iba, "Liu-toanio, kuatkanlah hatimu. Ingatlah apa yang telah kita alami di pulau
        kosong itu. Badai itu hebat bukan main, selama hidupku belum pernah mengalami badai sehebat itu. Pulau Es ini
        tidak begitu jauh dan melihat hebatnya badai, tidak salah lagi bahwa pulau ini pun dilanda badai." Bagaikan
        kilat cepatnya gerakan Liu Bwee ketika dia membalikan tubuh memandang pria itu, matanya terbelalak. "Ahhh....!
        Kau benar....! Badai itu! Pulau Es diamuk badai dan disapu bersih oleh badai. Ya Tuhan....!" Liu Bwee mendekap
        mukanya dengan kedua tangan, menjatuhkan diri berlutut di atas es dan menangis sesenggukan. "Aku khawatir
        sekali, Tonio, bahwa tidak hanya benda-benda yang disapu bersih dari permukaan pulau ini, melainkan juga para
        penghuninya. kalau ada penghuninya yang selamat, mustahil mereka meninggalkan pulau. Siapa yang mampu melawan
        kedahsyatan badai seperti itu?" "Kau benar... ah... suamiku.... aihhh, semua saudaraku di Pulau Es, benarkah
        kalian tewas semua? Benarkah ini? Ataukah hanya mimpi...?" Seperti orang kehilangan ingatan Liu Bwee mendekati
        istana, meraba-raba tembok istana dan berbisik-bisik. Melihat ini Sian Kok merasa kasihan sekali akan tetapi
        karena dia maklum akan kehancuran hati bekas permaisuri Raja Pulau Es itu, dia hanya memandang dan menjaga,
        mendiamkannya saja. "Ohhh.... mereka semua tewas? Semua tewas....? Siapa percaya.... suamiku begitu gagah
        perkasa, berilmu tinggi, tak mungkin dia tewas oleh badai...." Liu Bwee berbisik-bisik dan meraba-raba tembok
        seolah-olah dia hendak bertanya dan mencari keterangan kepada dinding batu itu. Tiba-tiba jari tangannya
        menyentuh huruf-huruf terukir di situ. Matanya terbelalak memandang dan bibirnya bergerak membaca tulisan yang
        dikenalnya benar, tulisan suaminya yang dibuat dengan cara mengukir batu itu dengan jari tangannya! "Sin Liong
        dan Swat Hong, maafkan aku. Thian telah menghukum aku dan membasmi Pulau Es. Pergilah kalian mencari wanita
        jahat itu, rampas kembali semua pusaka. Dan Bu Ong bukanlah puteraku, dia keturunan Kai-ong." "Ohhh....!!" Liu
        Bwee memejamkan matanya, kepalanya seperti dipukuli orang dan pandang matanya berkunang. Dia cepat menekankan
        kedua tangannya pada dinding agar jangan roboh, tidak tahu bahwa Sian Kok sudah meloncat ke dekatnya dan siap
        menolongnya. Pria ini membaca ukiran huruf di dinding itu dan menggeleng-geleng kepalanya. Dia kagum sekali.
        Raja Pulau Es benar-benar hebat, dalam saat terakhir melawan badai masih sempat menuliskan huruf secara itu.
        "Jelas bahwa badai telah membasmi semua isi pulau ini, Toanio," katanya hati-hati. Liu Bwee tersadar. Membuka
        mata dan kebetulan sekali tangannya meraba bekas cengkeraman jari tangan suaminya pada dinding batu. Melihat
        itu, tak tertahankan lagi dia sesenggukan. Dia pun dapat membayangkan apa yang terjadi. "Duhai suamiku....
        betapa kau menderita hebat...." bisiknya diantara isak tangisnya. Sian Kok memandang bekas cengkeraman jari
        tangan itu dan dia pun dapat membayangkan Han Ti Ong berusaha menahan dirinya dari seretan air dengan
        mencengkeram batu dinding. namun, kekuatan badai yang amat dahsyat itu akhirnya menang dan tentu Raja itu
        diseret dan ditelan gelombang membadai, lenyap dalam perut lautan. Liu Bwee menjatuhkan dirinya berlutut sambil
        menangis. Kembali tangannya meraba huruf-huruf di bawah. Agaknya huruf-huruf dibuat orang sambil berlutut pula
        dan di dinding bawah ini juga terdapat bekas cengkeraman jari tangan. Setelah mengusap matanya agar pandangan
        matanya tidak tertutup air mata, dia membaca lagi, "Bwee-moi, dosaku padamu terlalu besar, maka Thian menghukum
        aku. Selamat tinggal." Membaca ini, Liu Bwee mengeluarkan suara menjerit lalu tergelimpang dan roboh pingsan.
        Untung Sian Kok cepat menyambarnya sehingga kepalanya tidak sampai terbentur dinding batu. Sian Kok cepat
        mengangkat tubuh wanita itu dan matanya menyapu tulisan di bawah itu. Dia menghela napas dan membawa tubuh yang
        pingsan itu ke dalam istana dan meletakannya ke dalam sebuah kamar. Ketika memeriksanya, dia memperoleh
        kenyataan bahwa nyonya ini menerima pukulan batin yang hebat sehingga keadaannya gawat. Dengan tergesa-gesa,
        Sian Kok meninggalkan Liu Bwee, berlari ke perahunya dan cepat mendayung perahunya menuju ke sebuah pulau dan
        memetik beberapa daun obat yang dikenalnya. Tak lama kemudian dia sudah kembali ke Pulau Es, memasak obat dan
        mencekokan obat itu ke dalam mulut Liu Bwee. Kemudian dia membantu nyonya itu dengan penyaluran sinkangnya
        sehingga semalam suntuk dia duduk bersila di dekat Liu Bwee, mengerahkan tenaga agar tubuh nyonya yang pingsan
        itu tetap hangat. Pada keesokan harinya, Liu Bwee mengeluh dan sadar sehingga menggirangkan hati Sian Kok yang
        lupa akan keadaan dirinya sendiri yang kehabisan tenaga dan mukanya pucat sekali. Setelah sadar dan teringat
        lagi, Liu Bwee menangis sesenggukan, dibiarkan oleh Sian Kok yang menganggap tangis itu sebagai obat mujarab.
        Setelah tangiasnya mereda, Liu Bwee teringat bahwa tahu-tahu dia berada di dalam kamar istana yang kosong itu.
        Maklumlah dia bahwa dia pingsan dan dibawa ke tempat ini oleh Sian Kok. Dia mengangkat muka, menghentikan
        tangisnya dan memandang. Dia melihat betapa pria itu pucat mukanya dan kelihatan lelah sekali, maka sebagai
        seorang ahli, dia dapat menduga sebabnya. "Berapa lamakah aku pingsan di sini, Toako?" "Hemm, semalam suntuk
        kau pingsan, membuat hatiku gelisah," "Dan selama ini engkau menjagaku, mengerahkan sinkang untuk membantuku,
        bukan?" "Hemmm...., tak perlu dibicarakan itu. Yang penting, engkau telah siuman kembali dan harap kau suka
        menjaga kesehatanmu sendiri, jangan terlalu menurutkan perasaan berduka. Toanio, dalam tulisan pesan suamimu
        itu disebut Sin Liong, siapakah dia?" "Sin Liong adalah murid suamiku, seorang pemuda yang amat baik," Liu Bwee
        berkata sambil menghapus sisa air matanya. "Kalau begitu, legakan hatimu, Toanio. Biarpun sangat boleh jadi
        suamimu, seperti semua penghuni Pulau Es, disapu habis oleh badai, namun kurasa puterimu selamat dan baru-baru
        ini datang pula ke pulau kosong ini." Liu Bwee memandang dengan mata terbelalak. "Bagaimana engkau bisa tahu?"
        "Aku melihat bekas tapak kaki mereka, tapak kaki seorang wanita dan seorang pria, masih jelas membekas di
        bagian es yang membeku di atas sana, dan aku juga menemukan ini." Ouw Sian Kok mengeluarkan sehelai saputangan
        hijau dan memeberikannya kepada Liu Bwee. Liu Bwee menyambar saputangan itu dan kembali matanya yang sudah
        mengering mencucurkan air mata. Dia mendekap saputangan itu dan berkata, "Benar, ini adalah saputangan pengikat
        rambut anaku! Di mana tapak-tapak kaki itu, Toako? Ingin aku melihatnya!" Mereka lalu meninggalkan istana
        menuju ke bagian atas dan benar saja, tampak jelas bekas tapak kaki dua orang, kecil dan besar, tanda bahwa
        baru saja, mungkin paling lama kemarin, ada dua orang datang ke pulau itu. Seorang laki-laki dan seorang
        wanita. Siapa lagi kalau bukan Swat Hong dan Sin Liong? "Tidak salah lagi, tentu anaku dan Sin Liong. Akan
        tetapi di mana mereka sekarang? Aku harus bertemu dengan puteriku, Ouw-twako." Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya
        yang tebal. "Mereka itu adalah orang-orang muda yang lihai dan tentu mereka telah melihat pula tulisan berukir
        di dinding pesan suamimu. Dan tentu mereka berusaha untuk mencari sampai dapat wanita bernama The Kwat Lin
        itu." "Kalau begitu, aku akan menyusul mereka, Toako. Tentu mereka melakukan pengejaran ke daratan besar." Ouw
        Sian Kok mengangguk-angguk. "Kukira dugaanmu tidak keliru. Akan tetapi, Toanio, pernahkah Toanio ke daratan
        besar di barat sana?" Liu Bwee menggeleng kepala tanpa menjawab, alisnya berkerut karena dia pun merasa bingung
        dan khawatir, ke mana harus mencari puterinya, padahal menurut penuturan yang didengarnya di Pulau Es, daratan
        besar amatlah luasnya, seluas lautan yang tiada tepi. Melihat wajah wanita itu, Ouw Sian Kok merasa makin
        kasihan dan dengan suara penuh semangat dia berkata, "Toanio, jangan khawatir. Di dalam perantauanku, pernah
        aku mendarat di daratan besar dan biarlah aku menemanimu mencari puterimu Han Swat Hong itu, sekalian menjadi
        penunjuk jalan." Berseri wajah Liu Bwee dan dia memandang kepada laki-laki itu penuh harapan dan terima kasih,
        akan tetapi mulutnya berkata, "Ahhh, aku selalu menyusahkan Twako saja...." "Jangan berkata demikian, Toanio.
        Aku hidup sebatang kara, akan tetapi aku adalah seorang pria. Sedangkan engkau seorang wanita yang masih muda,
        mana bisa harus hidup bersunyi diri apalagi hendak mencari puterimu di daratan besar? Aku sudah merasa cukup
        berbahagia kalau Toanio sudi kutemani." "Tentu saja aku girang sekali dan banyak terima kasih atas budimu yang
        berlimpah-limpah itu, Toako. Semoga kelak Thian saja yang dapat membalasmu karena apakah dayaku untuk membalas
        kebaikanmu?" Dia menjadi terharu sekali. Dahulu Liu Bwee adalah seorang wanita periang dan jenaka, namun
        penderitaan batin membuat dia menjadi perasa dan halus budi serta lemah. Ouw Sian Kok tidak menjawab, hanya
        menjawab dalam hatinya, "Pandang matamu itu sudah merupakan pembalasan yang berlipat ganda bagiku."
        Berangkatlah kedua orang ini meninggalkan Pulau Es. Pelayaran yang amat sulit dan sukar, namun biarpun dia
        bekas permaisuri Raja Pulau Es, Liu Bwee di waktu kecil sudah kenyang bermain-main dengan perahu maka dia
        tidaklah amat menderita bahkan dapat membantu sehingga perjalanan dengan perahu mengarungi lautan luas itu
        berjalan lancar. "Ha-ha-ha, kalian ini kaki tangan An Lu Shan si Pemberontak Laknat, apakah tidak mendengar
        siapa adanya Cap-pwe Eng-hiong (Delapan Belas Pendekar) dari Bu-tong-pai? kami adalah patriot-patriot sejati,
        dan kalian menghendaki supaya kami menyerah? sampai titik darah terakhir akan kami lawan kalian para
        pemberontak laknat!" Ucapan ini keluar dari mulut seorang laki-laki berusia tiga puluh lebih yang bertubuh
        tinggi besar dan bersikap gagah perkasa, mewakili tujuh belas orang adik-adik seperguruannya yang kesemuanya
        bersikap gagah perkasa. Sedikit pun delapan belas orang itu tidak memperlihatkan rasa takut biarpun mereka itu
        dikurung oleh sedikitnya lima puluh orang prajurit yang berpakaian seragam dan bersenjata lengkap, bahkan
        mereka mengejek dan menantang komandan pasukan yang tadinya membujuk agar mereka menyerah dan membantu
        pergerakan An Lu Shan. Mereka terdiri dari delapan belas orang, kesemuanya laki-laki yang bersikap gagah
        perkasa, berpakaian sederhana dan rambut mereka digelung ke atas. Dengan pedang di tangan, mereka siap
        menghadapi pengeroyokan lima puluh lebih pasukan pemberontak An Lu Shan itu. Cap-pwe Eng-hiong atau Delapan
        Belas Pendekar dari Bu-tong-san ini adalah murid-murid dari Kui Tek Tojin, Ketua Bu-tong-pai. Mereka termasuk
        para anggauta Bu-tong-pai yang meninggalkan Bu-tong-pai ketika The Kwat Lin merebut kekuasaan. Biarpun mereka
        merupakan orang-orang gagah yang berkepandaian tinggi, namun pada waktu itu The Kwat Lin merebut kekuasaan di
        Bu-tong-pai, mereka pun tidak dapat berbuat sesuatu. The Kwat Lin adalah termasuk kakak seperguruan mereka,
        akan tetapi wanita itu memiliki tingkat ilmu kepandaian yang bahkan melebihi guru mereka sendiri, di samping
        kenyataan bahwa wanita itu telah merampas tongkat pusaka Bu-tong-pai sehingga guru mereka dan para tokoh lain
        di Bu-tong-pai tidak dapat berkutik lagi. Setelah The Kwat Lin melarikan diri karena gagalnya Swi Liang di
        istana, para tokoh Bu-tong-pai dipimpin oleh Kui Tek Tojin kembali ke Bu-tong-san dan kedatangan pasukan
        pemerintah yang menyerbu Bu-tong-pai mereka sambut dengan penjelasan yang menyadarkan pihak pemerintah. Namun,
        sebagai akibatnya, Bu-tong-pai sekarang mau tidak mau harus memperlihatkan "kebersihannya" dengan jalan
        membantu pemerintah menentang para pemberontak. Hanya dengan cara inilah Bu-tong-pai dapat membuktikan kesetian
        mereka kepada pemerintah dan karena itu pula, delapan belas orang murid Kui Tek Tojin itu mulai turun tangan
        menentang pasukan-pasukan An Lu Shan setiap kali terdapat kesempatan. An Lu Shan menjadi marah mendengar betapa
        Bu-tong-pai yang dahulu merupakan perkumpulan yang bebas, tidak membantu mana-mana dalam perang pemberontakan,
        kini mulai membantu pemerintah, maka dia lalu mengirim pasukan untuk membasmi Delapan Belas Pendekar Bu-tong
        itu. Demikianlah, pada hari itu, selagi delapan belas orang itu menyelidiki kedudukan An Lu Shan di utara,
        mereka dikepung oleh pasukan itu dan disuruh menyerah, akan tetapi tentu saja delapan belas orang pendekar
        Bu-tong-pai itu tidak sudi menyerah, bahkan siap untuk melawan mati-matian. Ucapan Song Kiat, Twa-suheng (Kakak
        Seperguruan Pertama) dari delapan belas orang pendekar itu, mendatangkan kemarahan di hati komandan pasukan
        yang segera mengeluarkan aba-aba dan menyerbulah hampir enam puluh orang pasukan itu mengeroyok Cap-pwe
        Eng-hiong. Terjadilah perang kecil yang amat hebat dan segera delapan belas orang pedekar itu terkejut sekali
        memperoleh kenyataan bahwa pasukan yang mengeroyok mereka itu bukanlah pasukan biasa, melainkan pasukan pilihan
        yang dipimpin oleh komandan yang memiliki kepandaian tinggi dan para prajuritnya ratarata memiliki ilmu silat
        yang lumayan. Mereka melawan dengan mati-matian, bantu-membantu dan memutar pedang mereka dengan pengerahan
        seluruh tenaga dan kepandaian mereka. Tidak percuma delapan belas orang ini dijuluki Cap-pwe Eng-hiong karena
        gerakan mereka memang cepat dan tangkas serta kuat sekali, sehingga biarpun dikeroyok oleh lawan yang jauh
        lebih banyak jumlahnya, yaitu setiap orang dikeroyok oleh tiga empat orang lawan, mereka mempertahankan diri
        dengan baik, bahkan lewat tiga puluh jurus, mulailah ada lawan yang berjatuhan dan terluka parah oleh pedang
        Cap-pwe Eng-hiong yang mengamuk itu. Dengan gagah perkasa ke delapan belas orang itu mengamuk dan mendesak
        pasukan An Lu Shan. Berturut-turut robohlah pihak lawan sehingga tempat itu mulai ternoda darah merah dan tubuh
        para perajurit yang terluka malang melintang menghalangi kaki mereka yang masih bertempur. Diantara lima puluh
        lebih orang perajurit itu, sudah ada dua puluh lebih yang roboh, bahkan komandannya juga sudah terluka oleh
        sambaran pedang di tangan Song Kiat. Kemenangan yang sudah tampak di depan mata ini menambah semangat Cap-pwe
        Eng-hiong, mereka bergerak makin ganas dan cepat dengan niat membasmi semua musuh dan tidak membiarkan seorang
        pun meloloskan diri. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar sorak sorai dan muncullah kurang lebih seratus orang anak
        buah pasukan An Lu Shan yang baru tiba dan serta mereta mereka itu menerima aba-aba untuk menyerbu dan membantu
        kawan-kawan mereka. Kedatangan pasukan baru yang lebih besar lagi jumlahnya ini mengejutkan hati Cap-pwe
        Eng-hiong yang tidak menyangka-nyangkanya, namun bukan berarti bahwa mereka menjadi gentar, bahkan menambah
        kegembiraan mereka mengamuk sungguhpun sekali ini mereka segera terkurung dan terdesak hebat karena jumlah
        musuh jauh lebih besar. Pertempuran yang berat sebelah itu terjadi di daerah pegunungan yang amat sunyi, jauh
        dari perkampungan, jauh dari dunia ramai. Akan tetapi pada saat pasukan kedua datang menyerbu, di tempat itu
        muncul pula dua orang yang menonton pertempuran itu dengan alis berkerut dan pandang mata ngeri. Mereka itu
        adalah seorang laki-laki dan seorang wanita yang bukan lain adalah Ouw Sian Kok dan Liu Bwee! Mereka berdua
        meninggalkan Pulau Es, telah mendarat di daratan besar dan telah melakukan perjalanan berhari-hari sehingga
        pada hari itu mereka tiba di pegunungan utara ini. Sebagai orang-orang yang sejak kecil tidak pernah
        menyaksikan perang, kini penglihatan di depan itu sungguh amat tidak menyenangkan, juga amat mengherankan hati
        mereka. "Betapa buasnya mereka....!" Liu Bwee berkata lirih. "Hemm, memang sudah banyak kudengar bahwa manusia
        di dunia ramai, di daratan besar ini, lebih buas daripada binatang-binatang hutan. Manusia-manusia saling bunuh
        antara sesamanya, dan sekarang kita melihat perang yang begini ganas kejam...." "...dan licik sekali!" Liu Bwee
        menyambung. "Jumlah yang amat banyak mengeroyok jumlah sedikit, benar-benar tidak mengenal arti kegagahan sama
        sekali." "Jika tidak keliru dugaanku, yang berjumlah banyak itu tentulah anggauta pasukan, lihat pakaian mereka
        yang seragam, sedangkan delapan belas orang itu benar-benar harus dipuji kegagahan mereka, biarpun dikeroyok
        banyak dan didesak hebat, melawan terus dan sedikit pun tidak kelihatan gentar." "Pikiranmu cocok dengan
        pikiranku, Toako. Memang mereka itu mengagumkan dan karena itu, mari kita bantu mereka." "Cocok, Toanio. Yang
        lemah harus kita bantu. Mari....!" Ouw Sian Kok dan Liu Bwee lalu meloncat ke depan dan terdengarlah suara
        melengking tinggi keluar dari mulut kedua orang ini. Begitu mereka menyerbu, dalam segebrakan saja Liu Bwee
        merobohkan empat orang dengan kaki tangannya sedangkan Ouw Sian Kok merobohkan enam orang yang
        dilemparlemparkan seperti orang membuang rumput-rumput kering saja! Pasukan menjadi geger dan delapan belas
        orang pendekar itu melirik dan menjadi kagum dan girang sekali karena sekilas pandang saja maklumlah mereka
        bahwa laki-laki dan wanita asing yang tiba-tiba membantu mereka itu adalah orang-orang yang luar biasa
        lihainya! Seorang komandan pasukan menerjang Ouw Sian Kok dengan tombaknya, sebatang tombak bergagang panjang
        dan dihias ronce merah, sebuah tombak pusaka yang baik sekali. Tombak itu meluncur dan berdesing, menusuk perut
        Ouw Sian Kok. Laki-laki ini kagum melihat mata tombak yang mengeluarkan cahaya, cepat ia miringkan tubuh sambil
        mengayun kaki dan tangannya merobohkan dua orang pengeroyok lain, kemudian secepat kilat menangkap tombak itu
        dengan kedua tangan, lalu menggerakan sinkang membetot dan membalikan tombak sehingga gagang tombak terlepas
        dari pegangan pemiliknya dan gagang tombak itu terus menghantam tengkuknya membuat komandan itu terjungkal! Liu
        Bwee yang juga dikeroyok banyak sekali orang sudah berhasil merampas sebatang pedang yang dianggapnya cukup
        baik dan dengan pedang ini dia mengamuk, setiap senjata lawan yang bertemu dengan pedangnya tentu patah atau
        terlempar dari pegangan pemiliknya, dan tangan kiri serta kedua kakinya merobohkan setiap lawan yang berani
        menyerangnya. Amukan kedua orang dari Pulau Es dan Pulau Neraka ini amat hebat, dalam belasan gebrakan saja
        tidak kurang dari tiga puluh orang anggauta pasukan telah roboh. Hal ini tentu saja menimbulkan kegemparan,
        membesarkan hati delapan belas orang pendekar, akan tetapi membuat jerih sisa anggauta pasukan. Akhirnya, sisa
        pasukan merasa tidak kuat dan melarikan diri meninggalkan teman-teman yang terluka! Delapan belas orang
        pendekar itu berdiri berjajar, beberapa orang di antara mereka menderita luka-luka ringan dan kelihatanlah
        betapa gagahnya mereka, sedikit pun tidak kelihatan menderita ketika mereka berdiri berjajar di depan kedua
        orang itu. Song Kiat mewakili saudara-saudaranya, menjura kepada Ouw Sian Kok dan Liu Bwee, diturut oleh tujuh
        belas orang saudara seperguruannya dan dia berkata, "Kami delapan belas orang seperguruan dari Bu-tong-pai
        menghaturkan banyak terima kasih kepada Ji-wi Taihiap dan Lihiap yang telah menyelamatkan kami dari
        pengeroyokan anjing-anjing pemberontak itu. Bolehkan kami mengetahui nama Ji-wi yang mulia?" Liu Bwee hanya
        memandang dan menyerahkan jawabannya kepada Ouw Sian Kok yang sudah mengelus jenggotnya dan tertawa. "Cuwi amat
        gagah perkasa, dan bantuan kami berdua tadi tidak ada artinya, Melihat Cuwi dikeroyok, kami berdua menjadi
        gatal tangan dan maafkan kalau kami mencampuri. Hal ini tidak perlu dibicarakan lagi dan tidak perlu kami
        memperkenalkan nama hanya ingin kami ketahui, siapakah pasukan itu dan mengapa Cuwi bentrok dengan mereka ?"
      </P>
      <P>
        Delapan belas orang itu saling pandang, kemudian memandang Ouw Sian Kok dengan pata terbelalak heran. Bagaimana
        mereka tidak akan merasa heran mendengar kata-kata Ouw Sian Kok yang menunjukkan bahwa dua orang perkasa ini
        sama sekali tidak mengenal keadaan sehingga tidak tahu bahwa pasukan itu adalah pasukan pemberontak An Lu Shan?
        Melihat kehebatan ilmu silat mereka, Song Kiat dan para sutenya menduga bahwa tentu kedua orang ini adalah
        pertapa-pertapa sakti yang baru saja turun gunung sehingga sama sekali tidak mengerti akan keadaan dunia.
        Timbul keinginan mereka untuk mengajak dua orang sakti ini membantu perjuangan mereka, selain mengangkat
        kembali nama Bu-tong-pai yang telah dirusak oleh The Kwat Lin, juga berbakti kepada negara menentang
        pemberontakan. "Agaknya Ji-wi tidak tahu akan keadaan di kota raja," Song Kiat berkata. "Kami adalah
        murid-murid Butong- pai yang membantu pemerintah untuk menghadapi para pembeontak. Pasukan tadi adalah pasukan
        pemberontak yang dipimpin oleh Jenderal An Lu Shan. Kami bertugas menyelidiki kedudukan An Lu Shan yang
        kabarnya kini berpusat di Telaga Utara, akan tetapi baru tiba di sini kami telah dikeroyok oleh pasukaan itu.
        Melihat kesaktian Ji-wi, demi keselamatan negara dan bangsa, kami mohon sudilah kiranya Ji-wi membantu usaha
        penyelidikan kami itu." Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Kami berdua tidak ingin
        terlibat ke dalam permusuhan dan kami sama sekali tidak mengerti dan tidak mengenal siapa itu An Lu Shan dan
        pemberontakannya. Kalau tadi kami turun tangan membantu adalah karena kami tidak senang melihat jumlah kecil
        dikeroyok oleh jumlah banyak. Selain itu, kami pun mempunyai sedikit keperluan untuk bertanya kepada Cuwi."
        Kecewa rasa hati Song Kiat mendengar bahawa dua orang sakti itu tidak mau mencamuri urusan pemerintah, akan
        tetapi karena mereka berdua sudah menyelamatkan mereka semua dari bahaya maut, dia menyembunyikan kekecewaannya
        itu dan menjawab dengan ramah, "Silahkan Taihiap kalau hendak bertanya sesuatu tentu kami akan berusaha memberi
        keterangan sejelasnya dan sedapatnya." "Kami hanya ingin menanyakan kalau-kalau Cuwi pernah bertemu dengan
        seorang pemuda dan seorang pemudi yang bernama Han Swat Hong. Kami berdua sedang mencari mereka itu dan kami
        akan merasa berterima kasih sekali andaikata di antara Cuwi ada yang pernah melihat mereka itu." Delapan belas
        orang pendekar itu saling pandang dan masing-masing mengangkat pundaknya. Tak seorang pun di antara mereka
        pernah mendengar dua nama yang ditanyakan itu. "Maaf, Taihiap. Agaknya di antara kami tidak ada yang pernah
        mendengar nama itu, akan tetapi namanama itu telah kami catat dalam hati dan kami akan mencarinya. Hanya kalau
        sudah kami dapat, ke manakah kami harus melapor kepada Ji-wi?" Liu Bwee menarik napas panjang. "Sudahlah, kalau
        tidak mengenal sudah saja. Akan tetapi kalian adalah orang-orang Bu-tong-pai, apakah kalian mengenal seorang
        tokoh Bu-tong-pai yang bernama The Kwat Lin?" Seketika wajah delapan belas orang itu berubah mendengar ini.
        Mereka terkejut bukan main karena tidak menyangka-nyangka bahwa wanita perkasa itu akan menyebut nama iblis
        betina yang menjadi musuh besar Bu-tong-pai itu! Timbul kekhawatiran di hati mereka. Dua orang ini memiliki
        kesaktian yang luar biasa, sama dengan The Kwat Lin dan wanita ini mengenal The Kwat Lin, tentulah segolongan
        dengan The Kwat Lin! Akan tetapi, Song Kiat memiliki pendapat lain. Dua orang ini terang sekali berbeda dengan
        The Kwat Lin dan mereka berdua telah membuktikan kegagahan mereka dengan membantu yang lemah tertindas, biarpun
        belum mengenal. Maka dengan berani, berbeda dengan sute-sutenya yang berpendapat untuk tidak mengaku kenal The
        Kwat Lin, Song Kiat melangkah maju, menjura kepada Liu Bwee sambil bertanya, "Sebelum saya menjawab, bolehkah
        saya bertanya apakah Lihiap sahabat dari wanita bernama The Kwat Lin itu?" Liu Bwee membelalakan matanya dan
        sinar matanya berapi-api. "Sahabat? Apa kau gila? Kalau bertemu, aku akan membunuh iblis betina itu!" Mendengar
        ini, serta merta Song Kiat menjatuhkan diri berlutut diturut oleh tujuh belas orang sutenya sehingga Liu Bwee
        dan Ouw Sian Kok menjadi terkejut dan terheran-heran. "Apa... apa artinya ini?" Liu Bwee membentak. "Maafkan,
        kami berlutut saking girang dan terharunya hati kami mendengar ucapan Lihiap tadi. Kami sudah merasa khawatir
        sekali kalau-kalau Jiwi mempunyai hubungan baik dengan The Kwat Lin. Kiranya iblis betina itu adalah musuh Jiwi
        dan kami merasa mendapatkan bantuan untuk menghadapinya, karena iblis betina itu adalah musuh besar
        Bu-tong-pai." "Ahhh...! Bukankah dia dahulu anak murid Bu-tong-pai? Bagaimana kalian bisa mengatakan bahwa dia
        musuh besar Bu-tong-pai?" Liu Bwee yang dahulu sudah mendengar riwayat The Kwat Lin bertanya sambil memandang
        penuh selidik. "Benar, ucapan Lihiap. The Kwat Lin sebenarnya masih terhitung Suci (Kakak Perempuan
        Seperguruan) kami sendiri karena dia adalah seorang di antaraCap-sha Sin-hiap (Tiga Belas Pendekar),
        murid-murid dari Supek kami almarhum Kui Bhok Sanjin. Akan tetapi setelah selama belasan tahun dia menghilang,
        beberapa bulan yang lalu pada suatu hari dia muncul bersama seorang puteranya dan dia menggunakan kepandaiannya
        yang luar biasa menundukan Suhu kami, Ketua Bu-tong-pai yang sah, bahkan telah merampas tongkat pusaka lambang
        kekuasaan Ketua Bu-tong-pai. Iblis betina itu merampas Bu-tong-pai dan mengangkat diri sendiri menjadi Ketua
        Bu-tong-pai....." "Ahhh....! Benar-benar iblis dia!" Liu Bwee memaki. "Dia becita-cita untuk merampas kerajaan,
        lalu mengirim murinya menyelundup ke istana akan tetapi ketahuan dan muridnya itu dihukum mati. Karena
        kegagalan ini, the Kwat Lin menjadi buruan pemerintah dan dia kini telah melarikan diri dari Bu-tong-pai yang
        kini telah dikuasai pula oleh Suhu kami. Karena perbuatan The Kwat Lin itulah, hampir saja Bu-tong-pai dibasmi
        oleh pemerintah dan untuk membuktikan kesetiaan kami terhadap pemerintah, kini Bu-tong-pai membantu pemerintah
        menghadapi pemberontak An Lu Shan." Ouw Sian Kok mengangguk-angguk. "Hemmm, kiranya itulah yang menyebabkan
        kalian bentrok dengan pasukan An Lu Shan hari ini." "Di manakah adanya The Kwat Lin sekarang?" Liu Bwee
        bertanya. Ingin dia bertemu dengan The Kwat Lin, membalas kejahatan madunya itu dan merampas kembali pusaka
        Pulau Es seperti dipesan oleh suaminya dengan huruf ukiran di dinding istana Pulau Es itu. Apalagi dengan
        bantuan Ouw Sian Kok, dia yakin akan dapat membalas dendam kepada madunya yang jahat itu. "Kami rasa dia
        bersembunyi di Rawa Bangkai dan kalau saja kami sudah selesai dengan tugas kami di Telaga Utara, tentu dengan
        senang hati kami menemani Jiwi menyerbu ke sana." "Rawa Bangkai? Di mankah itu? Tempat apakah itu" Liu Bwee
        mendesak penuh semangat karena dia merasa girang bisa memperoleh keterangan di mana adanya musuh besarnya itu.
        "Rawa Bangkai adalah sebuah temapat yang amat berbahaya dan tidak ada orang berani mengunjunginya karena banyak
        sudah binatang dan manusia tewas secara mengerikan ketika berada di dekat tempat itu. Konon kabarnya dahulu
        banyak terdapat bangkai binatang dan mayat manusia di rawa itu sehingga diberi nama Rawa Bangkai. Majikan
        tempat itu adalah seorang di antara datuk-datuk kaum sesat yang berjuluk Kiam-mo Cai-li, seorang wanita yang
        amat lihai dan merupakan iblis betina yang ditakuti. Kiam-mo Cai-li telah menjadi sekutu The Kwat Lin dan
        agaknya sebagai orang buruan dia melarikan diri bersama puteranya ke tempat itu. Akan tetapi, amatlah berbahaya
        bagi orang-orang asing seperti Jiwi untuk mendatangi tempat berbahaya itu. Kalau Jiwi sudi bersabar sampai kami
        menyelesaikan tugas kami di Telaga Utara, tentu dengan senang hati kami akan membantu Jiwi, karena The Kwat Lin
        juga merupakan musuh besar kami." Liu Bwe dan Ouw Sian Kok saling pandang dan ternyata di antara kedua orang
        ini sudah terdapat saling pengeritan yan mendalam sehingga bentrokan pandang mata mereka saja sudah cukup
        menjadi pengganti kata-kata perundingan. Liu Bwee mengangguk dan terdengan Ouw Sian Kok berkata, "Baiklah kami
        berdua akan membantu Cuwi menyelidiki Telaga Utara, karena biarpun kami tidak mempunyai urusan dengan
        pemberontakan An Lu Shan, setelah tadi kami membantu Cuwi, berarti kami juga dimusuhi tentu saja oleh mereka.
        Setelah kami membantu Cuwi ke Telaga Utara, harap kelak Cuwi suka membantu menjadi petunjuk jalan kami ke Rawa
        Bangkai." Berseri wajah delapan belas orang itu dan mereka segera menyatakan setuju. Tentu saja hati mereka
        girang bukan main. Tempat yang dijadikan markas rahasia oleh An Lu Shan merupakan tempat yang amat sulit
        dikunjungi, merupakan tempat yang berbahaya sekali dan kabarnya amat sukar memasuki daerah Telaga Utara itu.
        Kini, dengan bantuan kedua orang sakti ini, hati mereka menjadi besar karena bantuan mereka berdua akan
        mempermudah penyelesaian tugas mereka. Berangkatlah delapan belas orang itu mengiringkan Liu Bwee dan Ouw Sian
        Kok menuju ke Telaga Utara yang terletak di dekat tembok besar di utara dan tempat ini merupakan tempat rahasia
        dari An Lu Shan di mana An Lu Shan mengumpulkan orang-orang gagah untuk membantunya. Di sepanjang jalan, Liu
        Bwee dan Ouw Sian Kok mendengar banyak penuturan delapan belas pendekar Bu-tong-pai itu tentang orangorang
        kang-ouw dan tentang pemberontakan An Lu Shan yang mengancam keamanan hidup rakyat jelata. Melihat semangat
        kepahlawanan delapan belas orang ini, tergeraklah hati Liu Bwee mengingat bahwa dia adalah permaisuri Han Ti
        Ong dan suaminya juga berdarah keluarga Kaisar di daratan besar, maka dia pun mulai bersemangat untuk membantu
        mereka menghadapi An Lu Shan. Telaga Utara merupakan telaga yang kecil saja, bergaris tengah paling banyak dua
        li dan tengahnya terdapat sebuah pulau yang dihubungkan dengan pinggir telaga dengan jembatan buatan. Di atas
        pulau inilah berdiri sebuah gedung yang menjadi tempat pertemuan bagi An Lu Shan dan para pembantunya, jika dia
        hendak mengadakan perundingan dengan para tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi untuk membagi-bagi tugas kerja.
        Biarpun telaga itu tidak berapa besar, namun letaknya di antara puncak-puncak gunung sehingga amat sukar
        dikunjungi orang, apalagi puncak di mana telaga itu berada, merupakan puncak yang dikelilingi jurang-jurang
        amat curam sehingga bagi orang luar yang tidak mengenal jalan, merupakan suatu ketidak mungkinan untuk datang
        ke telaga itu. Berbeda dengan pertempuran-pertempuran resmi, jika mengunjungi telaga ini, An Lu Shan berpakaian
        seperti rakyat biasa dan tidaklah dikawal oleh pasukan pengawal melainkan oleh belasan orang pengawal yang
        berpakaian preman pula sehingga kelihatannya seperti sedang berpesiar. Akan tetapi, setiap pengawal-pengawal
        pilihan yang berilmu tinggi, danpara orang kang-ouw yang mengadakan pertemuan di Telah Utara itu adalah
        rata-rata orang lihai, baik dari golongan sesat maupun dari golongan bersih yang membantu An Lu Shan dengan
        pamrih masing-masing. Sebagian besar yang datang dari golongan besih adalah orang-orang kang-ouw yang menaruh
        dendam kepada kerajaan, dan ada pula yang menganggap bahwa pemberontakan An Lu Shan adalah benar karena
        menentang raja lalim yang hanya tahu bersenangsenang dengan selir Yang Kui Hui saja tanpa menghiraukan
        kesengsaraan rakyat sehingga mereka menganggap pemberontakan itu sebagian perjuangan para patriot yang membela
        bangsa, kebenaran dan keadilan. Tentu saja yang datang dari golongan sesat lain lagi pamrih atau dasar tindakan
        mereka yang membantu An Lu Shan. Ada yang ingin memperoleh keuntungan harta benda, ada yang menginginkan
        kedudukan dan kemuliaan. An Lu Shan biarpun kelihatannya kasar, namun selain merupakan seorang jenderal yang
        ahli dalam ilmu perang, juga merupakan seorang yang amat cerdik. Tentu saja dia pun tahu akan dasar dan pamrih
        yang terkandung dihati para orang pandai yang membantunya, namun dia pura-pura tidak tahu karena pada waktu itu
        dia amat membutuhkan tenaga mereka. Tentu saja dia pun sudah bersiap-siap untuk menghadapi semua pamrih mereka
        itu dan siapa pun yang merasa dapat mengelabuhi An Lu Shan akan kecelik sekali! Biarpun dia merasa aman kalau
        berada di Telaga Utara, akan tetapi kesukaran mencapai puncak ini bukan merupakan hal yang membuat An Lu Shan
        menjadi lengah. Diam-diam, secara sembunyi, dia menaruh mata-mata dan penjaga yang melakukan penjagaan di
        sekitar pegunungan itu secara sembunyi untuk mengikuti setiap gerak-gerik orang yang menuju ke Telaga Utara,
        juga membayangi gerak-gerik para tokoh kang-ouw yang katanya menjadi pembantu An Lu Shan. Apalagi kalau dia
        sendiri sedang berada di gedung di telaga itu, penjagaan secara sembunyi dilakukan dengan ketat sekali.
        Demikianlah, ketika delapan belas orang pendekar Bu-tong bersama Liu Bwee dan Ouw Sian Kok pada pagi hari itu
        tiba dipegunungan ini, gerak-gerik mereka telah diamat-amati para penjaga rahasia itu dari jauh dan bahkan
        sudah ada penjaga yang cepat lari ke telaga untuk memberi laporan. An Lu Shan yang mendengar bahwa ada dua
        puluh orang yang gerak-geriknya lincah dan merupakan orang-orang asing menuju ke telaga, memberi perintah
        kepada komandan pengawal agar membayangi saja dua puluh orang itu. "Hendak kulihat bagaimana mereka akan dapat
        mengunjungi telaga tanpa mengetahui jalan rahasia kita," katanya. "Dan biarpun mereka kalau bisa memasuki
        telaga, setelah mereka masuk, potong jalannya agar mereka tidak dapat keluar pula." Demikian perintahnya. Dia
        sama sekali tidak merasa gentar karena barisan terpendam yang melindungi berjumlah tidak kurang dari seratus
        orang, sedangkan lima belas orang pengawal pilihan selalu mendapinginya, belum lagi dua puluh lebih orang
        kang-ouw yang menjadi sekutunya dan yang tentu akan siap membantunya jika ada bahaya mengancam. Apa artinya dua
        puluh orang itu? Akan tetapi dia tidak mau memerintahkan membasmi mereka karena dia harus tahu lebih dulu siapa
        mereka dan apa kehendak mereka mengunjungi Telaga Utara. "Bagaimana mungkin menuju ke dataran di depan itu
        kalau dikelilingi jurang selebar dan securam ini?" Liu Bwee bertanya dengan penuh keraguan ketika mereka semua
        berdiri didepan jurang yang ternganga lebar di depan mereka. Jurang itu lebarnya kurang lebih dua puluh lima
        meter dan curam sehingga melompati jurang ini mendatangkan ancaman bahaya maut yang mengerikan. Tanpa bersayap,
        mana mungkin orang melompatinya begitu saja? Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya. "Apakah semua keliling gunung
        ini di halangi jurang seperti ini?" Song Kiat orang tertua dari Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong, mengangguk. "Kami
        sudah menyelidiki tempat ini dengan seksama dan memang telaga di gunung itu dikelilingi olrh jurang-jurang.
        Bagian yang paling sempit hanya bagian ini, maka kita harus menyeberang melalui tempat ini." "Hemm, bagaimana
        caranya kalian hendak menyeberang?" tanya Ouw Sian Kok penuh keraguan. Dia sendiri yang memiliki kepandaian
        jauh melampaui mereka, merasa ragu-ragu untuk mempertaruhkan nyawa meloncati jurang selebar ini. "Rintangan ini
        telah kami pelajari dan perhitungkan masak-masak sebelum kami berangkat ke sini, Taihiap. Harap jangan khawatir
        karena kami telah memperoleh akal untuk menyeberang. Kalau kita turun ke jurang kemudia merayap naik, amat
        sukar dan lebih berbahaya, maka jalan satu-satunya adalah membuat jembatan manusia dari sini ke seberang
        jurang." "Jembatan manusia? Apa maksudmu dan bagaimana caranya?" tanya Liu Bwee. "Harap Lihiap jangan khawatir
        karena kami sudah melatih diri dan berhasil baik. Kalau jembatan sudah terbentuk, harap Taihiap dan Lihiap suka
        menyeberang lebih dulu dan melindungi kami di seberang sana." "Baik, lekas kerjakan sebelum tampak ada penjaga
        di seberang!" kata Ouw Sian Kok. Dengan hati kagum Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menyaksikan betapa delapan belas
        orang pendekar itu beraksi. Seorang di antara mereka, yang betubuh tinggi besar dan jelas membayangkan tenaga
        yang hebat, berdiri di tepi jurang, memasang kuda-kuda dan mengarahkan Tenaga Sakti Ban-kin-liat sehingga kedua
        kakinya seolah-olah berakar di dalam tanah yang diinjaknya. Di dalam latihannya, apalagi orang berkaki kuat ini
        sudah memasang kuda-kuda seperti itu, enam ekor kuda pun tidak akan mampu menarik kedua kakinya terlepas dari
        tanah! Dia berdiri memasang kuda-kudanya di belakang sebongkah batu yang menonjol sedikit dari dalam tanah,
        batu yang merupakan batu raksasa tertanam di tepi jurang itu. Kemudian, seorang saudaranya melompat dan berdiri
        di atas pundaknya. Disusul pula oleh loncatan orang ke tiga dan ke empat sehingga mereka berdiri tersusun,
        masing-masing berdiri di pundak saudaranya dengan tegak dan sedikit pun tidak bergoyang seolah-olah merupakan
        sebatang pohon yang kokoh! Setelah itu, orang ke lima merayap naik melalui tubuh empat orang saudaranya, terus
        berdiri di atas pundak orang yang berada paling atas, disusul oleh orang ke enam yang berdiri di atas pundak
        orang ke lima dan demikian seterusnya sampai ada tujuh belas orang berdiri susun menyusun amat tingginya, namun
        sedikit pun tidak bergoyang dan orang yang berada paling bawah kelihatan tidak bergeming, seolah-olah beban
        enam belas orang banyaknya itu tidak terasa amat berat baginya! Kemudian atas aba-aba Song Kiat yang berada
        paling atas, kaki maing-masing yang tadinya menginjak pundak orang dibawahnya itu merosot ke belakang pundak
        dan kedua betisnya ditangkap oleh kedua tangan orang bawah, dan pada saat itu, susunan orang itu mendoyong ke
        depan dan terus mendoyong dengan cepatnya seperti akan runtuh ke dalam jurang. Orang ke delapan belas yang
        tidak ikut naik tadi, kini membantu orang paling bawah, memasang kuda-kuda dan memegangi kedua kaki orang
        terbawah yang sudah mengait pada tonjolan batu tadi. Melihat ini, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok merasa cemas
        sekali. Mereka mulai mengerti bagaimana cara mereka itu membentuk sebuah jembatan manusia, akan tetapi cara itu
        sungguh amat berbahaya, selain membutuhkan ginkang dan sinkang yang kuat, ketangkasan yang terlatih, juga
        membutuhkan nyali yang amat besar karena sekali saja meleset atau sedikit saja salah perhitungan, bisa
        mengakibatkan tewasnya delapan belas orang itu terjerumus kedalam jurang! Kini susunan orang itu telah
        melintang dan orang teratas telah berhasil mencapai seberang dan menyambar akar pohon yang amat kuat, yang
        berdiri di seberang. Maka jadilah "jembatan" istimewa itu! Sunguh merupakan demonstrasi ketangkasan yang luar
        biasa dan berbahaya bukan main! Sejenak Liu Bwee dan Ouw Sian Kok tercengang, penuh keheranan dan kagum. Baru
        mereka sadar ketika terdengar suara orang yang memegangi kaki orang terbawah tadi, "Taihiap dan Lihiap,
        silahkan menyeberang lebih dulu agar dapat melindungi kami di seberang sana!" Kata-kata ini menyadarkan kedua
        orang itu dan ketika Liu Bwee memandang kepada Ouw Sian Kok, putera Ketua Pulau Neraka ini mengangguk. Dengan
        tombak rampasan di tangannya, Ouw Sian Kok tanpa ragu-ragu lagi lalu melangkah dan "Menyeberang" melalui
        jembatan manusia yang sambung menyambung dan menelungkup itu sambil mengerahkan ginkangnya. Dia melangkah
        dengan cekatan dan ringan sekali sehingga tak lama kemudian Ouw Sian Kok telah tiba di seberang sana, lalu
        melambaikan tangannya kepada Liu Bwee yang memandang dengan kagum. Setelah melihat betapa Ouw Sian Kok
        menyeberang Liu Bwee lalu mencontoh perbuatan temannya itu. Dengan pedang rampasan di tangan kanan, dengan
        hatihati sambil mengerahkan ginkangnya, Liu Bwee mulai menyeberangi "jembatan" istimewa itu dan melangkah
        sambil mengatur keseimbangan tubuhnya. Betapapun lihainya, Liu Bwee tidak berani menengok ke bawah karena dia
        merasa ngeri juga! Akhirnya dia berhasil mencapai tepi seberang dan meloncat ke bawah pohon dekat Ouw Sian Kok
        sambil berkata, "Mereka benar-benar merupakan pendekar- pendekar yang mengagumkan." Ouw Sian Kok mengangguk dan
        merasa girang bahwa dan Liu Bwee telah mengambil keputusan untuk membantu delapan belas orang gagah ini.
        Setelah dua orang itu menyeberang dengan selamat, orang ke delapan belas yang berada paling belakang, lalu
        mengeluarkan suara teriakan sebagai isyarat kepada saudara-saudaranya, kemudian orang terakhir juga memegangi
        kedua betis orang ke tujuh belas dan melompat ke bawah jurang! Liu Bwee hampir menjerit karena ngerinya
        menyaksikan betapa jembatan manusia itu seolah-olah putus di ujung sana dan kalau tadi ketika membentuk
        jembatan mereka saling berdiri di pundak orang di bawahnya, kini mereka saling bergantungan pada kaki orang
        yang berada di atasnya. Yang mengerikan adalah ketika susunan orang yang delapan belas banyaknya ini meluncur
        ke bawah dari ujung sana dan agaknya akan terbanting hancur pada dinding karang di seberang sini. Namun, dengan
        cekatan dan terlatih, maasing-masing kini hanya merangkul kedua kaki teman di atas dengan sebuah lengan saja
        sedangkan tangan yang bebas dipergunakan untuk mendorong ke depan, ke arah dinding karang ketika tubuh mereka
        terhayun dekat dinding. Akhirnya, selamatlah rangkaian orang ini tergantung di sepanjang dinding karang dan
        kini yang paling berat baginya adalah Song Kiat karena dia merupakan orang pertama paling atas yang mengunakan
        kekuatan kedua tangannya, bergantung pada akar pohon dan menahan berat tujuh belas orang sutenya itu yang
        bergantung pada kakinya! Pantas saja twasuheng ini menjadi orang pertama karena memang tugasnya paling berat,
        dan ji-suheng (kakak seperguruan ke dua belas) dari delapan orang pendekar itulah yang menjadi orang terakhir,
        yaitu Si Tinggi Besar tadi. Ouw Sian Kok mengangguk kagum ketika bersama Liu Bwee dia melihat betapa orang yang
        bergantung paling bawah kini mulai merayap naik ke atas, disusul oleh orang ke dua, ketiga dan seterusnya
        sehingga tak lama kemudian, kedelapan belas orang itu telah dapat meloncat ke tepi dengan selamat! "Bagus! Cuwi
        memang pantas menjadi Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong!" Ouw Sian Kok memuji. "Taihiap terlalu memuji. kami telah
        melihat daerah ini dan penyeberangan secara membuat jembatan tadi telah kami latih selama berbulan-bulan baru
        hari ini kami berani mencoba menyeberangi tempat ini. Sekarang selanjutnya kami hanya mengharapkan bantuan
        Jiwi, karena An Lu Shan memiliki banyak sekali kaki tangan yang amat lihai. Menurut penyelidikan kami, pada
        saat ini, Telaga Utara kosong sehingga kita boleh menyelidiki dengan aman karena kalau jenderal pemberontak itu
        tidak berada di sini, penjagaan tidaklah demikian kuat." Ouw Sian Kok menoleh ke kanan kiri, lalu menghela
        napas dan berkata, "Kuharap saja Cuwi (Saudara Sekalian) tidak sampai membuat salah perhitungan. Menurut
        penglihatanku, tempat rahasia seorang berpangkat tinggi tentulah selalu dijaga ketat dan tempat ini kelihatan
        begitu sunyi senyap, seperti sebuah pulau kosong saja. Hal ini bahkan menimbulkan kecurigaan...." "Apapun yang
        akan terjadi, setelah kita berada di sini, akan kita hadapi bersama. Ouw-toako, tidak perlu kita khawatir." Liu
        Bwee menghibur. Mereka lalu begerak maju memasuki daerah itu dan tak lama kemudian tibalah mereka di tepi
        telaga dan sudah tampak bangunan besar yang berada di tengah telaga. Selama itu, tidak nampak seorang pun
        penjaga sehingga Ouw Sian Kok merasa makin khawatir dan curiga. "Hemm, hanya ada dua kemungkinan. Mereka telah
        pindah dan meninggalkan tempat ini, atau kita masuk perangkap!" Baru saja Ouw Sian Kok mengeluarkan kata-kata
        ini, terdengar suara tertawa disusul suara gerakan banyak orang dan muncullah puluhan orang dari jembatan
        telaga maupun dari belakang pohon dan semak-semak. "Celaka, kita terjebak...!" Song Kiat berseru. "Taihiap
        Lihiap, kita kembali saja!" Tergesa-gesa delapan belas orang pendekar itu memutar tubuh dan lari kembali ke
        jurang di mana mereka menyeberang tadi, diikuti oleh Ouw Sian Kok dan Liu Bwee. Akan tetapi, begitu tiba di
        tepi jurang, Song Kiat menjadi pucat dan memandang ke depan dengan mata terbelalak, demikian pula para sutenya.
        Ternyata di tempat penyeberangan itu, di sebelah sana tampak berbaris pasukan yang siap dengan busur dan anak
        panah mereka. Dengan adanya pasukan panah itu tidak mungkin lagi bagi mereka untuk melarikan diri dengan
        membentuk jembatan manusia seperti tadi. Tentu mereka akan dihujani anak panah dan akan tewas semua. Melihat
        betapa delapan belas orang pendekar itu kebingungan, Ouw Sian Kok berkata dengan suara agak kecewa, "Mengapa
        Cuwi menjadi bingung setelah berhadapan dengan musuh?" "Taihiap tidak tahu, memang benar dugaan Taihiap tadi
        bahwa kita terperosok ke dalam perangkap. Penyelidikan kita yang sudah-sudah pun agaknya sudah diketahui oleh
        orang-orang An Lu Shan. Ternyata secara diam-diam An Lu Shan berada di sini, lengkap dengan semua pembantunya
        dan hal ini amatlah berbahaya." "Berbahaya atau tidak, kita sudah menghadapinya dan perlu apa bingung?
        Kebingungan hanya akan membuat kita tidak tenang dan lemah. Hadapilah apa saja yang kita temui, berbahaya
        maupun tidak. Apa gunanya hidup sebagai pendekar kalau matinya seperti pengecut?" Mendengar ucapan Ouw Sian Kok
        ini, bangkitlah semangat kepahlawanan delapan belas orang murid Bu-tong-pai itu. "Ucapan Taihiap tepat sekali!
        Maafkan kalau tadi kami bingung karena hal ini sama sekali tidak kami duga-duga dan apalagi kami telah mengajak
        Jiwi ke sini, berarti kami menyeret Jiwi ke dalam bahaya pula." "Hidup memang merupakan keadaan yang penuh
        bahaya, tergantung kita menghadapinya." Liu Bwee berkata. Memang bagi wanita yang sudah mengalami banyak
        kesengsaraan, apalagi sejak kecil tinggal di Pulau Es, bahaya bukanlah apa-apa dan merupakan hal yang wajar.
        "Kalau begitu, mari kita ke telaga dan kita hadapi An Lu Shan sendiri. Setelah menghadapi dia, tugas kami
        berubah, tidak lagi melakukan penyelidikan melainkan kalau perlu menewaskan jenderal pemberontak itu!" Song
        Kiat berkata penuh semangat sambil mencabut pedangnya. Gerakan ini diikuti oleh tujuh belas orang sutenya dan
        dengan berlari cepat mereka kembali ke telaga di mana telah menanti An Lu Shan dan semua pembantunya. Akan
        tetapi mereka tercengang ketika tiba ditempat itu, mereka melihat An Lu Shan sendiri diiringkan oleh puluhan
        orang yang bermacam-macam bentuk dan keadaannya, menanti dengan sikap tenang, sama sekali tidak memperlihatkan
        sikap permusuhan, akan tetapi mereka juga melihat betapa tempat itu telah dikurung oleh banyak sekali
        orang-orang yang bersenjata lengkap! Delapan belas orang itu tidak tahu harus berkata apa, akan tetapi mereka
        sudah siap untuk melawan dengan nekat dan mati-matian apabila diserang oleh pasukan yang demikian banyaknya.
        Ternyata memang An Lu Shan telah mengatur perangkap ini. Ketika mendengar pelaporan dari anak buahnya yang
        berhasil menyelamatkan diri betapa delapan belas orang pendekar dari Bu-tong-pai yang tadinya sudah hampir
        dapat dibasmi itu diselamatkan oleh dua orang laki-laki dan wanita yang memiliki kesaktian luar biasa, An Lu
        Shan merasa tertarik sekali dan cepat dia mengatur persiapan untuk menyambut mereka. "Mereka tentu akan
        mengunjungi tempat ini," katanya. "Biarkan mereka menyeberang dan jangan menurunkan tangan besi sebelum
        mendapatkan perintahku. Aku ingin untuk bicara dulu dengan mereka, siapa tahu kita dapat membujuk mereka untuk
        bekerja sama, terutama dua orang sakti itu." Demikianlah, karena memandang rendah kecerdikan An Lu Shan,
        delapan belas orang murid Butong- pai itu masuk ke dalam perangkap yang memang telah dipasang oleh jenderal
        itu. Kalau dia menghendaki, tadi ketika delapan belas orang itu membuat jembatan manusia, tentu dengan mudah
        dia akan membasmi mereka. "Hemm, Cuwi tentulah Bu-tong Cap-pwe Enghiong yang gagah perkasa," terdengar An Lu
        Shan berkata dengan suaranya yang nyaring penuh wibawa, kasar dan tidak memakai banyak sopan santun pula. "Ada
        keperluan apakah Cuwi mengunjungi tempat kami ini?" Karena tidak mungkin lagi berpura-pura atau membohong, maka
        sesuai dengan wataknya sebagai pendekar, Song Kiat menjawab dengan suara lantang, "Kami datang untuk membunuh
        Jenderal pemberontak An Lu Shan!" Tentu saja jawaban ini membuat marah para pembantu jenderal itu, yang sudah
        kelihatan gatal tangan untuk membasmi musuh, akan tetapi An Lu Shan menggerakkan tangan ke atas mencegah dan
        dia berkata lagi, ditujukan kepada delapan belas orang pendekar itu, akan tetapi diam-diam matanya yang tajam
        menyapu dengan penuh selidik kepada laki-laki setengah tua yang memegang tombak dan wanita cantik yang memegang
        pedang di dekat delapan belas pendekar itu. "Sungguh kami merasa heran sekali mengapa para orang gagah di
        Bu-tong-pai masih juga belum sadar? Pemerintah yang dikuasai Kaisar lalim selain menyia-nyiakan sebuah
        perkumpulan besar seperti Bu-tongpai, juga telah menghinanya menganggap Bu-tong-pai sebagai perkumpulan orang
        jahat. Sekarang, Cuwi malah membela Kaisar, bukankah itu namanya penjilatan? Apakah orang-orang gagah demikian
        rendah dirinya, menjilat-jilat kalau dihina oleh pihak yang lebih tinggi?" "Kami bukan membela Kaisar atau
        pemerintah, kami membela rakyat dan negara dari gangguan pemberontak!" Song Kiat berteriak lantang. An Lu Shan
        tertawa. "Ha-ha-ha, bagus sekali! Demikianlah semestinya watak seorang pendekar yang berjiwa pahlawan. Kalau
        begitu antara Cuwi dan kami terdapat kecocokan. Kami bukanlah pemberontak, melainkan pejuang yang
        memperjuangkan nasib rakyat kecil yang tertindas oleh kelaliman Kaisar yang hanya tahu bersenang-senang
        belaka.Marilah kita bersama-sama mengenyahkan pemerintahan lalim ini untuk membangun sebuah pemerintahan yang
        akan dapat mendatangkan kemakmuran kepada rakyat jelata. Dengan demikian, barulah tidak percuma kita hidup
        sebagai manusia, terutama sebagai manusia yang berjiwa gagah." Ucapan yang keluar dari mulut An Lu Shan
        terdengar penuh semangat kepahlawanan dan memang jenderal ini merupakan seorang ahli bicara yang amat pandai
        sehingga sejenak delapan belas orang itu saling pandang dengan bingung. Tiba-tiba Liu Bwee yang biarpun hanya
        seorang wanita namun pernah menjadi Permaisuri Raja Pulau Es, yang merasa masih sedarah dengan Kaisar daratan
        besar, dan sudah banyak pula membaca kitab sejarah sehingga mengerti sedikit akan politik, berkata yang
        ditujukan kepada delapan belas orang gagah itu, " Orang gagah harus memiliki pendirian. Sifat suka berbalik
        pikiran dan mudah terbawa angin adalah sifat ular kepala dua dan merupakan sifat yang paling rendah dan
        berbahaya." Mendengar ucapan ini, sadarlah pendekar dari Bu-tong-pai itu dan Song Kiat berteriak, "Jenderal An
        Lu Shan! Tidak ada gunanya engkau mencoba untuk membujuk kami! Kami tidak membutuhkan pangkat, tidak
        membutuhkan harta, tidak membutuhkan nama besar sebagai pemberontak! kami harus mempertahankan pendirian kami,
        harus membela dan mematuhi perintah Ketua dan guru kami dengan darah dan nyawa!" Kedua pihak sudah "panas",
        akan tetapi An Lu Shan masih bersabar, mengangkat tangannya, menahan anak buahnya, lalu berkata, "Terserah
        pemilihan Cuwi dari BU-tong-pai. Akan tetapi karena Jiwi yang datang bersama Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong
        merupakan manusia-manusia sakti yang cerdik pandai, ingin kami mengenal mereka dan mengapa pula Jiwi mencampuri
        urusan Bu-tong-pai yang memusuhi kami." "Kami berdua hanyalah orang-orang yang kebetulan lewat dan melihat
        kegagahan Bu-tong Cap-pwe Enghiong, kami berdua sudah mengambil keputusan untuk membantu mereka. Tentu saja ini
        adalah tanggung jawab kami dan tidak ada sangkut pautnya dengan kalian," kata Ouw Siang Kok. "Harap Jiwi suka
        mempertimbangkan, dan kami menjamin bahwa Jiwi kelak akan menerima penghargaan dari kekuasaan yang memerintah
        negara, dari rakyat dan dari dunia kang-ouw yang banyak membantu kami. Jiwi tidak perlu membantu kami
        menghadapi orang-orang Bu-tong-pai, asal Jiwi suka lepas tangan, kami sudah amat berterima kasih dengan Jiwi."
        An Lu Shan yang bermata tajam dan dapat menduga bahwa dua orang itu amat lihai, berusaha membujuk Ouw Sian Kok
        dan Liu Bwee. "Jenderal An Lu Shan," tiba-tiba Liu Bwee berkata, suaranya penuh wibawa dan sikapnya agung
        seperti seorang ratu bicara kepada seorang bawahannya. "Engkau tentu maklum bagi seorang yang gagah perkasa dan
        budiman, janji adalah lebih berharga dari pada nyawa, dan bagi seorang gagah, nyawa bukan merupakan benda yang
        terlalu disayangkan, sedikitnya tidaklah melebihi kehormatan dan nama. Kematian bukan apa-apa dan kami yang
        sudah berjanji kepada Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong, tentu tidak mungkin dapat mundur lagi. Nah, kami semua telah
        siap, apapun yang akan kaulakukan, kami akan hadapi dengan pertaruhan nyawa." An Lu Shan tercengang dan sampai
        lama tak mampu menjawab, memandang kepada Liu Bwee dengan penuh penyesalan. Mana hatinya tidak akan menyesal
        melihat seorang wanita sehebat itu berdiri di pihak musuh? Terpaksa dia menggerakkan tangannya dan bergeraklah
        para pengawalnya menerjang maju! Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang sudah bersatu hati itu seperti mengerti isi
        hati masing-masing, maka hampir berbareng mereka berdua menggerakan kaki meloncat ke arah An Lu Shan. Mereka
        maklum bahwa menghadapi lawan yang jauh lebih besar jumlahnya, mereka harus berlaku cerdik dan sedapat mungkin
        mereka harus lebih dulu merobohkan pimpinan lawan. Kalau pemimpin seperti An Lu Shan itu dapat ditangkap, tentu
        yang lain akan tunduk, atau kalau sampai dapat dibunuh, hal ini tentu akan melumpuhkan semangat lawan. Melihat
        gerakan mereka berdua. An Lu Shan terkejut. Memang dia sudah mendengar pelaporan anak buahnya bahwa dua orang
        ini lihai sekali, akan tetapi tidak disangkanya bahwa mereka akan dapat bergerak secepat itu, seperti dua sinar
        halilintar saja menyambar ke arahnya. Dia berteriak dan cepat menjatuhkan diri ke belakang sehingga dua orang
        penyerang itu langsung dihadapi oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang berdiri di kanan kiri dan belakangnya.
        "Trang-cringggg-cringggg....!!" Para tokoh kang-ouw itu terkejut bukan main. Sekaligus ada empat orang yang
        melindungi An Lu Shan dan menangkis pedang dan tombak di tangan Liu Bwee dan Ouw Sian Kok, akan tetapi empat
        orang itu terhuyung ke belakang karena mereka bertemu dengan tenaga yang amat dahsyat! Ouw Sian Kok yang ingin
        agar penyerbuan delapan belas orang pendekar itu berhasil dlam waktu singkat dan tidak perlu terjadi pembunuhan
        besar-besaran, sudah mengunakan ginkangnya yang amat hebat, tubuhnya melucur ke depan mengejar An Lu Shan yang
        hendak menyelamatkan diri ke belakang para pembantu dan para pengawalnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya
        hati An Lu Shan ketika melihat tiba-tiba dia diancam oleh sebatang tombak yang dipegang oleh orang yang seperti
        "terbang" di atasnya! Dia pun bukanlah seorang biasa, melainkan seorang panglima yang sudah banyak
        pengalamannya bertempur, memiliki pula ilmu silat campuran yang lihai dan tenaganya kuat bukan main. Melihat
        betapa dia terancam, secepat kilat tangan kanannya bergerak dan bgitu pedangnya tercabut, tampak sinar terang
        yang menyilaukan mata. Kemudian pedangnya menangkis ke arah tombak yang mengurungnya dengan sinar tombak.
        "Trakkkk!" Tombak di tangan Ouw Sian Kok itu patah-patah! Tentu saja tombak biasa itu tidak mampu melawan
        pedang Tiong-gi-kiam hadiah dari Kaisar kepada An Lu Shan ini, yang merupakan sebatang pedang pusaka kuno yang
        amat ampuh. Akan tetapi Ouw Sian Kok yang berilmu tinggi itu, tidak menjadi gugup, bahkan dia mampu menggerakan
        sisa gagang tombaknya menotok pergelangan tangan kanan An Lu Shan dengan kecepatan sedemikian rupa sehingga
        serangan ini tidak tampak dan tahu-tahu tangan Jenderal itu telah tertotok dan pedangnya terampas oleh Ouw Sian
        Kok! Kini para pengawal dan orang-orang kang-ouw telah mengurungnya dan berhasil melindungi An Lu Shan yang
        cepat menyelinap ke belakang sambil berteriak marah karena selain pedangnya terampas, hampir saja dia celaka,
        "Serbu mereka! Basmi mereka semua, jangan beri ampun seorangpun juga!" An Lu Shan adalah seorang yang cerdik
        dan pandai memikat hati orang untuk membantunya, akan tetapi, di waktu marah, dia berubah menjadi seorang yang
        amat kejam dan tidak mengenal ampun, sesuai dengan latar belakang hidupnya yang liar dan ganas. Terjadilah
        pertempuran yang amat seru di tepi telaga itu. Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong, Liu Bwee, dan Ouw Sian Kok, mengamuk
        dengan hebatnya sungguhpun Liu Bwee dan Ouw Sian Kok selalu merobohkan lawan tanpa membunuh mereka. Di antara
        mereka berdua dan An Lu Shan sama sekali tidak terdapat permusuhan, apalagi dengan para anak buah Jenderal itu,
        sama sekali tidak ada urusan dengan mereka, maka tentu saja mereka tidak sampai hati untuk melakukan pembunuhan
        dan hanya merobohkan mereka dengan tendangan, dorongan tangan kiri, totokan atau ada juga yang tersambar pedang
        akan tetapi tidak terluka parah yang membahayakan nyawa mereka. Berbeda dengan sepak terjang Liu Bwee dan Ouw
        Sian Kok yang biarpun mengiriskan namun tidak pernah membunuh, sebaliknya delapan belas orang pendekar dari
        Bu-tong-pai itu mengamuk dengan mengerikan. Mereka seperti segerombolan harimau yang haus darah, pedang mereka
        berkelebatan dan kalau ada pihak lawan yang roboh tentu roboh dalam keadaan yang mengerikan sekali, terobek
        perut mereka atau tersayat leher mereka hampir putus, atau tertembus dada mereka oleh pedang sehingga begitu
        roboh mereka berkelojotan dan nyawa mereka melayang tidak lama kemudian. Delapan belas orang pendekar dari
        Bu-tong-pai itu seolah-olah menyebar maut di antara para pengawal An Lu Shan. Hal ini membuat An Lu Shan marah
        sekali dan cepat dia memerintahkan pengawal-pengawal pribadinya untuk meninggalkannya dan menyerbu lawan. Juga
        para tokoh kang-ouw tidak ada yang menganggur, sebagian menghadapi Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang amat lhai,
        sebagian pula kini menghadapi delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu. Dan kini pasukan pengawal yang
        menjaga di sekitar tempat itu sudah berkumpul semua sehingga lebih dari seratus orang anak buah An Lu Shan
        mengurung dan mengeroyok musuh. Betapapun gagahnya delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu, menghadapi
        pengeroyokan lawan yang jumlahnya jauh lebih banyak, apalagi setelah para pengawal pribadi An Lu Shan dan
        orang-orang kangouw maju akhirnya mereka roboh juga seorang demi seorang! Tak lama kemudian, Bu-tong Cap-pwe
        Enghiong yang gagah perkasa itu tewas seorang demi seorang setelah melakukan prlawanan sampai titik darah
        terakhir dan setelah masing-masing merobohkan sedikitnya dua orang lawan! Tempat itu yang biasanya menjadi
        tempat pertmuan dan peristirahatan bagi An Lu Shan, hati itu berubah menjadi tempat yang penuh dengan noda
        darah dan penuh dengan mayat manusia yang malang melintang. Mengerikan! Liu Bwee dan Ouw Sian Kok juga terdesak
        hebat. Mereka adalah orang-orang yang memiliki tingkat ilmu silat lebih tinggi daripada tokoh-tokoh kang-ouw
        yang berada di situ, bahkan ilmu silat mereka termasuk ilmu yang aneh dan tidak dikenal oleh para lawan.
        Biarpun banyak sudah, sedikitnya ada dua puluh orang yang roboh tak berdaya oleh mereka, namun mereka seperti
        dua ekor belalang dikeroyok semut yang banyak dan dekat. Akhirnya, sebuah hantaman dengan toya yang mengenai
        lutut kanan Liu Bwee membuat nyonya perkasa ini terjungkal dan dia lalu ditubruk oleh empat orang lawan,
        ditotok dan dibelenggu, lalu diseret pergi sebagai seorang tawanan. Betapapun juga, orang-orang kang-ouw itu
        masih merasa segan untuk membunuh wanita yang amat mereka kagumi ini. Melihat Liu Bwee tertawan, Ouw Sian Kok
        mengeluarkan pekik melengking dan pekik ini saja sudah cukup untuk merobohkan beberapa orang pengeroyok yang
        kurang kuat sinkangnya, disusul dengan berkelebatnya Tiong-gi-kiam di tangannya membuat belasan batang senjata
        lawan beterbangan dan robohlah lima enam orang lagi! Bukan main hebatnya sepak terjang Ouw Sian Kok yang sudah
        marah itu. "An Lu Shan, bebaskan Liu-toanio atau.... akan kubasmi kalian semua! Aku Ouw Sian Kok dari Pulau
        Neraka tidak biasa mengeluarkan ancaman kosong belaka!" Saking marah dan khawatir melihat Liu Bwee ditawan, Ouw
        Sian Kok lupa diri dan menyebut-nyebut Pulau Neraka. Terkejutlah semua orang mendengar ini. Mereka tidak pernah
        tahu di mana adanya Pulau Neraka, akan tetapi di dalam dongeng mereka mendengar bahwa Pulau Es dan Pulau Neraka
        merupakan pulau-pulau tempat tinggal para dewata dan siluman yang memiliki ilmu yang amat luar biasa! "Kalian
        tidak tahu dia itu adalah bekas Permaisuri dari Pulau Es! Bebaskan dia!" teriaknya lagi sambil menendang dengan
        kedua kakinya secara berantai, merobohkan empat orang di antara para pengeroyoknya. Kembali semua orang
        terkejut, termasuk An Lu Shan. Pulau Es? Benarkah apa yang dikatakan laki-laki gagah perkasa itu? Ataukah hanya
        gertak sambal saja agar wanita yang tertawan itu dibebaskan? Selagi semua orang ragu-ragu, terdengarlah suara
        ketawa, "Heh-heh-heh, anak-anak nakal, kiranya masih ada yang tinggal di antara penghuni Pulau Es dan Pulau
        Neraka! Hemmm, hayo kalian berdua ikut saja bersamaku karena bukan di sinilah tempat kalian!" Suara ini halus
        dan perlahan saja, namun anehnya mengatasi semua suara dan terdengar dengan jelas oleh mereka semua. Ketika An
        Lu Shan dan anak buahnya memandang, ternyata yang muncul adalah seorang kakek bercaping lebar yang mereka kenal
        sebagai kakek Nelayan yang suka memancing ikan di telaga. Karena kakek itu bersikap halus dan tidak pernah
        bicara, maka An Lu Shan hanya menyuruh anak buahnya mengamat-amati saja. Kakek itu sudah berbulan-bulan
        memancing ikan di telaga dan sama sekali tidak mengganggu, juga sama sekali tidak mencurigakan, maka kini
        kemunculannya dalam keadaan yang menegangkan itu benar-benar amat mengherankan hati orang. Ouw Sian Kok yang
        mendengar ucapan itu, terkejut sekali dan cepat dia memandang. Ketika melihat seorang kakek berpakaian
        sederhana tambal-tambalan, bertopi caping lebar nelayan, memegang tangkai pancing dari bambu dan dipinggangnya
        tergantung sebuah kipas bambu, dia cepat memandang wajah kakek itu dan melihat wajah yang sudah tua akan tetapi
        dengan sepasang mata yang tajam penuh wibawa. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang lihai,
        maka otomatis dia mengira bahwa tentu ini merupakan seorang tokoh kang-ouw yang menjadi kaki tanan An Lu Shan
        pula. Maka lebih baik turun tangan lebih dulu sebelum lawan tangguh ini mendahuluinya, pikir Ouw Sian Kok.
        "Sudah tua bangka masih banyak pamrih mencampuri urusan pemberontakan!" bentaknya dan pedangnya mengeluarkan
        sinar, lenyap bentuknya berubah menjadi sinar bergulung-gulung ketika dia meloncat dan memutar senjata itu
        menyerang. Dengan tenang kakek itumenghadapi penyerangan ini, sikapnya seperti seorang tua menghadapi seorang
        anak yang nakal. Karena menduga bahwa kakek itu tentu amat lihai, maka Ouw Sian Kok tidak bersikap
        tanggung-tanggung sekali ini, pedangnya meluncur dengan amat cepatnya dan dia membuka serangan. Akan tetapi
        tiba-tiba kakek itu memutar pancingnya dan terdengarlah suara bersuitan nyaring sekali. Ouw Sian Kok bersikap
        waspada dan ketika tangkai yang terbuat dari bambu panjang itu menyambar ke depan menyambutnya, dia cepat
        menggerakan pedangnya yang ampuh dengan mengerahkan tenaga sinkang untuk membabat putus bambu itu. Namun, bambu
        itu seperti hidup bergerak mengikuti sinar pedangnya, berkejaran dengan sinar pedangnya tidak pernah tersentuh,
        dan tahu-tahu Ouw Sian Kok merasa betapa tubuhnya terangkat ke atas. Ternyata bahwa ketika kakek itu memutar
        bambu yang menjadi tangkai pancing, tali pancingnya berputaran sedemikian cepatnya sampai tidak tampak karena
        tali itu kecil saja, dan tahu-tahu mata pancing itu telah mengait punggung baju Ouw Sian Kok sehingga
        seolah-olah Ouw Sian Kok dijadikan "ikan" yang terkena pancing! Ouw Sian Kok terkejut dan marah, dia bergerak
        hendak membabat tali pancing di atas punggungnya, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya yang tergantung itu berputar
        cepat sekali. Dia diputar-putar di atas kepala kakek itu sehingga kalau sampai tali itu diputuskan dengan
        tangannya, tentu tubuhnya akan terlempar dan terbanting keras tanpa dia mampu mencegahnya karena tubuhnya sudah
        berputaran seperti kitiran di udara. Semua orang memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, kaget
        dan kagum melihat betapa mudahnya kakek tua itu membuat Ouw Sian Kok yang sakti itu tidak berdaya sama sekali!
        Ouw Sian Kok merasa malu dan marah. Dikerahkannya sinkangnya dan dia telah menggunakan ilmu memberatkan
        tubuhnya. Seketika tubuhnya yang masih berputar-putar itu agak menurun dan bambu itu melengkung seolah-olah
        tidak kuat menahan tubuhnya. "Tidak buruk....!" Kakek itu berseru kagum juga , akan tetapi karena dia masih
        memutar-mutar hasil pancingannya itu dengan amat cepatnya, Ouw Sian Kok tidak dapat melepaskan diri dan hanya
        melirik ke arah kakek itu dengan pandang mata penuh kemarahan dan kadang-kadang mencoba untuk menggerakan
        pedang membacok ke arah tubuh kakek itu. Tiba-tiba terdengar suara Liu Bwee, "Ouw-toako, jangan melawan....!
        Locianpwe, mohon Locianpwe sudi mengampuninya.....!!" Mendengar seruan Liu Bwee ini Ouw Sian Kok terkejut dan
        dia menghentikan usahanya untuk menyerang atau membebaskan diri, lalu berkata, "Harap Locianpwe sudi memaafkan
        kalau saya bersikap kurang ajar!" "Heh-heh-heh, ternyata Pulau Neraka belum merusakmu , orang muda!" tali
        pancing itu mengendur dan tahu-tahu Ouw Sian kok telah mendapatkan dirinya berada di atas tanah. Dia berdiri
        tak bergerak, hanya menoleh ke arah Liu Bwee yang kini sudah terbelenggu dan dijaga ketat. Kakek itu lalu
        menghadap ke arah An Lu Shan yang berdiri di tempat aman, kemudian berkata halus, "An-goan-swe harap suka
        memenuhi permintaan seorang tua seperti aku agar suka membebaskan wanita itu." Sudah kita ketahui bahwa An Lu
        Shan adalah seorang yang amat cerdik. Melihat keadaan kekek itu, dia pun maklum bahwa orang tua itu amat sakti
        dan menghadapi seorang kakek seperti itu, lebih baik bersahabat daripada memusuhinya. Kalau ingin berhasil
        dalam mengejar cita-cita, berbaiklah dengan sebanyak mungkin orang pandai, demikian pedoman hatinya. Maka tanpa
        ragu-ragu lagi dia memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk membebaskan Liu Bwee. Tentu saja isyarat ini
        tidak ada yang berani membantahnya sungguhpun para anak buah dan pembantunya merasa khawatir akan sikap An Lu
        Shan ini. Di situ terdapat tiga orang lawan tangguh, yang seorang sudah tertawan mengapa dibebaskan lagi?
        Bukankah ini merupakan perbuatan bodoh dan berbahaya? Liu Bwee yang sudah terbebas dari totokan dan belenggu,
        segera menghampiri kakek itu dan menjatuhkan diri berlutut. "Locianpwe...." katanya dan melanjutkan
        katanyadengan tangis yang menyedihkan. Kakek itu mengangguk-angguk. "Sudahlah, sudahlah, aku sudah tahu semua
        yang menimpa dirimu dan Pulau Es. Sudah semestinya demikian, ditangisi pun tidak akan ada gunanya." Liu Bwee
        sadar mendengar ucapan ini dan cepat menghapus air matanya, lalu berkata kepada Ouw Sian Kok, "Ouw-twako,
        Beliau ini adalah kakek dari suamiku yang telah lama meninggalkan pulau dan mengasingkan diri sebagai seorang
        pertapa. Baru sekarang aku dapat bertemu dengan Beliau...." Mendengar ini, terkejutlah hati Ouw Sian Kok. Kalau
        orang tua ini kakek dari Han Ti Ong, berarti kakek ini dahulunya adalah Raja Pulau Es atau setidaknya tentu
        pangeran! Dan tentu ilmunya sudah amat tinggi, karena dia tadi sudah merasakan kelihaian kakek ini, hatinya
        makin tunduk dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu di samping Liu Bwee. "Teecu Ouw Sian Kok
        mohon maaf sebesarnya kepada Locianpwe," katanya. Kakek itu terkekeh, "Heh-heh-heh, kalian ini dua orang muda
        memang tidak pernah bertobat! Sudah puluhan tahun hidup menghadapi bermacam penderitaan, masih saja tidak mau
        merobah dan mencari keributan pula di sini. Kalian berdua mempunyai bakat baik sekali untuk mempelajari hidup
        dan marilah kalian ikut bersamaku! Kalau kalian tidak mau, aku pun tidak akan memaksa, akan tetapi kelak kalian
        hanya akan menemui kekecewaan dan kesengsaraan belaka. Sebaliknya, kalau kalian suka ikit bersamaku, segala hal
        mungkin saja terjadi. Liu Bwee dan Ouw Sian Kok saling pandang dan biarpun mulut mereka tidak saling bicara,
        namun hati mereka sudah saling menerima geteran dan mereka tahu bahwa ke mana pun mereka pergi, asal mereka
        tidak berpisah, mereka akan meresa cukup kuat, berani tabah dan bahagia! Maka keduanya lalu mengangguk-angguk
        tanpa bicara lagi. Kakek itu merasa girang, lalu menoleh ke arah An Lu Shan. "An-goanswe, telah berbulan-bulan
        aku menyaksikan gerakanmu dan engkau memang pantas menjadi penggempur kelemahan kerajaan. Bukan urusanku untuk
        mencampuri. Nah, perkenankan kami bertiga pergi dari sini." An Lu Shan cepat melangkah maju dan mengangkat
        kedua tangannya ke depan dada, "Locianpwe, saya mohon petunjuk Locianpwe mengenai perjuangan kami!" Jenderal
        ini maklum bahwa membujuk mereka untuk membantunya amatlah sukar, maka sedikitnya dia ingin memperoleh petunjuk
        dan nasihat dari kakek sakti itu.Mendengar ini, kakek itu lalu memutar-mutar pancingnya yang mengeluarkan suara
        bersuitan dan makin lama makin nyaring kemudian terdengar suara itu melengking seperti suling dan berlagu!
        Barulah terdengar suaranya seperti orang bernyanyi, diiringi suara seperti suling yang timbul dari tali yang
        diputar cepat itu. "Yang lama akan terguling yang baru menggantikannya, yang baru akan menjadi lama dan ada
        yang lebih baru pula! Yang tua akan mati diganti yang muda, yang muda akan menjadi tua mati dan diganti pula!
        Apakah yang kekal di dunia ini? Yang menyebabkan kematian dan kesengsaraan akan dilanda kematian dan
        kesengsaraan ayah dan anak menyukai kekerasan akan menjadi korban kekerasan pula! Suara melengking dan nyanyian
        terhenti, semua orang tercengang dan diam, pikiran bekerja memecahkan arti nyanyian itu dan ketika mereka
        memandang tiga orang itu telah pergi dari situ. Barulah para pengawal sadar dan hendak mengejar, akan tetapi An
        Lu Shan berkata, "Jangan ganggu mereka!" Para pengawal yang mengikuti dari jauh kemudian melapor kepada An Lu
        Shan betapa kakek itu menggandeng tangan Ouw Sian Kok dan Liu Bwee melompati jurang yang amat lebar kemudian
        lenyap di balik gunung! An Lu Shan menghela napas panjang, mengingat-ingat dan mencoba memecahkan arti nyanyian
        itu, menyuruh orangnya menuliskan nyanyian kakek itu. Dia merasa girang ketika orangorangnya yang terkenal ahli
        sastra menguraikan nyanyian yang merupakan ramalan baik baginya. Yang lama akan terguling yang baru akan
        menggantikannya. Hal ini saja sudah jelas berarti bahwa perjuangannya menggulngkan pemerintahan lama pasti akan
        berhasil. Apalagi bait-bait terakhir yang mengatakan bahwa ayah dan anak menyukai kekerasan akan menjadi korban
        kekerasan pula. Ditafsirkannya bahwa ayah dan anak tentulah Kaisar dan Putera Mahkota yang tentu akan
        dibunuhnya kalau dia berhasil merebut tahta kerajaan. Memang demikianlah semua manusia. Selalu menafsirkan
        segala sesuatu dengan kepentingan dan keinginan hatinya sendiri seolah-olah segala sesuatu yang tampak di dunia
        ini khusus diperuntukan dirinya belaka! Kenyataannya kelak akan terbukti bahwa biarpun An Lu Shan behasil
        merampas tahta kerajaan, namun dia tidak dapat lama menikmati hasil pembunuhan besar-besaran dalam perang
        pemberontakan itu, karena tidak lama kemudian dia dan puteranya berturut-turut dibunuh oleh kaki tangannya
        sendiri! Orang memang selalu lupa akan kenyataan hidup bahwa yang baru lambat laun akan menjadi lama juga, yang
        muda akan menjadi tua pula. Manusia selalu dibuai oleh khayal, selalu dipermainkan oleh pikirannya sendiri yang
        menjangkau jauh ke masa depan, menjangkau segala sesuatu yang tidak ada atau yang belum dimilikinya. Manusia
        tidak mau melihat apa adanya, tidak mau memperdulikan "yang begini" melainkan selalu mengarahkan pandang
        matanya kepada "yang begitu" yaitu sesuatu yang belum ada, yang menimbulkan keinginan hatinya untuk
        memperolehnya. Manusia lupa bahwa "yang begitu" tadi, artinya belum diperolehnya, kalau sudah diperoleh dan
        berada di tangannya akan menjadi "yang begini" pula dan mata akan tidak mempedulikan lagi karena sudah
        memandang pula kepada "yang begitu", ialah hal lain yang belum dimilikinya. Betapa akan berada jauh keadaan
        hidup apabila kita menunjukan pandang mata kita kepada "yang begini", kepada apa adanya, mempelajari,
        mengertinya sehingga terjadilah perubahan karena dengan mengerti kebiasaan yang buruk, mengerti dengan
        sedalam-dalamnya, otomatis kebiasaan itu pun terhentilah. Dengan mengerti sedalamnya akan keadaan sekarang,
        saat ini, apa adanya setiap detik, benda apapun juga, di manapun juga, mengandung keindahan murni yang tidak
        dapat diperoleh keinginan. Lenyaplah batas yang memisahkan indah dan buruk, senang dan susah, utung dan rugi,
        aku dan engkau, dan kalau sudah begini, baru kita tahu apa artinya cinta kasih, apa artinya kebenaran,
        kemurnian, kesucian dan apa artinya sebutan Tuhan yang biasanya hanya menjadi kembang bibir belaka. Kita
        tinggalkan dulu Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang ikut pergi bersama kakek nelayan sakti yang bukan lain adalah
        kakek dari Han Ti Ong, bekas Raja Pulau Es yang telah puluhan tahun lamanya meninggalkan pulau itu dan merantau
        di tempat-tempat sunyi sebagai pertapa yang mengasingkan diri dari dunia ramai. Sudah terlalu lama kita
        meninggalkan Sin Liong dan Swat Hong, maka marilah kita mengikuti perjalanan dua orang itu. Seperti telah
        dituturkan di bagian depan, Sin Liong dan Swat Hong saling bertemu kembali di lereng puncak Gunung Awan Merah
        tempat tinggal Tee-tok Siangkoan Houw. Setelah mendengar tentang Bu-tong-pai yang dikuasai oleh The Kwat Lin
        yang memang sedang mereka cari-cari, Sin Lion bersama Swat Hong lalu meninggalkan lereng Awan Merah, turun
        gunung dan dengan cepat pergi menuju ke Pegunungan Bu-tong-san. Biarpun kedua orang muda yang memiliki ilmu
        kepandaian tinggi ini telah menggunakan ilmu berlari cepat dan hanya mengaso apabila mereka merasa lapar dan
        terlalu lelah saja, namun karena jaraknya yang amat jauh, kurang lebih sebulan kemudian barulah mereka tiba di
        lereng Pegunungan Bu-tong-san. Di kaki gunung tadi mereka telah memperoleh petunjuk dari seorang petani di mana
        letak Bu-tong-pai, yaitu di atas sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Bu-tong-san. "Hati-hatilah, sumoi,
        kita sudah tiba di daerah Bu-tong-pai." Sin Liong berkata ketika mereka berhenti sebentar di bawah pohon untuk
        melepas lelah sambil menghapus keringat dari dahi dan leher. "Hemm, kita hanya berurusan dengan The Kwat Lin,
        urusan pribadi yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Bu-tong-pai. Kita harus menyatakan ini kepada
        semua orang Bu-tong-pai, kalau mereka tidak mau mengerti dan hendak membela The Kwat Lin, kita hantam mereka
        pula!"
      </P>
      <P>
        Hati Sin Liong merasa khawatir sekali. Memang akibatnya amat berlawanan setelah bertemu dengan sumoinya ini.
        Girang dan juga khawatir. Serba susah. Dia tentu saja girang sekali dapat bertemu dengan sumoinya dalam keadaan
        selamat dan sehat. Akan tetapi di samping rasa girang ini, juga dia kini selalu dilanda kekhawatiran akan sifat
        Swat Hong. Andaikata dia sendiri saja yang datang ke Bu-tong-pai, tentu dia akan membujuk agar The Kwat Lin
        mengembalikan pusaka-pusaka Pulau Es dan dia tidak akan menuntut hal ini. Akan tetapi, setelah pergi bersama
        Swat Hong, dia tahu bahwa tentu gadis ini akan menimbulkan keributan. Tentu Swat Hong akan memusuhi The Kwat
        Lin yang dianggapnya menjadi penyebab kesengsaraan ayah bundanya. Hal ini menaruh dia di tempat yang amat tidak
        menyenangkan. Membantu Swat Hong memusuhi The Kwat Lin berlawanan dengan batinnya karena dia tidak ingin
        memusuhi siapapun juga. Tidak membantu, tentu Swat Hong terancam bahaya dan tentu akan marah dan benci
        kepadanya! Mereka sudah mendekati puncak dimana tampak dinding tembok Bu-tong-pai yang tinggi. "Sumoi,
        kauserahkan saja kepadaku untuk bicara dengan orang-orang Bu-tong-pai. Kurasa mereka akan suka menerima alasan
        kita kalau mereka mendengar apa yang telah dilakukan oleh ketua baru mereka." Swat Hong mengangguk. "Baiklah,
        terserah kepadamu, Suheng. Akan tetapi kalau sudah tiba saatnya, kuharap engkau jangan mencegah aku membunuh
        iblis betina itu!" Sin Liong tidak menjawab, hanya menghela napas panjang. "Mari kita mendekati pintu gerbang
        itu. Heran sekali, mengapa sunyi amat? Bukankah kabarnyaBu-tong-pai merupakan perkumpulan yang besar dan
        mempunyai banyak anak murid?" Akan tetapi ketika mereka tiba di depan pintu gerbang yang tertutup tiba-tiba
        saja pintu gerbang yang lebar itu terbuka dari dalam, terpentang lebar-lebar tampaklah lima belas orang
        laki-laki tua, di antaranya beberapa orang tosu, melangkah keluar dengan sikap tenang namun penuh wibawa dan
        memandang tajam penuh selidik kepada Sin Liong dan Swat Hong! Setelah para tokoh Bu-tong-pai itu keluar dan
        berhadapan dengan mereka, Sin liong cepat menjura dengan hormat sambil berkata, "Apakah kami berhadapan dengan
        para Locianpwe dari Bu-tong-pai?" Dengan pandang mata curiga, belasan orang itu memandang Sin Liong dan tosu
        tua yang berada paling depan, lalu bertepuk tangan dan berteriak, "Kalian keluarlah dan jangan melakukan
        sesuatu sebelum diperintah!" Sebagai jawaban kata-kata ini, berlompatanlah delapan belas orang laki-laki gagah
        perkasa yang tadi bersembunyi di balik pohon-pohon dan rumpun, di luar pintu gerbang. Mereka lalu membuat
        gerakan mengepung dan mereka siap dengan tangan di gagang pedang masing-masing. Melihat ini, timbul kemarahan
        di hati Swat Hong. "Bukan maling mengapa dikepung? Apakah kalian hendak menantang berkelahi? Aku ingin bertemu
        dengan ketua Bu-tong-pai. Lekas panggil dia keluar!" Melihat sikap galak ini, kakek tosu yang agaknya memimpin
        mereka, berkata, "Siancai... kiranya Nona hendak bertemu dengan Ketua Bu-tong-pai? Pinto (saya) ketuanya. Tidak
        tahu siapakah Nona dan ada keperluan apa hendak bertemu dengan pinto?" Swat Hong terbelalak, memandang kaget
        dan heran. "Eh....? Benarkah ini? kami.... kami tidak datang mencari Totiang...." Para tosu dan semua orang itu
        saling pandang kemudian seorang diantara mereka, seorang tosu pula yang tinggi besar bermuka hitam, tidak setua
        kakek pertama, bertanya, "kalau begitu, siapakah yang Nona cari?" "Kami mencari The Kwat Lin...." Baru selesai
        Swat Hong berkata demikian, kakek muka hitam itu sudah berteriak keras dan menubruk maju, tangan kiri
        mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Swat Hong sedangkan tangan kanan menotok ke arah lehernya. Swat Hong
        terkejut dan marah. Serangan kakek itu benar-benar amat ganas, kejam dan berbahaya sekali. Apalagi ketika
        terasa olehnya betapa dari kedua tangan yang panjang dan besar itu menyambar hawa pukulan yang menandakan bahwa
        kakek itu memiliki tenaga yang kuat. "Heiiiittt....!!" dia melengking panjang, kedua tangannya bergerak cepat
        menyambut. "Dukkkk.... plakkkk....!!" Tangan yang mencengkeram ke arah ubun-ubunnya dapat dia tangkis dengan
        kuat, sedangkan tangan yang menotok lehernya itu dielakkan dengan menundukan kepala sedikit, kemudian
        mendahului dengan jari tangannya, dia berhasil menyambut serangan itu dengan totokan kepada pergelangan tangan.
        Pada detik berikutnya, selagi tosu muka hitam itu menyeringai kesakitan karena tangkisan itu membuat lengannya
        tergetar dan totokan itu melumpuhkan lengan satunya, kaki Swat Hong sudah bergerak menendang. "Desss....!!"
        tubuh tosu muka hitam itu terjengkang dan jatuh terbanting ke atas tanah dengan cukup keras! Semua orang
        terkejut, juga tosu tua itu mengerutkan alisnya. Tosu muka hitam itu adalah sutenya, tingkat kepandaiannya
        sudah tinggi, bagaimana dapat dirobohkan oleh nona muda itu dalam segebrakan saja? Tak salah lagi, tentu kedua
        orang ini adalah orang-orang sebangsa The Kwat Lin yang pernah merampas kedudukan ketua Bu-tong-pai, demikian
        tosu tua yang bukan lain adalah Kui Tek Tojin itu berpikir. Hanya orang-orang sebangsa iblis betina The Kwat
        Lin saja yang memiliki ilmu kepandaian seperti setan itu. Para tosu dan tokoh Bu-tong-pai lainya melihat tosu
        muka hitam roboh, lalu serentak menyerbu, didahului oleh delapan belas orang murid Kui Tek Tojin yang bukan
        lain adalah Bu-tong Cap-pwe Enghiong itu. Karena mengira bahwa Swat Hong tentulah mempunyai hubungan dengan The
        Kwat Lin, serta merta mereka maju menyerbu dengan pedang di tangan. "Hemm, kalian benar-benar mengajak
        berkelahi? bagus, majulah semua! Hayo, jangan ada seorang pun yang tinggal. Suruh semua orang Bu-tong-pai maju
        mengeroyokku kalau kalian membela The Kwat Lin!" Swat Hong mencabut pedangnya dan matanya memancarkan cahaya
        seperti hendak menyebarkan maut. Tiba-tiba Sin Liong membentak. "Tahan senjata....!!" Tubuhnya berkelebat dan
        berloncatan di antara orang-orang Bu-tong-pai dan segera terdengar seruan-seruan kaget ketika tiba-tiba di mana
        saja bayangan pemuda itu berkelebat, senjata yang terpegang tangan terlepas dan berjatuhan ke atas tanah tanpa
        mereka ketahu sebabnya! Sin Liong sudah berhadapan dengan Kui Tek Tojin, menjura dan berkata, "Harap Totiang
        berlaku sabar dan maafkan Sumoi. Ketahuilah, kami berdua datang ke Bu-tong-pai ini sama sekali bukan hendak
        berurusan dengan Bu-ting-pai karena kami tidak pernah berurusan dengan Bu-tong-pai. Kami datang untuk mencari
        The Kwat Lin, untuk urusan pribadi yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Bu-tong-pai. Harap Cuwi
        Totiang dan sekalian orang gagah Bu-tong-pai dapat mengerti ini dan jangan secara membuta membela The Kwat Lin
        tanpa lebih dulu mengetahui urusannya." "Apa....? Membela The Kwat Lin? Bukankah Ji-wi ini sahabat-sahabat
        wanita iblis itu?" "Bicara lancang dan ngawur!" Swat Hong membentak. "Aku datang untuk membunuh The Kwat Lin
        dan kalau kalian hendak membelanya, jelas bahwa kalian bukan manusia baik-baik dan biarlah kubunuh sekalian!"
        "Siancai....! Siancai...!" Kui Tek Tojin berseru dan ia tersenyum memperlihatkan mulut yang tidak bergigi
        lagi."Maafkan pinto dan semua murid Bu-tong-pai! Karena tidak tahu maka terjadi kesalahpahaman ini. Semua ini
        gara-gara wanita iblis yang telah merusak nama baik Bu-tong-pai dan membuat kami selalu menaruh curiga kepada
        siapa pun. Silahkan masuk, Sicu dan Nona. Marilah bicara di dalam!" Sin Liong dan Swat Hong lalu diiringkan
        masuk ke dalam bangunan yang menjadi pusat Bu-tongpai itu, dan dipersilahkan duduk di ruangan tamu. Setelah
        menerima suguhan minuman, Kui Tek Tojin bertanya, "Bolehkan pinto mengetahui siapa adanya Ji-wi dan mengapa
        menanam bibit permusuhan dengan The Kwat Lin? Pinto melihat ilmu kepandaian Ji-wi hebat sekali, mengingatkan
        pinto kepada kepandaian The Kwat Lin sehingga hal itu menambah lagi kecurigaan kami tadi." Kiranya tidaklah
        perlu kami memperkenalkan diri," jawab Sin Liong yang memang ingin menghindarkan diri sejauh mungkin dengan
        urusan kang-ouw sehingga lebih baik kalau tidak memperkenalkan diri. "Akan tetapi kami berdua mempunyai urusan
        pribadi dengan The Kwat Lin, dan mendengar bahwa dia telah menjadi ketua Bu-tongpai, maka kami berdua menyusul
        ke sini." Kui Tek Tojin mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk. Diam-diam dia dapat menduga bahwa dua orang
        muda yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa ini tentu ada hubungannya pula dengan Pulau Es! Akan tetapi dia
        tidak berani banyak bertanya, kemudian menceritakan betapa The Kwat Lin, yang merasa bekas murid Bu-tong-pai
        itu, dengan kekerasan merapas kedudukan ketua dan diam-diam mengatur pemberontakan terhadap Kaisar. Karena
        usahanya menyelundupkan muridnya ke istana gagal, dia menjadi seorang buruan pemerintah. "Betapa pun lihainya,
        iblis betina itu tidak berani menghadapi pasukan pemerintah, maka dia lalu melarikan diri bersama para
        pengikutnya, meninggalkan Bu-tong-pai. Kami mengambil alihnya kembali dan belum lama ini, hampir saja kami
        menjadi sasaran penyerbuan pemerintah. Baiknya kami telah dapat menceritakan keadaan kami dan sekarang, mau
        tidak mau, untuk membuktikan bahwa Bu-tong-pai tidak bersekutu dengan pemberontak, terpaksa kami harus membantu
        pemerintah. Hari ini pun Bu-tong Cap-pwe Enghiong, murid-murid pinto, terpaksa akan berangkat ke utara
        melakukan tugas penyelidikan terhadap pemberontakan An Lu Shan." Mendengar ini, Sin Liong dan Swat Hong merasa
        kecewa sekali, jauh-jauh mereka menyusul ke Bu-tong-san, hanya untuk mendengar bahwa The Kwat Lin tidak berada
        lagi di tempat itu dan sekarang telah menjadi orang buruan pemerintah. "Aihhh.... ke mana kita harus
        mencarinya?" Swat Hong berkata kesal sambil menoleh kepada Sin Liong. "Nona, untuk menebus kesalahan kami tadi,
        baiklah kami beritahukan bahwa kalau tidak salah dugaan kami, The Kwat Lin melarikan diri ke tempat kediaman
        Kiam-mo Cai-li. Kalau Ji-wi mencarinya ke sana, tentu akan setidaknya mendengar lebih jauh tentang wanita itu."
        "Kiam-mo Cai-li? Siapa dia? Dan dimana tempat tinggalnya?" Swat Hong mendesak dan wajahnya berseri karena
        timbul pengharapan lagi di dalam hatinya. "Dia adalah seorang datuk kaum sesat, sorang wanita yang tinggi
        ilmunya dan telah bersekutu dengan The Kwat Lin untuk membantu pemberontak. Kiam-mo Cai-li tinggal di Rawa
        bangkai, di kaki Pegunungan Lu-liang-san, tidak begitu jauh dari sini." "Suheng, tunggu apa lagi? Mari kita
        cepat pergi ke Lu-liang-san!" Swat Hong dengan penuh semangat sudah bangkit berdiri. Sin Liong terpaksa juga
        bangkit berdiri, akan tetapi Ketua Bu-tong-pai itu berkata, "Harap Ji-wi berhati-hati. Rawa Bangkai merupakan
        daerah yang sangat berbahaya dan selain dua wanita itu amat sakti, juga Kiam-mo Cai-li mempunyai banyak anak
        buah. Bahkan kaki tangan The Kwat Lin yang tadinya berada di sini sekarang pun ikut pergi bersamanya." "Terima
        kasih atas peringatan Locian-pwe," kata Sin Liong sambil memberi hormat dan karena dia pun merasa amat tidak
        enak telah menggangu orang-orang tua di Bu-tong-pai ini, dia cepat mengajak sumoinya pergi dari situ. Setelah
        berpamit, sekali berkelebat saja dua orang muda itu lenyap. Kui Tek Tojin menghela napas dan mengelus
        jenggotnya, "Siancai..... dua orang muda yang amat luar biasa. Pinto yakin bahwa mereka tentulah orang-orang
        dari Pulau Es juga. Gerakan mereka aneh seperti gerakan Kwat Lin, akan tetapi kalau Pulau Es telah membuat Kwat
        Lin menjadi seperti iblis, dua orang muda itu seperti dewa!" "Suheng, bukankah di lereng puncak yang sana itu
        tempatnya?" "Kalau tidak salah memang di sana, Sumoi. Akan tetapi sekali ini kita melakukan pekerjaan yang amat
        berbahaya, maka kuharap Sumoi suka bersikap tenang dan sabar, tidak tergesa-gesa." Swat Hong mengangguk,
        mengeluarkan saputangan sutera dan menghapus keringat dari leher dan dahinya. Mukanya kemerahan, pipinya
        seperti buah tomat masak, matanya bersinar-sinar penuh semangat, rambutnya agak kusut dan anak rambut di
        dahinya basah oleh keringat. Sin Liong memandang sumoinya dan diam-diam dia menaruh hati iba kepada sumoinya.
        Seorang dara muda seperti sumoinya sudah harus mengalami hidup merantau dan sengsara seperti ini! Padahal,
        seorang dara muda seperti sumoinya itu sepatutnya berada di dalam rumah bersama keluarga, hidup aman teteram
        dan penuh kegembiraan, bermain-main di dalam taman bunga yang indah, bersedau-gurau, tertawa, bernyanyi,
        membaca sajak, atau jari-jari tangan yang kecil meruncing itu menggerakan alat-alat menyulam. Tidak seperti
        sekarang ini, setiap saat menghadapi bahaya, selalu bermain dengan pedang dan maut! Dia menarik napas panjang.
        Mereka berdua duduk di bawah pohon yang tinggi besar, meneduh di dalam bayangan pohon. Hari itu amat panasnya
        dan mereka telah melakukan perjalanan jauh sejak pagi tadi seharian itu. "Suheng...." Sesuatu dalam suara dara
        itu membuat Sin Liong cepat menengok dan dia melihat wajah yang cantik itu menunduk. Aneh sekali! Ada apa lagi
        gadis ini bersikap seperti orang malu? "Ada apakah, Sumoi?" Swat Hong mencabut sebatang rumput,
        mempermainkannya dengan jari-jari tangannya, kemudia dalam keadaan tidak sadar meremas rumput itu sampai hancur
        di tangannya. "Suheng, setelah selesai tugas kita memenuhi pesan terakhir Ayah, lalu bagaimana?" Tersentuh hati
        Sin Liong. Baru saja dia membayangkan nasib dara itu dan sekarang agaknya Swat Hong juga membayangkan masa
        depanya. "Kalau kita sudah berhasil memenuhi pesan Suhu, kita akan mengembalikan pusaka-pusaka itu ke Pulau
        Es." "Hemm, kemudian?' Swat Hong masih tetap menunduk dan kini dia bahkan telah mencabut lagi sebatang rumput
        dan dimasukan ke dalam mulutnya yang kecil dan rumput itu digigit-gigitnya. "Kemudian? Aku akan membantumu
        mencari ibu sampai dapat, Sumoi. Akan kita jelajahi seluruh pulaupulau di sekitar Pulau Es, dan kalau tidak
        berhasil, kita akan mendarat lagi di daratan besar dan mencari sampai ketemu. Sebelum bertemu dengan ibumu, aku
        tidak akan berhenti mencari." Lama tiada kata-kata keluar dari mulut yang menggigit-gigit rumput itu. Akhirnya
        Swat Hong bertanya juga, "Kalau sudah bertemu dengan ibu?" "Kalau sudah ketemu?" Sin Liong mengulang pertanyaan
        itu dengan heran, karena hal itu anehlah kalau ditanyakan."Tentu saja engkau hidup bersama ibumu......" "Dan
        kau?" "Aku? Aku.... aku agaknya akan pergi merantau karena tidak ada apa-apa lagi yang mengikatku, tidak ada
        tugas. Aku bebas seperti burung di udara terbang ke mana pun angin membawaku." Kembali suasana hening, bahkan
        kini Sin Liong terpengaruh oleh pertanyaan itu dan merenung seolah sudah merasakan betapa nikmatnya bebas
        terbang di udara tanpa beban tugas sedikit pun. "Suheng...." "Hemmm.....?" "Kalau bertemu dengan ibu engkau
        akan meninggalkan kami?" "Sudah kukatakan begitu, bukankah kau sudah aman kalau berada di samping Ibumu?"
        "Bagaimana kalau..... kalau kita gagal mencari ibu? Bagaimana kalau sampai tidak bertemu? Bagaimana pula
        andaikata Ibu....ibu sudah meninggal?" Sin Liong terkejut. Hal ini sama sekali tidak pernah terbayangkan dan di
        hadapkan dengan kemungkinan kenyataan ini dia terkejut dan bingung, sejenak tidak mampu menjawab. Dia berfikir
        kemudian menjawab tanpa keraguan sedikitpun juga, "Kalau begitu, tentu saja aku tidak akan meninggalkanmu,
        Sumoi." "Kita tinggal di mana?" "Di mana saja sesukamu." "Kita berkumpul?" "Ya." "Sampai kapan?" Kembali Sin
        Liong termangu-mangu dan tak dapat menjawab. Swat Hong bekata lagi. "kalau demikian, aku jadi merepotkanmu,
        Suheng. Aku merampas kebebasan yang kau idam-idamkan tadi." "Ah, tidak! Tidak sama sekali! Di dalam kebebasan
        seorang diri di dunia itu memang terdapat kenikmatan, akan tetapi di dalam melakukan sesuatu untuk orang,
        terutama untukmu, juga terdapat kenikmatan besar." "Engkau menjadi seperti seekor burung yang terikat kakimu
        dengan kakiku, Suheng." "Tidak, tidak begitu! Kita seperti dua ekor burung bebas yang melakukan penerbangan
        bersama!" "Untuk selamanya, Suheng?" Kembali Sin Liong termangu-mangu. "Aihh, tentu saja tidak. Engkau harus
        menikah, dan aku akan menjadi wakil orang tuamu, aku yang akan meneliti, memilihkan calon suami, sampai engkau
        berhasil menjadi isteri seorang laki-laki yang patut menjadi suamimu." "Tidak sudi!!" Tiba-tiba Swat Hong
        bangkit berdiri, menjauh dan membelakangi Sin Liong. Tak terasa lagi rumput di mulutnya sudah dikunyah-kunyah!
        Sin Liong terbelalak memandang tubuh belakang sumoinya. Dia benar-benar terkejut dan heran sekali mengapa
        sumoinya memdadak marah seperti itu, padahal dia bicara dengan setulus hatinya, menyatakan keinginannya yang
        baik terhadap sumoinya yang akan dibelanya itu. "Sumoi....!" dia memanggil dan gadis itu membalikan tubuh.
        Untuk kedua kalinya Sin Liong terbelalak. Sumoinya itu, biarpun tidak sesenggukan, telah menangis. Sepasang
        pipinya basah air mata dan masih ada butiran air mata yang bergerak menurun dari pelupuk matanya. "Suheng,
        engkau....engkau kejam....!" dan sekarang Swat Hong menangis betul-betul, sesenggukan dan menjatuhkan dirinya
        ke atas rumput, menutupi muka dengan kedua tangan, membiarkan air matanya membanjir keluar dari celah-celah
        jari tangannya. Sin Liong mengerutkan alisnya, lalu menggeleng kepala. "Kejam....?" Dia seperti hendak bertanya
        kepada bayangan sendiri, mengapa dia yang akan membela gadis itu bahkan dimaki kejam. Swat Hong memeras air
        matanya, mengapus muka dengan saputangan, kemudian mengangkat mukanya memandang. "Suheng, kau memang kejam. Kau
        mau enakmu sendiri saja! Kau hendak membiarkan aku sengsara, meninggalkan aku kepada orang lain agar dapat
        bebas merantau seorang diri. Padahal engkau pun tahu bahwa aku tidak punya siapa-siapa lagi, aku hanya
        mempunyai engkau seperti engkau mempunyai aku. Akan tetapi.....uhuh- uh.... kau ingin sekali mencampakkan aku
        agar dapat bebas. Kalau begitu, tinggalkan saja aku sekarang.....!" "Eh-eh, Sumoi...., bagaimana pula ini?
        Siapa yang akan memberikanmu kepada orang lain? Tentang pernikahan itu..... tentu saja kalau engkau sudah
        bertemu dengan jodohmu, dengan seorang pria yang kau cinta. Aku berniat baik, sama sekali tidak ada keinginan
        hatiku untuk meninggalkanmu, sampai engkau berhasil memperoleh pilihan hatimu. Kalau engkau sudah menikah, apa
        kaukira aku harus menungguimu saja?" "Tidak! Aku tidak akan menikah kalau hanya agar kau dapat bebas! Aku akan
        hanya menikah kalau engkau sudah menikah lebih dulu!" Kini Swat Hong bicara penuh semangat, seolah-olah dia
        merasa penasaran. Sin Liong membelalakan matanya memandang. "Eh? Mengapa begitu? Aku... aku selamanya tidak
        akan menikah, Sumoi!" Swat Hong menampar tanah. "Tass!!" lalu memandang dengan muka merah kepada suhengnya,
        disambung kata-kata nyaring, "Aku pun tidak akan menikah!" "Wah, mana bisa? Aku seorang pria, Sumoi. Tidak
        menikah selamanya pun tidak apa-apa, akan tetapi engkau seorang wanita...." "Apa bedanya? Kalau pria bisa tidak
        menikah selamanya, apakah wanita tidak bisa? Pendeknya, aku tidak akan menikah sebelum engkau menikah, Suheng!"
        Sin Liong menarik napas panjang dan duduk bersandar pohon, tidak menjawab lagi. Gadis ini sedang marah, tidak
        baik kalau dilayani, pikirnya. Dia yakin bahwa ucapan sumoinya itu hanyalah terdorong oleh kemarahan. Kalau
        kelah sumoinya bertemu dengan seorang pemuda yang baik dan mereka saling mencinta, tentu pendirian sumoinya
        tentang pernikahan tidak seperti sekarang. Dia tidak mungkin dapat membayangkan seorang dara seperti sumoinya,
        cantik jelita, keturunan raja, pandai dan sukar dicari keduanya, sampai menjadi perawan tua atau bahkan tidak
        menikah sama sekali. Ngeri dia memikirkan ini! Melihat sampai lama suhengnya hanya duduk termenung, agaknya
        Swat Hong mulai menyesali sikapnya. Air matanya sudah kering, sisanya dihapus dengan saputangan dan dia pindah
        duduk dekat suhengnya. Mereka berhadapan, akan tetapi Sin Liong pura-pura tidak memperhatikan ulah sumoinya.
        "Suheng...." "Hemmm....?" "Kau marah kepadaku?" Mau tidak mau Sin Liong tersenyum dan memandang wajah itu. Pada
        saat seperti itu, terasa benar olehnya betapa dia amat sayang kepada Swat Hong, sayang dan kasihan. "Kalau ada
        seorang yang marah di sini, agaknya engkaulah yang marah, Sumoi, bukan aku." "Suheng, katakanlah. Mengapa
        engkau tidak mau menikah?" Pertanyaan ini merupakan serangan tiba-tiba yang membuat Sin Liong bingung bagaimana
        untuk menjawabnya. Dia mengerutkan alisnya, mengosok-gosok dagunya sebelum menjawab, kemudian terpaksa menjawab
        juga karena sepasang mata bintang yang memandang tajam kepadanya itu sudah menanti jawaban dengan tidak sabar
        lagi. "Aku tidak ingin menikah karena bagiku, pernikahan merupakan ikatan, sumoi. Aku ingin bebas, bebas lahir
        batin dan betapa mungkin aku dapat bebas kalau aku menikah, berkeluarga dan mempunyai anak isteri? Bagaimana
        aku dapat bebas kalau aku memiliki harta benda, kedudukan dan lain ikatan duniawi lagi?" Swat Hong
        termangu-mangu , agaknya tertegun mendengar jawaban suhengnya. Sampai lama dia diam saja, kemudian tiba-tiba
        bertanya, "Suheng, apakah engkau ingin menjadi pertapa?" Sin Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Seorang
        pertapa berarti mengikatkan diri dengan pertapaannya. Tidak, Sumoi. Aku ingin bebas dari segala-galanya."
        "Suheng kita.... kita.... dahulu dijodohkan oleh Ayah, bukan?" Sin Liong terkejut. Tak disangkanya bahwa Swat
        Hong akan menyinggung masalah ini. Dia hanya mengangguk sambil memandang wajah sumoinya penuh selidik. Apalagi
        yang akan dikemukaan sumoinya ini? "Dahulu kita sudah bicara di perahu itu dan memutuskan bahwa orang hanya
        dapat mengikat jodoh jika saling mencinta. Suheng...., apakah.... apakah engkau tidak mencinta seorang wanita?"
        Sin Liong cepat mengelengkan kepalanya. "Aku tahu bahwa Soan Cu mencintamu, Suheng! Apakah engkau tidak
        mencintanya? Dia cantik jelita dan pandai...." "Tidak, Sumoi, kalau yang kau maksudkan adalah cinta berahi."
        "Akan tetapi Suheng menolongnya, membela dan melindunginya. Bukankah itu membuktikan bahwa Suheng
        mencintainya?" "Memang aku mencintanya seperti aku mencinta orang lain, akan tetapi bukanlah cinta umum yang
        mendorong untuk menikah, kemudian setelah menikah berusaha memiliki isterinya lahir batin sehingga timbullah
        siksaan batin dan kesengsaraan, pertentangan bahkan mungkin cemburu dan kebencian. Tidak, aku tidak mencinta
        Soan Cu seperti yang kau maksudkan itu." "Dan bagaimana dengan Siangkoan Hui? Dia manis sekali dan dia
        terang-terangan mengaku cintanya kepadamu, Suheng. Apakah engkau tidak ingin mengambilnya sebagai isteri?"
        "Hemmmm, sama sekali tidak. Apalagi aku mendengar bahwa dia telah bertunangan dengan orang lain." "Jadi tidak
        ada wanita yang kau pilih untuk menjadi isterimu, Suheng?" Sin Liong menggelengkan kepala, hatinya tidak enak
        membicarakan soal ini. "Tidak ada dara yang kaucinta?" Sin Liong menggeleng lagi. "Termasuk aku....?" Sin Liong
        terkejut. Sungguh bingung dia memikirkan sumoinya ini. Ketika dia mengangkat muka memandang, dia melihat
        sumoinya juga sedang memandangnya dengan sikap aneh. Mata sumoinya yang biasanya tajam lebar dan amat indahnya
        itu kini agak terpejam, seperti mata mengantuk, sinar matanya sayu dan seperti orang mau menangis, bibirnya
        tersenyum tipis akan tetapi seperti orang menahan rasa nyeri, cuping hidungnya agak kembang kempis dan jelas
        tampak dadanya naik turun diburu pernapasan. "Sumoi, kau tahu bahwa aku cinta kepadamu, aku mencintamu seperti
        seorang Sumoi, seperti seorang adik, seperti seorang sahabat dan aku rela untuk mempertaruhkan nyawa membela
        dan melindungimu, aku merasa sebagai pengganti ayah bundamu, aku akan merasa berbahagia, Sumoi, karena itu,
        percayalah bahwa aku tidak akan meninggalkanmu sebelum ...." "Sudahlah..... sudahlah....! Mari kita melanjutkan
        perjalanan, tugas kita masih belum selesai!" Swat Hong sudah meloncat bangun dan berlari cepat mendaki puncak
        yang menjulang tinggi itu. "Sumoi, perlahan dulu....! Hati-hatilah....!" Sin Liong melompat dan terpaksa harus
        mengerahkan ilmunya untuk menyusul sumoinya yang lari seperti setan itu. Karena agaknya Swat Hong berlari
        secara ngawur saja, asal cepat dan naik ke puncak, untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya, maka mereka
        tersesat jalan, bukan menuju ke Rawa Bangkai yang berada di lereng timur, melainkan memasuki hutan lebat di
        lereng barat! Mereka tidak tahu bahwa ada banyak pasang mata mengintai ketika mereka memasuki hutan itu dan
        tiba-tiba bermunculan banyak orang yang mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring. Sin Liong dan Swat Hong berdiri
        tegak memandang ke sekeliling dan Swat Hong membelalakan matanya saking herannya. Mereka berdua telah dikurung
        oleh puluhan orang yang tubuhnya katai, pendek sekali. Yang tertinggi di antara mereka hanyalah setinggi dada
        Swat Hong! Kalau saja tidak melihat muka orang-orang itu, tentu Swat Hong mengira bahwa mereka berdua dikurung
        oleh serombongan anak nakal. Akan tetapi wajah mereka yang penuh kumis pendek dan penuh keriput itu jelas
        adalah wajah orang-orang yang sudah dewasa, bahkan wajah laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun!
        Karena tubuh mereka yang kerdil itu amat pendek, mereka kelihatan kuat dan kokoh, wajah mereka keruh dan marah,
        mengandung kekejaman dan di tangan mereka tampak senjata yang bermacam-macam, senjata yang aneh-aneh tidak
        lumrah senjata umumnya. Gerakan mereka ketika mengurung dan bergerak mengelilingi Swat Hong juga amat aneh,
        kadang-kadang tumit mereka diangkat, kadang-kadang mereka bergerak sambil berjongkok sehingga menjadi makin
        pendek seperti kakat, kadangkadang berloncatan! "Kalian mau apa? Pergi....!!" Swat Hong membentak dan mengirim
        tendangan berantai ke arah empat orang katai terdekat akan tetapi batapa heranya ketika melihat empat kali
        tendangannya yang beruntun itu mengenai angin kosong karena dengan gerakan yang aneh dan cekatan sekali, empat
        orang kerdil itu telah mampu mengelah, bahkan hampir saja ujung sepatu kiri Swat Hong terbabat sebatang pedang
        yang bentuknya seperti gergaji! "Hati-hati, Sumoi. Mereka bukanlah lawan lemah." Sin Liong berbisik dan pemuda
        ini sudah menyambar sebatang kayu dahan pohon, mematahkannya dan membuat sebatang alat pemukul sebesar lengan.
        "Kita hadapi mereka dengan saling melindungi," kembali Sin Liong berbisik. Swat Hong adalah seorang dara yang
        keras hati dan tidak mengenal artinya takut akan tetapi melihat hasil tendangannya tadi, dia pun maklum bahwa
        rombongan orang kerdil ini tidak boleh di buat main-main, maka dia cukup cerdik untuk mentaati bisikan
        suhengnya dan mereka lalu berdiri tegak, memasang kuda-kuda dengan pungung saling membelakangi hampir
        bersentuhan. Swat Hong memegang pedang dengan tangan kanan yang diangkat, sedangkan tangan kiri dengan
        jari-jari terbuka, miring di depan dada. Sin Liong pun memasang kuda-kuda yang sama, hanya bedanya, dia
        memegang alat pemukulnya dengan tangan kiri. Keduanya berdiri diam tak bergerak sama sekali, hanya mata mereka
        yang melirik ke kanan kiri mengikuti setiap gerak-gerik para pengurung mereka. "Harap Cuwi jangan salah paham,"
        Sin Liong berseru nyaring, "Kami datang bukan untuk memusuhi Cuwi sekalian atau siapapun juga di tempat ini.
        Kami datang karena tersesat hendak mencari Rawa Bangkai. Kalau Cuwi dapat memberi tahu di mana adanya Rawa
        Bangkai, kami akan berterima kasih sekali." Akan tetapi, orang-orang kerdil itu tetap saja bergerak maju
        mengelilingi mereka sambil berjingkrak dan membuat gerakan aneh-aneh. Dua orang muda mudi itu tetap berdiri
        tegak, sama sekali tidak bergerak namun semua urat syaraf di tubuh mereka menegang dalam persiapan. Seorang di
        antara orang kerdil itu, sambil terus mengelilingi mereka berdua, bertanya, "Mau apa kalian mencari Rawa
        Bangkai?" Kini Swat Hong yang sudah hilang sabarnya itu menjawab dengan bentakan, "Orang-orang kerdil
        menjemukan! Kami mencari seorang yang bernama The Kwat Lin!" Mata orang-orang itu melotot namun mereka masih
        tetap mengelilingi dua orang muda itu dan orang yang memegang sebatang golok besar bercincin empat agaknya
        pemimpin mereka, yang mukanya berseri dan kumisnya kecil melintang, bertanya lagi, "Mau apa mencari The Kwat
        Lin?" "Mau kubunuh mampus!" Jawaban Swat Hong ini seperti merupakan aba-aba saja karena mendengar mereka
        memekik aneh dan kedua orang itu terpaksa harus mengerahkan sinkang untuk melindungi jantung karena pekik-pekik
        aneh itu merupakan penyerangan luar biasa melalui suara yang disertai khingkang. Tentu saja dua orang muda yang
        memiliki kesaktian hebat dari Pulau Es itu tidak dapat begitu mudah dikalahkan hanya dengan pekik-pekik itu.
        Melihat betapa dua orang muda itu sama sekali tidak terpengaruh, tiba-tiba Si pemegang golok bercincin
        berteriak dan mulailah tiga puluh enam orang kerdil itu menyerang dengan cara aneh, yaitu sambil lari mereka
        menyerang, tampaknya sambil lalu saja akan tetapi karena banyak senjata yang menyerang, tentu saja amat
        berbahaya. Sin Liong menggerakkan tongkat pendek melindungi diri, sedangkan Swat Hong juga menangkis dengan
        pedangnya sambil mengerahkan tenaga sinkangnya. "Trang-trang-cringggg...!!" Bunyi senjata tajam bertemu dan
        terdengar pekik kaget dari beberapa orang kerdil karena senjata mereka yang tertangkis oleh tongkat pendek dan
        pedang itu membalik, bahkan ada empat orang yang terpaksa melepaskan senjata dari pegangan tangan mereka yang
        terasa tergetar hebat dan panas itu. Orang-orang kerdil itu ternyata cerdik sekali. Pertemuan senjata satu kali
        itu saja cukup membuat mereka maklum bahwa dua orang muda yang mereka keroyok itu memiliki kekuatan sinkang
        yang hebat, jauh melebihi mereka maka mereka lalu mengurung dan menyerang bertubi-tubi, bergantian tanpa mau
        mengadu senjata lagi. Setiap senjata mereka ditangkis, mereka menarik kembali senjata itu dan sudah ada
        temannya yang melanjutkan serangan dari arah lain. "Suheng, biar kubasmi setan-setan pendek ini!" Swat Hong
        menjadi tidak sabar dengan cara suhengnya mempertahankan dan melindungi diri saja itu yang dianggapnya terlalu
        mengalah dan terlalu "memberi hati" kepada para pengeroyok yang menjemukan hatinya itu. Sebelum Sin Liong
        menjawab, Swat Hong sudah meloncat ke depan mengeluarkan suara melengking yang tinggi dan dahsyat, pedangnya
        berkelebatan dan disusul dorongan tangan kiri yang mengandung tenaga Inti Salju, maka terdengarlah pekik
        berturut-turut dan robohlah lima orang kerdil, yang dua orang terkena sambaran pedang, yang tiga lagi roboh
        oleh dorongan tangan kiri dan terjangan kaki Swat Hong! Kacaulah pengeroyokan itu karena dapat dibayangkan
        betapa kaget dan gentarnya hati para orang kerdil ketika dalam segebrakan saja setelah gadis itu membalas, di
        pihak mereka roboh lima orang! Belum lagi pemuda yang kelihatan lebih lihai itu bergerak menyerang! Kalau
        begini keadaannya, tentu mereka akan roboh semua. Si kerdil Bergolok yang memimpin mereka, segera mengeluarkan
        suitan aneh dan gerombolan itu lalu melarikan diri, sambil membawa lima orang teman mereka yang terluka, Si
        Pemegang Golok berteriak, "Hai, dua orang muda sombong, kalau memang gagah, ikutlah kami dan lawanlah majikan
        kami The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li!" "Suruh mereka keluar menemui kami!" Swat Hong membentak. "Heh-heh,
        engkau takut kami jebak, ya? Orang gagah macam apa kamu itu?" Si Pemegang Golok mengejek. "Keparat, siapa
        takut?" Swat Hong melompat dan mengejar. "Sumoi....!" Sin Liong memperingatkan, akan tetapi Swat Hong tentu
        saja tidak mau peduli karena dia sudah marah sekali, apalagi mendengar nama The Kwat Lin, dia sudah bersemangat
        dan ingin segera berhadapan dengan musuh besarnya itu. Melihat sumoinya terus mengejar, terpaksa pula Sin Liong
        juga meloncat dan berlari cepat mengejar. Orang-orang kerdil itu berlari terus mendekati lereng bukit, keluar
        dari hutan memasuki daerah yang tandus berbatu-batu dan di situ terdapat banyak gua batu yang besar-besar, dan
        dari luar tampak menghitam karena di sebelah dalam gua tidak memperoleh matahari sehingga amat gelap. Dari
        belakang Sin Liong melihat betapa orang-orang kerdil itu bagaikan rombongan semut saja dengan sigapnya
        berloncatan memasuki gua-gua di sekitar itu, akan tetapi sebagian banyak memasuki sebuah guha terbesar dan yang
        berada di tengah-tengah di antara semua gua. "Sumoi, berhenti dulu! Ini bukanlah sebuah rawa!" teriak pula Sin
        Liong, akan tetapi terlambat karena Swat Hong dengan penuh semangat telah menerjang masuk dan lenyap ke dalam
        gua besar. "Ah, Sumoi terlalu bersemangat sehingga sikapnya sembrono dan berbahaya," Sin Liong mengomel dan
        terpaksa dia pun cepat mengejar memasuki guha besar itu. Guha itu gelap sekali, gelap dan sunyi. "Sumoi....!!"
        Dia berteriak memanggil, akan tetapi hanya gema suaranya sendiri yang menjawab dari berbagai jurusan! Dia
        terkejut dan dapat menduga bahwa gua itu merupakan terowongan yang bercabangcabang. Dia maju terus dan benar
        saja dugaannya, gua yang gelap itu merupakan lorong dan akhirnya tiba di depan terowongan yang bersimpang tiga!
        "Sumoi....!!" Dia berteriak lagi dan jauh dari depan, terdengar jawaban gema suaranya sendiri lima kali
        berturut-turut! "Celaka," pikirnya, "Kita telah terjebak!" Akan tetapi karena dia harus dapat menemukan
        sumoinya yang dia khawatirkan terjeblos ke dalam perangkap orang-orang kerdil. Sin Liong tanpa ragu-ragu
`Pemula Punya Blog

Ditulis Oleh : Unknown // 2:49 AM
Kategori:

Ditulis Oleh : Unknown ~ PEMULA PUNYA BLOG ~

Artikel BUKEK SIANSU : Seri Kesembilan ini diposting oleh Unknown Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel BUKEK SIANSU : Seri Kesembilan ini.Di Posting Saturday, July 28, 2012. Tak Lengkap Rasanya Jika Kunjungan Anda di Blog ini Tanpa Meninggalkan Komentar Untuk Itu Silahkan Berikan Komentar Anda Apa Aja Pada Kotak Komentar Di Bawah. Semoga Artikel BUKEK SIANSU : Seri Kesembilan dapat Memberi manfaat untuk Anda ..Trima Kasih.. HAPPY BLOGGING :)

2 comments:

  1. Hi, Really great effort. Everyone must read this article. Thanks for sharing.

    ReplyDelete
  2. That is an extremely smartly written article. I will be sure to bookmark it and return to learn extra of your useful information. Thank you for the post. I will certainly return.

    ReplyDelete

Powered by Blogger.