bertumpuk-tumpuk dan berserakan, darah
manusia membanjiri padang rumput. Namun akhirnya, betapapun gigih
Panglima Kok Cu It melakukan perlawanan
setelah dia menyuruh pasukan pengawal mengiringkan Kaisar lebih dulu
menyelamatkan diri ke kota raja, karena
kalah banyak jumlah pasukannya, Tung Kuan jatuh ketangan pihak An Lu
Shan. Pasukan-pasukan yang masih dapat
bertahan segera
ditarik mundur ke Ling Pao dan membuat pertahanan di
tempat ini. kaisar telah melanjutkan
perjalanan kembali ke Tiang-an di mana dia berkemas-kemas dengan hati
penuh kekhawatiran. Tak lama kemudian,
Ling pao juga jatuh dan Panglima Kok Cu It terpaksa membawa sisa
pasukannya kembali ke kota raja.
Melihat betapa gerakan An Lu Shan amat kuat dan tidak dapat dibendung,
panglima ini menganjurkan kepada Kaisar
untuk pergi mengungsi ke Secuan. Kaisar mengumpulkan semua pembantunya
yang setia dan akhirnya, atas desakan
mereka pula, kaisar menerima usul itu. Berangkatlah rombongan Kaisar ke
barat. Yang berada di dalam rombongan
itu, selain Kaisar sekeluarga tentu saja termasuk selir Yang Kui Hui,
juga perdana Menteri Yang Kok Tiong kakak
dari selir cantik itu berserta semua keluarganya, para Thaikam (Orang
Kebiri) yang setia kepada Kaisar, dan
beberapa orang ponggawa tinggi yang menjadi kaki tangan mereka. Rombongan
besar ini dikawal oleh pasukan pengawal
istimewa dan berangkatlah rombongan Kaisar pergi mengungsi di lakukan
di waktu malam agar jangan ada rakyat
mengetahuinya. Pelarian yang dilakukan tergesa-gesa ini pun mencerminkan
watak orang-orang bangsawan ini. Selain
keluarga mereka, juga mereka membawa harta benda mereka sebanyak
mungkin! Tidak ada lagi yang dipikirkan
kecuali membawa keluarga dan harta bendanya sehingga mereka lupa bahwa
bukan harta benda yang penting untuk
dibawa sebagai bekal, melainkan ransum! Mereka melupakan ini dan sibuk
membawa harta benda yang mungkin dapat
terbawa. Telah menjadi kelemahan kita manusia dalam penghidupan kita ini
bahwa kita selalu melekat kepada
benda-benda duniawi. Kita lupa bahwa benda-benda itu yang memang merupakan
perlengkapan hidup dan kita butuhkan,
hanyalah menjadi hamba kita, menjadi kebutuhan kita selagi hidup. Akan
tetapi kita silau oleh benda-benda mati
itu, kita mengejarnya dan mengumpulkannya, bukan lagi karena kebutuhan,
melainkan karena ketamakan, karena
rakus sehingga kita mengumpulkan sebanyak mungkin. Setelah itu, kita menjadi
hamba duniawi, kita melekatkan diri dan
kita telah merobah batin kita menjadi benda-benda itu! Maka kita selalu
mempertahankan duniawi secara
mati-matian, kita tidak bisa lagi hidup tanpa dia, lahir maupun batin.
Kehilangan
harta benda menjadi hal yang amat hebat
dan penuh derita. Mencari dan mengumpulkan harta benda menjadi hal yang
paling penting di dalam hidup kita
sehingga kalau perlu dalam mengejar duniawi berupa harta benda, kedudukan,
kemuliaan dan lain-lain, kita tidak
segan-segan untuk sikut-menyikut jegal-menjegal, bunuh-membunuh antara
manusia! Maka akan BAHAGIALAH DIA YANG
MEMPUNYAI NAMUN TIDAK MEMILIKI, dalam arti kata, mempunyai apa saja di
dunia ini karena ada hubungannya,
karena ada kebutuhannya, hanya mempunyai lahiriah saja, namun batin sama
sekali tidak memiliki, sama sekali tidak
terikat atau melekat sehingga punya atau tidak punya bukanlah
merupakan soal penting lagi! Karena
ketamakan itulah maka rombongan Kaisar segera mengalami akibatnya setelah
rombongan besar itu melarikan diri
sampai di pos penjagaan Ma Wei, yang terletak di Propinsi Shen-si sebelah
barat, rombongan ini kehabisan ransum
yang tidak berapa banyak itu. pasukan pengawal yang menderita kelelahan
dan kelaparan, karena sisa ransum yang
sedikit diperuntukan Kaisar dan keluarganya serta para bangsawan ,
menjadi gelisah dan tampaklah
wajah-wajah yang membayangkan penasaran dan kemarahan, mulai terdengarlah
suara-suara tidak puas di antara para
anggauta pasukan. Perhentian di Ma Wei ini dipergunakan oleh Yang Kok
Tiong untuk mengadakan pertemuan dengan
orangorang Tibet. Yang Kok Tiong berusaha untuk mengadakan kontak
dengan Pemerintah Tibet untuk membantu
Kaisar dalam menghadapi pemberontakan dan membujuk seorang pendeta Lama
yang berada di antara orang-orang Tebet
itu untuk menyampaikan permintaan bantuannya. Hatinya juga gelisah
ketika melihat betapa anak buah pasukan
pengawal mulai tidak puas. Akan tetapi Kaisar yang sudah merasa lelah
dan berduka, tidak tahu akan semua itu
dan dia menenggelamkan dirinya yang dirundung kedukaan itu dalam pelukan
selirnya yang menghiburnya. Tidak
seorang pun di antara para bangsawan itu tahu betapa di luar terjadi hal yang
luar biasa. Seorang laki-laki muda dan
seorang gadis cantik menyelinap di antara penduduk setempat, mendekati
tempat mengaso para pasukan pengawal
dan dua orang muda ini berbisikbisik dengan para pasukan. Mereka ini bukan
lain adalah Bu Swi Nio dan Liem Toan
Ki! Seperti telah kita ketahui, Liem Toan Ki, jago muda dari Hoa-san-pai
itu adalah mata-mata An Lu Shan dan Bu
Swi Nio, murid The Kwat Lin, akhirnya juga menjadi pembantu An Lu Shan
karena terbawa oleh Liem Toan Ki yang
menjadi tunangannya itu. Kini, selagi memata-matai keadaan Kaisar yang
melarikan diri, Bu Swi Nio teringat
akan kematian kakaknya, maka diambilnya keputusan untuk membalas dendam
kepada Yang Kui Hui yang menyebabkan
kematian kakaknya, Bu Swi Liang. Setelah berunding dengan kekasihnya,
mereka berdua lalu menyelinap di antara
penduduk, mengadakan kontak dengan para komandan pasukan pengawal,
mulai menghasut mereka itu.
"Lihat, kita bersusah payah, setengah mati kelelahan dan kelaparan menjaga
keselamatan Kaisar, beliau sendiri
bahkan bersenang-senang dan tidak memperdulikan kita, mabok dalam rayuan
Ynag Kui Hui setan kuntilanak
itu!" Bu Swi Nio antara lain menghasut. "Lihat kakaknya yang menjadi
perdana
menteri itu. Diam-diam mengadakan perundingan
dengan orang-orang Tibet. Dialah bersama adiknya ular cantik itu
yang menjadi pengkhianat dan menjual
negara. Coba ingat, bukankah An Lu Shan diambil anak oleh Yang Kui Hui?
Padahal diam-diam menjadi kekasihnya?
Negara telah dijual oleh Yang Kui Hui, diberikan kepada kekasihnya, An Lu
Shan. Dan sekarang agaknya Yang Kok
Tiong hendak menjual keselamatan Kaisar kepada orang-orang Tibet! Aduhhh,
sungguh membuat orang hampir mati
penasaran. kaisar dipermainkan seperti itu, namun tinggal diam karena mabok
oleh kecantikan Yang Kui Hui iblis
betina yang keji itu!" demikian Liem Toan Ki menambah minyak dalam api
yang
mulai dikobarkan oleh Swi Nio. Memang
para anggauta pasukan sudah gelisah dan kehilangan ketenangan. Mereka
merasa sengsara dan nasib mereka masih
belum dapat ditentukan bagaimana. Mungkin saja mereka semua akan mati
konyol jika sampai dapat disusul oleh
pasukan-pasukan pemberontak. Mendengar hasutan-hasutan itu, mereka
menjadi makin gelisah dan akhirnya
terdengarlah teriakan-teriakan yang diam-diam didahului oleh Swi Nio dan
Toan Ki. "Gantung
pengkhianat!" "Bunuh penjual negara!" "Seret Yang Kok
Tiong!" "Yang Kok Tiong pengkhianat,
harus dihukum mati!" "Sebelum
menjual negara itu mampus, kami tidak mau pergi!" Teriakan-teriakan ini
makin
hebat dan kini seluruh pasukan sudah
bangkit, mengacung-acungkan kepalan dan senjata ke arah bangunan-bangunan
di mana rombongan bangsawan itu berada.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Kaisar ketika mendengar
teriakan-teriakan itu. Juga yang
lain-lain menjadi kaget setengah mati, terutama Yang Kok Tiong sendiri. Dia
sedang berunding dengan orang-orang
Tibet, ketika tiba-tiba Kaisar bersama pengawal-pengawal pribadi memasuki
tempat itu. Kaisar kelihatan marah.
"Siapa mereka ini??" bentaknya sambil menuding ke arah tujuh orang
Tibet
yang berada di situ.
"Hamba....hamba sedang berunding.... minta pertolongan Pemerintah
Tibet," jawab Yang Kok
Tiong. "Tangkap orang-orang Tibet
itu! Siapa tahu mereka adalah mata-mata perampok!" Perintah Kaisar ini
diturut oleh para pengawal dan
ditangkaplah tujuh orang Tibet itu yang tidak berani melakukan perlawanan.
Sementara itu, teriakan-teriakan di
luar menuntut kematian Yang Kok Tiong makin menghebat. Berbondong-bondong
datanglah para pembantu Kaisar,
berkumpul di tempat Yang Kok Tiong yang duduk dengan muka pucat mendengar
tuntutan para pasukan di luar. Di depan
mata semua orang, tanpa malu-malu Yang Kui Hui menubruk dan merangkul
leher Kaisar sambil menangis.
"Sudilah Paduka menolong kakakku.... harap Paduka menyelamatkan
kakakku..." Selir
itu menangis. Didekap dan ditangisi
selirnya yang tercinta, kaisar yang tua itu segera menghardik kepada kepala
pengawal pribadinya, "tangkap si
pembuat ribut itu!" Komandan pengawal itu berdiri tegak dan menjawab,
"Ampun,
Sri Baginda. Akan tetapi yang ribut
adalah seluruh pasukan pengawal!" "Junjungan hamba ...... tolonglah
kakakku..... selamatkan dia
......!" Yang Kui Hui menangis. yang Kok Tiong juga menjatuhkan diri
berlutut di
depan kaki Kaisar. "Hamba hanya
dapat mengharapkan kebijaksanan Paduka dan menaruh nyawa hamba di dalam telapak
tangan Paduka ....!" "Seret
Yang Kok Tiong si pengkhianat keluar!" terdengar teriakan dari luar.
"Keluarkan
jahanam itu, kalau tidak kami menyerbu
ke dalam!" Suara ini diikuti suara pintu digedor-gedor dari luar.
"Tangkap dia...!!" Kaisar
memerintah dan menudingkan telunjuknya kluar. Komandan pengawal hendak membuka
dau
pintu, akan tetapi tiba-tiba dari luar
meloncat masuk pengawal yang menjaga di luar, mukanya pucat dan tubuhnya
menggigil lalu dia menjatuhkan diri di
atas lantai menghadap Kaisar sambil berkata, "Mereka .... mereka
.....akan menyerbu.....!" Oleh
kepala pengawal, Kaisar dan rombongannya dikawal naik ke loteng. Kemudian
Kaisar
keluar dan memandang kepada pasukannya
yang memberontak di luar itu. Begitu melihat munculnya Kaisar, para anak
buah pasukan berteriak kacau balau,
menuntut agar Yang Kok Tiong diberikan kepada mereka. Kepala pengawal yang
melihat gelagat buruk, diam-diam lalu
menotok perdana menteri itu dan membawanya turun lagi di luar tahunya
Kaisar, kemudian dia membuka pintu dan
mendorong perdana menteri itu ke luar. Banyak tangan yang penuh dendam
kebencian menyambut, tubuh Yang Kok
Tiong di seret-seret, hujan pukulan dan makian, penghinaan dan ludah
ditujukan kepadanya. Ketika Yng Kui Hui
yang mendengar teriakan-teriakan kakaknya itu keluar mendekati Kaisar
dan menjenguk ke bawah, dia menjerit
dan merangkul Kaisar, menangis. Kaisar sendiri terbelalak memandang betapa
perdana menterinya itu, kakak dari
selirnya, disiksa oleh pasukan, dipukuli dan dimaki-maki. "Tolonglah
kakakku..... tolonglah dia...."
Yang Kui Hui merintih dan menangis. Kaisar lalu berseru ke bawah dengan suara
lantang, "Haiii! Semua anggauta
pasukanku....! Tahan.....! Jangan lanjutkan perbuatan gila itu!"
"Berhenti....!
Kalaian iblis-iblis jahat.......!
Uh-huuuuhhh-huuuu....!!" Yang Kui Hui juga menjrit-jerit dan akhirnya
menutupi mukanya, demikian pula Kaisar ketika melihat betapa Yang Kok
Tiong sudah rebah dan tidak berkutik
lagi, dengan tubuh hancur dan penuh
darah. Tiba-tiba dari dalam rombongan pasukan dan orang-orang dusun yang
banyak berkumpul di tempat itu
terdengar suara nyaring seorang laki-laki, "Seret iblis betina Yang Kui
Hui....!
Dialah biang keladinya! Dialah yang
menjatuhkan kerajaan dengan menggoda Sri Baginda! Semenjak ada dia,
kerajaan menjadi lemah dan dikuasai oleh
pengkhianat-pengkhianat!" Disusul suara wanita, "Bunuh kuntilanak
itu!
Dia siluman betina! Dia Tiat Ki ke dua
....! Dia berjinah dengan An Lu Shan, dia mengumpulkan keluarganya untuk
menguasai kerajaan! Dia harus dihukum
gantung.....! Suara ini adalah suara Bu Swi Nio yang ingin membalas
kematian kakaknya. Dia menyebutnyebut
nama tokoh wanita Tiat Ki, yang dalam dongeng sejarah adalah seekor
siluman rase yang menjelma wanita
menjadi selir Kaisar dan menyeret kerajaan ke dalam kehancuran pula.
Mendengar teriakan-teriakan menghasut
dari Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio ini, pasukan yang haus darah dan yang
ridak puas itu lalu berteriak-teriak,
menuding-nuding kepada Yang Kui Hui sambil menuntut agar wanita cantik
itu digantung! "Tidak....!! Kalian
gila semua! Tidaaaakkk....!!" Kaisar memeluk tubuh selirnya yang pucat dan
hampir pingsan itu, lalu menariknya
masuk, diikuti teriakan-teriakan para anak buah pasukan dan rakyat
setempat. Kaisar dengan muka mereh
karena marahnya merangkul Yang Kui Hui yang menangis terisakisak itu,
diikuti oleh rombongan. Semua anggauta
rombongan memandang dengan muka pucat, apalagi mereka mendengar suara
ribut-ribut di luar rumah dan kini
pintu digedor-gedor lagi. "Gantung Yang Kui Hui.....!" "Bunuh
siluman
itu.....!" "Kalau tidak,
rumah ini kami bakar!!" Tentu saja Kaisar dan yang lain menjadi makin
panik. Kaisar
menjatuhkan diri di atas kursi, mukanya
pucat dan keringatnya bercucuran membasahinya, sementara itu Yang Kui
Hui berlutut di dekat kursi Kaisar,
memeluk kaki Kaisar dan memperlihatkan sikap yang memelas (menimbulkan iba)
sekali, tubuhnya gemetar karena
suara-suara dari luar yang terdengar, suara menuntuk kematiannya itu seperti
ujung pedang-pedang yang
ditusuk-tusukan ke ulu hatinya.
<CENTER>
JILID 21
</CENTER>
Gedoran pintu makin keras,
teriakan-teriakan makin hebat sementara Kaisar menanti hasil para komandan
pasukan
pengawal yang tadi keluar untuk
menyabarkan anak buahnya. Penantian yang mencekam dan menegangkan urat syaraf.
Tiba-tiba, ketik para komandan pasukan
keluar dan bicara, suarasuara teriakan dan gedoran pintu terhenti. Hati
Kaisar lega, dia menunduk dan saling
pandang dengan kekasihnya. Sepasang mata yang indah itu yang tak pernah
kehilangan daya pengaruh yang membuat
Kaisar terpesona, kini berlinang air mata. Akan tetapi hanya sejenak saja
hati mereka terhibur dan harapan mereka
timbul, karena tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan lebih keras lagi
disusul gedoran pada pintu dan dinding
dan tak lama kemudian, kepala pengawal dan para pembantunya masuk dengan
muka pucat, serta merta menjatuhkan
diri berlutut di depan Kaisar. "Hamba siap menerima hukuman karena hamba
sekalian tidak berhasil menundukan
kemarahan mereka," kata komandan pengawal sambil menunduk. Kaisar bangkit
berdiri dan pada saat itu terdengar
suara, "Bunuh siluman Yang Kui Hui! Kalau tidak, mari kita bunuh saja
semua!" "Tidak!
Tidaaaaaakkk....! Persetan....!!" Kaisar berteriak dan lengan kirinya
merangkul leher selirnya,
seolah-olah dia hendak melindungi
kekasih tercinta itu. "Dor-dor-dorrrr...." pintu digedor dari luar.
"Hancurkan saja Raja lalim dan
lemah....!" "Bakar saja rumah ini kalau yang Kui Hui tidak dihukum
mati!"
Keadaan sudah amat berbahaya dan
menegangkan. Semua bangsawan yang berada di situ sudah menjadi pucat. Pangeran
mahkota segera menjatuhkan diri
berlutut di depan Kaisar. "Dalam keadaan seperti ini, mengapa Paduka masih
kukuh?" putera mahkota itu
menangis. Para pembesar yang setia kepada kaisar juga membujuk, bahkan kepala
thaikam yang menjadi kepercayaan Kaisar
dan yang diam-diam secara pribadi memusuhi Yang Kui Hui, berkata,
"Harap Paduka suka
mempertimbangkan dengan tenang. Memang menyakitkan hati sekali tuntutan mereka.
namun,
mereka tidak dapat dibendung dan kalau
ditolak, tentu Paduka akan terancam bahaya, bahkan seluruh keluarga
Paduka. Apakah Paduka hendak
mengorbankan keselamatan Paduka sendiri dan seluruh keluarga hanya untuk satu
orang yang toh tidak akan dapat Paduka
selamatkan juga?" Putera mahkota menoleh kepada Yang Kui Hui dan
berkata, suaranya keras dan penuh
tuntutan, "Seorang yang selama puluhan tahun memperoleh kemuliaan dan
anugerah kebaikan Kaisar, apakah di
waktu terancam lalu melupakan budi yang besarnya melebihi nyawa itu?" Yang
Kui Hui menjadi pucat wajahnya dan dia
menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar, memeluk kaki Kaisar sambil
menangis dan berkata, "Biarlah
hamba membalas segala budi kebaikan Paduka....." "Tidak....!
Tidak....ohhh, Kui
Hui, tidak....! Jangan....!" akan
tetapi banyak tangan merenggut tubuh selir cantik itu dari pelukan Kaisar,
lalu menyerahkannya kepada kepala
thaikam. Selir itu diseret oleh kepala thaikam ke atas pagoda dan tak lama
kemudian, terdengarlah sorak-sorai para
pasukan melihat tubuh selir cantik jelita itu tergantung di pagoda,
tergantung lehernya dan berkelojotan
sebentar lalu terdiam. "Hidup kaisar....!!" "Biang keladi
kelemahan telah
tewas....!!" "Kita akan mengawal
Kaisar sampai titik darah terakhir!" Di sebelah dalam, Kaisar yang tadinya
menangis itu terbelalak mendengar
teriakan yang sama sekali berlainan itu. Dia bingung tidak tahu apa yang
terjadi, memandang ke kanan kiri.
"Di mana dia....? Mana Yang Kui Hui....!" Semua keluarganya
menjatuhkan diri
berlutut. "Dia..... telah
mengorbankan nyawa demi keselamatan paduka sekeluarga...." "Kui
Hui....!!" Kaisar
berlari naik ke loteng, kemudian roboh
pingsan melihat tubuh kekasihnya yang diam tidak bergerak, tergantung di
pagoda itu. Peristiwa ini merupakan
peristiwa bersejarah yang kemudian terkelan di seluruh Tiongkok sampai
berabad-abad lamanya. Bagi mereka yang
ikut merasa berduka dan terharu mendengar cerita tentang pemutusan
hubungan cinta yang amat menyedikan
ini, menganggap Kaisar itu lemah dan telah melakukan kesalahan besar.
Peristiwa ini menjadi terkenal sekali
ratusan tahun kemudian, bahkan dijadikan cerita drama yang dipangungkan
dan menjadi bahan karangan cerita
tentang peristiwa itu yang tak terhitung banyaknya. Lebih terkenal sekali
setelah sastrawan Po Cu I menulisnya
dengan judul "Kesalahan Abadi". Dengan lesu dan penuh duka, rombongan
Kaisar melanjutkan perjalanan mengungsi
ke Secuan dan kematian selir tercinta itu melumpuhkan seluruh gairah
hidup Kaisar yang sudah tua itu. Akan
tetapi, di tengah perjalanan, kembali terjadi peristiwa hebat. Ketika
rombongan itu sedang beristirahat dan
bermalam di sebuah dusun kecil di daerah yang sepi di perbatasan Secuan,
malam itu tiba-tiba heboh karena
terjadinya pembunuhan atas diri seorang di antara para pengeran yang ikut
mengungsi. Pangeran ini adalah adik
pangeran mahkota. Di waktu malam yang amat sunyi itu, dua sosok bayangan
berkelebat di atas genteng rumah-rumah
yang dijadikan tempat mengaso rombongan Kaisar. Mereka ini bukan lain
adalah Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki.
Keduanya, sebagai mata-mata An Lu Shan, setelah berhasil mengasut anak buah
pasukan pengawal sehingga terbunuhnya
Yang Kui Hui dan kakaknya, diam-diam terus mengikuti dan membayangi
rombongan itu, mencari kesempatan baik
untuk membunuh Kaisar! Inilah tujuan mereka, karena matinya Kaisar akan
merupakan kemenangan besar bagi An Lu
Shan. Akan tetapi, mereka berdua salah masuk! Mereka memasuki kamar
pangeran muda yang berada di sebelah
kamar Kaisar. Ketika dua batang pedang di tangan mereka bergrak, tubuh di
atas pembaringan, di dalam kelambu yang
tertusuk pedang dan mengeluarkan pekik maut bukanlah tubuh Kaisar,
melainkan tubuh pangeran itu! barulah
kedua orang ini tahu bahwa mereka telah keliru, dan cepat mereka meloncat
dan keluar dari dalam kamar itu melalui
jendela. "Tangkap penjahat!" "Tangkap pembunuh!!" Dalam
sekejap mata
saja kedua orang mata-mata itu dikepung
oleh belasan orang pengawal dan disergap. Tentu saja Bu Swi Nio dan
Liem Toan Ki membela diri dan membalas
dengan serangan-serangan dahsyat. Terjadilah pertandingan keroyokan di
ruangan yang cukup terang itu dan makin
lama makin banyaklah pengawal yang datang mengeroyok. Menghadapi
pengeroyokan banyak sekali pengawal
yang berkepandaian tinggi, dua orang itu menjadi repot juga. Dengan berdiri
saling membelakangi, Swi Nio dan Toan
Ki saling melindungi, pedang mereka bergerak cepat menyambar-nyambar ke
depan, kanan dan kiri menangkis semua
senjata yang datang bagaikan hujan ke arah mereka. Suara beradunya
senjata nyaring diselingi
teriakan-teriakan para pengeroyok memecah kesunyian malam di dusun itu. Tidak
kurang
dari delapan orang pengeroyok roboh
oleh pedang mereka dan kini para pengawal atas komando perwira atasan
mereka mengurung dan mengatur barisan.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Bu Swi Nio untuk menggeser kakinya
mundur sampai punggungnya beradu dengan
punggung Liem Toan Ki. Kemudian dia berbisik, suaranya mengandung
keharuan, "Maaf, Koko. Aku yang
membujukmu ke sini sehingga kau juga menghadapi bahaya maut...."
"Hushhh....,
mati atau hidup kita berdua,
Moi-moi...." "Aku tak takut mati, tapi.... aku belum sempat membalas
segala
kebaikanmu, Koko...." "Tidak
ada kebaikan di antara kita. Kita saling mencinta, bukan? Mencinta sampai kita
mati bersama!" Ucapan Toan Ki ini
membangkitkan semangat di dalam hati Swi Nio. Sambil memengang pedang
erat-erat dan tangan kirinya dikepal,
dia berkata. "Aku akan merasa bangga denganmu, Koko!" Percakapan
bisik-bisik itu dihentikan karena kini
para pengeroyok yang tadi mengurung mereka telah mulai menyerang. Kini
pengeroyokan mereka teratur, dan
serangan datang bertubi-tubi, berantai karena mereka mengelilingi dua orang
ini sampai tiga empat baris. Swi Noi
dan Toan Ki kembali harus menggerakan pedang masing-masing untuk menangkis
dan melindungi tubuh mereka, namun
karena datangnya serangan tidak seperti tadi, kadang-kadang bertubi-tubi dan
susul menyusul, mereka berdua menjadi
repot sekali dan tiba-tiba terdengar Swi Nio mengeluh perlahan ketikabahu
kirinya terkena hantaman gagang tombak.
Biarpun keduanya telah terluka, namun mereka terus mengamuk, pedang
mereka menyambar-nyamabar dan kembali
robohlah empat orang pengeroyok, sungguhpun mereka berdua sendiri juga
mengalami lukaluka bacokan. Maklumlah
keduanya bahwa menghadapi pengeroyokan demikian banyak pengawal, Mereka
tidak mungkin dapat meloloskan diri,
maka mereka mengamuk untuk dapat membunuh sebanyak mungkin musuh sebelum
mereka berdua dirobohkan.Mereka berdua
sudah bertekad untuk melawan sampai mati. Akan tetapi tiba-tiba terjadi
perubahan. Para pengurung dan
pengeroyok menjadi kacau balau dan terdengar suara meledak-ledak nyaring serta
disusul pekik-pekik kesakitan dan
robohlah beberapa orang pengeroyok yang kena disambar oleh sebatang cambuk
berduri. Juga ada para pengeroyok yang
dilempar-lemparkan sepasang lengan yang amat kuat. Swi Nio dan Toan Ki
terkejut dan girang sekali karena
maklum bahwa ada bala bantuan datang. Mereka tadinya menduga bahwa yang
datang tentulah teman-teman mereka,
para mata-mata yang disebar oleh An Lu Shan. Akan tetapi mereka menjadi
terheran-heran dan kagum sekali ketika
menyaksikan bahwa yang mendatangkan kekacauan pada pihak para pengeroyok
hanyalah dua orang, seorang pemuda
tinggi besar yang gagah perkasa, yang menggunakan kedua tangannya
melempar-lemparkan para pengawal, dan
seorang dara yang amat cantik jelita dan gagah, dara yang mengamuk dengan
sebatang cambuk berduri dan sebatang
pedang, gerakannya cepat dan ganas. Siapakah dua orang yang tidak dikenal
oleh Swi Nio dan Toan Ki itu? Mereka
adalah Ouw Soan Cu, gadis Pulau Nereka yang lihai itu, dan pemuda tinggi
besar Kwee Lun, murid Lam-hai Seng-jin
yang tinggal di Pulau Kura-kura di laut selatan. Seperti telah
diceritakan di bagian depan, mereka
berdua saling berjumpa di puncak Awan Merah di Pegunungan Tai-hang-san,
yaitu di tempat tinggal Tee-tok
Siangkoan Houw. Ouw Soan Cu gadis Pulau Neraka itu datang bersama Sin Liong
sedangkan Kwee Lun yang menjadi teman
seperjalanan dan sahabat Swat Hong datang pula bersama gadis itu.
Tadinya, sebelum Sin Liong pergi
bersama Swat Hong untuk mencari The Kwat Lin di Bu-tong-pai, pemuda ini yang
merasa kasihan kepada Soan Cu
menitipkan gadis itu kepada Tee-tok Siangkoan Houw. Akan tetapi melihat Sin
Liong
pergi bersama Swat Hong, Soan Cu tidak
mau tinggal di tempat itu, lalu dia pun pergi hendak mencari ayahnya.
Dan Kwee Lun, yang merasa tertarik
kepada gadis cantik jelita dan galak serta jujur itu, segera berpamit dan
cepat lari mengejar Soan Cu. Di kaki
pegunungan Tai-hang-san, barulah Kwee Lun mampu menyusul Soan Cu karena
gadis itu memperlambat larinya dan
berjalan dengan termenung. Setelah kini mulai melakukan perjalanan seorang
diri, barulah Soan cu merasa bingung
sekali. tadinya, melakukan perjalanan bersama Sin Liong, dia tidak tahu
apa-apa, hanya ikut saja dan segeralah
hal diputuskan oleh pemuda itu. Setelah kini sadar bahwa dia berada
seorang diri di dunia yang luas ini,
dia merasa kesepian dan bingung. Dia tidak mengenal tempat dan tidak tahu
harus menuju ke mana untuk mencari
ayahnya! Teringat akan semua ini, hatinya kecil dan gelisah, juga marah.
Marah kepada Sin Liong yang meninggalkanya.
"Nona Ouw, perlahan dulu.....!" Karena termenung dan hatinya
gelisah, Soan Cu sama sekali tidak
memperhatikan keadaan sekitarnya maka dia tidak tahu bahwa ada orang
membayanginya di belakang. Barulah dia
terkejut ketika mendengar seruan itu dan cepat dia membalikkan tubuhnya
memandang. Dia cemberut melihat bahwa
yang memanggilnya adalah pemuda tinggi besar yang pernah bertempur dengan
dia di Puncak Awan Merah karena pemuda
ini memembela Swat Hong dan dia membela Sin Liong. Teringat akan
peristiwa itu, tiba-tiba saja dia
merasa gelisah dan menahan ketawanya dengan senyum lebar, lalu menutupi
mulutnya. Melihat gadis itu menahan
ketawa, namun jelas sinar mata gadis itu mentertawakannya, Kwee Lun
mengerutkan alisnya yang tebal, akan
tetapi dia pun tersenyum dan berkata sambil menjura, "Nona Ouw, mengapa
engkau menahan ketawa dan
menyembunyikan senyum? Menyambut seorang kenalan dengan senyum lebar di bibir
merupakan penghormatan paling besar.
Senyum adalah seperti matahari pagi, menghidupkan menenteramkan, penuh
damai dan bahagia....." Mendengar
ucapan pemuda itu yang diatur seperti orang membaca sajak, Soan Cu tertawa
dan dia kagum juga. Terdengar amat
indah kata-kata tadi. Akan tetapi timbul pula kenakalannya dan dai menjawab
dengan nada mengejek, "Orang She
Kwee, aku tertawa bukan menyambutmu, melainkan teringat akan peristiwa yang
amat lucu. Engkau datang bersama Han
Swat Hong, membelanya mati-matian, akan tetapi sekarang di manakah dia?
Engkau ditinggalkan begitu saja! Betapa
lucunya! Lucu ataukah menyedihkan?" Alis tebal itu makin dalam
berkerut, akan tetapi kemudian Kwee Lun
tersenyum lagi dan menganggukangguk. "Memang lucu sekali! Ha-ha-ha-ha,
lucu sekali!" Melihat pemuda itu
tidak tersinggung malah tertawa-tawa, Soan Cu menjadi penasaran. "Apa yang
lucu?" bentaknya. "Kau.....
eh, kita berdua.... yang lucu. Mengapa bisa begini kebetulan?" "Apa
yang
kebetulan?" Soan Cu makin
penasaran karena ejekannya itu kini agaknya malah dibalikan oleh pemuda itu
kepadanya. "Bukankah kebetulan
sekali nasib kita amat serupa? Aku datang bersama Nona Swat Hong dan aku
ditinggalkan, sebaliknya engkau pun
datang bersama Sin Liong dan engkau ditinggalkan pula. Nasib kita benar
serupa, bukankah ini amat
lucunya?" Wajah Soan Cu menjadi merah sekali. "Sratttt!" Pedang
Coa-kut-kiam yang
bersinar-sinar telah berada di tangan
kanannya.Kwee Lun terkejut bukan main, hanya memandang bengong karena
sama sekali tidak menyangka bahwa gadis
yang dianggapnya jujur dan lincah gembira ini demikian mudah
tersinggung! "Eh, Nona Ouw.....
kau.... marah oleh godaanku tadi?" "Siapa marah? Hayo cabtu pedangmu,
kita
lanjutkan pertempuran kita yang
terhenti ketika di Puncak Awan Merah. Aku masih belum kalah olehmu!" Kwee
lun
penarik napas panjang, hatinya lega.
Tepat dugaannya, nona ini sama sekali bukan tersinggung oleh godaannya,
melainkan karena memiliki watak aneh,
ingin melanjutkan pertempuran ketika mereka saling membela sahabat
masing-masing di Puncak Awan Merah.
"Wah, berat, Nona. Aku terima kalah. Dalam geberakan-geberakan yang pernah
kita lakukan itu saja aku sudah tahu
bahwa ilmu kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada aku. Pula kita bukanlah
musuh. terserah kalau Nona hendak
menganggap aku musuh, akan tetapi aku Kwee Lun sama sekali tidak menganggap
kau sebagai musuhku. Bahkan sebaliknya,
di antara kita, mau atau tidak telah terdapat ikatan persahabatan yang
amat erat." "Hemm, jangan kau
mencoba untuk membujuku. Persahabatan dari mana? Enak saja kau bicara!"
""Eh,
apakah kau hendak menyangkal bahwa
engkau adalah sahabat baik dari Kwa Sin Liong, Nona?" "memang, dia
adalah
sahabat baikku, bukan engkau!"
"Nah, kalau engkau sahabat baik dari dari Kwa Sin Liong, berarti engkau
adalah
sahabat baikku pula. Kwa Sin Liong
adalah Suheng dari Han Swat Hong, dan Nona itu adalah sahabatku. Sahabat
dari Si Suheng tentu juga menjadi
sahabat baik dari sahabat Si Sumoi, bukan?" "Hemm, kau memang pandai
bicara."
Soan Cu menyarungkan kembali pedangnya.
"Bilang saja bahwa kau tidak berani melawan aku!" "Tentu saja
tidak
berani, karena memang pedangku bukan
untuk melawan, melainkan untuk membantumu mencari kembali Ayahmu. Bukankah
kau hendak mencari Ayahmu, Nona?
Tahukah kau ke mana kau harus mencarinya?" Ditegur seperti itu, Soan Cu
menjadi bingung lagi. Memang tadi dia
sedang termenung bingung, tidak tahu harus pergi ke mana, dengan matanya
yang indah terbelalak gadis itu
memandang kepada Kwee Lun dan menggelengkan keplanya, lalu dia berkata,
"Apakah
kau tahu?" "Tentu saja aku
tidak tahu, Nona. Aku belum mengenal Ayahmu itu. Akan tetapi, sebagai seorang
gadis
muda, sungguh tidak leluasa bagimu
untuk mencari sendiri. Aku dapat membantumu, aku sering merantau dengan
guruku dahulu , dan aku banyak mengenal
daerah-daerah, tahu pula dunia kang-ouwse sehingga agaknya akan lebih
menguntungkan bagimu dan menyenangkan
bagiku kalau kita melakukan perjalanan bersama. Tentu saja kalau kau
suka....." Sampai lama Soan Cu menatap
wajah pemuda itu, kemudian dia menghela napas, berkata, "Engkau baik
sekali, seperti Sin Liong. Tentu saja
engkau tidak dapat kuandalkan seperti dia, kepandaianmu tidak sehebat
dia. Akan tetapi engkau juga gagah
perkasa, jujur dan itu sudah cukup untuk meyakinkan aku bahwa engkau tentu
dapat menjadi seorang sahabat."
"Ha-ha-ha, terima kasih, ha-ha-ha! Sudah kuduga bahwa engkau adalah
seorang
gadis yang luar biasa, polos dan tidak berpura-pura,
cantik dan gagah perkasa. Ha-ha-ha!" Kwe Lun tertawa
dengan bebas dan terkejutlah Soan Cu
ketika , melihat betapa air mata mengalir di kedua pipi pemuda tinggi
besar yang gagah dan tampan ini.
"Eh, kau menangis??" Kwee Lun menghentikan tawanya, mengusap air mata
dengan
ujung lengan bajunya sambil menggeleng
kepala. "Ini adalah penyakitku, Nona. Aku selalu mengeluarkan air mata
kalau tertawa terlalu gembira. Akan
tetapi, kalau dilihat kenyataannya, apa sih bedanya antara tawa dan tangis?
Apakah bedanya antara senang dan susah,
antara nyeri dan nikmat? Kesemuanya adalah dua muka dari satu tangan,
tak terpisahkan. Mencari yang satu,
pasti akan ketemu dengan yang ke dua." "Wah, kau memang seorang
manusia
aneh, Kwee-toako. Kau gagah perkasa,
pemberani, pandai bersajak, pandai filsafat, dan.... cengeng!" Girang
bukan main hatinya mendengar gadis itu
menyebutnya toako, tanda bahwa gadis itu benarbenar mau menerima
persaudaraan atau persahabatan diantara
mereka. "Ouw-siocia..... atau engkau lebih senang kusebut adik?"
"Sebut
saja namaku Soan Cu." "Bagus!
Kau hebat! Soan Cu kau percayalah, aku Kwee Lun bukanlah seorang yang berarti
palsu. Engkau tidak akan kecewa menaruh
kepercayaan kepadaku dan sudi menerima uluran tangan persahabatan
dariku. Aku akan berdaya upaya sedapat
mungkin untuk mencari Ayahmu itu. Siapakah nama beliau?" "Ayahku
bernama
Ouw Sian Kok, tokoh besar dari Pulau
Neraka yang sudah belasan tahun meninggalakn Pulau Neraka." Tiba-tiba Kwee
Lun memandang dengan mata terbelalak
dan mukanya berubah agak pucat, bibirnya bergetar ketika dia menegaskan.
"Pu.... Pulau..... Neraka?"
Soan Cu tersenyum. "Apakah kau masih mau menganggap aku sahabat setelah
kau tahu
aku adalah seorang gadis dari Pulau
Neraka?" "Eh-eh, jangan salah paham, Soan Cu. Aku..... hanya terkejut
sekali mendengar ada pulau yang namanya
seperti itu. Pernah guruku, Lam-hai Sengjin mengatakan bahwa di dalam
dongeng yang tersebar diantara kaum
kang-ouw, terdapat sebutan dua pulau. Pertama adalh Pulau Es....."
"Tempat
tinggal Sin Liong dan Swat Hong!"
"Benar, dan aku sudah merasa bahagia bukan main telah bertemu dengan
seorang
puteri Pulau Es. dan Ke dua, menurut
Suhu adalah pulau yng tentu tidak pernah ada dan hanya ada dalam dongeng,
adalah Pulau Neraka........"
"Bukan dongeng. Akulah gadis Pulau Neraka." Ouw Soan Cu lalu
menceritakan dengan
singkat keadaan Pulau Neraka, juga tentang
ayahnya yang minggat dari pulau ketika ibunya tewas melahirkan dia.
"Ah, kasihan sekali engkau, Soan
Cu." "Ayahku yang patut dikasihani." "Tidak! Ayahmu telah
melakukan hal yang
amat keliru. Perbuatannya lari dari
Pulau Neraka itu jelas membayangkan betapa ayahmu hanyalah mngingat akan
dirinya sendiri saja." "Kwee
Lun! Apa yang kaukatakan ini? kau berani menghina nama ayah di depanku?"
Soan Cu
melotot marah. "Maaf, Soan Cu. Aku
sama sekali tidak menghina siapa pun. Aku hanya bicara berdasarkan
kenyataan. Ibumu meninggal duni ketika
melahirkanmu, apakah beliau itu salah? Engkau sendiri yang dilahirkan
dan kelahiran itu mengakibatkan
kematian ibumu, apakah engkau pun bersalah? Tentu saja tidak! Mendiang ibumu
dan engkau sama sekali tidak bersalah
dan kematian itu adalah suatu hal yang wajar, yang sudah semestinya dan
lumrah karena hidup dan mati hal yang
biasa. Akan tetapi ayahmu. Beliau malah lari meninggalkan pulau,
meninggalkan anaknya yang baru
terlahir! Apakah perbuatan ini harus kubenarkan saja? Kalau aku berbuat
demikian, berarti aku bukan membenarkan
secara jujur, melainkan menjilat untuk menyenangkan hatimu." Lenyap
kemarahan Soan Cu. Dia menunduk. "kau
aneh, Kwee-toako, aneh dan terlalu terus terang. Habis andaikata benar
seperti yang kau katakan bahwa Ayah
terlalu mementingkan diri sendiri apakah aku, sebagai anaknya tidak boleh
mencari Ayahku?" "Bukan
begitu, Soan Cu. Tentu saja engkau harus mencari Ayahmu dan aku akan membantumu
sampai
kita berhasil menemukan Ayahmu.
Mudah-mudahan saja kita akan berhasil karena harus diakui betapa akan sukarnya
mencari seorang yang tidak kita ketahui
berada di mana. Akan tetapi aku percaya bahwa kalau memang Ayahmu yang
telah pergi selama belasan tahun itu
berada di daratan, sebagai seorang tokoh besar, tentu ada orang kang-ouw
yang mengetahuinya." Demikanlah,
kedua orang muda ini melakukan perjalanan bersama dan makin eratlah hubungan
diantara mereka. Dalam diri
masing-masing mereka menemukan sahabat yang cocok kepribadian yang serasi
dengan
watak masing-masing, terbuka, jujur dan
tidak bisa bermanis-manisan muka. Soan Cu mulai tertarik sekali kepada
pemuda tinggi besar yang tampan, jujur,
jenaka dan biarpun kelihatan kasar, namun ternyata pandai bernyanyi dan
membaca sajak-sajak indah. Di lain
pihak, Kwee Lun juga tertarik sekali oleh pribadi Soan Cu, seorang gadis
yang kadang-kadang kelihatan liar dan
ganas, tidak pernah menyembunyikan perasaan, namun kadang-kadang begitu
lembut dan penuh sifat keibuan. makin
akrab hubungan mereka, makin terobatlah hati yang tadinya luka oleh
asmara. Kwee Lun mulai dapat melupakan
Swat Hong yang dikaguminya, sedangkan Soan Cu mulai dapat melupakan Sin
Liong. Kwee Lun bersama Soan Cu
melakukan penyelidikan sampai jauh ke barat, karena dia mendengar dari seorang
tokoh Kangouw bahwa nama Ouw Sian Kok
pernah muncul dibarat. Akan tetapi, pada waktu mereka melakukan
perjalanan ke barat untuk mencari jejak
tokoh Pulau Neraka itu, keadaan sudah kacau balau oleh perang dan arus
manusia ke barat amat banyak. Kedua
orang muda itu terbawa harus manusia dan mereka pun seperti dua orang yang
sedang mengungsi ke barat. Ketika
mendengar bahwa rombongan Kaisar yang melarikan diri berada di depan,
mendengar pula tentang kematian selir
terkenal Yang Kui Hui bersama kakaknya yang menjadi perdana menteri, Kwee
Lun berkata kepada temannya, "Soan
Cu, mari kita melihat keadaan Kaisar. Aku tidak mencampuri urusan perang,
akan tetapi siapa tahu, rombongan
keluarga bangsawan tertinggi yang melarikan itu akan menarik perhatian
orang-orang kang-ouw, termasuk
Ayahmu." Seperti biasa selama melakukan perjalanan bersama, Soan Cu hanya
menyetujui karena dia sendiri tidak
tahu apa-apa. Hanya mengharapkan untuk bertemu dengan ayahnya mulai menipis
karena sampai saat itu belum juga ada
keterangan yang jelas dan meyakinkan tentang diri ayahnya. Malam itu
mereka dapat menyusul rombongan Kaisar
yang berada dalam keadaan berduka setelah terjadi peristiwa pembunuhan
Yang Kui Hui karena Kaisar selalu murung
dan berduka sekali. Dan seperti diceritakan di bagian depan, pada
malam itu terjadi lagi peristiwa hebat
yang menimpa rombongan Kaisar, ketika Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki
diam-diam menyelinap ke dalam temapat
penginapan dan hendak membunuh Kaisar akan tetapi salah masuk dan
sebaliknya membunuh seorang pangeran
muda. Ketika Soan Cu dan Kwee Lun melihat dua orang muda yang dengan gagah
perkasa mengamuk dan dikepung ketat
oleh para pengawal, telah menderta luka-luka namn masih terus mengamuk
hebat, Kwee Lun menjadi kagum dan
berbisik, "Melihat gerakannya, pemuda gagah itu tentu murid Hao-san-pai
adalah orang gagah, pendekar sejati,
maka sepatutnya kita menolong mereka." Soan Cu mengangguk."Memang
tidak
adil sekali dua orang dikeroyok puluhan
orang perajurit seperti itu. Gadis itu pun gagah dan cantik. Mari,
Toako, kita bantu mereka meloloskan
diri." Mereka lalu melayang turun dari atas pohon dari mana mereka tadi
mengintai, dan tak lama kemudian
gegerlah para pengeroyok ketika dua orang muda ini menyerbu dari luar kepungan
dan merobohkan para pengeroyok dengan
amat mudahnya. Kwee Lun tidak mencabut pedangnya, melainkan menggunakan
kedua tangannya yang kuat menangkapi
dan melempar-lemparkan pengawal yang menghadang di depannya, sedangkan
Soan Cu mengamuk dengan cabuk berduri
di tangan kri dan sebatang pedang di tangan kanan. Gerakan dara ini bukan
main ganasnya, cambuknya meledak-ledak
dan setiap ledakan disusul robohnya seorang pengeroyok, pedangnya
membuat gerakan cepat sehingga tampak
sinar bergulung-gulung yang merontokan semua senjata lawan. "Harap Ji-wi
mundur dan cepat lari, biar kami
menahan mereka!" kata Kwee Lun sambil menggerakkan sikunya yang kuat
merobohkan seseorang pengawal yang
menerjangnya dari belakang. "Terima kasih atas bantuan Ji-wi (Anda
Berdua)!"
seru Liem Toan Ki dengan girang karena
dia khawatir sekali akan keadaan kekasihnya. Sambil menggerakkan pedang
, mereka lalu mundur dan membuka jalan
darah, merobohkan mereka yang berani menghadang dan karena kini para
pengawal itu dikacaukan oleh Kwee Lun
dan Soan Cu, tidak sukar bagi Swi Nio dan Toan Ki untuk meloloskan diri
dari kepungan yang sudah terpecah belah
itu. Setelah melihat dua orang itu menghilang, Kwee Lun juga mengajak
Soan Cu meninggalkan gelanggang
pertempuran dan menghilang di dalam gelap, mengejar bayangan dua orang yang
mereka tolong itu. Menjelang pagi, Soan
Cu dan Kwee Lun melihat dua orang yang ditolongnya tadi sedang menanti
mereka di luar sebuah hutan besar.
Melihat dua orang penolong mereka, Swi Nio dan Toan Ki cepat maju dan
memberi hormat dengan mengangkat kedua
tangan ke depan dada dan membungkuk. "Banyak terima kasih kami haturkan
atas bantuan Ji-wi yang mulia,"
kata Toan Ki. "Kalau tidak mendapat bantuan Ji-wi, tentu kami berdua telah
tewas di tangan para pengawal Kaisar
itu." "Ah, diantara kita, bantu membantu merupakan hal yang sudah
sewajarnya," jawab Kwee Lun.
"kami sendiri juga mengharapkan bantuan Ji-wi." "Bantuan apa?
Kami akan bergembira
sekali kalau dapat membantu
Ji-wi," seru Liem Toan Ki yang telah merasa berhutang budi. "Kami
berdua sedang
mencari seorang tokoh bernama Ouw Sian
Kok, tokoh dari Pulau Neraka. Barangkali Ji-wi dapat membantu kami di
mana adanya Ouw-locianpwe itu?"
Kaget juga Swi Nio dan Toan Ki mendengar disebutnya Pulau Neraka, mereka saling
pandang dan menggelengkan kepala.
"Sayang, kami sendiri belum pernah mendengar nama Ouw Sian Kok dari Pulau
Neraka. Akan tetapi kami akan membantu
sekuat tenaga. Di manakah adanya beliau yang terakhir kalinya, dan
apakah Ji-wi sudah mendapatkan
jejaknya?" "Itulah sukarnya. Kami tidak tahu beliau berada di mana
maka
mengharapkan keterangan dari
orang-orang kang-ouw." "Kalau begitu, mari Ji-wi ikut dengan kami ke
timur. Saya
kira, mencari seorang tokoh besar di
dunia kangouw akan bisa kita dapatkan keterangan selengkapnya di sekitar
kota raja. Apalagi sekarang, setelah
perjuangan An Lu Shan Tai-ciangkun berhasil, tentu banyak tokoh kang-ouw
muncul di kota raja dan kita dapat
bertanya-tanya kepada mereka." "Akan tetapi kabarnya di sana terjadi
perang,
bahkan banyak orang mengungsi ke
Secuan." Toan Ki tersenyum. "Jangan khawatir, kami berdua adalah
orang-orang
dalam! Kami berdua bekerja untuk
An-taiciangkun, maka kami mempunyai banyak kenalan di sana. Sekarang Tiang-an
telah diduduki, dan agaknya keadaan
tentu telah aman kembali. " Mereka bercakap-cakap dan terdapatlah
kecocokan
di antara mereka. Juga Soan Cu menjadi
akrab dengan Swi Nio. Gadis Pulau Neraka yang masih hijau ini senang
sekali mendengar penuturan Swi Nio yang
sudah berpengalaman, sebaliknya Swi Nio juga kagum terhadap dara cantik
yang ternyata adalah seorang dari Pulau
Neraka yang hanya dikenal dalam dongeng, kagum menyaksikan kehebatan
ilmu kepandaian Soan Cu tadi dan jug
ngeri menyaksikan senjata-senjata yang ampuh dan ganas itu. Berangkatlah
mereka berempat, kembali ke timur
menuju ke Tiang-an, kota raja pertama yang telah terjatuh ke tangan An Lu
Shan. Setelah berhasil menduduki
Lok-yang ibu kota kedua itu melalui pertempuran yang seru, An Lu Shan memimpin
pasukan intinya menuju ke Tiang-an.
Kembali dia harus menghadapi perlawanan gigih di Lembah Tung Kuan, akan
tetapi setelah lembah ini didudukinya,
pasukan-pasukan terus menekan dan bergerak menuju ke Tiang-an.
Demikianlah, Tiang-an, ibu kota yang
megah itu, diserbu dan didudukinya dengan amat mudah, hampir tidak ada
perlawanan sama sekali. Hal ini adalah
karena banyak kaki tangan dan mata-matanya yang dipimpin oleh Ouwyang
Cin Cu dan The Kwat Lin, telah lebih
dulu melakukan kekacauan-kekacauan sehingga melemahkan pertahanan, juga
Kaisar melarikan diri meninggalkan kota
raja Tiang-an, hal ini membuat para pasukan penjaga menjadi kehilangan
semangat dan sebagian besar di anatara
mereka menyatakan takluk tanpa melalui peperangan yang lama, ada pula
yang melarikan diri menyusul rombongan
Kaisar ke barat. Seperti biasa terjadi di waktu perang, dari jaman
dahulu sebelum sejarah tercatat sampai
sekarang, akibat-akibat yang mengerikan terjadi dan menimpa diri pihak
yang kalah perang. Demikian pula nasib
para bangsawan di kota raja yang tidak sempat melarikan diri. Banyak
orang dibunuh hanya oleh tudingan jari
tangan orang lain yang memfitnahnya, mengatakan bahwa orang itu adalah
matamata pemrintah. Mayat
bergelimpangan di sepanjang jalan dan anggauta-anggauta pasukan pemberontak
yang
menang perang itu berpesta pora
mengangkuti harta benda dan wanita dari pihak yang kalah. Jerit tangis
wanita-wanita yang dipaksa dan
diperkosa, membumbung tinggi ke angkasa, bercampur baur dengan sorak dan tawa
kemenangan. Dan An Lu Shan, seorang yang ahli dalam hal memimpin
pasukan, sengaja membiarkan saja hal itu
terjadi agar darah yang bergolak di
dada para anak buahnya dapat diredakan. Beberapa hari kemudian, setelah
anak buahnya sepuas-puasnya dan
sekenyang-kenyangnya mengganggu wanita dan merebutkan harta benda yang
ditinggal lari, barulah muncul perintah
yang melarang perbuatan seperti itu. Namun An Lu Shan juga tidak
melupakan janji-janjinya kepada para
pembantunya yang telah berjasa. Dengan royal dia lalu membagi-bagikan
pangkat, gedung bekas tempat tinggal
para bangsawan yang melarikan diri atau terbunuh, membagi-bagikan harta
benda dan para puteri cantik yang
menjadi tawanan. Maka selama beberapa bulan lamanya berpesta poralah para
kaki tangan An Lu Shan yang menerima
hadiah-hadiah itu. Tentu saja An Lu Shan lebih lagi memperhatikan para
pembantu yang tangguh dan yang masih
diharapkan bantuan mereka. Kepada mereka ini dia memberi hadiah yang lebih
besar lagi. Dia tidak mengingkari
janjinya terhadap para pembantu yang berjasa besar seperti The Kwat Lin bekas
Ratu Pulau Es itu, maka setelah
Tiang-an diduduki, putera The Kwat Lin yang bernama Han Bo ong lalu diberi
anugerah pangkat pangeran! The Kwat Lin
sendiri diangkat menjadi seorang panglima pengawal, sedangkan Ouwyang
Cin Cu diangkat menjadi koksu (guru
penasihat negara). Dapat dibayangkan betapa girangnya hati The Kwat Lin.
Cita-citanya tercapai, puteranya telah
menjadi pangeran dan kalau dia pandai mengatur kelak siapa tahu terbuka
kesempatan bagi para puteranya untuk
menjadi Kaisar! Tidaklah mengherankan apa yang terkandung dalam hati The
Kwat Lin sebagai cita-cita ini. Sudah
lajim bagi kita manusia di dunia ini untuk selalu menjadi hamba dari
cita-cita kita sendiri. Seluruh
kehidupan ini seolah-olah dikuasai dan diatur oleh cita-cita kita
masing-masing. Kita tenggelam dalam
khayal dan cita-cita, tidak tahu betapa cita-cita amatlah merusak hidup
kita . Cita-cita membuat pandang mata
kita selalu memandang jauh ke depan penuh harapan untuk mencapai sesuatu
yang kita cita-citakan. Pandang mata
yang selalu ditujukan ke masa depan yang belum ada ini, tangan yang
dijangkaukan ke depan untuk selalu
mengejar apa yang belum kita miliki membuat kita hidup seperti dalam
bayangan. Kita tidak mungkin dapat
menikmati hidup, padahal hidup adalah saat demi saat, sekarang ini, bukan
masa depan yang merupakan bayangan
khayal atau masa lalu yang sudah mati. Sekali kita menghambakan diri kepada
cita-cita, selama hidup kita akan
terbelenggu oleh cita-cita karena tidak ada cita-cita yang dapat terpenuhi
sampai selengkapnya, dan kita terseret
ke dalam lingkaran setan yang tak berkeputusan. Mendapat satu ingin dua,
memperoleh dua mengejar tiga dan
selanjutnya, itulah cita-cita! Dan semua itu akan kita kejar terus sampai
kematian merenggut kehidupan kita,
bahkan di ambang kubur sekali pun di waktu mendekati kematian, kita masih
terus di cengkeram cita-cita, yaitu
cita-cita untuk masa depan sesudah mati! Betapa mungkin kita dapat
menikmati hidup ini kalau mata kita
selalu memandang masa datang yang belum ada? Sebaliknya, orang yang bebas
dari cita-cita, bebas dari masa lalu
dan masa depan, dapat menghayati hidup ini saat demi saat! Demikian pula
dengan The Kwat Lin. Cita-citanya
tercapai dengan diangkatnya puteranya menjadi pangeran, akan tetapi sudah
habis di situ sajakah citacitanya? Sama
sekali belum! jauh dari pada cukup atau habis! Bahkan cita-cita barunya
yang lebih hebat baru saja dia mulai,
yaitu cita-cita melihat puteranya menjadi kaisar! Karena cita-cita ini,
maka keadaannya pada saat itu tidak
terasa membahagiakan, bahkan terasa amat kurang. Hanya pangeran! hanya
panglima pengawal! Jauh dibandingkan
dengan puteranya menjadi kaisar dan dia menjadi ibu suri! Banyak orang
membantah, mengatakan bahwa cita-cita
mendatangkan kemajuan, tanpa cita-cita kita tidak akan maju. Apakah
cita-cita itu? Apakah kemajuan itu?
Cita-cita adalah keinginan akan sesuatu yang belum terdapat oleh kita. Dan
keinginan seperti ini merupakan
dorongan nafsu yang tak mengenal kenyang, makin dituruti makin lapar dan haus,
menghendaki yang lebih. Dan akhirnya
akan sukar dibedakan lagi dengan ketamakan, kerakusan yang mendatangkan
pertentangan, permusuhan dan kesengsaraan.
Dan apakah kemajuan itu? Sudah menjadi pendapat umum bahwa kemajuan
adalah keduniawian, harta benda,
kedudukan, nama besar. Apakah "kemajuan" seperti ini mendatangkan
kebahagiaan"
hanya mereka yang telah memiliki nama
terkenal saja yang mampu menjawab, dan jawabannya pasti TIDAK! Bahkan
sebaliknya malah. makin banyak
kedudukan atau nama besar, makin ketat kita melekat kepada duniawi, makin
banyak
pula kesengsaraan hidup yang kita
derita berupa kekecewaan, pertentangan dan kekhawatiran. karena yang sudah
pasti saja, hanya mereka yang masih
memiliki lahir batin yang akan kehilangan! Dan kehilangan berarti
kekecewaan, kedukaan dan sebelumnya
terjadi kehilangan, kita digerogoti kekhawatiran. Akan tetapi pada waktu
itu tidak nampak seorang pun karena
pada waktu itu, rakyat penghuni ibu kota sedang dicengkeram ketakutan
hebat. Seperti biasa setelah perang
berakhir, rakyat yang menjadi sasaran mereka yang memperoleh kemenangan.
Para anggauta pasukan baru berkeliaran
keluar masuk perkampungan, keluar masuk rumah orang seperti rumahnya
sendiri, bahkan tidak jarang terjadi
mereka memasuki kamar tidur orang seperti memasuki kamar tidur sendiri
sambil menyeret nyonya rumah yang masih
muda atau anak gadis mereka! Seperti para atasannya yang mengadakan
pesta besar-besaran, kaum rendahan juga
berpesta dengan gayanya tersendiri. Seperti biasanya pula, penduduk
hanya pandai menangis dan mengeluh mengadu
kepada Thian sebagai hiburan satu-satunya. Menjelang tengah malam,
pesta masih amat ramai. Ouwyang Cin Cu
sebagai seorang yang berkedudukan tinggi sekali sekarang, seorang koksu,
datang juga hanya sekedar memberi
selamat dan tidak tinggal lama. Akan tetapi para pengawal baru, tentu saja
mereka yang berpangkat perwira ke atas,
masih berpesta pora karena memang The Kwat Lin ingin mengambil hati
para rekannya ini yang kelak dia
harapkan bantuan mereka. Bahkan ketika para tamu orang penting sudah
meninggalkan tempat pesta dalam keadaan
setengah mabok dan tempat itu mulai sepi, The Kwat Lin masih menahan
para pembesar pengawal yang jumlahnya
belasan orang itu untuk diajak berunding mengenai tugas mereka yang baru
sebagai pengawal-pengawal istana,
bahkan mereka merupakan dewan pimpinannya. Lewat tengah malam, para tamu
sudah pulang dan yang tinggal hanyalah
empat belas orang pimpinan pengawal yang kini dijamu dan diajak
berunding di ruangan dalam, adapun
ruangan luar tempat pesta mulai dibersih-bersihkan oleh sejumlah pelayan
yang kelihatan lelah dan mengantuk.
Pada saat itulah berkelebat bayangan tiga orang. Para pelayan yang
membersihkan tempat bekas pesta itu hanyalah
melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu di tempat itu kelihatan
dua orang wanita cantik dan seorang
laki-laki gagah sudah berdiri dengan sikap angker! Tentu saja para pelayan
terkejut sekali dan mengira bahwa
orang-orang aneh yang bergerak amat cepatnya ini tentulah sahabat majikan
mereka yang juga terkenal lihai bukan
main, maka seorang di antara mereka menyambut sambil menjura dan berkata,
"Sam-wi yang terhormat agak
terlambat karena pesta telah bubar." "Kami tidak ingin pesta,"
jawab wanita yang
setengah tua dengan sikap keren.
"Kami ingin berjumpa dengan majikan kalian." Melihat sikap yang keren
penuh
wibawa ini, para pelayan menjadi gentar
dan dua orang di antara mereka cepat memasuki ruangan dalam di mana The
Kwat Lin sedang mengadakan perundingan
dengan rekanrekannya. Diam-diam wanita itu, Liu Bwee, memberi isyarat
dengan matanya kepada Swat Hong,
puterinya. Swat Hong mengangguk dan dengan gerakan yang amat cepat dara ini
sudah meloncat dan menyelinap lenyap
dari situ, sedangkan ibunya dan Ouw Sian Kok sudah menerjang ke dalam
ruangan ketika melihat pelayan tadi
pergi melapor. Baru saja dua orang pelayan itu memasuki ruangan dalam dan
belum sempat mengeluarkan kata-kata,
pintu telah terbuka lebar dan Liu Bwee bersamaa Ouw Sian Kok telah
menerjang ke dalam. "Heiii!
Siapa....!!" Bentakan The Kwat Lin terhenti dan wajahnya berubah pucat
ketika dia
melihat munculnya wanita yang tentu saja
amat dikenalnya itu. Dia menjadi pucat ketakuan karena mengira bahwa
bekas suaminya, Han Ti Ong Raja Pulau
Es yang amat ditakutinya itu muncul. Akan tetapi ketika melihat bahwa
laki-laki yang datang bersama Liu Bwee
itu bukanlah Han Ti Ong, hatinya menjadi lega dan dengan tabah dia
meloncat ke depan, dua kali menendang
membuat dua orang pelayannya terlempar keluar ruangan, kemudian
menghadapi Liu Bwee sambil tersenyum
mengejek. "Aih, kiranya wanita buangan yang datang mengacau dan
mengantarkan nyawa!" bentaknya.
"Perempuan hina yang berhati iblis! engkau telah menerima budi kebaikan
dari
suamiku, mengangkatmu dari lembah
kehinaan ke tempat mulia, malah membalasnya dengan khianat! Engkau dan anak
harammu itu harus mampus di
tanganku!" "Mulut busuk!" The Kwat Lin balas memaki dan sekali
tanganya bergerak,
tampak sinar merah dari Pedang
Ang-bwe-kiam di tangan kananya, kemudian tanpa menanti lagi, sinar merah itu
sudah meluncur ke depan menyerang Liu
Bwee. "Cringggg....!!" Bunga api berpijar dan The Kwat Lin mundur dua
langkah sambil memandang Ouw Sian Kok
yang telah menangkis pedangnya dengan sebatang pedang di tangan,
tangkisan yang membuat lengannya
tergetar, tanda bahwa laki-laki yang datang bersama Liu Bwee ini memiliki
kepandaian tinggi pula. "Siapa
engkau?" Bentaknya, sementara para rekannya, empat belas orang perwira dan
panglima pengawal, telah mencabut
senjata masing-masing dan mengurung, menanti saat bantuan mereka diperlukan
oleh The Kwat Lin. Ouw Sian Kok yang
mengerti bahwa dia bersama Liu Bwee dan Han Swat Hong telah memasuki guha
harimau dan berada dalam ancaman bahaya
besar, sengaja mengulur waktu untuk memberi kesempatan kepada Swat Hong
yang oleh ibunya ditugaskan menyelinap
ke dalam istana untuk mencari dan merampas kembali pusaka-pusaka Pulau
Es, karena hanya dengan jalan demikian
saja kiranya pusakapusaka itu dapat dirampas kembali. Dia tertawa dan
mengelus jenggotnya, seadngkan Liu Bwee
siap dan berdiri saling membelakangi punggung dengan Ouw Sian Kok,
maklum bahwa mereka tentu akan
menghadapi pengeroyokan dan karenanya harus dapat saling melindungi.
"Ha-ha-ha!
engkau tanya siapa aku? Aku pun seorang
buangan! namaku Ouw Sian Kok dari Pulau Neraka!" Mendengar ini The Kwat
Lin diam-diam merasa terkejut dan heran
juga. Dia sudah mendengar dari bekas suaminya, Raja Pulau Es, bahwa
para buangan di Pulau Neraka bukanlah
orang-orang sembarangan, bahkan banyak di antara mereka memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Akan tetapi karena
dia percaya akan kepandaiannya sendiri, juga merasa aman berada di antara
para pengawal dan lebih lagi berada di
dalam istananya di kota raja, dia memandang rendah. "Huh, kiranya adalah
buangan rendah dan hina dari Pulau
Neraka." Ouw Sian Kok yang ingin mengulur waktu, kembali tertawa untuk
mengalihkan perhatian The Kwat Lin.
"Ha-ha-ha! Biarpun kami para penghuni Pulau Neraka adalah orang-orang
buangan, namun kiranya sukar dicari
seorang pun di antara kami yang memiliki watak rendah untuk mengkhianati
orang yang telah menolong dan
melimpahkan kebaikan kepada kami seperti yang dilakukan olehmu, The Kwat
Lin!"
"Manusia hina! Mampuslah!!"
"Sing-sing-singggg....!!" Ouw Sian Kok maklum akan kelihaian wanita
ini, maka cepat
ia mengelak, menangkis dan membalas
menyerang sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kegesitannya, dan
mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya.
Terjadilah duel yang amat hebat di antara kedua orang berilmu tinggi ini.
Melihat betapa Ouw Sian Kok yang memang
seperti direncanakan harus menghadapi The Kwat Lin lihai, Liu Bwee
cepat memutar pedangnya dan menghadapi
pengeroyokan belasan orang pengawal itu. Pedangnya bergerak dahsyat
sekali, dan dalam sepuluh jurus saja
dia telah merobohkan dua orang pengawal. yang lain tetap mengepungnya
karena tidak ada seorang pun di antara
mereka yang berani membantu The Kwat Lin, melihat betapa bayangan wanita
itu dan bayangan lawannya lenyap
menjadi satu digulung oleh sinar pedang mereka. Mulai cemas rasa hati The Kwat
Lin ketika mendapatkan kenyataan bahwa
Ouw Sian Kok merupakan lawan yang berat dan seimbang dengannya.
Sedangkan para rekannya itu biarpun
berjumlah banyak, ternyata tidak mampu mengimbangi amukan Liu Bwee sehingga
berturut-turut roboh pula beberapa
orang di antara mereka! "Cari bantuan dari benteng!" Terpaksa The
Kwat Lin
berteriak keras dan mendengar ini,
seorang di antara para pengawal itu segera lari keluar untuk minta bala
bantuan. Melihat gelagat yang berbahaya
ini, Ouw Sian Kok menjadi khawatir juga. Mengapa Swat Hong belum juga
kembali? "Lekas robohkan mereka
dan bantu aku mengalahkan dia ini!" Katanya kepada Liu Bwee ketika melihat
betapa Liu Bwee tidak begitu sukar
untuk mendesak para pengeroyoknya. Liu Bwee maklum pula akan kelihaian The
Kwat Lin dan tahulah dia bahwa
betapapun lihainya Ouw Sian Kok, menghadapi wanita itu amat sukar untuk
mencapai
kemenangan. Maka dia memutar pedangnya
makin cepat, merobohkan lagi tiga orang. Pada saat itu, berkelebat
bayangan yang gesit dan tampaklah Swat
Hong yang membawa sebatang pedang dan di punggungnya tampak sebuah
buntalan kain sutera merah. "Ibu,
aku berhasil....!" teriakan sambil menerjang maju merobohkan dua orang
pengeroyok ibunya. Melihat ini, The Kwat
Lin menjadi marah sekali. Maklumlah dia bahwa dia kena diakali dan dia
dapat menduga apa isi buntalan sutera
merah itu, sutera merah yang amat dikenalnya. Pusaka-pusaka Pulau Es
telah berada di tangan Swat Hong!
"Bedebah! Kembalikan pusaka-pusaka itu!" bentaknya dan tubuhnya
secara
tiba-tiba sekali mencelat ke arah Swat
Hong, pedangnya menusuk tenggorokan tangan kirinya meraih ke arah
punggung. "Trangggg....!" Liu
Bwee yang menangkis pedang The Kwat Lin, terhuyung dan hampir roboh, Seorang
pengawal menubruknya akan tetapi
pengawal itu terlempar dengan dada pecah karena ditendang oleh Liu Bwee,
sedangkan swat Hong sudah dapat
menangkis pedang The Kwat Lin yang kembali menyerangnya. Ouw Sian Kok sudah
meloncat pula dan menerjang The Kwat Lin
sehingga kembali mereka bertanding dengan hebat . "Hong-ji,
kauselamatkan dulu pusaka-pusaka
itu!" tiba-tiba Liu Bwee berteriak kepada puterinya. "Kita akan cepat
menyusul
pergi!" kata pula Ouw Sian Kok
kepada Swat Hong. Swat Hong yang melihat bahwa jumlah pengawal tinggal hanya
tinggal lima orang dan mereka bukanlah
lawan berat bagi ibunya, sedangkan Ouw Sian Kok juga dapat menahan Kwat
Lin, mengangguk dan sekali berkelebat dia
meloncat ke luar. "Tahan dia.....! Jangan larikan pusaka Pulau
Es....!" Kwat Lin berteriak marah
akan tetapi dia tidak dapat mengejar karena sinar pedang Ouw Sian Kok
menghalanginya dengan serangan-serangan
dahsyat. Terpaksa dia mengerahkan tenaganya untuk mendesak Ouw Sian Kok
dan dalam kemarahan yang amat hebat ini
tenaga The Kwat Lin bertambah sehingga Ouw Sian Kok berseru kaget dan
mundur karena pundak kirinya berdarah,
terluka sedikit kena diserempet sinar pedang kemerahan. Ketika Swat Hong
berlari cepat sekali keluar, dia
terkejut setengah mati melihat sepasukan pengawal berbondong datang memasuki
istana itu dari pintu luar, bersenjata
lengkap, dipimpin sendiri oleh Ouwyang Cin Cu! Binggunglah dia. Pusaka
memang harus diselamatkan, akan tetapi
betapa mungkin dia meninggalkan ibunya yang terancam bahaya maut? Selagi
dia meragu dan mengintai dari tempat
bersembunyi, tiba-tiba dia melihat berkelebatnya bayangan empat orang, dan
ketika dia mengenal dua orang di antara
mereka adalah Kwee Lun dan Soan Cu, dia menjadi girang sekali. Cepat
dia meloncat keluar, berseru lirih,
"Kwee-toako! Soan Cu....!!" Soan Cu dan Kwee Lun terkejut dan
berhenti,
juga Swi Nio dan Liem Toan Ki yang
datang bersama mereka. Ketika melihat bahwa orang yang muncul dari balik
pohon di luar istana itu adalah Swat
Hong, Kwee Lun menjadi girang sekali, akan tetapi Soan Cu cemberut.
Bagaimana hatinya dapat merasa girang
bertemu dengan dara yang menimbulkan iri di hatinya dahulu itu? Akan
tetapi, Swat Hong yang girang sekali
tentu saja tidak dapat melihat wajah cemberut di tempat yang remang-remang
itu, maka cepat dia berkata, "Soan
Cu, Ayahmu berada di dalam, bersama ibuku, sedang dikepung para pengawal."
Seketika pucat wajah Soan Cu dan dia
memandang bengong, sampai lama baru dapat berkata gagap, "A.... Ayah....
ku....?" "Benar! Kita harus
membantunya," kata lagi Swat Hong. "kalau begitu tunggu apa lagi?
mari kita
membantu orang tua kalian!" Kwee
Lun berkata. "Nanti dulu.... siapakah dua orang ini?" Swat Hong
bertanya
sambil menuding kepada Swi Nio dan Liem
Toan Ki. "Namaku Bu Swi Nio, Adik Han Swat Hong. Aku sudah mendengar
namamu dari kedua saudara ini dan aku
merasa kagum sekali. Ketahuilah bahwa aku dahulu adalah murid The Kwat
Lin, akan tetapi sekarang aku hendak
mencari dan membunuhnya." Swi Nio berkata penuh semangat. "Dan aku
tadinya
mata-mata Jenderal An Lu Shan, akan
tetapi aku berjuang bukan untuk mencari pangkat, melainkan untuk membalas
dendam. Sekarang aku hendak membantu
dia....eh, tunanganku ini untuk menghadapi The Kwat Lin." Tiba-tiba Swat
Hong bergerak maju, kedua tangannya
bergerak cepat sekali, yang kanan menyerang ke arah leher Liem Toan Ki,
sedangkan yang kiri menotok ke arah
dada Swi Nio. "Eiihhh...." "Haiiiittt......!" Toan Ki Dan
Swi Nio yang
terkejut sekali cepat mengelak, namun
tetap saja mereka terhuyung dan hampir jatuh terdorong sambaran kedua
tangan Swat Hong. "Eh-eh.... apa
yang kaulakukan itu?" Kwee Lun dan Soan Cu menegur heran dan juga marah.
"Aku
hanya menguji mereka. Maafkan aku, Enci
Swi Nio dan Liem-toako. Melihat tingkat kepandaian kalian, lebih baik
kalian tidak ikut masuk. Musuh amat
kuat, dan ada tugas yang lebih penting lagi bagi kalian, kalau benar kalian
suka membantu kami dari Pulau Es."
Swi Nio dan Toan Ki yang tadinya terkejut dan marah, menjadi lega bahwa
kiranya gadis yang amat lihai itu hanya
menguji mereka. Biarpun ucapan itu merendahkan tingkat kepandaian
mereka, namun harus mereka akui bahwa
ilmu kepandaian mereka masih jauh kalau dibandingkan dengan Kwee Lun,
Soan Cu, apalagi Swat Hong ini.
"kami berdua siap membantu!" Toan Ki berkata, hampir berbareng dengan
Swi Nio.
Tanpa ragu-ragu lagi karena
mengkhawatirkan keadaan ibunya, Swat Hong melepaskan ikatan buntalan dari
punggungnya, menyerahkannya kepada Toan
Ki. Dia lebih percaya kepada Toan Ki daripada kepada Swi Nio, hal ini
karena tadi dia mendengar bahwa Swi Nio
adalah bekas murid The Kwat Lin! "Inilah pusaka kami dari Pulau Es yang
seharusnya kuselamatkan. Akan tetapi
karena Ibuku dan Ayah Soan Cu terkurung di dalam, aku harus membantu
mereka dan kuharap kalian suka
menyelamatkan pusakapusaka ini jauh dari kota raja. Kelak, kita dapat saling
bertemu di Puncak Awan Merah di tempat
kediaman Tee-tok Siangkoan Houw, di Pegunungan Tai-hang-san. Nah, kalian
pergilah cepat!" Liem Toan Ki
menerima bungkusan itu dengan hati kaget bukan main, juga Swi Nio terkejut dan
cepat dia menyambar tangan kekasihnya.
"Mari kita segera pergi!" Kedua orang muda itu menyelinap lenyap di
dalam kegelapan malam. "Hayo kita
bantu Ibu dan Ayahmu!" kata Swat Hong kepada Soan Cu. Soan Cu mengangguk
karena merasa lehernya seperti dicekik
oleh sedu-sedan yang naik dari dalam dadanya. Ayahnya! Dia akan bertemu
dengan ayah kandungnya yang selama
hidupnya belum pernah dia lihat itu. Bertemu dalam keadaan terancam bahaya
maut! Tampak tiga bayangan berkelebat
ketika Soan Cu, Swat Hong, dan Kwee Lun menyerbu ke dalam istana itu.
Ketika mereka tiba di dalam, ternyata Liu
Bwee dan Ouw Sian Kok telah dikepung ketat dan kini pertempuran telah
berpindah ke ruang luar yang lebih
lega. Agaknya, agar dapat melakukan perlawanan dengan leluasa dan mendapat
kesempatan untuk meloloskan diri, Liu
Bwee dan Ouw Sian Kok telah pindah keluar dari ruangan dalam yang sempit,
dan kini, dengan saling membelakangi,
kedua orang itu mengamuk dengan hebat, dikepung ketat oleh para pengawal
istana, sedangkan The Kwat Lin dan
Ouwyang Cin Cu menonton di pinggir. Ketika Swat Hong dan dua orang kawannya
masuk, mereka melihat Kwat Lin berlari
pergi ke dalam istananya. Swat Hong maklum bahwa wanita itu tentulah
hendak memeriksa simpanan pusakanya,
maka dia lalu menyentuh tangan Soan Cu yang sedang bengong memandang
kepada laki-laki setengah tua yang
mengamuk dengan gagahnya itu, dengan mata merah hampir menangis. Soan Cu
sadar dan menengok. "Kita kejar
dia! Dialah yang paling jahat dan berbahaya!" Soan Cu mengangguk dan kedua
orang gadis berkelebat pergi mengejar
Kwat Lin. Kwee Lun Sendiri lalu berteriak keras dan meloncat ke depan,
meyerbu para pengeroyok. Sepak terjang
pemuda tinggi besar ini memang hebat, tenaganya yang amat kuat itu
membuat dia sekali turun tangan
merobohkan empat orang pengeroyok. tentu saja kepungan menjadi buyar dan kacau.
Dan ketika mereka membalik untuk
mengeroyok Kwee Lun, pemuda yang lihai ini lalu merobah tenaga dahsyat tadi
dengan pukulan-pukulan Bian-sin-kun,
pukulan kapas yang kelihatannya lemah dan lunak namun setiap kali
menyentuh tubuh para pengeroyok tentu
membuat dia terguling. "Jiwi-locianpwe, saya adalah Kwee Lun, sahabat
baik dari Nona Swat Hong dan Nona Soan
Cu! Mereka sedang mengejar Si Iblis Betina!" teriak Kwee Lu dengan suara
nyaring. Liu Bwee dan Ouw Sian Kok
terkejut dan girang sekali, terutama Ouw Sian Kok yang mendengar bahwa
puterinya juga datang! Akan tetapi, malang
baginya. Karena dia terlampau girang hendak melihat wajah puterinya,
dia menoleh ke sana ke mari
mencari-cari. "Ouw-toako, awas....!!" Tiba-tiba Liu Bwee berteriak
dan wanita ini
berusaha untuk menangkis sinar biru
dari pedang Ouwyang Cin Cu. "Trangggg.....aih.....!!" Liu Bwee
terlambat
dan bergulingan untuk menyelamatkan
diri, sedangkan Ouw Sian Kok terjungkal karena tamparan tangan kiri Ouwyang
Cin Cu mengenai punggungnya.
"Plakk! Aughhhh.....!" Ouw Sian Kok muntahkan darah segar dari
mulutnya.
"Curang....!!" Kwee Lun
membentak dan kipas di tangan kiri serta pedang di tangan kanannya menyambar
ganas.
Namun, dia terlalu lunak bagi Ouwyang
Cin Cu dan sekali tangkis kipas itu robek dan pedangnya hampir terpental.
"Haiiiitttt.....!!" Ouw Sian
Kok yang marah sekali menerjang maju dengan tangan terbuka. Melihat serangan
ganas
ini, Ouwyang Cin Cu terkejut dan cepat
dia meloncat mundur. Sebelum dia didesak oleh tiga orang lawan itu, para
pengawal sudah mengepung lagi dan kini mereka bertiga dikeroyok dan
dihujani senjata oleh puluhan orang
pengawal. "Twako.....
kau.....terluka....?" Sambil mengamuk dengan pedangnya, Liu Bwee bertanya.
"Tidak apa....
mati pun aku rela.... pusaka telah
diselamatkan......." kata Ouw Sian Kok. "Tapi...... tapi
anakku....." Dia
tidak dapat melanjutkan kata-katanya
karena harus menghadapi pengeroyokan banyak pengawal. Sementara itu di
dalam istana juga terjadi pertempuran
yang mati-matian dan hebat sekli. The Kwat Lin yang melihat datangnya
bala bantuan yang dipimpin sendiri oleh
Ouwyang Cin Cu, setelah melihat bahwa dua orang pengacau itu terkepung
ketat, lalu teringat akan pusaka yang
tadi dibawa Swat Hong. Dia teringat pula akan puteranya yang sudah tidur
di kamarnya, maka cepat dia
meninggalkan tempat pertempuran untuk memeriksa pusaka dan puteranya.
Dilihatnya Bu
Ong masih tidur nyenyak dan terjaga,
maka dia cepat lari ke dalam kamarnya sendiri. Seperti telah diduganya,
para penjaga sebanyak lima orang yang
berada di kamarnya tewas semua dan keadaan kamarnya rusak dan kacau.
Sekali saja melihat ke arah peti hitam
yang terbuka di depan tempat tidurnya, tahulah dia bahwa semua pusaka
telah dirampas oleh Swat Hong, seperti
yang dikhawatirkannya. "Mencari apa, wanita iblis? Pusaka Pulau Es telah
aman!" The Kwat Lin cepat menengok
dan melihat Swat Hong telah berdiri di ambang pintu bersama seorang gadis
lain yang tak dikenalnya. Kemarahan
seperti api membakar dadanya melihat dara ini. Sambil mengeluarkan jerit
melengking nyaring, dia lalu menerjang
dan menggerakkan pedang merahnya. "Cring-trang....!!" Pedang Swat
Hong
disusul pedang Coa-kut-kiam di tangan
Soan Cu menangkis dan kedua orang dara itu meloncat ke belakang, ke
tempat yang lebih lega. Dengan
kemarahan meluap-luap The Kwat Lin meloncat keluar dan melanjutkan serangannya.
Akan tetapi, setelah bergerak belasan
jurus, wanita ini terkejut dan merasa menyesal mengapa dia menuruti
kemarahan hatinya.
<CENTER>
JILID 22
</CENTER>
Dia berada dalam bahaya! Kiranya selain
Swat Hong yang telah memiliki kepandaian hebat juga gadis yang
gerakan-gerakannya liar dan ganas itu
amat berbahaya, apalagi cambuk ekor ikan Phi yang meledak-ledak dahsyat.
Sebentar saja dia tertekan dan
terdesak. Beberapa kali dia berusaha untuk meloloskan diri, akan tetapi sambil
mengejek Swat Hong selalu menutup jalan
keluar dan dia terus digulung oleh sinar dua orang gadis lihai itu. The
Kwat Lin menjadi nekat. Sambil
menggigit bibirnya dia menyerang dahsyat kepada Swat Hong, mencurahkan daya
serangannya kepada anak tiri yang
dibencinya ini. Menghadapi terjangan dahsyat yang bertubi-tubi itu, Swat Hong
mundur-mundur juga. Akan tetapi
kesempatan baik ini dipergunakan oleh Sian Cu untuk menyerang dari belakang.
Cambuk ekor ikan Phi meledak dua kali
mengancam ubun-ubun kepala The Kwat Lin, dan ketika wanita ini mengelak
kesamping sambil melanjutkan serangan
pedangnya kepada Swat Hong, Soan Cu menusukan pedangnya mengarah lambung
Kwat Lin. "Singgg....crat.....
aihhhhh!!" Kwat Lin terkejut karena biarpun dia telah mengelak, tetap saja
pedang Coakut- kiam (Pedang Tulang
Ular) itu melukai lambungnya, merobek kulit dan mendatangkan rasa nyeri dan
panas dan perih sekali. Akan tetapi,
wanita yang lihai ini sudah membalik sambil juga membalikan pedangnya
menyambar leher Soan Cu. Hal ini tidak
disangka-sangka oleh gadis Pulau Neraka ini. "Awas Soan Cu.....!!"
Swat
Hong berseru dan pedangnya menyambar,
yang diarah adalah lengan kanan Kwat Lin karena hanya dengan jalan itulah
dia dapat menolong Soan Cu.
"Brettt.... crok..... aughhhh......!!" Soan Cu terhuyung, pundaknya
berlumuran
darah karena terluka parah, sedangkan
Kwat Lin cepat memindahkan pedang ke tangan kirinya karena lengan
kanannya juga terluka parah, terbacok
di bagian bahu hampir putus! Dengan kemarahan meluap-luap dia menubruk
Swat Hong, namun gadis Pulau Es ini
mengelak ke kiri sambil mengangkat kaki menendang lutut. "Dukkk!
Aduh....!"
Kwat Lin terbelalak ketika tahu-tahu
pedang Coa-kut-kiam telah bersarang di perutnya! Kiranya ketika tadi Swat
Hong menendangnya Soan Cu yang terluka
dengan kemarahan meluap menubruk, maka begitu wanita itu terguling,
pedangnya cepat menyambar dan menusuk
perut Kwat Lin. "Bedebah kau....!" Tiba-tiba pedang di tangan Kwat
Lin
meluncur. "Soan Cu,
awas....!!" Swat Hong berteriak kaget namun terlambat. Pedang yang
terlempar dari jarak
dekat dan tak terduga-duga itu dilakukan
dengan dorongan tenaga terakhir, tak dapat dielakkan dengan baik oleh
Soan Cu dan menancap di bawah pundak
sampai dalam! "Soan Cu!" Swat Hong melompat dan pedangnya membabat.
Kwat
Lin memekik dan lehernya hampir putus!
Dengan cepat Swat Hong memeluk tubuh soan Cu yang tersenyum!
Pergilah.... Aku.... aku tak berguna
lagi....!" katanya. "Omong kosong!" Swat Hong menghardik,
mencabut pedang
Ang-bwe-kiam dari pundak Soan Cu. Soan
Cu menjerit dan pingsan. Dengan gemas Swat Hong melempar pedang itu
memondong tubuh Soan Cu, dibawanya
keluar. Betapa kagetnya ketika ia tiba di ruangan luar, pertempuran yang
masih berlangsung hebat itu ternyata
membuat pihak ibunya terdesak. Bahkan ibunya kelihatan terluka di beberapa
tempat, juga ayah Soan Cu, yang
mengamuk dengan gagah telah berlumuran darah seluruh tubuhnya. Kwee Lun juga
masih mengamuk, dan hanya pemuda inilah
yang belum terluka, karena Ouwyang Cin Cu menujukan
serangan-serangannya kepada Liu Bwee
dan Ouw Sian Kok, karena menganggap ringan kepada Kwee Lun.
"Ibu....!!"
Dengan kemarahan meluap-luap, Swat Hong
meloncat, melampau para pengepung dan menurunkan tubuh Soan Cu ke atas
lantai. Lalu gadis ini mengamuk dengan
pedangnya, merobohkan beberapa orang pengawal. Gerakannya demikian hebat
sehigga para pengepung terkejut dan
gentar, bergerak mundur. "Ibu.....!" "Ayahhhhh.....!" Ouw
Sian Kok
menghentikan amukannya dan menjatuhkan
diri berlutut. Tadi dia mengira bahwa puterinya telah tewas, maka
panggilan itu menggetarkan jantungnya
dan membuat dia lemas. "Kau.....kau Soan Cu.....?"
"Ayahhhhhhh.....
Hu-hu-hu-huuuuu.....!!" Soan Cu
menangis dalam rangkulan ayahnya yang juga bercucuran air mata. Baru pertama
kali Ouw Sian Kok dapat mencucurkan iar
mata. "Wutttt..... trangggggg......!!" Dua batang golok terpental
oleh
tangkisan oleh tangkisan Ouw Sian Kok
tanpa menoleh karena dia sedang mendekat dan menciumi dahi puterinya.
"Ayah, aku puas..... dapat bertemu
denganmu.......!" "Soan Cu...... aihhhh, anakku, kauampunkan dosa
ayahmu....." Ouw Sian Kok berkata
dengan suara terisak. "Trang-trang..... dessss!!" Dua orang pengawal
yang
berani menyerang roboh oleh tangkisan
pedang Ouw Sian Kok dan mecuatnya kaki Soan Cu yang menendang. "Ah,
jangan kau keluarkan tenaga....."
kata Ouw Sian Kok melihat betapa tendangan tadi membuat napas Soan Cu
memburu. "Ayah..... aku.....aku
tidak kuat lagi.....kalu larilah, ayah......." "Soan Cu......! Soan
Cuuuu......!!" Sian Kok
meraung-raung ketika menyaksikan dengan mata sendiri betapa puterinya yang baru
dilihatnya selama hidup puterinya itu,
menghembuskan napas di dalam dekapnya, dengan bibir tersenyum. Laki-laki
gagah perkasa itu masih terus
meraung-raung, dengan air mata bercucuran ketika dia telah membaringkan tubuh
puterinya ke atas lantai kemudian dia
mengamuk seperti seekor naga, menyebar maut diantara pengeroyoknya! Hujan
senjata tidak dirasakannya lagi
pedangnya sampai menjadi merah dari ujung sampai kegagang, bahkan sampai ke
lengannya! Sementara itu Liu Bwee yang
sudah banyak kelilangan darah juga makin lemas gerakannya. kalau tidak
ada Swat Hong, tentu dia roboh oleh Ouwyang Cin Cu. Untung bagi mereka
agaknya kakek yang sudah menjadi Kok-su
ini hanya setengah hati saja bertempur,
sering kali dia sengaja mundur dan membiarkan anak buah pengawal yang
mengeroyok. Hal ini karena dia
sebetulnya tidak begitu suka kepada The Kwat Lin yang dianggapnya berbahaya.
Pula, setelah sekarang dia telah
memperoleh kedudukan tinggi, dia tidak membutuhkan kerja sama dengan The Kwat
Lin. Selain itu, juga dia ingin
menghindarkan sedapat mungkin permusuhan dengan orang-orang lihai, apalagi
keluarga dari Pulau Es! "Swat
Hong, cepat kau pergi......!" "Tidak, Ibu!" "Kalau tidak,
kau akan mati......!"
"Mati bersamamu merupakan
kebahagiaan, Ibu!" "Hushhhh, anak bodoh. kalau begitu siapa yang akan
mengembalikan
pusaka? Kauingat pesan Ayahmu."
"Tapi, Ibu....." "kalau kau membantah dan sampai tewas di sini,
Ibumu tidak
akan dapat mati dengan mata
meram." "Ibu......!" "Lihatlah, dia.....diapun akan
mati..... Ibu ada seorang teman
yang baik......Ibu dan dia.....ah, kami
senang mati bersama.....kau jangan ikut-ikut......!" Mendengarkan
ucapan ini, Swat Hong terkejut sekali
dengan menengok ke arah Ouw Sian Kok yang mengerikan keadaannya
itu.Mengertilah dia bahwa Ibunya dan
laki-laki perkasa itu telah saling jatuh cinta! Jantungnya seperti
ditusuk, teringat dia akan kesalahan
ayahnya terhadap ibunya. Ibunya tidak bersalah, sudah sepantasnya
menjatuhkan hati kepada pria lain
karena disakiti hatinya oleh suami yang tergila-gila kepada wanita lain!
"Ibu......" "Pergilah,
dan ajak pemuda gagah itu!" Sambil bercucuran air mata, Swat Hong
mengamuk, memutar
pedangnya dan mendekati Kwee Lun yang
juga masih mengamuk. "Toako, hayo kita pergi!!" "Eh? Ibumu? Soan
Cu?
Ayahnya.......?"
"Ayolah.....!!" "Baik, baik.....!" Mereka berdua membuka
jalan darah, akhirnya berhasil
meloncat keluar. "Jangan kejar
mereka! kepung saja yang berada di dalam!" terdengar Ouwyang Cin Cu
berseru.
Tidak terlalu lama Ouw Sian Kok dan Liu
Bwee dapat bertahan. Mereka sudah kehabisan tenaga, juga terlalu banyak
mengeluarkan darah. Akhirnya, mereka
roboh berdekatan, di dekat mayat Soan Cu. Ouwyang Cin Cu menghela napas
panjang, kagum sekali menyaksikan
kegagahan mereka itu. Dia masih belum menduga bahwa tiga orang yang telah
tewas ini adalah orang-orang yang
datang dari tempat yang hanya didengarnya dalam dongeng! wanita cantik
setengah tua itu adalah bekas
permaisuri Raja Pulau Es, sedangkan laki-laki perkasa dan dara jelita itu
adalah
ayah dan anak dari Pulau Neraka, bahkan
merupakan tokoh pimpinan! Dia menghela napas pula ketika melihat bahwa
The Kwat Lin juga tewas dalam keadaan
mengerikan. Diam-diam dia merasa lega, karena dia maklum betapa dilubuk
hati wanita ini tersembunyi cita-cita
yang amat hebat, yang kelak mungkin membahayakan kedudukan kaisar, dan
kedudukannya sendiri. Setelah membuat
laporan kepada Kaisar baru, yaitu An Lu Shan, tentang kematian The Kwat
Lin bekas jenderal ini hanya menarik
napas panjang. "Hemm, sayang sekali, dia merupakan tenaga yang
berguna."
Kemudian mengelus jenggotnya dan berkata,
"kalau begitu bagaimana dengan puteranya?" "Menurut pendapat
hamba,
puteranya itu masih berdarah Raja Pulau
Es yang kabarnya masih mempunyai hubungan keluarga dengan kerajaan
lama. Maka kalau dia dibiarkan saja
menjadi pangeran di sini, kelak kalau sudah dewasa tentu akan merupakan
bahaya." An Lu Shan
mengangguk-angguk. "habis bagaimana pendapatmu?" Kok Su yang
merupakan penasehat utama itu
mengerutkan alisnya yang bercampur
uban, lalu berkata, "Mereka itu datang dari Rawa Bangkai, biarlah dia
hamba
bawa kembali ke sana, diberi kedudukan
sebagai penguasa di Rawa Bangkai dan daerahnya. Anak kecil itu tidak
tahu apa-apa, asal diberi kedudukan di
sana mengepalai bekas anak buah ibunya dan Kiam-mo Cai-li, tentu kelak
akan senang hatinya."
"Baiklah, urusan ini kuserahkan kepadamu untuk dibereskan."
demikianlah, setelah
penguburan jenazah ibunya selesai, Han
Bu Ong yang masih kecil itu menurut saja ketika oleh Ouwyang Cin Cu
diberitahu bahwa dia oleh kaisar
"diangkat" menjadi "raja muda" yang berkuasa di Rawa
Bangkai, di mana telah
dibangun sebuah gedung mewah lengkap
dengan semua pelayan dan perabot. Di tempat ini, Han Bu Ong hidup cukup
mewah. Akan tetapi anak ini memang
mempunyai kecerdikan yang luar biasa. Biarpun dia dicukupi hidupnya,
diam-diam dia mengerti bahwa dia
sengaja setengah "dibuang" oleh Kaisar dan Ouwyang Cin Cu setelah
ibunya
tewas. Maka dia mencatat di dalam
hatinya bahwa selain Swat Hong dan Kwee Lun yang menjadi musuh besarnya, juga
Ouwyang Cin Cu sebetulnya bukanlah
seorang sahabat yang setia dari ibunya. Anak kecil ini dengan rajin lalu
melatih dirinya dengan ilmu-ilmu
peninggalan ibunnya yang masih ada padanya. Dia harus menggembleng dirinya dan
kelak, selain dia harus membalas kepada
musuh-musuhnya, juga dia akan berusaha untuk merampas kembali
pusaka-pusaka Pulau Es yang dicuri oleh
Swat Hong. Dia merasa bahwa dia berhak memiliki pusaka itu karena
bukankah dia putera Raja Pulau Es? Dari
ibunya dia dahulu mendengar bahwa siapa yang mewarisi pusaka Pulau Es
dan melatih semua ilmu yang terdapat di
dalam kitab-kitab itu, tentu akan menjadi jago nomer satu di dunia.
Para pembaca yang mengikuti pengalaman
Kwa Sin Liong tentu menjadi penasaran kalau pemuda sakti itu sampai
tewas dalam keadaan yang demikian
mengerikan! Tidak, dia tidak mati! Memang nyaris dia tewas dimakan ratusan
ekor ular berbisa yang menjadi penghuni
sumur itu. Akan tetapi kalau orang belum tiba saatnya untuk mati, ada
saja penolongnya yang bisa dianggak
tidak masuk akal, kebetulan atau luar biasa. Dalam halnya Sin Liong tidak
ada yang tidak masuk akal atau luar
biasa. Memang tubuhnya yang pingsan itu terlempar ke dalam sumur di mana
terdapat ratusan ekor ular berbisa dari
segala jenis, akan tetapi tidak ada seekorpun ular yang berani
menggigitnya. Apalagi menggigit,
mendekatipun mereka itu tidak berani, bahkan begitu tubuh pemuda itu terjatuh,
ular-ular itu cepat menyingkir
ketakutan. hal ini adalah karena tanpa sengaja di saku baju Sin Liong terdapat
batu mustika hijau dari Pulau Es!
Seperti kita ketahui, batu mustika hijau ini adalah milik Han Swat Hong yang
telah menyelamatkan nyawa gadis ini
pula ketika terserang racun. Ketika Sin Liong mengobati sumoinya itu, dia
menyimpan batu mustika ini di dalam
saku bajunya sehingga ketika dia terlempar ke dalam sumur, batu mustika itu
ikut terbawa olehnya dan menjadi
penyelamatnya karena tidak ada ular yang berani mendekatinya. Sebetulnya
pemuda ini menderita luka yang amat
parah dan yang akan mematikan akibatnya bagi orang lain. Namun, pemuda ini
pada dasarnya memiliki tubuh yang
sempurna, bersih darahnya dan kuat tulang dan urat-uratnya, apalagi sejak
kecil dia menerima gemblengan ilmu
kesaktian dari Han Ti Ong sehingga dia memilki tubuh yang amat kuat dan
tahan derita. Dua hari dua malam dia
rebah pingsan di dasar sumur yang lembab, tampa diusik oleh ular-ular itu
yang hanya memandang dari jauh
seolah-olah dia merupakan mahluk yang menakutkan. Pada hari ke tiga, nampak
tanda hidup pada tubuh yang tadinya tak
bergerak-gerak seperti mati itu dengan suara mengeluh panjang, kemudian
tubuh itu bergerak dan bangkit duduk
dengan susah payah. Sejak Sin Liong merasa nanar dan bingung melihat bahwa
dirinya berada di tempat yang amat
gelap. Begitu gelapnya sehingga dengan terkejut dia menyangka bahwa matanya
telah menjadi buta. Akan tetapi, ketika
dia menoleh, tampaklah sedikit cahaya di belakangnya, dan mengertilah
dia dengan hati lega bahwa dia tidak
buta, melainkan berada di tempat yang amat gelap. Dia tidak tahu bahwa dia
dilempar ke sumur dan sumur itu kini
telah tertutup oleh batu-batu besar dari atas ketika guha terowongan itu
sengaja diruntuhkan oleh Kiam-mo Cai-li
dan The Kwat Lin. Melihat cahaya terang di belakangnya, Sin Liong
menggerakan tubuhnya hendak
menyelidiki, akan tetapi dia mengeluh karena begitu bergerak, dadanya terasa
nyeri
bukan main! Dia teringat akan
pertempuran itu dan mulai mengertilah dia bahwa tentu dia telah tertawan dan
berada dalam tempat tahanan rahasia yang
amat gelap. Maka dia segera duduk bersila mengatur pernapasan di
tempat lembab dan pengap itu,
menyalurkan tenaga dan hawa sakti di dalam tubuhnya. Memang dia memiliki
sinkang
yang amat kuat berkat latihan di Pulau
Es, maka tak lama kemudian dia telah mengobati luka di dalam tubuhnya
dan menyelamatkan rasa nyeri-nyeri di
tubuhnya. Begitu dia menghentikan latihannya, terasa betapa perutnya
lapar sekali. Dia tidak tahu bahwa sudah
dua hari dua malam perutnya sama sekali tidak diisi apa-apa. Sin Liong
bangkit berdiri dengan hati-hati.
Tangannya meraih ke atas. kosong. Dia mencoba meloncat dengan kedua tangannya
di atas kepala.Tetap saja disebelah
atasnya kosong, tanda bahwa tempat tahanan itu tinggi bukan main! Seperti
sumur! Betapapun dalamnya sumur itu
tentu dia akan meloncat keluar, pikirnya. Dikerahkan seluruh tenaga
dalamnya, kemudian dengan ilmu
ginkangnya yang istimewa, dia melompat lagi ke atas, kedua tangannya tetap
menjaga di atas kepala.
"Plakkkkk!" Tubuhnya melayang lagi ke bawah. Kedua tangannya bertemu
dengan batu besar
yang amat berat, yang menutup lubang
sumur itu! Beberapa kali Sin Liong menggunakan kepandaiannya untuk keluar
dari dalam sumur, dan sekali meloncat,
dia menggunakan sinkang di kedua tangannya untuk mendorong batu. Akan
teteapi usahanya ini selalu gagal.
Tentu saja tidak mungkin bagi seorang manusia, betapa kuatpun dia, untuk
meloncat sambil mendorong tumpukan batu-batu
besar yang menutup mulut sumur itu, batu-batu sebesar rumah dan
yang sebongkah saja beratnya ada yang
seribu kati! Akhirnya Sin Liong pun maklum bahwa usahanya meloloskan diri
melalui atas tidak mungkin baginya.
Maka dia mulai meraba-raba di sekelilingnya. Sumur itu tidak berapa lebar,
paling banyak bergaris tengah tiga
meter. Ketika dia mendengar suara mendesis-desis dan mencium bau hamis,
tahulah dia bahwa di tempat itu terdapat
banyak ular berbisa. Kemudian tampak olehnya melalui cahaya redup tadi
bahwa di bagian bawah terdapat sebuah
lubang dan agaknya dari tempat itulah ular-ular keluar dari sumur. Begitu
dia mendekati lubang ini, tampak
olehnya ekor ular berkelebat di dalam cahaya remang-remang itu, menjauhkan
diri. Dia merasa heran mengapa
binatang-binatang itu tidak mengganggunya ketika dia pingsan dan kini kelihatan
takut kalau didekatinya. Dia teringat,
meraba saku bajunya dan tersenyum mengeluarkan batu hijau yang
mengeluarkan sinar di dalam gelap itu.
Inilah penolongku,pikirnya. Hatinya menjadi makin tenang. Dengan adanya
batu mustika hijau ini, tidak perlu
takutmenghadapi binatang berbisa apa pun. Akan tetapi, melihat batu mustika
itu, teringatlah dia kepada Swat Hong
dan dia merasa khawatir juga. Musuh demikian lihai, dia sendiri kena
ditangkap dan agaknya dilempar ke sumur
ini. Bagaimana nasib Swat Hong? Dia harus cepat keluar dari tempat ini
untuk menolong Swat Hong.
Kekhawatirannya terhadap sumoinya itu membuat dia makin bersemangat mencari
jalan
keluar. Lubang dari mana ular-ular itu
keluar dari sumur terlalu sempit untuk dapat diterobos, maka Sin Liong
lalu menggunakan kedua tangannya untuk
membongkar batu di lubang itu, memperlebar lubang dengan jalan memukul
pecah batubatu di sekelilingnya. Tidak
mudah pekerjaan ini, karena selain tubuhnya masih lemah, juga batu-batu
di tempat itu amat kerasa dan hanya
dapat digempurnya sedikit demi sedikit. Namun akhirnya dapat juga dia
memperlebar lubang itu sehingga dia
dapat merangkak melalui lubang sambil terus menggempur lubang di depat yang
merupakan terowongan panjang. Melihat
betapa makin lama cahayanya dari seberang terowongan kecil itu makin
terang, hatin Sin Ling membesar. Jelas
bahwa di seberang itu terdapat tempat terbuka dari mana sinar matahari
dapat masuk, pikirnya. Akan tetapi
pekerjaan menerobos terowongan kecil yang merupakan liang ular dengan hanya
menggunakan kedua tangan kosong,
memakan waktu lama juga. Saking hausnya, dia menengadah untuk menerima
titik-titk air yang jatuh dari atas,
yaitu dari dinding sumur yang mengeluarkan air. biarpun memakan waktu
lama, dapat juga dia mengobati dahaga
dengan meminum secara demikian. Namun perutnya yang lapar terpaksa harus
berpuasa lagi sampai tiga hari! karena
setelah tiga hari, barulah dia berhasil merangkak keluar dari terowongan
itu dan tiba di sebuah ruangan yang
cukup luas, akan tetapi juga merupakan tempat tertutup! Bedanya, kalau
sumur pertama merupakan tempat sempit
dan gela, maka ruangan kedua ini luas sekali, garis tengahnya tidak
kurang dari sepuluh meter, merupakan
sebuah ruang dalam tanah yang aneh. Di sebelah atas, jauh dan tinggi
sekali, tertutup oleh tanah atau batu
dan ada celah-celah yang merupaka retakan batu-batu dari mana sinar
matahari dapat menerobos masuk. Sin
Liong menjatuhkan diri duduk di tengah ruangan dalam tanah ini dan
harapannya kandas sama sekali. Kalau
sumur pertama itu merupakan tahanan yang sukar diterobos adalah tempat ini
lebih sukar lagi untuk meloloskan diri.
Ular-ular yang banyak sekali berbelit-belit dan kelihatan ketakutan,
ada yang merayap naik, ada pula yang
menerobos terowongan yang sudah melebar itu untuk kembali ke dalam sumur
pertama! Sin Liong termenung. Dari
kamar tahanan kecil dia pindah ke kamar tahanan besar! Hanya lebih lebar dan
memperoleh penerangan sinar matahari
yang tidak seberapa. Itulah bedanya! Akan tetapi dia tidak menjadi putus
harapan. Dihadapinya kenyataan ini
dengan tabah dan dilenyapkannya kekhawatiran di dalam hatinya tentang diri
sumoinya dengan keyakinan bahwa apa pun
yang akan terjadi, terjadilah tanpa dipengaruhi segala kekhawatiran
yang tiada gunanya! Dia sendiri
menghadapi bencana, menghadapi ancaman maut dan inilah yang terutama harus
dihadapi dan diatasi lebih dulu. Dia
mulai memeriksa kalau-kalau ada jalan keluar dari tempat itu. Sama sekali
tidak ada jalan keluar. Akan tetapi,
dia menemukan benda-benda yang sementara dapat menolongnya dari ancaman
kelaparan, yaitu jamur yang agaknya
bertumbuhan dengan subur di tempat itu karena memperoleh sinar matahari.
Perutnya lapar sekali dan
pengetahuannya tentang tetumbuhan meyakinkan hatinya.maka mulailah dia memilih
jamur-jamur yang tak mengandung racun,
lalu mulai dia makan jamur. Dalam keadaan lapar bukan main, ternyata
jamur-jamur mentah itu terasa enak
juga! Soal minum dia tidak usah khawatir karena di beberapa tempat pada
dinding batu itu terdapat air yang
menetes. Ditampungnya tetesan air itu dengan kedua tangannya, lalu
diminumnya. Luar biasa segarnya air
yang disaring oleh tanah dan batu itu. Setelah yakin benar bahwa tidak ada
jalan keluar dari tempat itu, Sin Liong
menerima kenyataan ini dan dia giat berlatih ilmu. Di dalam kesunyian
yang amat hebat itu perasaan dan
pikiran Sin Liong menjadi luar biasa tajamnya. Semua ilmu yang pernah
dipelajari dan dibacanya dahulu sukar
dimengerti olehnya karena kitab-kitab kuno Pulau Es memang amat sukar
diartikan, kini menjadi jelas dan dapat
dia selami intinya. Oleh karena inilah maka diluar dari kesadarannya
sendiri, ilmu kesaktiannya bertambah
dengan hebat dan cepatnya. Juga ditempat ini dia mulai mengenal diri
sendiri, mengenal arti hidup yang
sesungguhnya. Tanpa disadarinya sendiri, dari dalam pribadinya timbul
kekuatan mujijat, kekuatan yang
dimiliki oleh setiap orang manusia namun yang selalu terpendam dan tetap
tersembunyi sampai saat terakhir dari
hidup manusia yang selalu dipermainkan oleh nafsu yang disebut aku. Tanpa
terasa oleh Sin Liong sendiri yang
selama hidup di dalam ruang bawah tanah itu sama sekali tidak pernah
memikirkan atau mengenal waktu, pemuda
luar biasa ini telah berada di tempat itu selama dua tahun! Dia mengerti
bahwa tanpa bantuan dari luar, tidak
mungkin dia meloloskan diri dari tempat itu, maka sudah sejak lama dia
tidak lagi berusaha untuk keluar dari
situ. Selama itu, yang menjadi teman-temannya hanyalah ular-ular berbisa!
Ternyata oleh pemuda itu bahwa binatang
berbisa seperti ular pun mengenal siapa lawan siapa kawan. Karena
selama itudia tidak pernah mengganggu
mereka, ular-ular itu pun jinak dan sama sekali tidak pernah
menyerangnya, biarpun dia menjauhkan
batu mustika hijau dari tubuhnya. Binatang-binatang ini hanya menyerang
untuk menjaga diri saja dari bahaya
yang datang mengancam diri mereka. Juga tanpa disadari sendiri oleh Sin
Liong, tubuhnya yang setiap hari hanya
dihidupkan oleh sari jamur yang bermacam-macam itu, pertumbuhannya sama
sekali berlainan dengan manusia biasa.
makanan amat mempengaruhi tubuh dan sari jamu yang dimakannya selama dua
tahun itu mendatang kan kepekaan luar
biasa, dan kepekaan tubuh ini pun mempengaruhi pula pertumbuhan batinnya.
Dia menjadi seorang manusia luar biasa,
tidak menderita apa-apa, tidak mengharapkan apa-apa, karena di dalam
keadaan apapun juga, menghadapi keadaan
apa adanya, sewajarnya, sebagaimana adanya yang dianggap sudah
semestinya demikian, tidak ada lagi apa
yang disebut menyenangkan atau tidak menyenangkan, tidak ada lagi yang
disebut senang atau susah, tidak ada
lagi puas atau kecewa. Dalam keadaan seperti itu, tubuh sehat dan batin
tenang, yang ada hanyalah rasa suka ria
yang sukar dilukiskan karena sama sekali tidak ada sangkut pautnya
dengan kesukaan atau kegembiraan yang
dapat dicari. Suatu nikmat yang bukan datang dari gairah nafsu atau
kesenangan, nikmat hidup yang datang
tanpa dicari, yang terasa hanya setelah batin bebas dari segala ikatan,
seperti batin Sin Liong di waktu itu.
Pada suatu hari, di sebelah atas dari tempat rahasia ini, terjadilah
kesibukan besar. Puluhan orang katai
yang tubuhnya pendek akan tetapi besarnya seperti manusia biasa, bertubuh
kuat dan bertenaga besar, dipimpin oleh
seorang pemuda tanggung sedang membongkari reruntuhan batu-batu di
dalam terowongan bawah tanah itu.
pemuda tanggung yang berpakaian mewah itu bukan lain adalah Bu Ong, yang kini
telah mengumpulkan sisa orang-orang
kerdil bekas taklukan di Rawa Bangkai dan menjadi pimpinan mereka. Han Bu
Hong kini telah menjadi seorang pemuda
tanggung yang lihai dan tidak ada seorang pun di antara tokoh-tokoh
orang kerdil mampu melawannya. Agaknya,
untuk menjadikan mimpi ibunya sebagai kenyataan, dia telah mengangkat
diri sendiri menjadi ketua atau lebih
tepat lagi menjadi "raja" dari orangorang katai ini. Gedung di Rawa
Bangkaihanya menjadi tempat tinggal
umum, akan tetapi diam-diam dia mendirikan "kerajaan kecil" di bawah
tanah.
Bahkan dia telah membangun sebuah ruang
seperti istana di bawah tanah, lengkap dengan kursi kebesaran yang
dihiasai dengan sebuah tengkorak di
samping hiasan mahal seperti permadani, lukisan dan tulisan indah. Sering
kali dia secara sembunyi mengadakan
pertemuan dan rapat rahasia dengan para tokoh orang katai yang menjadi
pembantunya, dan pemuda tanggung ini
diam-diam merencanakan pekerjaan besar untuk melanjutkan cita-cita ibunya.
Demikianlah, karena dia ingin
menggunakan terowongan bawah tanah itu sebagai markas partai orang kerdil , dan
juga karena dia ingin mencari
kalau-kalau ada harta atau pusaka peninggalan Rawa bangkai di terowongan itu,
dia
lalu mengerahkan para anak buahnya
untuk membersihkan bagian terowongan yang dahulu diruntuhkan oleh ibunya dan
oleh Kiam-mo Cai-li. "Akan tetapi,
Siauw-pangcu (Ketua Cilik)," seorang pembantu membantah sebelum
pembongkaran
dilakukan . "Tempat ini dahulu
sengaja diruntuhkan oleh Ibu Pangcu untuk menutupi sumur ular di mana tubuh
musuh Ibu Pangcu dilempar. Karena musuh
itu lihai bukan main, maka Ibu Pangcu bersama Kiam-mo Cai-li dan
Ouwyang Cin Cu memutuskan untuk menutup
saja tempat ini agar pemuda sakti itu tidak mampu hidup kembali." Han
Bu Ong tertawa. "Ha, ha, mana
mungkin Kwa Sin Liong dapat hidup kembali? Dia sudah di lempar di sumur ular,
andaikata dia tidak mati oleh ular-ular
itu, tentu selama dua tahun dikubur hidup-hidup di sumur itu dia kini
sudah menjadi setan tengkorak, tinggal
rangkanya saja. Mengapa khawatir? Hayo bongkar! Kalau tidak dibongkar,
terowongan ini tertutup sampai di sini,
padahal kita amat membutuhkan sebagai jalan rahasia yang amat penting
bagi perkumpulan kita." Karena
alasan yang dikemukakan ketua cilik ini memang tepat, maka beramai-ramai para
manusia katai itu segera bekerja keras,
membongkari batu-batu yang besar-besar dan berat itu, menggunakan alat
pendongkel dan lain-lain. Hiruk pikuk
suara di dalam terowongan itu dan pekerjaan yang berat itu biarpun
dilakukan oleh hampir lima puluh orang,
tetap saja memakan waktu yang cukup lama. Memang sesungguhnyalah bahwa
merusak itu mudah membangun itu sukar,
mengotori itu mudah membersihkannya tidak semudah itu. Setelah bekerja
keras selama sepekan, barulah batu
besar terakhir yang menutupi sumur dapat disingkirkan. Han Bu Ong dan para
anak buahnya seperti berlomba lari
menghampiri sumur dan melongok ke dalam sumur yang amat gelap itu. Pada saat
itu, terdengar suara angin menyambar
dari bawah dan berkelebatlah bayangan orang yang melayang dari bawah, Han
Bu Ong dan semua orang terkejut. Ketika
mereka menoleh dan memandang bayangan orang yang tadi meloncat melewati
kepala mereka, mereka melihat seorang
laki-laki muda berdiri di situ sambil tersenyum, seorang pemuda yang
berwajah tampan, yang memiliki sepasang
mata yang lembut pandangannya namun bersinar cahayanya, pemuda yang
pakaiannya lapuk dan compang camping.
Tidak ada orang kerdil yang mengenal pemuda ini karena memang keadaannya
jauh berbeda dengan tahun yang lalu.
Akan tetapi Han Bu Ong dengan suara gemetar membentakkan perintah, "Serbu!
Bunuh dia...!!" Orang -orang katai
yang tadinya bengong terheran-heran dan ketakutan karena menduga keras bahwa
tentu hanyalah siluman saja yang keluar
dari sumur tertutup itu, ketika mendengar bentakan ini menjadi sadar.
Kini mereka pun ingat bahwa tentu ini
pemuda yang dua tahun yang lalu dilempar ke dalam sumur. Biarpun mereka
bergidik ngeri dan gentar mendapat
kenyataan bahwa orang yang dua tahun lalu dilempar ke sumur ular yang
tertutup kini ternyata masih hidup,
namun karena maklum bahwa ini adalah musuh mereka dengan teriakan-teriakan
ganas mereka menyerang orang itu.
Memang benar dugaan Han Bu Ong. Orang ini bukan lain adalah Kwa Sin Liong.
Ketika Sin Liong akhirnya dari bawah
mendengar suara hirup pikuk disebelah atas kemudian melihat cahaya turun
melalui terowongan kecil jalan ular,
dia menyeberangi terowongan dan tiba di dasar sumur pertama. akhirnya dia
melihat betapa atap sumur yang tadinya
tertutup batu besar itu terbuka dan melayanglah dia keluar. karena
selama dua tahun dia tidak bertemu
orang, begitu melihat Bu Ong dan orang-orang kerdil, dia tersenyum girang.
Akan tetapi orang-orang kerdil itu
dengan bermacam senjata telah menyerangnya. Sin Liong hanya mengerahkan
sinkangnya membiarkan belasan senjata
tajam menimpa tubuhnya. Terdengarlah teriakan-teriakan kaget karena semua
senjata, baik yang tajam maupun yang
tumpul, begitu mengenai tubuh pemuda itu, membalik seperti mengenai
gumpalan karet yang amat kuat.
"Adik Bu Ong...bukankah engkau sute (Adik Seperguruan)...?"Sin Liong
berkata
halus sambil memandang kepada Han Bu
Ong. "Iblis! Siluman! Bunuh dia...!!"Bu Ong berteriak-teriak dengan
muka
pucat dan mata terbelalak. Biarpun hati
mereka gentar sekali, namun orang katai itu kembali menyerbu dan hujan
senjata menyambar tubuh Sin Liong. Kembali
senjata-senjata itu mental, bahkan ada yang terlepas dari pegangan
tangan pemiliknya. Sin Liong menarik
napas panjang, menunduk dan memandang pakaiannya yang menjadi makin
compang-camping, terkena bacokan
senjata-senajata itu, kemudian sekali bergerak tubuhnya berkelebat melewati
kepala para pengeroyoknya yang bertubuh
pendek dan lenyap. Gegerlah para orang katai. Akan tetapi Han Bu Ong
menyambarkan dan menenangkan hati mereka.
Dia merasa yakin bahwa betapapun lihainya Sin Liong, pemuda itu
agaknya tidak akan mengganggunya. Maka
dia melanjutkan rencananya dan melakukan perundingan dengan para anak
buahnya. Seperti juga ibunya dahulu,
pemuda tanggung ini sudah mulai dengan usahanya untuk mencari kedudukan
dengan menghubungi seorang
"pangeran" baru yang juga merasa tidak puas dengan kedudukan yang
diperolehnya
setelah perjuangan mereka berhasil.
Pangeran ini dahulunya adalah seorang pemberontak rakyat petani yang
bergabung dengan An Lu Shan, bernama
Shi Su beng yang kini dianugerahi pangkat "pangeran" oleh An Lu Shan.
Shi
Su Beng bermaksud untuk merebut tahta
kerajaan dari An Lu Shan, dan apabila terjadi kegagalan, maka terowongan
bawah tanah milik Han Bu Ong itulah
yang akan dijadikan tempat persembunyian. Setelah selesai mempersiapkan
segala-galanya dan tempat itu ditinjau
sendiri oleh Pangeran Shi Su Beng, Han Bu Hong lalu pergi ke kota raja
bersama sekutunya itu untuk mulai
melaksanakan siasat yang sudah mereka rencanakan lebih dahulu. Memang selama
dua tahun itu terjadi dua hal yang
banyak tercatat da Kemenangan An Lu Shan ternyata tidak mendatangkan
kemakmuran atau keamanan, bahkan
sebaliknya. Selain kaisar yang telah melarikan diri ke Secuan dan menyerahkan
tahta kerajaan kepada puteranya itu
kini menyusun kekuatan di barat untuk menyerbu dan merampas kembali kota
raja, juga di dalam istana pemerintah
baru sendiri terjadi pertentangan dan perebutan kekuasaan! Semua ini
terjadi karena memang sesungguhnya para
pemimpin pemberontak yang dahulu memberontak terhadap pemerintah dengan
dalih "demi rakyat" atau demi
keadilan, demi kebenaran, demi negara dan lain istilah muluk-muluk lagi itu
sesungguhnya hanyalah
"berjuang" demi dirinya sendiri saja! Semua istilah itu tak lain tak
bukan hanyalah untuk
dijadikan "modal"
perjuangannya untuk mencari kedudukan dan kemuliaan bagi diri sendiri. Hal ini
sudah terlalu
sering terjadi di dunia,
berulang-ulang, namun sampai sekarang rakyat di seluruh dunia tetap bodoh, mau
saja di
peralat dan dicatut namanya oleh
orang-orang yang berambisi untuk diri pribadi. Betapa banyaknya bukti akan
kepalsuan ini dapat dilihat dalam
sejarah di negara manapun di dunia ini. Sekelompok orang berambisi untuk
keuntungan mereka sendiri, dengan
siasat cerdik menggunakan nama rakyat untuk mencapai tujuan mereka, kalau
perlu mereka mengorbankan rakyat.
Rakyat sudah cukup puas memperoleh gelar "pahlawan" kalau sampai
tewas dalam
perjuangan yang sebenarnya adalah
menyalah gunakan demi keuntungan kelompok yang mempergunakan mereka itu.
dalam sejarah. Inilah sebabnya maka
jika perjuangan telah berhasil, jika para kelompok pimpinan yang berambisi
sudah memperoleh apa yang mereka
kejar-kejar, maka rakyat pun dilupakan sudah! Bukan sengaja dilupakan,
melainkan karena mereka yang sudah
berhasil merampas kedudukan itu pun harus menghadapi lawan atau saingan yang
juga ingin merebut kedudukan itu.
Rakyat adalah orang yang berada dibawah, dan yang terinjak memang selalu yang
berada di bawah. yang berada di atas
tidak akan terinjak, akan tetapi mereka itu saling berebutan di antara
mereka sendiri, memperebutkan kedudukan
yang lebih enak dan empuk dari pada kedudukan yang telah dimilikinya.
Demikianlah pula dengan An Lu Shan dan
teman-temannya yang telah berhasil dalam "perjuangan" mereka merampas
kedudukan tahta kerajaan. Teman-teman
yang tadinya berjuang bahumembahu, menjadi kawan senasib sependeritaan,
yaitu di waktu mereka memberontak, kini
setelah memperoleh apa yang mereka cita-citakan , berbalik mencurigai,
saling iri! Memang belum ada yang
secara berterang berani menentang An Lu Shan, bekas panglima yang masih amat
kuat kedudukannya, didukung oleh
pasukan-pasukan inti dan tampaknya semua pembantunya sudah menyetujui
sebulatnya kalau An Lu Shan menjadi
Kaisar. Akan tetapi diam-diam, banyak yang mepersoalkan pembagian pangkat
dan kedudukan. Tentu saja yang merasa
tidak puas adalah mereka yang memperoleh pangkat agak kecil, sedangkan
yang menerima pangkat besar merasa
curiga dan hati-hati menghadapi bekas teman yang memperoleh pangkat yang
lebih kecil. Terjadi dan berlangsunglah
konflik sembunyi diantara mereka. Ke manakah perginya Swat Hong dan
Kwee Lun? Di bagian depan telah
diceritakan betapa dua orang muda ini berhasil menyelamatkan diri, lari keluar
dari istana The Kwat Lin dan terus
keluar dari kota raja Tiang-an. Mereka berlari dengan cepat mempergunakan
kegelapan malam, berhasil keluar dari
benteng tembok kota raja karena para penjaga yang berada dalam suasana
pesta kemenangan itu tidak melakukan
penjagaan yang terlampau ketat. Setelah terang tanah dan mereka tiba di
dalam sebuah hutan jauh dari tembok
kota raja barulah keduanya berhenti, terengah-engah dan Swat Hong
menjatuhkan dirinya di bawah sebatang
pohon besar. Wajahnya pucat biarpun muka dan lehernya penuh keringat yang
di usapnya dengan ujung lengan bajunya.
Pandang matanya merenung jauh sekali, dan dia diam saja, sama sekali
tidak berkata-kata, sama sekali tidak bergerak, seperti dalam keadaan
setengah sadar. Kwee Lun juga menghapus
peluhnya dan dia pun duduk diam,
memandang kepada Swat Hong. beberapa kali dia menggerakan bibir hendak bicara
namun ditahannya lagi. Pemuda yang
biasanya bergembira ini merasa betapa jantungnya seperti diremas-remas. Dia
sendiri merasa kehilangan dan amat
berduka dengan kematian Soan Cu, gadis yang kini dia tahu adalah wanita yang
amat dicintainya. Akan tetapi, melihat
keadaan Swat Hong yang terpaksa harus meninggalkan ibu kandungnya
menghadapi kematian, dia melupakan
kedukaan hatinya sendiri dan merasa amat iba kepada Swat Hong. Melihat
betapa Swat Hong seperti orang
kehilangan ingatan, Kwee Lun merasa khawatir sekali. Kalau dibiarkan saja,
gadis
ini bisa jatuh sakit, kalau hanya sakit
badannya masih mending, akan tetapi kalau terserang batinnya lebih
berbahaya lagi. Akhirnya dia
memberanikan diri berkata lirih dan halus, "Mati hidup adalah berada di
tangan
Thian, kita manusia tak dapat
menguasainya, Nona." Mendengar kata-kata ini, Swat Hong menengok dan
memandang,
akan tetapi pandang matanya tetap
kosong, seolah-olah kata-kata itu tidak dimengertinya dan dari mulutnya hanya
terdengar suara meragu,
"Hemm....?" Suara ini gemetar dan pandang mata itu menusuk perasaan
Kwee Lun. Maka
pemuda ini lalu memberanikan diri
melangkah lebih jauh lagi dengan kata-kata yang lebih membuka kenyataan,
"Ibumu gugur sebagai seorang yang
gagah perkasa." Sepasang mata yang kehilangan sinar itu terbelalak,
seolah-olah baru sadar dan bibir yang
gemetar itu bergerak, mula-mula lirih makin lama makin keras,
".....Ibu.....? Ibu...., Ibu....!"
Swat Hong menangis tersedu-sedu dan memanggil-manggil ibunya. "Tenanglah,
Nona. Tenanglah....." Kwee Lun
menghibur dan berlutut di depan gadis itu, akan tetapi suaranya sendiri parau
dan agak tersedu. "Ibu....!
Mengapa aku meninggalkan ibu mati sendiri....? Ibu....! Hu-hu-huuuuuuuk,
Ibuuuuuuuu.....!" Memang menangis
merupakan obat terbaik bagi batin gadis itu, pikir Kwee Lun penuh keharuan,
akan tetapi melihat Swat Hong
menjambak-jambak rambut sendiri, dia merasa khawatir. "Ingatlah, Nona.
Ingatlah
pesan Ibumu..... tentang pusaka Pulau
Es...." Swat Hong mengangkat muka dan melihat wajah pemuda itu juga basah
air mata, dia menubruk. "Toako....
ahhhh, Toako....!" Dan menangislah dia tersedu-sedu di dada pemuda itu
yang
dianggapnya merupakan satu-satunya
sahabat di dunia yang baginya kosong ini. Kwee Lun memejamkan mata dan
membiarkan gadis itu menangis
terisak-isak. Dengan sesenggukan Swat Hong berkata, "Ibu tewas..... di
depan
mataku..... dan aku tidak dapat
menolongnya..... hu-hu-huuuuuuuhhhh...... dan Ayah pun sudah tiada, Suheng
juga...... hu-huuuuuuuuuhhh apa gunanya
aku hidup lagi? Apa gunanya aku mencari pusaka dan mengembalikan ke
Pulau Es?' Seperti seorang yang
mendadak menjadi kalap Swat Hong merenggutkan dirinya dari dada Kwee Lun, lalu
melompat bangun mengepal tinju.
"Katakan, Kwee-toako, apa gunanya semua ini? Ayah ibuku sudah meninggal,
dan
suheng satu-satunya orang yang kucinta.....
dia pun tidak ada lagi......! katakan, apa perlunya aku hidup lebih
lama?" Kwee Lun teringat akan
kematian Soan Cu yang menghancurkan perasaannya, akan tetapi dia menekan
kedukaannya dan berkata, suaranya
nyaring bersemangat, "Adik Hong, tidak semestinya seorang perkasa seperti
engkau mengeluarkan kata-kata bernada
putus asa seperti itu! Engkau adalah puteri dari Pulau Es! Kedukaan apa
pun yang menimpa dirimu, harus kau
atasi dengan gagah perkasa! Aku dapat memahami pesan mendiang Ibumu yang
mulia dan gagah perkasa itu. Kalau
pusaka keluargamu dari Pulau Es terjatuh ke tangan orang lain, bukankah itu
amat sayang, berbahaya dan juga
merendahkan ? Pusaka itu telah diselamatkan oleh Nona Bu Swi Nio dan Saudara
Liem Toan Ki. Sebaiknya kalau kita
segera menyusul mereka dan aku akan membantumu mencari Pusaka Pulau Es."
Ucapan penuh semangat itu benar-benar
menyadarkan Swat Hong, menarik gadis itu dari lembah kedukaan yang hampir
mematahkan semangatnya. Dia menahan
isak, menarik napas panjang dan menghapus air matanya, lalu memandang
kepada pemuda itu, memegang tangan Kwee
Lun. "Kwee-toako, terima kasih atas peringatanmu. Hampir aku lupa akan
tugasku. Memang benar, sudah berani
hidup harus berani menghadapi apa pun yang menimpa kita. Engkau sungguh
baik sekali, Toako. Engkau sendiri
menderita, kehilangan Soan Cu, namun masih menghiburku......" Kwee Lun
mengangkat mukanya dan memejamkan mata.
"Benar.....aku mencinta Soan Cu....... aku mencintanya......"
"Dan aku
mencintai Suheng. Betapa buruk nasib
kita, Toako. Engkau sendiri menderita, kehilangan Soan Cu, namun masih
menghiburku......" Kwee Lun
mengangkat mukanya dan memejamkan mata. "Benar.... aku mencinta Soan
Cu.... aku
mencintanya........" "Dan aku
mencinta Suheng. Betapa buruk nasib kita, Toako. Akan tetapi, kau masih
mempuyai
Gurumu, sedangkan aku hanya seorang
diri..... ah, sudahlah. Aku akan pergi, Toako. Semoga engkau akan dapat
menemukan kebahagiaan dalam hidupmu.
Engkau baik sekali dan terima kasih."Swat Hong berkelebat dan meloncat
pergi. "Nanti dulu! Hong-moi....
biarlah aku membantumu....." "Tidak usah, Kwee-toako. Aku akan
menyusul mereka
ke Puncak Awan Merah, kemudian aku akan
kembali ke Pulau Es.... untuk.... untuk selamanya. Selamat tinggal!"
Swat Hong meloncat dengan cepat sekali
dan sebentar saja dia sudah lenyap meninggalkan Kwee Lun yang menjadi
lemas. Pemuda ini menjatukan dirinya
duduk di atas tanah dan baru sekarang dia tidak dapat menahan bertitiknya
air matanya dan baru sekarang terasa
olehnya betapa dia kehilangan Soan Cu, betapa dunia terasa amat hampa dan
sunyi. Berkali-kali dia menarik napas
panjang dan teringatlah dia kepada gurunya, Lam-hai Seng-jin yang seperti
orang tuanya sendiri. Dia harus kembali
ke Pulau Kurakura di Lam-hai dan terbayang olehnya betapa suhunya itu
akan terheran mendengar semua pengalamannya
dengan keluarga Pulau Es! Dengan perasaan yang kosong dan sunyi,
ingatan akan gurunya ini merupakan
setitik harapan kegembiraan hidupnya dan berlahan-lahan Kwee Lun
meninggalkan hutan itu untuk kembali
kepada gurunya yang sudah amat lama ditinggalkannya. Sementara itu, dengan
mata masih merah oleh tangisnya, Han
Swat Hong melanjutkan perjalanan seorang diri dengan cepat untuk mengejar
Swi Nio dan Toan KI. Kalau dia dapat
menyusul mereka dan minta kembali Pusaka Pulau Es dia dapat langsung
kembali ke Pulau Es dan
selanjutnya...... entah, dia sendiri tidak tahu apakah dia ada niat untuk
kembali ke
daratan besar. Tidak, dia akan tinggal
di pulau itu, di mana dia terlahir. Biarpun pulau itu sudah kosong, dia
akan tinggal di tempat kelahirannya itu
sampai mati! Bercucuran pula air matanya ketika dia berpikir sampai di
situ dan terkenang kepada suhengnya.
Kalau saja ada suhengnya di sisinya, tentu tidak akan begini merana
hatinya. Akan tetapi, betapapun cepat
Swat Hong melakukan pengejaran, tetap saja dia tidak berhasil menyusul
Swi Nio dan Toan Ki. Bahkan ketika dia
tiba di Puncak Awan Merah, tempat tinggal Tee-tok Siangkoan Houw, di
tempat ini dia hanya disambut oleh
Ang-in Mo-ko Thio Sam, kakek yang menjadi murid kepala Tee-tok itu yang
menceritakan bahwa Tee-tok bersama
puterinya telah beberapa pekan pergi turun gunung dan bahwa selama itu tidak
ada tamu, juga tidak ada Bu Swi Nio dan
Liem Toan Ki seperti yang ditanyakan oleh gadis itu. Swat Hong
mengerutkan alisnya. Hatinya mulai
bertanya-tanya. Celaka, pikirnya, jangan-jangan dia telah salah memilih
orang untuk dipercaya menyelamatkan
Pusaka Pulau Es! Jangan-jangan dua orang muda itu sengaja melarikan
pusaka-pusaka itu dan bersembunyi!
Timbul kecurigaan yang diikuti kemarahan di hatinya, dan berbareng dengan
perasaan ini timbul pula semangatnya
yang tadinya amat menurun itu. Hidupnya masih perlu dan ada gunanya,
setidaknya dia harus menyelamatkan
pusaka-pusaka itu agar tidak terjatuh ke tangan orang lain! Perasaan marah
dan khawatir ini mendatangkan perasaan
bahwa dia masih amat dibutuhkan untuk hidup terus. Sambil menahan
kemarahannya, dia berkata kepada murid
kepala Tee-tok itu, "Andaikata ada datang Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki,
harap minta kepada mereka untuk menanti
saya di sini. Dua bulan lagi saya akan kembali menemui mereka." Ang-in
Mo-ko Thio Sam yang sudah mengetahui
kelihaian dara yang pernah menggegerkan Awan Merah ini, mengangguk-angguk.
Kemudian Swat Hong meninggalkan Puncak
Awan Merah untuk mengambil jalan kembali ke jurusan kota raja untuk
mencari kalau-kalau dua orang muda itu
dapat berjumpa dengannya di jalan. Namun semua perjalanannya sia-sia
belaka. Dua bulan kemudian, kembali dia
tiba di Puncak Awan Merah dan untuk kedua kalinya Ang-in Mo-ko (Iblis
Tua Awan Merah) menyatakan
penyesalannya bahwa dua orang muda yang dicari itu belum juga datang, bahkan
gurunya
juga belum pulang. "Saya malah
merasa gelisah juga memikirkan Suhu." kata kakek itu. "Keadaan di
mana-mana
sedang ribut dengan perang, akan tetapi
Suhu pergi begitu lamanya belum juga pulang." Swat Hong menahan
kemarahannya. Tidak salah lagi,
pikirnya. Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki tentu berlaku khianat, menginginkan
pusaka-pusaka itu untuk diri mereka
sendiri. Aku harus mencari mereka dan selain merampas kembali pusaka, juga
akan kuhajar mereka! Dia berpamit lalu
pergi lagi, di sepanjang jalan dia memaki-maki Bu Swi Nio yang
dipercaya. "Dasar murid iblis
betina itu," gerutunya. "Gurunya sudah mati, kini muridnya yang
menyusahkan aku!"
Mulailah Swat Hong mencari-cari kedua
orang itu tanpa hasil. sampai dua tahun dia berkelana mencari-cari kedua
orang muda itu namun anehnya, tidak ada
seorang pun manusia yang tahu akan mereka. Akhirnya timbullah
pikirannya bahwa sangat boleh jadi Bu Swi
Nio dan Liem Toan Ki yang tadinya adalah anak buah An Lu Shan yang
kini membalik dan berkhianat itu takut
kepada pembalasan pemerintah baru dan telah lari mengungsi ke barat, ke
Secuan. Sangat boleh jadi! Pikiran ini
membuat dia mengambil keputusan dan berangkatlah dia ke Secuan. Sambil
mencari pusaka, dia pun ingin membantu
Kaisar yang kabarnya sedang menyusun kekuatan untuk menyerang dan
merebut kembali tahta kerajaan.
Sebaliknya klau dia membantu, pikirnya. Selain untuk mengisi kekosongan
hidupnya, juga sekalian untuk mencari
Bu Swi Nio an Liem Toan Ki, juga untuk menghancurkan semua kaki tangan An
Lu Shan termasuk Ouwyang Cin Cu, dan
juga mengingat bahwa ayahnya adalah seorang keturunan pangeran atau raja
muda, maka sebenarnya dia masih
berdarah bangsawan dan masih ada hubungan darah dengan keluarga kaisar sehingga
sepatutnyalah kalau dia membantu.
Sementara itu, di ibu kota yang telah diduduki An Lu Shan, di dalam istana di
mana An Lu Shan mengangkat diri sendiri
menjadi raja, terjadilah hal-hal yang hebat! An Lu Shan sendiri masih
melanjutkan wataknya yang kasar dan mau
menang sendiri. Satu di antara kesukaannya adalah wanita, maka begitu
dia berhasil, tak pernah berhenti
setiap malam dia berganti wanita mana saja yang dipilih dan ditunjuknya,
tidak peduli wanita itu masih gadis
atau isteri orang lain sekalipun! pada suatu malam, dalam keadaan mabok dan
sedang gembiranya, An Lu Shan lupa diri
dan dalam keadaan setengah sadar dia memasuki kamar mantu perempuannya
yang sudah lama sekali dia rindukan
secara diam-diam. Kalau sadar dan tidak mabok, dia masih menahan hasrat
hatinya. Akan tetapi malam itu, dalam
keadaan mabok, dia tidak mempedulikan apa-apa lagi dan memasuki kamar
mantunya! Tidak ada seorang pun manusia
di dalam istana yang berani melarang, dan pada saat itu, putera An Lu
Shan sedang tidak berada di situ.
Dengan penuh perasaan duka dan ketakutan, mantu yang muda dan cantik jelita
itu tidak kuasa menolak atau
memberontak, sambil menangis dia terpaksa membiarkan dirinya dipeluk dan
diciumi
mertua yang mabok itu. Dengan suara
lirih dan membujuk dia masih berusaha mengingatkan An Lu Shan, namun
seorang laki-laki yang tidak hanya
mabok arak, melainkan juga mabok cinta berahi, tidak mempedulikan apa pun.
wanita hanya dapat merintih dan
menangis, diseling suara ketawa gembira dari An Lu Shan. Ketika pintu kamar itu
dengan paksa dibuka dari luar oleh pangeran, An Lu Shan telah tidur
mendengkur kelelahan dengan muka merah
karena banyak arak, sedangkan isteri
pangeran itu menangis terisak-isak, berlutut di atas lantai. Pangeran itu
menjadi mata gelap, pedang dicabut dan
sekali meloncat dia telah menikam dada ayahnya sendiri. "Crappp....!"
"Auhhh.... haiii.... kau....
kau.....?" An Lu Shan yang bertubuh kuat itu, biarpun pedang telah
menembus
dadanya, masih dapat meloncat dan memcengkeram
ke arah puteranya. Akan tetapi pangeran yang sudah mata gelap
itu mengelak, kakinya menendang
sehingga An Lu Shan terdorong jatuh, membuat pedang itu masuk makin dalam. Dia
berkelojotan dan tak bergerak lagi!
"Tangkap pembunuh.....!!" teriakan ini keluar dari mulut Shi Su Beng
yang
bersama dengan Han Bu Ong sudah lari ke
dalam kamar. Shi Su Beng menggerakan pedangnya dan terdengar teriakan
mengerikan ketika pangeran itu roboh
pula di dekat mayat ayahnya dalam keadaan tak bernyawa pula karena
lehernya hampir putus terbabat pedang
Pangeran Shi Su Beng! Gegerlah seluruh istana. rapat kilat diadakan dan
Shi Su Beng yang dianggap membela
Kaisar itu mempergunakan kesempatan ini untuk merampas kedudukan Kaisar!
Dalam keadaan kacau balau itu, Shi Su
Beng mengangkat diri sendiri sebagai raja dan Han Bu Ong menjadi raja
muda pembantunya yang setia! Hanyalah
mereka berdua saja yang tahu bahwa semua peristiwa itu memang digerakkan
oleh mereka berdua! Shi Su Beng yang
membangkitkan berahi An Lu Shan terhadap mantu perempuannya, bahkan di
dalam mabok, Shi Su Beng yang membujuk
supaya Kaisar baru itu memasuki kamar dengan mengatakan bahwa di dalam
kamar itu dia telah menyediakan seorang
wanita cantik mirip mantunya itu untuk An Lu Shan! Dan selagi An Lu
Shan yang mabok itu menggagahi mantunya
sendiri, diam-diam Han Bu Ong menghubungi pangeran dan membisikan bahwa
ada penjahat memasuki kamarnya. Maka terjadilah
seperti apa yang telah direncanakan oleh mereka berdua, yaitu
kematian An Lu Shan di tangan puteranya
sendiri dan kemudian kematian pangeran di tangan Shi Su Beng.
Terjadilah perubahan besar-besaran di
kota raja, pergantian kekuasaan dan kembali Han Bu Ong berhasil
mengangkat dirinya sendiri seperti yang
dicita-citakan ibunya, yaitu menjadi seorng pangeran yang berkuasa,
jauh lebih berkuasa dari pada di waktu
ibunya masih hidup, yaitu menjadi tangan kanan penguasa baru yang
menjadi sekutunya! Akan tetapi,
jatuhnya An Lu Shan dan berpindahnya kekuasaan di tangan Shi Su Beng, masih
saja belum meredakan
ketegangan-ketegangan di kota raja akibat perebutan kekuasaan. Seperti biasa
penguasa baru
mengangkat teman-temannya sendiri menduduki
jabatan tinggi, melakukan penggeseran-penggeseran sehingga
menimbulkan dendam dari kawan-kawan
yang berbalik menjadi lawan. Dalam keadaan seperti itu, kacau rencana
perebutan kekuasaan, kalau perlu dengan
cara halus maupun kasar, para pemberontak yang kini memegang tampuk
kerajaan itu menjadi lalai. Mereka
terlalu memandang rendah Kaisar yang telah melarikan diri ke Secuan,
menganggap keluarga Kaisar lama itu
sudah jatuh benar-benar. Kesibukan untuk kepentingan ambisi pribadi membuat
mereka lengah dan kurang memperhatikan
pertahanan sehingga mereka tidak tahu betapa Kaisar dan keluarganya di
Secuan telah membentuk kekuatan baru
untuk melakukan pembalasan! Kaisar Tua Hian Tiong, yang hancur lahir
batinya karena bukan hanya mahkota
kerajaan dirampas oleh pemberontak An Lu Shan, akan tetapi terutama sekali
karena selirnya tercinta, Yang Kui Hui,
harus mati digantung oleh keputusannya sendiri, setibanya di Secuan,
menjadi seorang kakek yang patah
semangat dan selalu tenggelam dalam duka cita. Dalam keadaan mengungsi itu, di
Secuan, keluarga kaisar dan para
pengikutnya yang masih setia, menerima keputusan Kaisar Tua untuk mengangkat
Kaisar baru, yaitu putera mahkota yang
bergelar Su Tiong. Pada waktu itu sisa pasukan pemerintah yang telah
kalah perang terhadap An Lu Shan, di
bawah pimpinan Panglima Besar Kok Cu I, telah menyusul pula ke Secuan.
Kaisar Su Tiong lalu menghimpun
kekuatan dari rakyatnya di daerah Secuan, dan minta bantuan kepada
negara-negara tetangga yang bersahabat.
Maka terkumpullah pasukan-pasukan campuran yang terdiri dari bermacam
suku, bahkan terdapat pula bangsa Turki,
Tibet, dan kemudian sekali datang pula bala bantuan dari pasukan Arab
yang dikirim sebagai tanda bersahabat
oleh Kalipu. Pasukan-pasukan itu disusun menjadi barisan besar dan diberi
latihan-latihan berat dalam persiapa
kaisar Su Tiong untuk merampas kembali kerajaannya, Kok Cu I. Tidak ada
hal penting terjadi selama perjalanan
Swat Hong menuju ke Secuan. Gadis yang dahulu berwatak periang dan jenaka
itu, yang wajahnya selalu berseri dan
gembira, kini menjadi pendiam dan ada garis-garis dan bayangan muram di
wajahnya yang tetap cantik jelita
walaupun tidak pernah bersolek. Perantauan selama dua tahun mencari-cari
pusakanya yang hilang tanpa hasil itu
membuat dia merasa berduka dan juga penasaran sekali. Di dalam hatinya di
berjanji bahwa dia takkan pernah
berhenti mencari sebelum mendapatkan pusaka Pulau Es itu. Dalam perantauannya
itu dia mendengar pula tentang kematian
An Lu Shan dan puteranya. Ketika dia tiba di Secuan, pada waktu itu
Kaisar yang baru, yaitu Kaisar Si
Tiong, memang sedang menyusun tenaga di bawah pimpinan Panglima Besar Kok Cu
I sendiri. panglima Kok ini menyebar
para pembantunya, yaitu panglima-panglima bawahan di seluruh daerah Secuan
untuk menerima dan mendaftar para
sukarelawan yang hendak masuk menjadi tentara. Seorang di antara bawahannya
yang bertugas mengumpulkan bala bantuan
bahkan menghubungi orang-orang asing dari barat ini adalah Panglima
Bouw Kiat. Panglima inilah yang telah
berjasa menghubungi orang-orang Arab sehingga akhirnya Kaliphu (yang
kuasa di Arab) sendiri mengirim pasukan
bala bantuan. Bouw Kiat berkedudukan di sebuah dusun daerah selatan dan
di sini dia menyusun pasukannya sambil
menjamu pasukan dari Arab yang sebagian kecil sebagai pasukan pelopor
telah tiba di situ. panglimaKok Cu I
yang cerdik memisah-misahkan para pasukan asing yang membantunya agar
menjauhkan terjadinya bentrokan.
Pasukan bantuan dari Turki berada di utara, dari Tibet berada di selatan dan
dari timur adalah pasukan yang terdiri
dari bermacam-macam suku bangsa. Pada suatu hari, Swat Hong tiba di
daerah yang dikuasai oleh Panglima Bouw
Kiat inilah. Dara ini merasa heran ketika melihat ada banyak tentara
`
That is an extremely smart written article. I will be sure to bookmark it and return to learn extra of your useful information. Thank you for the post. I will certainly return.
ReplyDeleteVery great post. I simply stumbled upon your blog and wanted to say that I have really enjoyed browsing your weblog posts. After all I’ll be subscribing on your feed and I am hoping you write again very soon!
ReplyDeleteThis is the precise weblog for anybody who needs to seek out out about this topic. You notice so much its almost arduous to argue with you. You positively put a brand new spin on a subject that's been written about for years. Nice stuff, simply nice!
ReplyDeleteJOIN NOW !!!
ReplyDeleteDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.name
dewa-lotto.com