BUKEK SIANSU : Seri Kedelapan - Lanjutan Seri Kho Ping Hoo - Bukek Siansu Seri Ketujuh
kerajaan yang luas sekali wilayahnya.
Di jaman pemerintahannya inilah (712-756) di Tiongkok bermunculan
sastrawan-sastrawan dan pelukis-pelukis
yang menjadi terkenal sekali dalam sejarah, seperti Li Tai-po, Tu Fu,
Wang Wei dan lain-lain. Namun,
disayangkan bahwa kebijaksanaan Beng Ong dalam mengemudikan roda pemerintahan
dan di negara manapun juga, Beng Ong
yang hatinya teguh menghadapi godaan segala macam keduniawian, ternyata
lumpuh ketika menghadapi seorang
wanita! Betapa banyaknya sudah dibuktikan oleh sejarah, betapa pria-pria yang
hebat, pandai, gagah perkasa dan kuat hatinya,
menjadi luluh dan tak berdaya begitu bertemu dengan seorang
wanita yang berkenan di hatinya.
Peristiwa itu terjadi dalam tahun 745. Ketika itu, Raja Beng Ong sudah berusia
enam puluh tahun lebih. Sebenarnya
sudah tua dan sudah kakek-kakek, namun seperti telah terbukti dari jaman
dahulu sampai sekarang, laki-laki,
betapapun tuanya dalam menghadapi wanita menjadi seperti seorang kanak-kanak
yang hijau dan lemah. Seorang di antara
banyak pangeran, yaitu putera Kaisar yang terlahir dari banyak selirnya
adalah Pangeran Su. Pangeran ini
mempunayi seorang isteri yang amat cantik jelita, dan menurut kabar angin,
wanita ini cantiknya melebihi bidadari
kahyangan. Wanita ini bernama Yang Kui Hui, dan memang wanita ini
memiliki kecantikan yang amat luar
biasa sehingga terkenal di seluruh penjuru dunia. Ketika Kaisar Beng Ong
dalam suatu kesempatan bertemu dan
melihat Yang Kui Hui, seketika hati Kaisar tua itu tergila-gila. Ratusan
orang selir cantik dan pelayan-pelayan
muda dan perawan tidak lagi menarik hatinya dan setiap saat yang tampak
di depan matanya hanyalah wajah Yang
Kui Hui yang cantik jelita. Akhirnya, Kaisar tidak lagi dapat menahan
nafsu hatinya. Dengan kekerasan dia
memaksa puteranya sendiri, Pangeran Su, untuk menceraikan isterinya dan
mengawinkan pangeran ini dengan seorang
wanita lain. Adapun Yang Kui Hui, tentu saja, segera dimasukan ke dalam
istana, di dalam kumpulan harem
(rombongan selir) di istana. Setelah Yang Kui Hui pada malam pertama melayani
Kaisar Beng Ong, bekas ayah mertuanya,
sejak saat itulah terjadi lembar baru dalam sejarah Kerajaan Tang.
Kaisar Beng Ong yang tadinya giat
mengurus pemerintahan, memperhatikan segala urusan pemerintahan sampai ke
soal yang sekecil-kecilnya, kini mulai
tidak acuh dan menyerahkan semua urusan ke tangan para Thaikam (Orang
Kebiri, Kepercayaan Raja) dan para
pembesar yang berwenang. Dia sendiri dari pagi sampai jauh malam tak pernah
meninggalkan tempat tidur di mana Yang
Kui Hui menghiburnya dengan penuh kemesraan. Dalam beberapa bulan saja,
selir yang tercinta ini berhasil
menguasai hati Kaisar seluruhnya sehingga apa pun yang dilakukan oleh Yang Kui
Hui selalu benar, dan apa pun yang
diminta oleh selir ini, tidak ada yang ditolak oleh Kaisar tua yang sudah
dimabok cinta itu. Yang Kui Hui
bukanlah seorang wanita bodoh. Sama sekali bukan. Tentu saja hatinya menaruh
dendam kepada kaisar Beng Ong karena dia
dipisahkan dari suaminya yang tercinta. Sudah pasti sekali dalam
melayani semua nafsu berahi Kaisar tua
itu, ada tersembunyi niat yang lain lagi, bukan semata-mata karena dia
membalas cinta kasih Kaisar yang sudah
tua itu. Dia tidak menyia-nyikan kesempatan amat baik itu. Setelah
membuat Kaisar tergila-gila dan
seolah-olah bertekuk lutut di depan kakinya yang kecil mungil, mulailah Yang
Kui Hui memetik hasil pengorbanan diri
dan hatinya. Dia menggunakan pengaruhnya terhadap Kaisar, menarik
keluarganya menduduki tempat-tempat
penting dalam pemerintahan! Bahkan kakaknya yang bernama Yang Kok Tiong
diangkat menjadi menteri pertama dari
Kerajaan Tang setelah menteri yang lama dicopot secara menyedihkan oleh
Kaisar, tentu saja atas bujukan Yang
Kui Hui! Dan masih banyak lagi anggota keluarga selir yang cantik jelilta
ini memperoleh kedudukan yang tinggi
sekali yang sebelumnya tak pernah termimpikan oleh mereka. Pada jaman
itulah muncul seorang yang akan menjadi
terkenal sekali dalam sejarah Tiongkok. Orang ini bukan lain adalah An
Lu San, seorang yang tadinya dari
keturunan tak berarti. An Lu San dilahirkan di Mancuria Selatan, di luar
Tembok Besar, yaitu Di Liao-tung. Orang
tuanya berdarah Turki dari suku bangsa Khitan, keturunan keluarga yang
bersahaja dan terbelakang. Ketika An Lu
San menjadi seorang pemuda remaja, sebagai seorang budak belian dia
dijual kepada seorang perwira Kerajaan
Tang yang bertugas di utara, di Tembok Besar. Mulai saat itulah
bintangnya menjadi terang. Sebagai
kacung perwira itu, dia ikut pula ke medan perang dan ternyata bocah ini
membuktikan dirinya sebagai seorang
yang gagah berani dan cerdik sekali, memiliki keahlian dalam pertempuran
sehingga beberapa kali dia membuat jasa
pada pasukan yang dipimpin oleh majikannya. Maka diangkatlah dia
menjadi prajurit dan dalam waktu
singkat saja dia membuat jasa-jasa besar sehingga dia diangkat terus,
dinaikkan menjadi perwira dan akhirnya,
beberapa tahun kemudian setelah dia memenangkan beberapa peperangan
melawan musuh dari luar sehingga dia
berjasa besar bagi Kerajaan Tang, dia diangkat menjadi jenderal! Mulailah
jenderal An Lu Sun ini mendekati
Kaisar. Setelah pangkatnya setinggi itu, tentu saja terbuka kemungkinan
baginya untuk berhadapan dengan Kaisar
yang waktu itu sedang tergila-gila kepada Yang Kui Hui yang telah
memperoleh kedudukan tinggi. An Lu San
memang seorang yang amat cerdik. Menyaksikan pengaruh dan kekuasaan
selir yang cantik jelita itu terhadap
Kaisar, dia melihat kesempatan baik sekali untuk mengangkat diri sendiri
ke tempat yang lebih tinggi. Dengan
sikapnya yang lucu dan ugal-ugalan, pembawaan watak liarnya, dia berhasil
menyenangkan hati Kaisar dan memancing
kegembiraan Yang Kui Hui sendiri. Selir ini, yang setiap hari harus
melayani seorang pria yang sudah tua
dan sudah lemah, tentu saja bangkit gairahnya melihat jenderal yang tegap,
gembira dan kasar liar itu! Terjadilah
"main mata" antara kedua insan ini, dan akhirnya, dengan bujukan dan
rayuannya, Yanh Kui Hui memuji-muji
kesetiaan dan jasa-jasa An Lu San sehingga Kaisar menjadi semakin suka
kepada jenderal ini. Bahkan Yang Kui
Hui dengan akalnya yang licik telah mengangkat An Lu San sebagai "putera
angkatnya". Hal ini tidak
dijadikan keberatan oleh Kaisar, bahkan Kaisar memuji selirnya sebagai seorang
selir
yang cerdik, selir yang mencinta dan
yang setia karena perbuatan Yang Kui Hui itu dianggapnya sebagai taktik
selir untuk menyenangkan hati seorang
pahlawan sehingga dengan demikian memperkuat kedudukan Kaisar. Kaisar
Beng Ong yang terkenal pandai dan
bijaksana itu ternyata menjadi lemah tak berdaya, sama lemahnya dengan
seuntai rambut lemas hitam dari Yang
Kui Hui yang setiap saat dapat dipermainkan oleh jari-jari tangan halus
dari selir yang cantik jelita itu. Tentu saja
setiap sukses dari seseorang, bail didapatkan dengan jalan apa
pun juga melahirkan iri hati kepada
orang-orang lain. Biarpun tidak ada yang berani secara terang-terangan
menentang selir cantik yang amat
dikasihi Kaisar tua itu, namun diam-diam banyak anggauta keluarga kerajaan
yang merasa iri hati dan membenci Yang
Kui Hui, terutama sekali para selir lainnya yang kini seolah-olah
diabaikan oleh Kaisar yang setiap malam
selalu dibuai dalam pelukan Yang Kui Hui. Pada suatu malam Kaisar
beristirahat di dalam kamarnya sendiri.
Betapapun dia tergila-gila kepada Yang Kui Hui, namun karena dia sudah
tua sekali, tenaganya tidak mengijinkan
dia setiap malam mengunjungi selirnya yang masih muda, penuh nafsu dan
panas itu. Malam itu merupakan malam
istirahatnya dan dia tidak mendekati selirnya yang tercinta. Tubuhnya
terasa lelah setelah sore tadi dia
berpesta makan minum dan menikmati tari-tarian yang disuguhkan untuk
kehormatan jenderal An Lu San yang
datang berkunjung ke istana. Setelah mengijinkan jenderal perkasa itu
mengundurkan diri ke kamar tamu yang
disediakan, Kaisar yang merasa lelah itu berbisik kepada selirnya tercinta
bahwa malam itu dia ingin beristirahat
karena merasa lelah, kemudian langsung menuju ke kamarnya sendiri.
Menjelang tengah malam, kaisar
terbangun dan ternyata yang mengganggu tidurnya adalah seorang selir muda belia
yang cantik seperti selir-selir lain.
Selir ini bernama Yauw Cui, masih berdarah bangsawan dan termasuk selir
termuda sebelum Kaisar mengambil Yang
Kui Hui yang merupakan selir terakhir. "Hemmm, apa maksudmu datang
mengganggu?" Kaisar berkata, tidak
marah karena dia pun pernah mencinta selir yang cantik ini, bahkan tangannya
lalu diulur untuk membelai dagu yang
berkulit putih halus itu. "Hamba mohon Sri Baginda mengampunkan
hamba,"
selir itu berkata dengan suara agak
gemetar, "Sebetulnya hamba tidak berani mengganggu paduka yang sedang
beristirahat, akan tetapi...."
Kaisar yang tua itu tersenyum dan salah menyangka. Dikiranya selir muda ini
merindukan curahan kasihnya karena
sudah lama dia tidak mengunjungi kamar selirnya ini dan tidak pula
memerintahkan selirnya itu datang
melayaninya. "Aihh, manis, naiklah ke sini dan kau pijiti
punggungku..."
katanya sebagai uluran tangankarena
membayangkan hasrat selirnya ini, sudah bangkit pula berahinya. Yauw Cui
tidak berani membantah, bangkit dari
lantai di mana dia berlutut, dan jari-jari tangannya yang halus mulai
menari-nari di atas punggung tua yang
pegal-pegal itu. Akan tetapi selir ini berkata lagi, "Rasa penasaran
memaksa hamba memberanikan diri
mengujungi Paduka. Hamba tidak ingin melihat Paduka yang hamba junjung tinggi
ditipu dan dihina orang!" Tangan
Kaisar yang mulai membelai tubuh selirnya itu tiba-tiba terhenti dan dengan
pandang mata penuh selidik Kaisar Beng
Ong bertanya, "Apa maksudmu? Siapa yang berani menipu dan
menghinaku?"
Yauw Cui menangis dan suara terisakisak
dia berkata, "Hamba.... secara tidak sengaja... mendengar ....
Angoanswe (jenderal An) berada di dalam
kamar.... Yang Kui Hui...." Seketika Kaisar bangkit duduk dengan mata
terbelalak. Dengan alis berkerut dia
memandang selirnya itu yang masih menangis, hatinya tidak percaya sama
sekali karena memang sudah seringkali
Yang Kui Hui difitnah orang lain yang merasa iri hati. "Hammm, jangan
bicara sembarangan saja terdorong iri
hati." "Tidak.... hamba rela untuk dihukum mati, rela diapakan saja
kalau
hamba membohong.... tidak berani hamba
menjatuhkan fitnah.... hamba hanya merasa penasaran melihat Paduka
dihina maka hamba memberanikan diri
melapor...." "Pengawal....!!" kaisar berseru sambil mendorong
selirnya
turun dari pembaringan. Pintu terbuka
dan enam orang pengawal pribadi meloncat masuk dan langsung berlutut
setelah mereka melihat bahwa Kaisar
tidak dalam bahaya. Kaisar menyambar jubah luarnya. "Antar kami ke kamar
yang Kui Hui." kata Kaisar singkat
sambil memberi isyarat dengan matanya agar Yauw Cui ikut pula bersamanya.
Pada saat Yauw Cui melapor kepada
Kaisar, kamar Yauw Kui Hui sudah gelap remang-remang dan pada saat itu memang
selir yang cantik jelita ini sedang
bersama An Lu San. Mereka seperti mabok nafsu berahi dan tentu saja segala
pertahanan di hati Yang Kui Hui runtuh
menghadapi jenderal yang tegap dan gagah perkasa ini, yang masih
memiliki sifat-sifat liar dan kasar
dari tempat asalnya. Selama tujuh tahun Yang Kui Hui menekan kekecewaan
hatinya melayani seorang kakek-kakek
lemah. Kini bertemu dengan An Lu San dan berkesempatan menikmati rayuan
laki-laki yang jantan dan jauh lebih
muda dari kaisar ini, tentu saja dia terbuai dan lupa segalanya. Sesosok
bayangan menyelinap ke dalam kamar itu
dan berisik di luar kelambu pembaringan. Bisikan itu merobah suasana di
dalam kamar itu. Yang Kui Hui dan An Lu
San dalam waktu beberapa menit saja telah memakai pakaian yang rapi,
duduk menghadapi meja yang diterangi
dengan beberapa batang lilin, dan di atas meja terdapat gambar peta daerah
utara. Di ujung-ujung Kamar itu
terdapat mengawal dan pelayan berdiri seperti patung, hanya memandang saja
ketika An Lu San dengan suara lantang
sedang menjelaskan tentang situasi dan keadaan pertahanan di perbatasan
utara. Demikianlah, ketika Kaisar yang
diiringkan Yauw Cui dan para pengawal memasuki kamar itu dengan sikap
kasar, dia melihat selirnya yang
tercinta itu memang benar duduk berdua dengan An Lu San, akan tetapi bukanlah
berjinah seperti yang dilaporkan Yauw
Cui, melainkan sedang bicara urusan pertahanan! "Hamba sedang mempelajari
keadaan kekuatan pertahanan kita di
utara dari An Lu San," antara lain Yang Kui Hui membela diri ketika Kaisar
menyatakan kecurigaannya. "Paduka
terlalu mempercayai mulut seorang wanita yang cemburu dan iri hati setengah
mati kepada hamba." Karena semua
pengawal dan pelayan yang berada di kamar itu merupakan saksi yang kuat bahwa
selir tercinta itu tidak bermain gila
dengan putera angkatnya tentu saja Kaisar menjadi marah kepada Yauw Cui.
Selir muda ini mengerti bahwa dia
berbalik kena fitnah oleh madunya yang lihai itu, maka maklum bahwa tidak ada
lagi harapan baginya, dia menudingkan
telunjuknya kepada Yang Kui Hui sambil berteriak nyaring, "Kau Wanita
Iblis! Karena engkaulah kerajaan ini
akan hancur!" Dan sebelum para pengawal yang diperintah oleh Kaisar yang
marah-marah itu sempat menangkapnya,
Yauw Cui lari membenturkan kepalanya di dinding kamar itu sehingga
kepalanya pecah dan dia tewas disaat
itu juga! Tentu saja pada hari berikutnya, ada seorang pelayan yang
menerima hadiah banyak sekali dari Yang
Kui Hui, yaitu pelayan yang membisikinya semalam sehingga
menyelamatkannya. Semenjak peristiwa
itu, kepercayaan Kaisar terhadap Yang Kui Hui dan An Lu San makin besar.
Tentu saja kesempatan baik ini tidak
dibiarkan lewat percuma oleh Yang Kui Hui dan An Lu San yang mengadakan
hubungan gelap sepuas hati mereka.
Karena pengaruh Yang Kui Hui di depan Kaisar, maka An Lu San memperoleh
kehormatan yang besar, bahkan diangkat
menjadi Gubernur di Propinsi Liao Tung. Menguasai pasukan-pasukan
terbaik dari kerajaan dan menjaga di
propinsi yang merupakan perbatasan timur. Kehormatan ke dua diterimanya
tak lama kemudian, tentu saja atas
desakan dan bujukan Yang Kui Hui yaitu ketika dia dianugrahi gelar Pangeran
Tingkat Dua. Kehormatan yang besar
sekali karena biasanya, gelar ini hanya diberikan kepada keluarga kerajaan
yang berdarah bangsawan! Memang An Lu
San seorang yang berasal dari suku bangsa terbelakang, namun dia
diberkahi dengan kecerdikan luar biasa.
Melihat betapa kaisar bertekuk lutut di depan kedua kaki yang mungil
dari selir kaisar Yang Kui Hui, dia
mengeluarkan semua kepandaian untuk mengambil hati selir ini dan ternyata
semua muslihatnya berhasil baik dan dia
memperoleh kedudukan yang tinggi sekali. Akan tetapi, tentu saja banyak
pula orang merasa iri hati dan tidak suka
kepada An Lu San. Di antara mereka ini adalah kakak kandung Yang Kui
Hui sendiri, yaitu Yang Kok Tiong yang
menjadi Menteri Pertama. Dengan kedudukanya yang tingi, Yang Kok Tiong
melakukan penyelidikan dan ketika dia
memperoleh berita bahwa An Lu San mempersiapkan pemberontakan, segera dia
berunding dengan Putera Mahkota dan
melapor kepada Kaisar. Kaisar tidak percaya dan menganggap pelaporan ini
omong kosong belaka, akan tetapi karena
para pangeran mendesaknya, akhirnya Kaisar memanggil An Lu San yang
merasa keadaannya belum kuat betul
untuk memulai pembrontakan yang memang benar telah dipersiapkannya, tidak
membantah. Dia menghadap Kaisar dan
dengan air mata bercucuran dia memprotes, menyatakan kesetiaanya terhadap
Kaisar dan dalam hal ini kembali
pengaruh Yang Kui Hui membantunya. Selir ini pun mencela Kaisar yang mudah
saja dipermainkan orang yang merasa iri
hati bahkan Yang Kui Hui mengambil contoh selir Yauw Cui yang irir hati
kepadanya. "hendaknya Paduka ingat
bahwa An Lu San adalah seorang pahlawan kerajaan yang jasanya sudah amat
besar. Tidak mungkin dia memberontak,
dan andaikata dia benar mempunyai niat memberontak tentu dia tidak akan
datang memenuhi panggilan Paduka!
Kedatangannya ini sudah merupakan bukti akan kebersihan dan kesetiaanya!
Kabar tentang niat pembrontakan itu
tentu ditiup-tiupkan oleh mereka yang merasa iri hati kepadanya." Seperti
biasa, hati kaisar luluh dan lenyaplah semua kecurigaan dan keraguannya.
Dia malah menjamu An Lu San dan malam
itu dengan amat pandainya An Lu San
"membalas budi" Yang Kui Hui, dengan sepenuh hatinya, di dalam kamar
selir
Kaisar itu, aman karena terjaga oleh
orang-orang kepercayaan mereka. Demikianlah, pada saat cerita ini terjadi
An Lu San sudah kembali ke utara dengan
penuh kebesaran dan kebanggaan, dan diam-diam dia makin mempercepat
persiapannya untuk memberontak! Dan
demikian pula dengan keadaan kerajaan Tang pada waktu itu. Kelemahan Kaisar
yang jatuh di bawah telapak kaki halus
dari Yang Kui Hui, menimbulkan ketidakpuasan kepada banyak pembesar
sehingga di sana-sini timbul niat untuk
memberontak. Kesempatan keadaan yang lemah dari kerajaan Tang inilah
dipergunakan oleh The Kwat Lin untuk
mulai dengan petualangannya, untuk memenuhi cita-citanya mencarikan
kedudukan tinggi untuk puteranya! Pada
suatu hari, datanglah seorang utusan dari kota raja mendaki Pegunungan
Bu-tong-san, menghadap Ketua
Bu-tong-pai. Melihat bahwa utusan ini adalah utusan dari Pangeran Tang Sin Ong
dari kota raja, Kwat Lin cepat
menerimanya di kamar rahasia. Setelah utusan itu menyampaikan tugasnya dia
cepat
pergi lagi meninggalkan Bu-tong-pai dan
terjadilah kesibukan di Bu-tong-pai. Pangeran Tang Sin Ong, yaitu
seorang pangeran di kota raja yang
mempersiapkan pemberontakan pula, sebagai saingan besar dari An Lu San,
pangeran yang dihubungi oleh Kwat Lin,
mengirim berita tentang hari dan tempat di mana Yang Kui Hui akan ikut
dengan Kaisar yang hendak berburu
binatang dalam hutan, sebuah di antara kesenangan Kaisar. saat inilah yang
dinanti-nanti oleh The Kwat Lin dan
Pangeran Tang Sin Ong untuk menjalankan siasat mereka yan telah lama mereka
rencanakan. Beberapa hari kemudian,
tibalah saatnya Kaisar bersama Yang Kui Hui bersenang-senang di dalam hutan
di kaki Pegunungan Funiu-san, tidak
jauh dari kota raja. Seperti biasa, di waktu mengadakan perburuan ini,
tempat itu dijaga oleh para pengawal
dan ada pula pasukan yang tugasnya hanya mencari dan menggiring binatang
hutan sehingga binatang-binatang yang
ketakutan itu menuju ke dekat tempat Kaisar dan Permaisurinya menanti
sehingga dengan mudah Kaisar dapat
melepaskan anak panah ke arah binatangbinatang itu. Sekali ini, selain
beberapa orang pembesar penting, yang
menemani Kaisar terdapat juga Pangeran Tang Sin Ong.
</P>
<P>
Seperti biasa, Kaisar dan selirnya yang
tercinta menanti di dalam pondok yang memang tersedia di situ, di
tengah-tengah hutan. Para pembesar dan
Pangeran Tang Sin Ong menanti di luar pondok sambil bercakap-cakap.
Mereka menanti sampai datangnya
binatang-binatang yang akan digiring oleh pasukan yang sudah menyusup-nyusup ke
dalam hutan lebat di depan. para
pengawal menjaga di sekeliling tempat itu, pengawal Kaisar dan pengawal
Pangeran Tang Sin Ong karena pangeran ini
mempunyai pasukan pengawal sendiri. Mereka tidak usah lama menanti.
Segera terdengar sorak-sorai dari jauh,
makin lama makin mendekat. itulah suara pasukan yang bertugas
menggiring binatang hutan menuju ke
tempat penyembelihan itu, di mana para pembesar telah menanti dengan
gendewa bersama dengan anak panahnya
siap di tangan. Mendengar suara ini, kaisar sudah keluar dari pondok
sambil tersenyum-senyum gembira membawa
sebatang gendewa. Seorang thaikam yang menjadi kepercayan dan
pelayannya mengikuti Kaisar sambil
membawa tempat anak panah. Tak lama kemudian, mulailah bermunculan
binatang-binatang hutan yang panik
ketakutan karena dikejarkejar dan digiring oleh pasukan di belakang mereka
yang bersorak-sorai itu. Dan mulailah
Kaisar bersama Pangeran Tang Sin Ong dan para pembesar lainnya
menghujankan anak panah mereka ke arah
binatangbinatang itu. Tidak ada seorang pun melihat ketika dari
rombongan pengawal Pangeran tang Sin Ong,
seorang pengawal menyelinap kedalam semak-semak, menanggalkan pakaian
biasa menyelinap dan memasuki pondok
Kaisar dari samping, meloncat masuk dari jendela yang terbuka. Dengan
kecepatan kilat, laki-laki setengah tua
ini menyergap Yang Kui Hui yang sedang berdiri menonton di ambang pintu
depan. Terdengar selir cantik itu
menerit, akan tetapi tubuhnya menjadi lemas ketika dia tertotok dan ketika
semua orang menoleh medengar jeritan
itu, Yang kui Hui telah dipondong dan dibawa lari oleh laki-laki itu.
"Penculik.....!"
"penjahat....!" "Jangan lepas anak panah, bisa salah
sasaran....!!" Tiba-tiba Pangeran tang
Sin Ong berseru keras. Mendengar ini,
Kaisar yang sudah pucat mukanya cepat berseru, "Benar! Jangan lepas anak
panah. Kejar dan tangkap! Selamatkan
dia....!" Semua orang, pengawal, pembesar, pangeran tang Sin Ong, bahkan
Kaisar sediri, mengejar penculik yang
memiliki gerakan yang amat gesit itu. Dengan beberapa loncatan saja
penculik itu telah lari jauh sekali.
"Cepat kejar.... tolong dia.... ahhhh, Kui Hui....!!" kaisar
berteriak
dengan muka pucat. Tiba-tiba tampak dua
sosok bayangan orang berkelebat menghadang penculik itu. Dari jauh
kelihatan jelas bahwa dua orang itu
adalah wanita-wanita cantik yang gerakannya cepat luar biasa. Wanita yang
lebih tua sudah menerjang maju dan
dengan serangan mendadak berhasil memukul roboh penculik dan merampas Yang
Kui Hui, kemudian wanita ke dua yang muda dan
cantik menggerakan pedangnya menusuk. Terdengar jerit melengking
yang nyaring sekali ketika pedang itu
menembus dada penculik itu yang berkelojotan, terbelalak dan menudingkan
telunjuknya kepada wanita pertama
seolah-olah hendak berkata sesuatu, akan tetapi sebuah tendangan yang
mengenai kepalanya membuat penculik itu
tak dapat bergerak lagi dan tewas seketika! Kaisar dan rombongannya
sudah tiba di situ. Dengan tepukan
perlahan wanita perkasa yang lebih tua itu membebaskan totokan Yang Kui Hui.
Selir ini mengeluh dan menangis sambil
menubruk Kaisar yang memeluknya. kaisar memandang kepada dua orang
wanita cantik yang sudah berlutut di
depan kakinya dengan perasaan bersyukur dan berterima kasih. "Untung
sekali kalian berdua yang gagah perkasa
datang menolong!" kata kaisar dengan penuh rasa syukur, suaranya masih
gemetar karena ketegangan hebat yang
baru saja dialaminya. "Siapakah kalian?" "Hamba adalah Ketua
Bu-tong-pai
bernama The Kwat Lin," berkata
wanita cantik itu lalu menuding kepada dara muda yang cantik jelita dan tinggi
semampai di sebelahnya, "dan ini
adalah Bu Liang-cu murid hamba." "Ahhh, kiranya ketua Bu-tong-pai yang
terkenal!" Kata Kaisar sambil
tersenyum lebar. "Pantas saja demikian lihai! Kalian telah berjasa, telah
menyelamatkan kekasih kami dan membunuh
penculik jahat. Kalian pantas diberi hadiah besar." Yang Kui Hui sudah
menghentikan tangisnya dan kini dia pun
memandang kedua orang wanita itu dengan mata berseri. "Kalian datanglah
ke istana, aku akan memberi hadiah
kepada kalian." The Kwat Lin menyembah dengan hormat. "Hamba berdua
hanya
melakukan tugas hamba sebagai rakyat
yang setia kepada junjungannya. hamba berdua tidak mengharapkan balas
jasa, hanya apabila paduka sudi
menerima, biarlah murid hamba ini bekerja sebagai pengawal pribadi paduka.
Sekarang banyak orang jahat, tanpa
pengawalan yang kuat tentu membahayakan Paduka. Girang bukan main hati Yang
Kui Hui. "Baik sekali! Siapa
namamu tadi?" tanyakan kepada gadis cantik yang menunduk sejak tadi. Gadis
itu
kini mengangkat mukannya dan dengan
sepasang mata yang bersinarsinar dia menjawab, "Nama hamba Bu Liang-cu.
Saking girangnya, yang Kui Hui mencabut
tusuk konde dari emas berhiaskan permata dan menghadiakan benda itu
kepada The Kwat Lin, dan dia menerima
pula gadis murid Bu-tong-pai itu sebagai pengawal pribadinya. Mulai saat
ini gadis yang bernama Bu Liang-cu itu
ikut bersama rombongan Kaisar, selalu mengawal di belakang Yang Kui Hui,
kembli ke istana. Ada pun The Kwat lin
segera kembali ke Bu-tongsan dengan hati girang karena siasatnya
berjalan dengan baik sekali, sungguhpun
untuk itu dia terpaksa harus mengorbankan nyawa seorang anggautanya.
Penculik itu bukan lain adalah seorang
anggautanya sendiri, seorang bekas penjahat yang memiliki ginkang
tinggi. Penculik itu hanya diperintah
untuk melarikan diri Yang Kui Hui dengan janji akan dibantunya kalau
sampai mengalami bahaya. Akan tetapi,
penculik itu baru tahu bahwa dia dikhianati oleh ketuanya sendiri setelah
dia roboh dengan pedang menembus dadanya.
Baru ia tahu bahwa dia dikorbankan untuk suatu siasat licik dari The
Kwat Lin, namun pengetahuan ini tiada
gunanya karena dia keburu mati sebelum dapat mengeluarkan suara. Siapakah
gadis cantik yang kini menjadi pengawal
Yang Kui Hui? Tadinya, untuk tugas ini The Kwat Lin menunjuk muridnya,
Bu Swi Nio. Akan tetapi, betapa
marahnya ketika dia menghadapi penolakan muridnya! "Teecu tidak berani,
Subo.
Perintahlah teecu untuk melakukan hal
lainnya, biar disuruh membasmi penjahat yang bagaimanapun, biar harus
mempertaruhkan nyawa, teecu tidak akan
mundur dan pasti akan memenuhi perintah Subo! Akan tetapi ini... ah,
teecu tidak mau terlibat dalam....
pemberontakan....." jawab Swi Nio sambil berlutut dan menundukan mukanya.
Hampir saja Kwat Lin menampar kepala
muridnya itu saking marah dan kecewanya. Dan pada saat itu, Swi Liang yang
melihat adiknya terancam bahaya
kemarahan subonya, cepat maju dan berkata, "Subo, kalau Moi-moi tidak
berani,
biarlah teecu melakukannya."
"Kau seorang pria.... mana mungkin....?" "Teecu bisa saja
menyamar sebagai seorang
gadis. Dahulu di waktu kecil seringkali
teecu mengenakan pakaian Moi-moi dan bermain-main seperti seorang anak
perempuan ." Mendengar ini, Kwat
Lin termenung. Betapapun juga dia lebih percaya kepada muridnya dan juga
kekasihnya ini. Selama ini, Swi Nio
delalu memperlihatkan sikap dingin dan kdang-kadang menentang. Berbeda
dengan Swi Liang yang selalu menuruti
kehendaknya, bahkan pemuda itu mau pula melayani nafsu berahinya!
Pekerjaan yang direncanakan ini amat
berbahaya kalau sampai bocor, maka sebaiknya kalau dilakukan oleh orang
yang paling dipercayanya. Memaksa Swi
Nio amat berbahaya karena siapa tahu kalau-kalau murid perempuan ini akan
mengkhianatinya kelak. "Hemm, kita
coba saja!" katanya dan setelah melihat Swi Liang berpakaian wanita dan
bergaya, Kwat Lin menjadi girang
sekali. Agaknya murid itu memang mempunyai bakat sandiwara maka ketika
berpakaian wanita dan beraksi, dia
sendiri hampir pangling dan mengira bahwa Swi Liang adalah Sawi Nio!
Demikian, rencana siasat itu dijalankan
dengan baik dan Swi Liang yang menyamar sebagai seorang gadis cantik
bernama Bu Liang-cu, berhasil menyusup
ke dalam istana sebagai pengawal pribadi dari Yang Kui Hui! Memang
itulah tujuan pokok dari siasat Kwat
Lin, yaitu memikat hati Yang Kui Hui. Pemikatan dengan jalan menolong
selir itu dari bahaya cukup baik, akan
tetapi akan lebih berhasil lagi kalau muridnya itu berhasil menjatuhkan
hati selir itu dengan ketampanannya!
Kalau sampai berhasil Swi Liang menjadi kekasih Yang Kui Hui, hemm, akan
mudah saja melakukan gerakan
pemberontakan dari dalam! Inilah sebabnya maka dia setuju muridnya itu menyamar
sebagai wanita. Dia rela memberikan
kekasihnya ini kepada Yang Kui Hui demi tercapainya cita-citanya. Berbeda
dengan kakaknya yang telah mabok
bujukan gurunya, Swi Nio makin lama merasa makin tidak enak tinggal di
Bu-tong-san. Dia sama sekali tidak
senang dan hatinya menentang menyaksikan semua perbuatan subonya. Tadinya
memang dia rela menjadi murid wanita
sakti, karena wanita itu yang menolong dia dan kakaknya, juga yang telah
membunuh Pat-jiu Kai-ong musuh besar
yang telah membunuh ayah mereka. Akan tetapi semenjak menyaksikan betapa
subonya itu menguasai Bu-tong-pai
dengan kekerasan, melihat subonya melawan susiok sendiri dan bahkan membuat
para tokoh Bu-tong-pai mengundurkan
diri dari Bu-tong-pai, hatinya sudah merasa tidak senang. Apalagi melihat
masuknya orangorang kasar dan yang dia
ketahui adalah bekas-bekas penjahat menjadi anggauta Bu-tong-pai dia
merasa penasaran. Semua itu masih
ditambah lagi kenyataan yang membuatnya merasa malu dan hina, yaitu melihat
kakaknya menjadi kekasih subonya.
Seringkali secara diam-diam Swi Nio menasihati kakaknya, bahkan menganjurkan
kakaknya untuk bersama dia melarikan
diri saja dari Bu-tong-pai, namun semua itu tidak diacuhkan oleh Swi
Liang. Swi Nio menderita batin seorang
diri, seringkali menangis di dalam kamarnya. Melihat munculnya Kiam-mo
Cai-li, hatinya menjadi makin gelisah.
Dia dahulu sudah mendengar dari mendiang ayahnya bahwa Kiam-mo Cai-li
adalah seorang datuk kaum sesat yang
amat kejam. Namun kenyataannya, subonya menjadi sekutu iblis itu, bahkan
diakui sebagai pemimpin! Pagi hari itu,
setelah merasa kehilangan kakaknya yang pergi tampa pamit bersama
subonya dan kemudian melihat subonya
pulang sendiri tanpa kakaknya, Swi Nio tak dapat menahan kegelisahan
hatinya lagi dan dia memberanikan diri
memasuki kamar subonya di mana subonya sedang bercakap-cakap dengan
Kiam-mo Cai-li yang kebetulan datang ke
Bu-tong-san. "Subo, teecu (murid) tidak melihat adanya Liang-koko yang
tadinya pergi bersama Subo selama
beberapa hari lamanya. Ke manakah dia, Subo? Apakah yang terjadi dengan
kakakku itu?" tanyanya dengan
wajah agak pucat karena beberapa malam dia kurang tidur memikirkan kakaknya.
The
Kwat Lin mengerutkan alisnya. Hatinya
memang sudah tidak senang pada muridnya ini, apalagi ketika Swi Nio
terang-terangan berani menolak
perintahnya sehingga tugas itu digantikan oleh Swi Liang biarpun pemuda itu
berhasil baik, betapapun juga The Kwat
Lin merasa kehilangan, apalagi di waktu malam yang sunyi dan dingin!
"Kau tidak perlu tahu!"
jawabnya membentak. "Tapi.... Subo, dia adalah kakak teecu......" Swi
Nio membantah.
"Hemm, dia bertugas di kota raja.
Sudah, pergilah dan jangan kau mengganggu kami yang sedang bicara!" Swi
Nio
bangkit berdiri dari atas lantai dan
memandang gurunya dengan mata terbelalak dan muka pucat. "Jadi....dia....
dia telah menyelundup ke dalam
istana....?" The Kwat Lin bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke
muka
Swi Nio sambil membentak marah,
"Gara-gara engkaulah! Apa kaukira kalau tidak terpaksa aku suka membiarkan
dia
melakukan tugas berbahaya itu? Mestinya
engkau yang bertugas, akan tetapi engkau telah menolak. Dia seorang
murid yang amat baik, tidak seperti
engkau yang tak mengenal budi!" Swi Nio membalikan tubuhnya, menutupi muka
dan menangis sambil mengeluh,
"Liang-koko..... ah, Koko....!" Setelah dara itu berlari pergi, Kwat
Lin duduk
kembali, wajahnya keruh dan dia
mengomel, "Murid yang murtad! Sungguh menjengkelkan saja dia itu!"
Kiam-mo-Cai-li tersenyum. "Mengapa
pusing-pusing menghadapi seorang gadis seperti itu? Kalau dibiarkan saja,
tentu dia akan terus merongrongmu dan
boleh jadi kelak akan membahayakan perjuangan kita. Dia harus
ditundukkan!" "Hemm, maksudmu
menggunakan kekerasan?" "ah, aku mengenal gadis seperti itu. Wataknya
keras dan
kalau digunakan kekerasan, sampai mati
pun dia tidak akan tunduk. Kalau sampai dia mati, amat tidak baik bagi
kakaknya yang kita butuhkan tenaganya.
Dia harus dilawan dengan cara halus." "Bagaimana maksudmu?
Membujuknya?"
Kiam-mo Cai-li menggeleng kepalanya.
"Dibujukpun takkan berhasil. Akan tetapi sekali dia telah jadi isteri
orang, tentu dia akan menurut segala
kehendak suaminya." "Ihhh! Aku tidak pernah memikirkan hal itu.
Dengan
siapa?" "Kita harus cerdik,
kita harus memakai siasat sekali tepuk memperoleh dua ekor lalat atau
menggunakan
pedang yang bermata dua. Di satu fihak,
kita harus menyenangkan hati Pangeran Tang Sin Ong yang aku tahu
memiliki watak mata keranjang sehingga
dia akan tentu berterima kasih sekali kepadamu kalau kau rela memberikan
muridmu yang cantik manis itu
kepadanya, menjadi seorang selirnya yang tercinta dan dapat diandalkan. Ke dua,
kalau muridmu itu sudah menjadi selir
Pangeran Tang Sin Ong, tentu dia akan tidak banyak bantahan lagi!" The
Kwat Lin mengangguk-angguk dan
diam-diam dia memuji kecerdikan temannya ini. "Siasatmu memang baik
sekali,
Cai-li! Akan tetapi.... biarapun sudah pasti
sekali Pangeran akan menerima penawaran ini dengan kedua tangan
terbuka, kukira belum tentu Swi Nio
akan mau dijadikan selir pangeran itu. Kalau dia menolak, lalu bagaimana?"
Kiam-mo Cai-li tertawa.
"Hi-hi-hik, tidak usah khawatir, Pangcu. Aku yang tanggung jawab dia tentu
tidak akan
menolak." Dia lalu mendekatkan
mulutnya ketelinga The Kwat Lin berbisik-bisik. Kwat Lin mengangguk-angguk.
"
Hemm, kalau dia merupakan seorang murid
yang baik dan taat, tentu aku tidak tega, akan tetapi.... demi
suksesnya perjuangan kita, agar dia
tidak menjadi penghalang malah kelak mungkin dapat membantu, biarlah....
kita atur secepatnya agar Pangeran
dapat berkunjung ke sini." "Tentu mudah saja dan tidak menimbulkan
kecurigaan. Bukankah peristiwa di hutan
itu membuat nama Bu-tong-pai terangkat tinggi dalam pandangan kerajaan?
Kalau seorang Pangeran berkunjung ke
sini, menemui penolong selir Yang Kui Hui, hal itu sudah semestinya!
Hi-hi-hik." "Kau memang
cerdik sekali, Cai-li!" The Kwat Lin memuji dan kedua orang wanita
berkepandaian tinggi
itu sambil tersenyum-senyum minum arak
wangi yang berada di dalam cawan-cawan perak mereka. Beberapa hari
kemudian, sesuai dengan siasat mereka
itu, datangalah rombongan tamu agung dari kota raja. Pangeran Tang Sin
Ong! Inilah hasil pertama dari siasat
The Kwat Lin menolong Yang Kui Hui. Sebelum peritiwa itu, hubunganya
dengan pangeran itu dilakukan secara
sembunyi dan pertemuan rahasia yang diadakan hanya melalui kurir (utusan).
Akan tetapi sekarang, setelah siasat di
hutan itu sekaligus mengangkat nama Bu-tong-pai, Pangeran Tang Sin Ong
berani datang secara berterang, bahkan
sebelum berangkat pangeran itu menerima titipan bingkisan hadiah yang
dikirim oleh Yang Kui Hui sendiri
melalui pangeran itu. Tentu saja keadaan di Bu-tong-san seperti dalam pesta.
Semua anak buah Bu-tong-pai mengenakan
pakaian baru dan rombongan tamu agung itu disambut dengan meriah seperti
sambutan terhadap seorang pengantin.
Dengan penuh kehormatan para tamu agung dijamu di ruangan yang lebar dari
Bu-tong-pai, dan pesta pora diadakan
diruangan yang biasa dipergunakan untuk Lian-bu-thia (ruang belajar
silat). Sambutan resmi dilakukan dan
pangeran menyerahkan bingkisan dari Yang Kui Hui dan menyerahkan pula
bingkisan dari dirinya sendiri kepada
ketua Bu-tong-pai. Malam harinya, sebagai penghormatan khusus, Pangeran
Tang Sin Ong seorang diri dijamu oleh
The Kwat Lin diruangan dalam dan ketua ini ditemani oleh Kiam-mo Cai-li
dan Bu Swi Nio! Dara ini setengah
dipaksa oleh subonya untuk menemaninya menjamu pangeran itu dan biarpun di
dalam hatinya Bu Swi Nio tidak setuju,
namun dia tidak berani membantah. Pula, di dalam hatinya dia ingin
sekali mendengar percakapan mereka yang
tentu akan menyangkut pula keadaan kakaknya di kota raja. Ketika
pengeran ini dipersilahkan duduk
menghadapi meja yang sudah penuh hidangan, The Kwat Lin memperkenalkan Kiam-mo
Cai-li Liok Si sebagai pemilik istana
Rawa Bangkai, dan memperkenalkan muridnya pula Bu Swi Nio sebagai
muridnya yang terkasih. Pangeran itu
memandang Kiam-mo Cai-li dan Bu Swi Nio, lalu tertawa gembira dan berkata,
"Sungguh beruntung sekali Pangcu
mendapatkan seorang pembantu seperti Liok Toanio ini yang saya yakin tentu
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan
muridmu ini....aaihh... penerangan ini menjadi makin bercahaya, suasana
menjadi makin gembira dan segar,
hidangan menjadi bertambah lezat. Sungguh saya merasa berbahagia sekali bahwa
Nona Bu suka menemani saya makan minum,
untuk ini saya harus menghaturkan arak penghormatan sebagai tiga
cawan!" Pangeran itu tentu saja
tadinya sudah diberitahu oleh Kwat Lin bahwa ketua ini hendak menghadiahkan
muridnya kepadanya. Maka begitu melihat
Swi Nio yang masih amat muda dan cantik jelita itu, hati Sang Pangeran
sudah jatuh dan gairahnya sudah
bernyala-nyala. Wajah Swi Nio menjadi merah padam. Dia merasa malu sekali
menyaksikan sikap dan mendengar
kata-kata yang penuh pujian ini. Dia tidak biasa berhadapan dengan pria seperti
ini. Hatinya berdebar tegang dan khawatir,
akan tetapi untuk menolak, tentu saja dia tidak berani. Sambil
menunduk dan membisikan kata-kata
terima ksih dia menerima tiga cawa arak berturut-turut. Biarpun dia tidak
biasa minum banyak arak, akan tetapi
terpaksa tiga cawan arak itu diminumnya tanpa banyak membantah. Melihat
ini The Kwat lin dan Kiam-mo Cai-li
tertawa girang dan dari seberang meja, The Kwat Lin mengedipkan sebelah
matanya kepada Sang Pangeran.Tang Sin
Ong mengerti akan isyarat ini, maka dia lalu melepas seuntai kalung emas
bertaburan permata yang tergantung di
lehernya, bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan yang memegang
kalung itu kepada Swi Nio sambil
berkata, "Nona Bu, kalung ini sama sekali tidak dapat mengimbangi
kecantikan
Nona, akan tetapi karena pada saat ini
yang ada pada saya hanya kalung ini, maka sudilah Nona menerimanya
sebagai tanda penghormatan saya kepada
seorang Nona secantik dewi!" Bu Swi Nio terkejut sekali dan cepat dia
menoleh kepada subonya. Menurutkan kata
hatinya, ingin dia menolak keras dan mencela sikap pangeran yang
terlalu berani itu. Akan tetapi dia
melihat subonya mengangguk dan berkata, "Swi Nio, Pangeran telah bermurah
hati kepadamu, mengapa tidak lekas
menerima dan menghaturkan terima kasih?" Bu Swi Nio merasa terdesak dan
dengan suara gemetar dia berkata,
"Hamba...., hamba...., tidak berani menerimanya....." "Swi
Nio....!" The Kwat
Lin menegur "Bu Swi Nio, mengapa
kau menolak kemurahan hati Pangeran?" Kiam-mo Cai-li juga ikut menegur.
Pangeran Tang Sin Ong tertawa.
"Ahh, tentu saja Nona Bu merasa malu-malu, tidak seperti gadis-gadis yang
haus
akan harta benda. Hal ini malah
menonjolkan kecemerlangan watak seorang gadis yang cantik jelita dan gagah
perkasa! Nona, biarlah aku mengalungkan
hadiah ini di lehermu." Berkata demikian, Sang Pangeran lalu bangkit
berdiri dan mengalungkan kalung emas
itu melingkari leher Swi Nio yang menundukan kepalanya. Karena tak dapat
menolak lagi dan kalung yang lebar itu
sudah mengalungi lehernya, dengan muka sebentar pucat, Swi Nio menjura,
"Banyak terima kasih hamba
haturkan..." "Aaaahhh, jangan sungkan-sungkan." Dia tertawa,
kedua orang wanita
sakti itupun tertawa dan mereka
bergantian menyuguhkan arak kepada Sang Pangeran dan juga Bu Swi Nio.
"Muridku,
karena pangeran telah bermurah hati
kepadamu, tidak saja menyuguhkan arak tetapi juga menghadiahkan kalung,
mengapa kau tidak bersikap sebagai
seorang muridku yang tahu aturan dan mengenal budi. Hayo cepat suguhkan tiga
cawan kepada Pangeran sebagai
penghormatanmu!" Muka Swi Nio menjadi merah. Dia tidak membantah kebenaran
ucapan
ini, maka secara terpaksa dia bangkit
berdiri, dipandang oleh pangeran yang tersenyum-senyum dan mengelus
jenggotnya, menghampiri pangeran dan
menuangkan arak ke cawan Sang Pangeran dari guci emas. "Silahkan Paduka
minum arak sebagai tanda kehormatan
hamba, Pangeran," kata Swi Nio dengan malu-malu. "Ha-ha-ha, terima
kasih,
Nona. Akan tetapi, aku tidak mau minum
kalau tidak aku temani. Hayo untukmu juga secawan!" Kembali Kwat Lin dan
Kiam-mo Cai-li ikut membujuk dan
terpaksa akhirnya Swi Nio kembali minum tiga cawan arak bersama Sang Pangeran.
Karena tidak biasa minum arak, kini
diloloh banyak arak yang diamdiam telah dicampuri bubuk putih dilepas
secara lihai oleh Kiam-mo Cai-li ke
dalan cawan gadis itu, akhirnya Swi Nio menjadi mabok. Dia mulai tersenyum
dengan lepas, memperlihatkan deretan
gigi yang putih, dan mulai berani mengangkat muka memandang pangeran yang
pandai bicara itu. "Ha-ha-ha,
setelah ditemani makan minum oleh Nona Bu, aku lupa semua wanita di istanaku!
Hemm, bagaimana aku dapat berpisah lagi
darimu, Nona?" kata Pangeran itu. Mendengar ini Swi Nio mengerutkan
alisnya, akan tetapi karena kepalanya
sudah pening dan pandang matanya sudah berkunang, hanya sebentar saja dia
merasa betapa kata-kata itu tidak pada
tempatnya dan dia hanya tersenyum! "Bu Swi Nio muridku yang baik.
Pangeran telah berkenan mencintaimu!
Kau akan diambilnya sebagai selir yang tercinta. Cepat kau berlutut dan
haturkan terima kasih, muridku."
Sepasang mata dara itu terbelalak. "Tidak....! Ah, tidak......!"
Terdengar
suara pangeran, "Nona, kau cantik
sekali.... kau gagah perkasa, aku cinta padamu dan marilah kau ikut bersamaku
ke kota ke kota raja. Kau akan menjadi
selirku yang paling tercinta, menjdi pengawal pribadiku...."
"Tidak....!
Ahhh, tidak mau.... oughh.......!"
Swi Nio yang tadinya bangkit berdiri serentak itu, tiba-tiba terhuyung dan
kembali menjatuhkan diri di atas bangku
karena melihat betapa kamar itu berpuatr-putar dan dia merasa seperti
terayun-ayun. Karena tidak tahan lagi,
Swi Nio merebahkan kepalanya di atas kedua lengan yang berada di atas
meja, hanya menggoyang kepalanya tanda menolak.
Terdengar olehnya lapat-lapat suara gurunya, "Jangan bodoh, Swi
Nio. Engkau akan menjadi seorang nyonya
Pangeran yan terhormat, dan di kota raja kau dapat bekerja sama dengan
kakakmu........" "aku tidak
mau.... ah, tidak mau....." Swi Nio membuka matanya dan melihat wajah yang
dekat
sekali dengan mukanya. Wajah Sang
Pangeran Tang Sin Ong, wajah seorang laki-laki yang cukup tampan gagah, akan
tetapi sudah tua, sedikitnya lima puluh
tahun usianya. Dia merasa ngeri, takut dan akhirnya dia tidak ingat
apa-apa lagi. Obat bubuk yang
dicampurkan di raknya oleh Kiam-mo Cai-li telah bekerja dengan baik, dia
tertidur
dan tidak merasa apa-apa lagi. Swi Nio
mengeluh dan mengerang. Dia mimpi. Seolah-olah dia berada di dalam
sebuah perahu berdua saja bersama
Pangeran Tang Sin Ong. Lalu perahu itu diserang badai, terguling dan dia
merontaronta hendak melawan gulungan
ombak yang menggelutnya. Namun dia merasa tubuhnya lemas, dia terseret,
tenggelam, gelagapan dan seluruh tubuhnya
terasa sakit-sakit, kepalanya pening. Sebentar dia timbul, lalu
tenggelam lagi, dan lapat-lapat dia
mendengar suara Pangeran Tang Sin Ong yang menyatakan cinta kasihnya. Jauh
lewat tengah malam Swi Nio mengeluh dan
merintih perlahan, lalu membuka matanya Mimpi itu teringat lagi
olehnya, membuat dia bergidik ngeri.
Untung hanya mimpi, pikirnya ketika dia membuka mata mendapatkan dirinya,
telah rebah di atas pembaringannya
sendiri di dalam kamarnya. "Ouh....!" Kepalanya masih pening sekali.
Dia
bangkit duduk dan hampir dia menjerit
kaget ketika melihat bahwa dia tidak berpakaian sama sekali! Dia teringat
bahwa dia menemani subonya, Kiam-mo
Cai-li, dan Pangeran Tang Sin Ong makan minum. Teringat betapa dia terlalu
banyak minum dan mabuk. Mengapa dia
tahu-tahu berda di pembaringannya tanpa pakaian? Dia memeriksa keadaan
tubuhnya, melihat kalung yang masih
bergantung di lehernya, dan tiba-tiba tahulah dia akan semua yang telah
terjadi atas dirinya!
"Keparat....!" Dia bangkit akan tetapi terguling lagi karena selain
kepalanya pening
sekali, tubuhnya juga panas dan lemas
seolah-olah kehabisan tenaga. Dia tidak tahu bahwa itulah pengaruh obat
bubuk, racun yang diminumnya bersama
arak, yang membuat dia pulas sehingga tidak dapat melawan ketika Pangeran
Tang Sin Ong membawanya ke dalam kamar
dan menggagahinya. Tiba-tiba pintu kamar terbuka dari luar. Swi Nio
menahan napas, mengambil keputusan
untuk mengerahkan seluruh tenaganya membunuh Pangeran itu. Dia sudah maklum
bahwa dirinya diperkosa Pangeran itu.
"Selamat, muridku. Engkau telah menjadi isteri Pangeran! Besok Pangeran
Tang Sin Ong akan menjemputmu secara
resmi membawanya ke kota raja sebagai selirnya terkasih...." "Tidak
sudi!
Aku harus membunuhnya!" Swi Nio
meloncat turun tanpa mempedulikan tubuhnya yang telanjang bulat, kedua tanganya
dikepal. "Plak!" Swi Nio
terlempar dan terbanting di atas pembaringannya lagi ketika kena tamparan
tangan
gurunya. "Swi Nio, apa yang
kauucapkan itu? Engkau suka sendiri melayani Pangeran, engkau menerima
kalungnya,
engkau tersenyum-senyum kepadanya.
Setelah engkau dan dia bersenang-senang di dalam kamar ini, semestinya aku
mengutukmu. Akan tetapi aku sayang
kepadamu, aku tidak marah malah bersyukur bahwa engkau akan menjadi isteri
muda seorang pangeran. Dan sekarang kau
hendak memberontak? Hendak membikin malu Gurumu? Kau mau membunuh
kekasihmu sendiri? Bocah setan tak
kenal budi! Kalau tidak aku robah pendirianmu, aku sendiri yang akan
membunuhmu! Pikirkan ini baik-baik.
Engkau sudah bukan perawan lagi, engkau milik Pangeran Tang Sin Ong!" The
Kwat Lin meninggalkan kamar itu dan
membanting keras-keras daun pintu kamar. Swi Nio menutupi mukanya dan
menangis mengguguk. Tak tahu apa yang
harus dilakukannya. Dengan terisak-isak dan jari-jari tangan gemetar dia
mengenakan pakaiannya yang bertumpuk di
sudut pembaringan. Kepalanya masih pening dan tenaganya habis. Tak
mungkin dalam keadaan seperti itu dia
melarikan diri. Tentu akan mudak tertangkap kembali oleh gurunya. Melawan
pun tidak mampu, apa lagi dia
benar-benar merasa seperti tidak bertenaga lagi. Apa lagi hendak membunuh
pangeran itu yang selalu terkawal kuat!
"Ta Tuhan....!" Dia menangis lagi sesenggukan. "Ayah....
Koko...., apa
yang harus kulakukan......?" Dia
sudah ternoda. Mau atau tidak, dia harus menjadi selir Pangeran itu. Dia tidak
sudi! Lebih baik mati! Mati!! Ya,
matilah jalan satu-satunya, demikian pikiran yang ruwet itu mengambil.
Dirabanya ikat pinggangnya. Tidak, dia
seorang gadis gagah perkasa, tidak semestinya mati menggantung diri
seperti wanita-wanita lemah.
Dihampirinya pedangnya yang tergantung di dinding. Biarpun tangannya gemetar
dan
tidak bertenaga dipaksanya tangan itu
mencabut pedangnya, lalu sambil memejamkan matanya, dia mengayun pedang
itu ke lehernya. "Plakkkk!!"
Lengan kanannya dipegang orang dan pedang itu dirampasnya. Tadinya dia mengira
bahwa subonya yang mencegahnya membuuh
diri, maka dia terisak dan membalik. Betapa kagetnya ketika dia melihat
bahwa yang mencegahnya membunuh diri
itu adalah seorang laki-laki muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya.
Laki-laki ini tersenyum, wajahnya cukup
tampan dan membayangkan kegagahan. "Membunuh diri bukan perbuatan
seorang gagah." Bisik laki-laki
itu. "Kalau sudah mati, mana mungkin dapat menghilangkan penasaran? Kalau
masih
hidup, selalu terbuka harapan untuk
membalas dendam!" Ucapan ini menyadarkan Swi Nio. "Siapa
kau....?"
"Ssssttt...., bisik pula laki-laki
itu. "Aku seorang mata-mata yang dikirim oleh Jenderal An Lu San. Nona,
daripada engkau membunuh diri, mari
kubantu kau keluar dari tempat ini dan kau ikut bersamaku. Dengan bekerja
untuk An-goanswe, kelak kau
berkesempatan untuk membalas kepada semua orang yang telah mendatangkan
malapetaka
ini kepadamu." Seperti kilat
masuknya pikiran ini ke dalam kepala Swi Nio. Mengapa tidak? Mati bukan
merupakan
jalan yang memecahkan persoalan! Dia
harus membalas kepada Pangeran itu! Dan kini, dia dapat menduga bahwa dia
tentu pingsan karena pengaruh obat dari
Kiam-mo Cai-li. Dia tahu bahwa wanita itu adalah seorang ahli tentang
racun. Kini dia mengerti semua. Dia
sengaja dikorbankan oleh gurunya dan oleh wanita iblis itu, seperti seekor
domba yang sengaja dikorbankan menjadi
mangsa serigala, Si Pangeran itu! Dendamnya bertumpuk, kini terbuka
jalan baginya, perlu apa mengambil
jalan pendek membunuh diri? "Baik, mari ikut aku...." bisiknya dan
dengan
berindap-indap Swi Nio mengajak
laki-laki itu melalui jalan rahasia dan akhirnya, menjelang pagi, mereka berdua
berhasil keluar dari tembok pagar
Butong- pai. "Haiii....!!" tiba-tiba terdengar bentakan dan lima
orang
anggauta Bu-tong-pai muncul dari tempat
penjagaan tersembunyi. Akan tetapi ketika mereka melihat Swi Nio,
mereka terheran-heran, memandang kepada
gadis itu lalu kepada orang asing yang keluar dari jalan rahasia
bersama murid utama ketua mereka. Malam
itu memang banyak datang tamu dari kota raja yang ikut dalam rombongan
Pangeran, maka mereka mengira bahwa
tentu orang ini adalah anggauta rombongan pula. Akan tetapi sepagi itu,
masih gelap, apakah yang akan dilakukan
tamu ini bersama Swi Nio keluar dari Bu-tong-pai dengan diam-diam?"
Tiba-tiba terdengar teriakan
berturut-turut dan lima orang itu roboh dan tewas seketika. Mereka hanya mampu
satu kali saja mengeluarkan teriakan
karena tenggorokan mereka hampir putus disambar jari-jari yang amat kuat
dari mata-mata itu yang bergerak dengan
cepat luar biasa menyerang mereka. Melihat kelihaian orang itu, Swi Nio
tercengang. Dia makin kagum. Kiranya
mata-mata ini bukan orang biasa dan andaikata ketahuan pun akan merupakan
lawan tangguh, sungguhpun tentu saja
dia sangsi apakah orang ini akan mampu lolos kalau Kiam-mo Cai-li dan
subonya turun tangan. "Mari
cepat....!" Orang laki-laki itu berkata dan melihat keadaan Swi Nio yang
masih
lemas, dia tanpa ragu-ragu lagi lalu
menyambar tubuh gadis itu, dipanggulnya dan berlarilah dia dengan amat
cepatnya meninggalkan tempat yang
berbahaya baginya itu. Gadis bernama Liang-cu yang sebenarnya adalah
penyamaran Bu Swi Liang, bekerja di
dalam istana sebagai pengawal pribadi Yang Kui Hui. Dia bertugas memikat
hati selir Kaisar yang cantik jelita
ini. Dapat dibayangkan betapa tersiksa hati pemuda itu menyaksikan semua
yang terjadi di dalam kamar Yang Kui
Hui, melihat selir yang cantik jelita itu beristirahat, mandi, berganti
pakaian dan lain-lain di depan matanya
begitu saja karena dia dianggap wanita pula! Betapa tersiksa hati orang
muda ini hidup di antara wanita-wanita
cantik, yaitu para pelayan Yang Kui Hui. Di istana bagian puteri ini
tidak ada prianya, karena para thaikam
yang bertugas di situ biarpun kelihatan seperti orang pria, namun
sesunguhnya tidak lagi dapat disebut
sebagai pria. Swi Liang adalah seorang pemuda yang sedang berkobar
nafsunya karena Bu-tong-san dia diseret
ke dalam kekuasaan nafsu berahi oleh subonya sendiri. Sebagai seorang
pemuda yang baru gila berahi, kini
berada ditengah-tengah para wanita cantik itu, tentu saja dia tidak kuat
bertahan terlalu lama. Untuk melakukan tugasnya memikat Yang Kui Hui,
dia belum berani karena kesempatanya
belum tiba. Dia tidak berani bersikap
kasar dan membuka rahasia penyamarannya begitu saja. Karena sekali gagal,
dia tentu akan mati konyol. Akan tetapi
untuk menunda lebih lama lagi menguasai nafsunya, dia tidak sanggup!
Akan tetapi, Swi Liang menahan gelora
hatinya sedapat mungkin. Dia harus bersabar menanti kesempatan baik.
Tugasnya amat penting bagi perjuangan
subonya Sama sekali tidak boleh gagal karena taruhannya adalah nyawanya.
Pada suatu senja belasan hari kemudian
Swi Liang diperbolehkan mengaso karena malam itu kaisar akan mengunjungi
selirnya yang tercinta dan tempat itu
penuh dengan pengawal-pengawal pribadi Kaisar sendiri. Swi Liang lalu
mengundurkan diri ke dalam kamarnya,
sebuah kamar yang amat indah dan berdekatan dengan kamar para pelayan
utama atau pelayan pribadi selir Kaisar
itu. Selagi duduk melamun sendiri di dalam kamarnya, mencari akal
bagaimana untuk memulai tugasnya,
merayu dan memikat Hati Yang Kui Hui, dia membayangkan keadaan selir itu dan
jantungnya berdebar penuh nafsu dan
gairah. Selir itu memang cantik luar biasa, dan ketika mandi atau bertukar
pakaian, dia dapat menyaksikan seluruh
bagian tubuh yang padat dan amat menggaerahkan itu. Pernah dia membantu
pelayan menyelimutkan kain setelah
selir itu mandi dan jari-jari tangannyamenyentuh kulit yang halus, lunak,
dan hangat, dan tercium olehnya bau
semerbak harum dari tibuh selir itu. Keharuman yang khas dan alangkah jauh
bedanya antara kecantikan dan tubuh
indah selir itu dibandingkan dengan subonya! "Enci Liang-cu! kenapa
melamun
saja?" Seorang gadis cantik
berbaju hijau menegurnya sambil tertawatawa, di belakangnya masuk pula seorang
gadis cantik berbaju merah. Mereka itu
adalah dua orang pelayan pribadi Yang Kui Hui, dua orang gadis cantik
jelita yang genit-genit "Ah, Enci
Liang-cu orangnya pendiam amat sih, tidak mau bersendaugurau dengan kami? Swi
Liang tersenyum menekan jantungnya yang
berdebar-debar dan menahan matanya agar jangan terlalu melotot melahap
kecantikan dua orang gadis itu.
"Ahh, aku lelah dan sedang beristirahat. Jarang ada kesempatan
beristirahat
seperti ini...." kata Swi Liang.
"Mari temani kami main thio-ki (kartu) di kamarku, Enci Liang-cu!"
kata Si
Baju Hijau. "Ya, marilah, Enci
Liang-cu. Tidak enak hanya bermain berdua. Marilah, sambil kita berkenalan
lebih
erat lagi. Kenapa sih? Bukankah kita
ini rekan-rekan yang berkerja di sini?" kata Si Baju Merah sambil menarik
tangan Swi Liang. Tak dapat Swi Liang
menolak karena hal ini mendatangkan kecurigaan apalagi memang dia sudah
rindu sekali akan sentuhan tangan
wanita cantik setelah belasan hari berpisah dari subonya. Kedua orang gadis
itu tertawa-tawa, menggandeng kedua
tangan Swi Liang dan membawanya kedalam kamar Si Baju Hijau yang berbau
harum. Sebuah meja bundar rendah telah
dipersiapkan di tengah kamar, di dekat pembaringan di sekeliling meja
itu terdapat tikar yang ditilami kasur
dan bantal. Selain kartu untuk main, juga di atas meja terdapat seguci
arak wangi dan cawan-cawan kecil, juga
beberapa macam kuih kering. "Duduklah, Enci Liang-cu. Mari kita,
main-main. kau bermalam saja di sini
malam ini, ya?" Si Baju Hijauberkata sambil merangkul. "Dan tubuhmu
begini
tegap dan kelihatan kuat, Enci
Liang-cu," kata Si Baju Merah memegang-megang lengan pemuda itu.
"Aihhh, tangan
Enci Liang-cu kuat dan kasar!"
kata Si Baju Merah menghelus telapak tangan pemuda itu. Swi Liang menarik
tangannya. "Aahh, aku sejak kecil
berlatih silat. Tentu saja aku seorang gadis yang kasar, mana bisa
dibandingkan dengan kalian yang halus
mungil?" "Hi-hik, kau terlalu memuji, Enci!" kata Si Baju Merah
sambil
mencubit paha Swi Liang. "Kalau
engkau menjadi seorang laki-laki, tentu tampan dan gagah, Enci Liang-cu!"
kata
Si Baju Hilau. Dapat dibayangkan betapa
tubuh Swi Liang terasa panas dingin menghadapi godaan-godaan ini, maka
cepat-cepat mengajak mereka bermain
kartu, karena kalau dilanjutkan godaan mereka itu, tentu dia takkan kuat
lagi bertahan! Sudah timbul keinginan
keras di hatinya untuk merangkul dan mendekap mereka, menciumi bibir yang
merah dan lincah itu! "Eh, untuk
apa arak ini?" katanya setelah Si Baju Merah menuangkan secawan arak yang
berbau wangi. "Hi-hik, bermain
thioki tanpa taruhan tidak menyenangkan. Siapa kalah harus menebus kekalahannya
dengan minum secawan arak wangi!"
kata Si Baju Hijau. Meeka mulai bermain thioki sambil bercakap-cakap dan
bersendau gurau, atau lebih tepat lagi,
kedua orang gadis itu yang bercakap-cakap dan bersendau gurau sedangkan
Swi Liang hanya mendengarkan dan
kadang-kadang tersenyum saja. Karena dia tidak ingin dilolohi arak sehingga
rahasianya dapat terbuka, maka Swi
Liang bermain sungguh-sungguh sehingga dia jarang kalah dan yang kebagian
minum arak adalah kedua orang gadis
itulah! Mereka bermain terus sampai menjelang tengah malam dan akhirnya
arak dalam guci kecil itu habis!
"Ahhh, hawanya panas sekali ....!" kata Si Baju Hijau. "Bukan
panas, hanya
engkau terlalu banyak minum maka terasa
panas, " kata Swi Liang. "Hemm, mungkin... aihhh, gerahnya." Si
Baju
Hijau membuka kancing bajunya dan
mengebut-ngebut dengan kipas. Swi Liang menelan ludah, matanya memandang ke
arah dada yang hanya tertutup pakaian
dalam yang tipis sehingga membayangkan tonjolan-tonjolan yang memikat
hati. Karena pandang matanya selalu
tertarik ke arah dada Si Baju Hijau, maka permainan Swi Liang menjadi kalut
dan sekali ini dia kalah. Akan tetapi
arak telah habis! "Wah, Enci Liang-cu jarang kalah, sekarang telah kalah
araknya habis. Mana dia bisa menebus
kekalahannya?" kata Si Baju Merah cemberut. "Hi-hik, kalau arak habis
dia
harus membayar dengan ciuman!"
kata Si Baju Hijau. "Hi-hi-hik, benar! Dia harus didenda dengan ciuman dan
mulai
sekarang, taruhannya dirobah. karena
arak habis, siapa kalah harus membayar dengan ciuman!" kata Si Baju Merah.
Kedua orang gadis itu dari kanan kiri lalu
menyerbu dan mencium pipi Swi Liang dengan hidung mereka. Swi Liang
memejamkan kedua matanya! "Eh....
eh...., kalian ini bagaimana? Ihh... malu, kan....?" katanya gelagapan.
"Enci
Liang-cu, mengapa kau begitu kejam?
Kita bertahun-tahun dikurung di tempat ini dan hanya dapat menyaksikan
orang lain bermain cinta. Bertemu
dengan pria pun merupakan hal yang tak mungkin bagi kita. Apa salahnya di
antara kita saling menghibur dan saling
mencumbu? Sekedar menghilangkan rindu......" kata Si Baju Merah.
Permainan dilanjutkan dan makin lama
Swi Liang makin terseret oleh gelora nafsu berahinya sendiri. Ketika dia
menang dan harus mencium, dia tidak
mencium seperti biasa dengan hidung kepipi, melainkan mencium mulut dua
orang gadis itu dengan mulutnya! Dua
orang gadis itu mengeluh dan balas mencium sehingga tanpa diperintah lagi
permainan kartu itu bubar dan
dilanjutkan dengan permainan saling mencumbu, saling peluk dan saling cium
antara
tiga orang itu! "Aihh, Enci
Liang-cu.... kau hebat sekali ....." keluh Si Baju Hijau. "Enci
Liang-cu.... kalau
saja engkau seorang pria....."
bisik Si Baju Merah "Kalian senang?" Swi Liang berkata, terengah-engah
sedikit.
"Matikanlah lampunya, barangkali
di dalam gelap aku akan dapat pian-hoa (bermain rupa) menjadi pria, siapa
tahu?" Sambil terkekeh genit, Si
Baju Hijau meniup pandam lampu di meja dan mereka bertiga pindah ke
pembaringan, melanjutkan permainan
mereka yang mengasyikkan hati mereka itu. Mereka merasa semakin bebas
setelah keadaan di dalam kamar itu
menjadi gelap, mereka dapat mencurahkan seluruh nafsu mereka tanpa malu-malu
lagi. Tak lama kemudian terdengar jerit
tertahan, disusul teriakan-teriakan yang lebih menyerupai bisikan kaget
bercampur girang, "Eh...
kau...?" "Hemm, diamlah sayang....." terdengar suara Swi Liang
dan selanjutnya kamar
itu sunyi, tidak terdengar keras lagi sehingga
kalau didengar dari luar kamar, seolah-olah tiga orang "gadis"
itu sedang tidur pulas, padahal tentu
saja keadaanya jauh dari pada itu, bahkan sebaliknya. Menjelang pagi,
terdengar suara Si Baju Hijau, suara
yang berbisik dan agak serak karena semalam tidak tidur rupanya,
"...engkau.... setiap malam harus
menemani kami.... ya, koko yang baik?" "....harus, kalau tidak....
hemm, kami
akan melaporkan bahwa kau adalah
seorang pria sejati......" bisik pula Si Baju Merah dengan nada manja
mengancam. Sunyi mengikuti kata-kata
bisikan itu, kemudian terdengar jerit tertahan dan tak lama kemudian,
tampak Swi Liang dalam pakaian seperti
liang-cu, meloncat keluar dari dalam kamar itu memondong tubuh dua orang
pelayan itu yang sudah menjadi mayat!
Dengan tergesa-gesa Swi Liang membawa dua mayat itu ke kebun, menggali
lubang, mengubur dengan cepat sekali,
kemudian kembali ke kamarnya dengan badan penuh keringat dan muka pucat.
Akan tetapi hatinya lega dan diam-diam
dia menyesali perbuatannya sendiri. Mengapa dia begitu lemah sehingga
tidak dapat menahan diri terjatuh ke
dalam rayuan dua orang gadis cantik itu? Dia terpaksa membunuh mereka,
sungguhpun hal itu dilakukannya dengan
perasaan penuh penyesalan. Tugasnya lebih penting dan kalau sampai
gagal, dia akan tewas, akan mati
konyol. Dengan membuka rahasianya kepada dua orang gadis itu, keadaannya tentu
saja terancam hebat. Belum apa-apa dua
orang gadis itu telah "memerasnya" untuk setiap malam melayani mereka
dengan ancaman akan dibuka rahasianya!
Tentu saja dia terpaksa harus membunuh mereka demi keselamatan dirinya
sendiri. Lenyapnya dua orang pelayan
itu hanya menimbulkan sedikit keributan di istana bagian puteri. Betapapun
juga, mereka itu hanyalah dua orang
pelayan dan akhirnya Yang Kui Hui hanya memerintahkan para pengawal untuk
melakukan pengejaran karena dikira
bahwa mereka itu tentu melarikan diri, dan kalau sampai dapat ditangkap agar
supaya dijatuhi hukuman berat.
Mengertilah kini Swi Liang bahwa dia harus cepat-cepat turun tangan kalau tidak
mau terjadi gangguan lain lagi.
Mulailah dia mendekati Yang Kui Hui, membantu pada setiap kali ada kesempatan,
membantu para pelayan yang memandikan
selir jelita itu, menggosok punggungnya, mengeringkan tubuhnya dan
mengenakan pakaiannya. Bahkan pada
suatu malam, ketika Yang Kui Hui merebahkan diri seorang diri dengan mata
merem melek seperti seekor kucing
malas, ia mendekatinya, berlutut dan menggunakan tangannya untuk
memijit-mijit kaki selir itu dengan
perlahan, meniru perbuatan pelayan yang suka memijit tubuh selir itu.
Jantungnya berdebar keras sekali. Nafsu
hatinya ditekannya keras sekali dia merasa betapa api berahi telah
membakar dadanya dan api itu menyala
dari ujung jari tangannya yang bersentuhan dengan kulit kaki yang halus
lunak dan hangat.
"Ehhmmm...." Yang Kui Hui menggeliat seperti seekor kucing dan
membuka sedikit matanya untuk
melihat siapa yang memijit kakinya.
Matanya terbuka agak lebar dan tersenyum. "Aihhh, kiranya engkau,
Liang-cu?
Engkau pandai pula memijit? Ahhhh,
tanganmu kuat sekali, nah, kaulanjutkanlah, tubuhku memang sedang
pegal-pegal....." Dan selir itu
sudah memejamkan matanya kembali rebah terlentang di depan Swi Liang. Pemuda
itu melanjutkan pekerjaannya memijit
betis mengendurkan urat yang kaku dan pandang matanya melahap wajah yang
menengadah itu. Betapa cantik
jelitanya, demikian rangsangan hatinya. Rambut yang hitam agak mengeriting itu
terurai di atas bantal, anak rambut
yang melingkar-lingkar menghias dahi dan pelipis sampai ke bawah telinga.
Dahi yang melengkung halus sekali
seperti lilin diraut, berkulit putih bersih itu nampak makin putih terhias
anak rambut yang menghitam dan sepasang
alis yang hitam sekali melengkuk seperti dilukis, melindungi mata yang
terpejam sehingga tampak bulu mata yang
panjang. Bayangan bulu mata menggelapkan pipi sebelah atas,
menyembunyikan warna kemerahan yang
menyegarkan. Hidung yang mancung, dengan dua cuping hidung yang tipis, agak
bergerak terdorong napas yang keluar
masuk, dan dibawah hidung itu, sepasang bibir yang kemerahan dan agak
basah, kelihatan menebal sebelah
bawahnya karena selir itu tersenyum, sebuah lesung pipit menghias di ujung
mulut sebelah kiri. Manis dan cantik
jelita! Kemudian leher itu, dan dada itu, pinggang itu....! Swi Liang
menelan ludahnya berkali-kali dan
jari-jari tangannya yang memijit kaki itu agak menggigil. Agaknya Yang Kui
Hui dapat merasakan tangan yang
menggigil ini, maka dia membuka sedikit matanya dan bertanya, "Ada apakah
Liang-cu? Tanganmu gemetar..."
"Ahhh.... tidak apa-apa, hanya.... paduka demikian cantik jelita.....
hamba
sampai merasa terharu memandangi
Paduka....." "Aihhh...., hi-hik, kau aneh, Liang-cu Coba kau tutup
dan kunci
pintu kamar itu, dan beritahukan kepada
penjaga di luar bahwa aku tidak ingin diganggu malam ini, hendak
beristirahat. Oya, suruh penghubung
pelaporkan kepada Sri Baginda tidak datang ke kamarku. Setelah itu,
kautemani aku di sini, pijati tubuhku
sampai aku tidur." Dengan jantung berdebar penuh ketegangan dan gairah,
Swi Liang mentaati perintah itu.
Setelah selesai dan dia sudah menutupkan dan memalang daun pintu sehingga
mereka hanya berdua saja di dalam kamar
yang mewah dan harum itu, Swi Liang segera berlutut lagi di depan
pembaringan dan melanjutkan
pekerjaannya memijit betis yang berdaging gempal, lunak, halus dan hangat itu.
"Nanti dulu, Liang-cu. Coba
kaubantu aku membuka pakaian luarku. Setelah pintu ditutup, kamar ini menjadi
agak
panas...." kata Yang Kui Hui
sambil bangkit duduk di atas pembaringannya yang bertilam sutera merah
berkembang.
Swi Liang tidak mampu menjawab karena
merasa lehernya seperti tercekik. Dengan jari-jari tangan gemetar dia
membantu puteri itu membuka pakaian
luarnya sehingga kini Yang Kui Hui hanya memakai pakaian dalam yang amat
tipis dan tembus pandang sehingga
terbayanglah lekuk lengkung yang amat menggairahkan. Begitu pakaian luarnya
dibuka, Swi Liang memejamkan mata
sebentar sambil menarik napas panjang. Tercium olehnya bau harum yang
memabukan, keharuman yang membuat selir
Kaisar itu terkenal sekali si samping kecantikannya yang sukar dicari
bandingnya. "Hi-hik... mengapa kau
seperti patung dan memejamkan matamu, Liangcu?" Suara terkekeh halus dan
teguran itu menyadarkan Swi Liang yang
segera membuka matanya. "Ampunkan hamba.... hamba.... silau, seolah-olah
melihat bidadari turun dari langit...."
Selir Kaisar itu tertawa senang. "Aihh, kata-katamu seperti seorang
laki-laki saja! Hayo pijiti aku lagi
dan jangan bersikap seperti orang gila!" Swi Liang segera melakukan
perintah ini dengan penuh gairah.
Jari-jari tangannya kembali memijit betis dan paha, makin ke atas makin
tersiksalah hatinya apalagi mendengar
puteri itu terkekeh kegelian. "Hi-hi-hik, kau begitu kuat, jari tanganmu
juga tegang dan kuat seperti tangan
laki-laki membelai....!" Yang Kui Hui membalikan tubuhnya dan kini rebah
terlentang, karena pakaian dalam yang
tipis itu tersingkap membuat Swi Liang hampir tidak kuat menahan lagi.
Cahaya kemerahan dari lampu merah di
dalam kamar membuat tubuh yang membayang di balik pakaian tipis itu
seolah-olah telanjang bulat di
depannya! "Nah kau pijiti pahaku, pegal-pegal rasanya. Akan tetapi jangan
kuat-kuat, perlahan saja,
Liang-cu." Dapat dibayangkan betapa tersiksa hati seorang pemuda yang
sudah menjadi
lemah karena dikuasai nafsu berahi
seperti Swi Liang menghadapi Yang Kui Hui yang tanpa disengaja telah
menimbulkan godaan dan tantangan yang
demikian menggairahkan hati pria. Namun tentu saja Swi Liang tidak berani
bertindak sembrono, dan sambil
menguatkan hatinya dan menundukan mukanya yang menjadi merah, menyembunyikan
dadanya yang bergelombang dengan
menunduk dan menahan nafsunya yang memburu, dia memijit paha yang gempal itu
dan jari-jari tangannya seolah-olah
bertemu langsung dengan kulit paha karena hanya tertutup sutera tipis.
Setiap sentuhan jarinya seolah-olah
mendatangkan aliran hawa panas yang menjalar naik ke dada dan kepala
melalui lengannya. Makin lama dia makin
gelisah, tubuhnya panas dingin dan sama sekali dia tidak berani
memandang wajah puteri itu karen takut
kalau-kalau Sang Puteri marah. Betapapun nafsu berahi telah menyundul
sampai ke ubun-ubunnya, namun Swi Liang
tidaklah demikian nekat untuk berani bertindak kurang ajar, tidak
berani melakukan langkah pertama dan
hanya menanti uluran tangan Sang Puteri, karena dia maklum bahwa sekali
keliru bertindak tebusannya adalah
nyawanya di samping kegagalan tugasnya. "Kau memang aneh, Liang-cu. Benar
kata-kata beberapa orang pelayan yang
selama ini tidak kau perhatikan. Sekarang baru aku melihat sendiri. Kau
seorang gadis yang aneh. Apakah seorang
gadis kalau sudah mempelajari ilmu silat tinggi lalu berubah sifatnya,
menjadi kejantan-jantanan? Kau patut
menjadi seorang laki-laki. Suaramu agak berat, gerak-gerikmu kaku,
tanganmu kuat dan kasar, dan pandang
matamu..... hemmm..... engkau seolah-olah hedak menelanku bulat-bulat
setiap kali kau melihatku! Hi-hik, aku
sampai merasa sungkan dan malu!" Swi Liang terkejut sekali, akan tetapi
sambil membungkuk rendah dia berkata
dan berusaha sedapatnya untuk meningikan nada suaranya, "Harap Paduka
ampunkan semua kekurangan hamba."
"Ah, tidak apa-apa, Liang-cu. Engkau sudah berjasa besar, dan....hem.....
keadaanmu yang kejantanjantanan itu
bukanlah hal yang tidak menyenangkan. Sayang sekali, kau seorang wanita dan
sifat kejantananmu hanya karena kau
seorang gadis kang-ouw yang berkepandaian silat tinggi. kalau engkau
seorang pria sejati, hi-hik, betapa
lucunya...... tentu akan lebih menyenangkan hatiku....." Seketika terhenti
jari-jari tangan yang tadi menari-nari
dan memijiti paha kenyal itu. Jantung Swi Liang seperti berhenti
berdetak mendengar ucapan Sang Puteri,
kemudian berdebar-debar dengan kerasnya sehingga suara detak jantungnya
memasuki kedua telinganya dengan amat
nyaring. Kesempatan baik telah terbuka! Selir jelita ini telah membuka
rahasia hatinya! Begitu menantang,
seperti setangkai bunga yang tinggal memetik saja, tinggal mengulur tangan
dan akan terpenuhilah kedua
cita-citanya, yaitu menikmati tubuh yang telah membuat tergila-gila ini dan
sekaligus menyempurnakan tugasnya memikat
hati Yang Kui Hui demi suksesnya siasat yang sedang dilakukan oleh
subonya! Tiba-tiba Swi Liang berlutut
dan menempelkan dahinya di lantai dekat pembaringan. "Hamba.... hamba
rela mengorbankan nyawa demi Paduka,
dan hamba siap sedia melalukan apa saja untuk menyenangkan hati Paduka.
Akan hamba lakukan dengan taruhan nyawa
dan hamba siap menanti perintah Paduka...." Hi-hik, Liang-cu. Engkau
memang aneh. Betapapun juga, mana
mungkin engkau menjadi laki-laki sejati?" "Kalau Paduka kehendaki,
pasti
dapat terjadi. Perintah Paduka
merupakan keputusan bagi hamba, seperti perintah dari langit." Yang Kui
Hui
menjadi terheran-heran dan bangkit
duduk, membiarkan pakaian dalamnya tersingkap lebar, tidak hanya pada
pahanya, akan tetapi juga pada
pundaknya sehingga setengah dadanya tampak jelas, putih halus membusung.
"Apa....,apa maksudmu,
Liang-cu?" "Hamba telah mempelajari ilmu kesaktian dari Subo,
sehingga kalau Paduka
menghendaki, hamba dapat pian-hoa
(mengubah diri) menjadi seorang pria sejati." Ehhh...?" Mata yang
bening
indah itu terbelalak, mulut yang kecil
itu ternganga sehingga bibir merah membasah itu membentuk lingkaran
memperlihatkan lidah yang meruncing merah
dan rongga mulut yang lebih merah lagi terhias deretan gigi seperti
mutiara. Sinar mata Yang Kui Hui
menjelajahi tubuh pembantunya yang berlutut itu, akhirnya dia dapat berkata,
"Benarkah itu? Suguh aneh dan luar
biasa! Coba kaubuktikan omonganmu, Liang-cu. Coba kau pian-hoa menjadi
seorang pria!" Swi Liang menekan
jantungnya yang berdebar tegang, mengangkat mukanya dan berkata,
"Hamba....
hamba .... mana berani kurang
ajar....?" "Lakukanlah! ini merupakan perintah. Berdirilah dan
pian-hoalah!" Yang
Kui Hui berkata penuh nafsu karena dia
ingin sekali menyaksikan apakah benar gadis ini dapat pian-hoa menjadi
pria, hal yang hanya pernah didengar
dalam dongeng kuno saja. "kalau Paduka memerintahkan, hamba tidak berani
membantah." Swi Liang lalu bangkit
berdiri dan membungkuk. "Maafkan hamba...." Dia lalu melepas gelung
rambutnnya, menggosok bedak dan yanci
dari mukanya, kemudian dengan wajah merah berseri dia berkata, "Hamba
telah berubah menjadi seorang
pria." Suaranya kini besar, suara seorang laki-laki tulen! Yang Kui Hui
memandang
terbelalak. "Aihhh, mana aku bisa
percaya? Hanya suaramu yang berubah, dan mukamu tanpa bedak dan yanci memang
seperti muka pria, akan tetapi mana
buktinya bahwa kau pria?" Swi Liang mengerutkan alisnya. "Paduka
ingin
bukti? Baiklah, maafkan kelancangan
hamba!" Dia lalu merenggut pakaiannya, baju di bagian atas sehingga
tanggal
kancing-kancingnya dan terbukalah dadanya.
Sebuah dada yang tegap dan bidang, tidak berbuah, dada seorang
laki-laki tulen! Wajah Yang Kui Hui
berseri-seri, mulutnya tersenyum lebar ketika dia memandang dada yang
bidang, tegap dan berkulit putih bersih
itu. "Memang tidak salah lagi, tubuhmu bagian atas memang tubuh seorang
pria. Akan tetapi aku belum puas,
Liang-cu. Buka semua pakaianmu!" Perintah ini sama sekali tidak
disangka-sangka oleh Swi Liang. Biarpun
sudah lama dia menghedaki terjadinya hal yang hanya dalam mimpi ini,
namun sebagai seorang laki-laki, dia
merasa jengah dan malu juga menerima perintah agar dia bertelanjang bulat
seperti itu! Akan tetapi, gairah yang
meluap-luap dan kegembiraannya mengusir semua rasa malu dan dengan jari
tangan gemetar Swi Liang menanggalkan
semua sisa pakaiannya sehingga tak lama kemudian dia telah berdiri
membuktikan bahwa dirinya adalah
seorang pria sejati di depan selir jelita itu. "Ahhh...., Liang-cu... ke
sinilah kau! Sungguh hebat.... tak
kusangka sama sekali. Rebahlah kau di sini, di sisiku, manis!" Tanpa
diperitah kedua kalinya karena memang
itulah yang diinginkannya selama ini. Swi Liang lalu naik ke pembaringan
dan merebahkan dirinya di sisi selir
cantik itu. Yang Kui Hui terkekeh genit lalu menyambutnya dengan peluk
cium ganas, menerkamnya seperti seekor
harimau kelaparan, atau seperti seekor ular yang memagutnya dan
membelit-belitnya. Manusia, baik
laki-laki atau wanita, kaya atau miskin, dari golongan ningrat maupun jembel
terlantar, sekali dikuasai nafsu berahi
akan menjadi lupa diri dan lupa segala. Pada saat seperti itu,
lenyaplah duka, lenyap pula takut,
hilang segala pertimbangan dan akal, yang ada hanyalah tindakan sebagai
akibat dorongan nafsu birahi yang minta
dilampiaskan
</P>
<P>
Hebatnya, makin dipenuhi dorongan
nafsu, makin hebatlah, seperti nyala api, makin dibiarkan makin membesar dan
takkan padam sebelum habis bahan
bakarnya! Hanyalah manusia yang selalu sadar akan keadaan dirinya, akan
gerak-gerik dirinya lahir maupun batin,
takkan kehilangan kewaspadaan dan kebijaksanaan, takkan dapat
dicengkeram oleh nafsu dalam bentuk apa
pun. Hal ini bukan berarti bahwa manusia bijaksana menolak nikmat hidup
yang didatangkan oleh gairah nafsu,
sama sekali tidak. Bahkan hanya manusia sadar sajalah yang bebar-bebar akan
dapat menikmati hidup karena baginya
nafsu kesenangan hanyalah pelengkap hidup, bukan hal yang mutlak dan tidak
dikejar-kejarnya. Dialah orang
menguasai nafsu, bukan nafsu yang menguasai dia. Menguasai nafsu dengan
kewaspadaan dan memngenal akan keadaan
diri sendiri seperti apa adanya, lahir maupun batinnya, bukan menguasai
nafsu dengan cara pengekangan dan
penyiksaan diri. Dengan cara pengamatan yang sewajarnya, penuh kesadaran,
pengamatan terhadap nafsu dan
gerak-geriknya, tanpa celaan tanpa pujian, maka nafsu akan kehilangan
kekuasaannya sendiri terhadap diri
pribadi. Sebaliknya, menggunakan kemauan untuk menekan dan mengekang nafsu,
tidak akan ada gunanya, karena, boleh
jadi nafsu akan dapat dibendung pada saat itu, manun sewaktu-waktu nafsu
yang masih menguasai diri itu meluap.
Bagaikan api dalam sekam, sewaktuwaktu akan dapat menyala lagi,
demikianlah kalau orang menguasai nafsu
dengan pengekangan yang berarti menguasainya dengan kekerasan. Dengan
pengamatan waspada, nafsu yang seperti
api itu akan padam dengan sendirinya. Namun dengan pengekangan, api itu
hanya membara dan tidak tampak untuk
sewaktu-waktu bernyala lagi, karena YANG MENGEKANG NAFSU ADALAH NAFSU
JUGA. Mengekang berarti menggunakan
kekerasan menuruti keinginan! Menjelang pagi, yang Kui Hui yang kekenyangan
melampiaskan nafsu berahinya, terlena
di pembaringan, wajahnya yang agak pucat menoleh kepada Swi Liang yang
tidur pulas di sampingnya, lalu wanita
cantik itu tersenyum. Jari-jari tangannya yang halus itu bergerak
membelai dada telanjang dari pemuda
itu, lalu ditariknya kembali tangannya dan dia menghela nafas panjang.
Setelah kekenyangan, barulah dia dapat
berfikir dan barulah selir Kaisar ini sadar betapa bodohnya dia
membiarkan dirinya terseret oleh nafsu
berahi. Pemuda ini tentu seorang pria sejati yang menyamar sebagai
wanita. Hal ini sudah jelas! Dan di
balik penyamaran ini tentulah ada suatu rahasia! Kesadaran ini mengejutkan
hatinya dan menimbulkan
kekhawatirannya. Dia adalah selir yang cerdik sekali. Yang Kui Hui bangkit
duduk dan
perlahan-lahan, agar jangan
membangunkan pemuda itu, dia mengenakan pakaiannya. Matanya tak pernah
berpindah
dari wajah Swi Liang dan sambil memakai
pakaiannya, dia mengenangkan semua yang mereka lakukan semalam ketika
mereka bermain cinta tanpa mengenal
puas sampai akhirnya tertidur kelelahan. Betapapun juga, pemuda itu terlalu
halus. Bagi wanita macam Yang Kui Hui
yang sudah banyak pengalaman bermain cinta dengan pria, kejantanan Swi
Liang kurang memuaskan hatinya. Betapa
jauhnya dibandingkan dengan An Lu San! An Lu San barulah boleh disebut
seorang laik-laki sejati! Dengan
kekudukannya yang tinggi dan pengaruhnya yang besar, dengan tubuhnya yang
tinggi besar, tenaganya yang seperti
singa, dengan permainan cintanya yang liar kasar dan wajar, menonjolkan
kejantanan yang amat hebat! Sedangkan
pemuda ini, terlalu halus, masih hijau dan kurang pengalaman, dan yang
lebih berbahaya lagi, pemuda ini
tentulah seorang mata-mata musuh! Yang Kui Hui bergidik ngeri. Betapa bodohnya
dia, mudah terbujuk dan terseret oleh
nafsunya sendiri dan terkena rayuan seorang mata-mata. Untung mata-mata
ini belum bertindak terlalu jauh.
Bagaimana kalau semalam dia dibunuhnya? Yang Kui Hui bergidik dan bergegas
turun dari pembaringan, dengan
hati-hati dia mengambil pedang bersarung indah yang diletakan oleh Swi Liang di
atas tumpukan pakaiannya, kemudian
selir Kaisar itu berindap-indap menuju ke pintu kamar, membuka pintu dan
keluar setelah menutupkan kembali daun
pintu perlahan-lahan. Tak lama kemudian dia telah berbisik-bisik dengan
beberapa orang pengawal pribadinya,
kemudian memasuki kamar lain setelah merasa yakin bahwa para pengawalnya
yang kini telah berkumpul itu akan
melaksanakan perintahnya dengan baik. Swi Liang terbagun dari tidur nyenyak,
menggeliat dan tersenyum penuh bahagia
ketika dia teringat akan keadaan dirinya. Dirabanya kasur di mana dia
rebah dan hidungnya kembang kempis,
masih penuh oleh keharuman tubuh Yang Kui Hui. Baru saja terbangun dari
tidur, teringat akan wanita cantik itu,
berkobar lagi nafsunya, lenyap semua kelelahan tubuhnya dan dia
membalik ke kanan, lengan kirinya dan
kaki kirinya merangkul memeluk. Dai membuka matanya ketika tangan dan
kakinya bertemu dengan kasur yang
kosong, lalu bangkit duduk, menoleh ke kanan kiri, mencari-cari. yang Kui Hui
telah pergi dari kamar itu! Swi Liang
merasa heran dan juga terkejut, kemudian timbul kekhawatiran di dalam
hatinya. Ke manakah perginya wanita itu
sepagi ini, pikirnya. Karena khawatir kalau-kalau ada pelayan memasuki
kamar dan memergoki keadaanya, bergegas dia menyambar pakaiannya, dan
cepat mengenakan pakaiannya, pakaian
wanita penyamarannya. Dengan
tergesa-gesa dia menghampiri meja rias Yang Kui Hui, menggunakan bedak dan
yanci
untuk memulas mukanya yang semalam
telah menjadi muka pria aslinya dan sia-sia bedak dimukanya telah terhapus
sama sekali oleh ciuma-ciuman Yang Kui
Hui. Kemudian dia mencari pedangnya dan betapa heran dan terkejut
hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa
pedangnya tidak berada di dalam kamar itu! Akan tetapi dia segera
tersenyum menenangkan hatinya sendiri.
Tentu Yang Kui Hui sengaja hendak main-main dengan dia! Tak mungkin
wanita itu melakukan hal yang
bukan-bukan dan merugikannya setelah apa yang mereka nikmati bersama semalam!
Tentu Yang Kui Hui sudah bertekuk lutut
dan mencintanya setelah dia membuktikan kejantanannya semalam, pikir
Swi Liang dengan bangga. Dengan hati
ringan dia lalu melangkah ke pintu, membuka daun pintu hendak mencari
kekasihnya itu. Sunyi di luar kamar
itu, padahal biasanya penuh dengan pengawal. Kemudian muncul seorang
pelayan wanita yang bertugas
membersihkan kamar Yang Kui Hui setiap pagi. Melihat pelayan ini, Swi Liang
dengan
suara biasa lalu menanyakan di mana
adanya majikan mereka yang cantik itu. "Beliau tadi memerintahkan bahwa
kalau Liang-lihiap sudah bangun agar
Lihiap suka pergi menyusul ke dalam pondok di taman. Beliau menanti di
sana." Mendengar kata-kata ini,
Swi Liang bergegas pergi ke taman, hatinya girang sekali. Tak salah dugaannya.
Yang Kui Hui telah bertekuk lutut di
depan kakinya! Selir yang angkuh dan cantik itu telah jatuh cinta
kepadanya sehingga kini selir itu ingin
melanjutkan permainan cinta mereka di dalam pondok taman, tentu agar
jangan sampai menimbulkan kecurigaan
para pelayan lain! "Ha-ha, kau cerdik sekali, mais," kata hatinya
penuh
kegembiraan, "untuk kecerdikanmu
itu akan kuberi upah ciuman hangat!" Sambil tersenyum-senyum membayangkan
segala kemesraan yang akan dialaminya
sebentar lagi di dalam pondok taman, Swi Liang melangkah lebar ke dalam
taman yang indah dan luas itu. Taman
itu sunyi karena hari masih amat pagi dan memang biasanya pun taman itu
hanya dikunjungi para puteri istana
setelah matahari naik tinggi sehingga mereka dapat menghirup hawa segar di
situ. Bahkan tidak tampak seorang pun
juru taman yang biasanya sepagi itu tentu telah membersihkan taman.
Ketika melewati tempat di mana dia
malam-malam beberapa hari yang lalu mengubur mayat dua orang pelayan wanita,
Swi Liang menggerakan pundaknya untuk
menenteramkan hatinya yang agak terguncang. Salah kalian sendiri,
pikirnya dan untuk menekan perasaanya,
dia telah menginjak kuburan yang tidak kentara dan tidak dikenal orang
lain kecuali dia itu. Dia kini sudah
berdiri di depan pintu pondok, lalu mengetuk pintu pondok sambil berkata
dengan suara biasa, suara pria, halus
dan penuh rayuan, "Dewiku yang cantik jelita, bidadari dari sorga manis,
bukalah pintu, aku sudah amat rindu
kepadamu....!" Daun pintu pondok merah itu terbuka dari dalam dan.... Swi
Liang meloncat ke belakang sambil menahan
seruan kagetnya ketika dia melihat bahwa dari dalam pondok itu keluar
dua puluh orang lebih pengawal yang
memegang senjata di tangan! "Menyerahlah engkau, Liang-cu. Kami mendapat
perintah untuk menangkapmu!"
komandan pengawal berkata keren. Seketika pucat muka Swi Liang dan otomatis
tangan
kanannya meraba pinggang, hanya untuk
diingatkan bahwa pedangnya telah lenyap dari dalam kamar tadi! "Apa...
apa... dosaku....?" Dia bertanya
gagap, saking bingungnya dia lupa menyembunyikan suara laki-laki yang keluar
dari mulutnya. Dua puluh lebih pengawal
itu tertawa dan Sang Komandan membentak. "Lekas berlutut dan
menyerah!"
Swi Liang maklum bahwa rahasianya tentu
telah terbuka. Dia tidak tahu apa yang terjadi dan siapa yang telah
membuka rahasianya. Sampai saat itu dia
sama sekali tidak menyangka bahwa Yang Kui Hui yang telah
mengkhianatinya. Akan tetapi dia tahu
bahwa kalau dia tertangkap, tentu dia akan celaka. "Mampuslah!"
bentaknya
sambil menerjang ke depan, menghantam
komandan dengan kepalan tangan kanan sedangkan kepalan tangan kiri
menghantam pengawal ke dua yang berdiri
dekat. Komandan itu memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi, maka
dia dapat menangkis biarpun dia menjadi
terhuyung- huyung, akan tetapi pengawal yang terkena hantaman tangan
kiri Swi Liang, mengeluarkan teriakan
keras dan roboh terguling, muntah-muntah darah karena pukulan yang
mengenai dadanya tadi amat kuat. Segera
Swi Liang dikeroyok oleh dua puluh orang lebih. Para pengawal itu
rata-rata memiliki ilmu silat yang
cukup tangguh, karena mereka semua bersenjata. Repot jugalah Swi Liang yang
harus membela diri dengan tangan
kosong! "Jangan bunuh dia! kita harus menangkapnya hidup-hidup!"
beberapa kali
komandan berteriak. Swi Liang mengamuk
sekuatnya, namun setelah tubuhnya terkena beberapa kali bacokan dan
tusukan, akhirnya dia terguling dan
teringkus. Dalam keadaan luka-luka dan setengah pingsan dia diseret ke
dalam kamar tahanan. Sementara itu,
yang Kui Hui segera mengadu kepada Kaisar bahwa pelayan wanita yang dahulu
menolongnya itu ternyata adalah seorang
pemuda dan mungkin mata-mata musuh yang sengaja menyelundup. Mendengar
ini, kaisar memerintahkan agar Swi
Liang disiksa dan dipaksa untuk mengakui keadaannya. Pada hari itu juga, di
dalam kamar tahanan yang dirahasiakan,
Swi Liang dikompres untuk mengaku. Ada beberapa macam semangat yang
mendorong seseorang menjadi prajurit.
Semangat patriotik sebagai pengabdian kepada negara dan bangsa, semangat
mencari kedudukan dan kemuliaan, dan
semangat yang timbul dari keadaan lain pula. Di antara semua itu, hanya
prajurit yang didorong semangat
mengabdi kepada negara dan bangsa sajalah yang akan berani mempertaruhkan nyawa
dengan rela, karena dia merasa yakin
bahwa apa yang diperjuangkan dalam hidupnya itu benar! Kebenaran seseorang
yang tentu saja mengharapkan sesuatu,
misalnya nama sebagai seorang pahlawan atau "tempat baik" di alam
baka!
Betapapun juga, lepas daripada tepat
tidaknya kebenaran semacam itu, harus diakui bahwa hanya prajurit yang
bersemangat demikian sajalah yang akan
menghadapi kematian dan siksaan dengan berani dan gagah. Tidaklah
demikian dengan Swi Liang. Dia
melakukan tugasnya karena dorongan subonya yang juga menjadi kekasihnya, karena
keinginannya untuk kelak memperoleh
kedudukan tinggi jika cita-cita subonya terlaksana. Kalau putera subonya
sampai biasa menjadi kaisar seperti
yang dicita-citakan subonya, dia tentu setidaknya akan menjadi seorang
menteri! Karena semangat seperti ini
yang mendorongnya berjuang, maka begitu gagal patahlah semangatnya. Begitu
dia disiksa, keluarlah pengakuan dari
mulut Swi Liang bahwa dia adalah kaki tangan subonya, The Kwat Lin Ratu
Pulau Es yang kini menjadi Ketua
Bu-tong-pai dan yang bersekutu dengan Pangeran tang Sin Ong, dan tugasnya
adalah memikat hati Yang Kui Hui agar selir
itu kelak mau membantu pemberontakan mereka. Pengakuan ini tentu
saja menimbulkan geger. Pangeran Tang
Sin Ong ditangkap dan beberapa hari kemudian, Swi Liang dan Pangeran Tang
Sin Ong dijatuhi hukuman penggal kepala
di tempat umum agar menjadi peringatan bagi siapa saja yang hendak
memberontak. Kaisar lalu mengirim
pasukan untuk menangkap Ketua Bu-tong-pai yang memberontak. Habislah riwayat
hidup Bu Swi Liang, putera Lu-san lojin
Bu Si Kang yang gagah perkasa itu. Memang patut disayangkan karena
sebenarnya dahulu Bu Swi Liang adalah
seorang pemuda yang baik dan gagah perkasa, yang dididik oleh ayahnya
sejak kecil agar menjadi seorang
pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan. Memang, keadaan
sekeliling amat mempengaruhi jalan
hidup seseorang. Hal ini tidaklah berarti bahwa sekeliling yang bersalah
sehingga menyeret seseorang ke jalan
sesat seperti halnya Bu Swi Liang.Sebetulnya, yang bersalah adalah dirinya
sendiri! Orang yang mengenal diri
sendiri akan selalu dalam keadaan waspada dan sadar sehingga berada di dalam
lingkungan apa pun juga dia akan selalu
mengamati tingkah laku sendiri lahir batin setiap saat, tak mungkin
terseret atau ternoda, seperti emas
murni atau bunga teratai, biar berada di lumpur akan tetapi tetap bersih!
Sebaliknya, orang yang tidak mau
mengamati dirinya sendiri setiap saat, akan mudah lupa karena
"akunya"menonjol
dan Si Aku ini memang selalu ingin
menang sendiri, ingin enak dan senang sendiri, sehingga untuk memenuhi
segala keinginannya itu, diri terseret
dan mudah terjeblos ke dalam jurang penuh dengan ular-ular berbisa
bernama iri, dendam, benci, sombong,
duka, dan lain-lain yang kesemuanya berakhir dengan kesengsaraan. Pasukan
yang kuat dipimpin seorang perwira
tinggi membawa perintah penangkapan dari Kaisar sendiri, tiba di
Bu-tong-san. Namun mereka terlambat.
The Kwat Lin, Ketua Bu-tong-pai yang baru dan hendak ditangkap itu, telah
melarikan diri bersama anak buah yang
setia kepadanya. Hal ini tidaklah mengherankan. Sebelum Swi Liang membuka
rahasia pemberontakannya, The Kwat Lin
telah lebih dulu mendengar bahwa muridnya telah gagal dan ditangkap. Dia
merasa kecewa sekali, akan tetapi dia
juga maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Kalau sampai pasukan
pemerintah menyerang Bu-tong-pai, tentu
saja dia tidak mungkin dapat melawan pasukan yang besar itu. Maka
diamdiam dia lalu lolos dari
Bu-tong-san, bersama anak buahnya yang setia dia lalu melarikan diri ke Rawa
Bangkai yang menjadi markas ke dua dari
komplotan ini. Seperti di ketahui, Kiam-mo Cai-li Liok Si yang menjadi
datuk kaum sesat itu telah ditaklukannya
dan telah menjadi sekutunya, dan tempat tinggal datuk wanita ini, Rawa
Bangkai, di kaki Pengunungan
Luliang-san, menjadi markas ke dua. Ketika menghadapi bahaya penangkapan dari
kota
raja, tentu saja Kwat Lin lalu
melarikan diri ke tempat yang merupakan daerah berbahaya dan rahasia itu.
Pelarian dari Bu-tong-pai ini diterima
dengan baik oleh Kiam-mo Cai-li Liok Si yang memperoleh kesempatan
menonjolkan jasanya. Segera Rawa Bangkai
dijaga dengan kuat sekali dan Liok Si menghibur The Kwat Lin atas
kegagalan muridnya. "Aku hanya
merasa kecewa sekali mengenangkan muridmuridku," kata The Kwat Lin dengan
suara
gemas. "Swi Nio telah
mengkhianatiku, lari dengan seorang mata-mata musuh entah dari mana dan
pengharapanku
tadinya tinggal kepada Swi Liang. Dia
sampai terbuka rahasianya dan tertangkap, hal itu katakanlah sebagai
suatu kegagalan yang menyedihkan. Akan
tetapi mengapa dia membocorkan rahasia Pangeran Tang Sin Ong sehingga
Pangeran itu pun dihukum mati. Dengan
matinya Pangeran Tang Sin Ong habislah harapan kita!" The Kwat Lin
menghela napas panjang dan mengepal
tinjunya dengan hati gemas. "Aihhh, seorang yang memiliki ilmu kepandaian
seperti Pangcu, mengapa mudah sekali
putus asa?" Liok Si mencela. "Hem, Cai-li, jangan kau menyebutku
Pangcu
lagi. Aku bukan lagi Ketua Bu-tong-pai
setelah kini menjadi pelarian pemerintah. Dan aku tidak membutuhkan
perkumpulan itu. Siapa yang tidak akan
putus asa? Citacita kita kandas setengah jalan. Betapapun tinggi
kepandaian kita, menghadapi pasukan
pemerintah yang puluhan laksa banyaknya, kita dapat berbuat apakah?"
Kiam-mo Cai-li tersenyum. Dia maklum
bahwa wanita yang amat lihai ini memiliki cita-cita yang besar sekali.
"The-pangcu.... eh, Lihiap,
seorang dengan kepandaian seperti engkau tentu dapat mencari kedudukan dengan
mudah
sekali." "Hemm, mana mungkin?
Pemerintah telah menganggapku sebagai pemberontak dan aku akan selalu menjadi
pelarian dan buruan pemerintah. Pula,
aku adalah seorang bekas ratu, oleh karena itu. Cita-citaku hanya satu,
ialah aku akan berusaha sekuat tenaga
agar puteraku memperoleh kedudukan yang sepadan dengan darah
keturunannya." Kiam-mo Cai-li
mengangguk-angguk. "Memang sepatutnya.... sepatutnya...., dan aku bersedia
membantumu asal kelak kau tidak akan
melupakan bantuanku." The Kwat Lin memegang tangan datuk wanita itu dan
memandang tajam. "Kiam-mo Cai-li,
kita bukan anak-anak kecil lagi, kita sama-sama wanita dan kita saling
mengetahui isi hati masing-masing.
Engkau sudah banyak menolongku, masihkah engkau menyangsikan bahwa aku
menganggapmu sebagai tangan dan kaki
sendiri dan kita akan senasib sependeritaan, bahkan sehidup semati?"
Kiam-mo Cai-li tersenyum dan
mengangguk. "Aku tahu bahwa engkau adalah seorang wanita yang selain
berilmu
tinggi, juga berkemauan keras dan
bercita-cita tinggi, The-lihiap. Kita tidak perlu putus asa dengan kegagalan
muridmu. Masih ada jalan lain yang
kurasa akan lebih menguntungkan kita." "Bagaimana?"
"Bersekutu dengan An Lu
Shan!" The Kwat Lin memandang
wajah Kiam-mo Cai-li dengan alis berkerut. Majikan Rawa Bangkai itu tersenyum
dan
diam-diam The Kwat Lin harus memuji
bahwa wanita yang usianya sudah lima puluh tahun itu kalau tersenyum
kelihatan masih muda dan masih cantik.
Kata-kata Kiam-mo Cai-li mengejutkan hatinya dan sekaligus menimbulkan
kecurigaannya. Sudah terang bahwa
mereka menjadi saingan An Lu Shan, bagaimana sekarang dapat bersekutu dengan
Panglima itu? Bahkan yang menyalakan
api pemberontakan dalam dada Pangeran Tang Sin Ong adalah karena merasa
iri hati kepada An Lu Shan yang disuka
oleh Laisar dan selalu dibela oleh Yang Kui Hui. Dan sekarang, sekutunya
ini mengusulkan untuk bersekutu dengan
An Lu Shan! "Cai-li, apa maksudmu?" tanyanya, suaranya membentak dan
matanya memandang tajam menyelidik.
"Aih, The-lihiap, aku tahu mengapa engkau terkejut. Akan tetapi bukankah
para cerdik pandai jaman dahulu pernah
berkata bahwa orang cerdik harus pandai memilih kawan?Demi tercapainya
cita-cita, kalau perlu kawan menjadi
lawan dan lawan berbalik menjadi kawan!" Berseri wajah The Kwat Lin dan
dia memandang kagum. "kau benar,
Cai-li. Kau benar dan cerdik sekali! Akan tetapi, mungkinkah dia mau?"
"Jangan
khawatir. Aku sudah lama mengenal baik
Panglima kasar itu. Di balik semua langkahnya menjilat Kaisar dan Yang
Kui Hui, dia bercita-cita merebut
kekuasaan Kaisar. Dan pada waktu ini dia amat membutuhkan bantuan orang-orang
pandai, tentu saja dia akan menerima
kita dengan tangan terbuka." The Kwat Lin berdebar-debar dan
menggosok-gosok pipinya yang berkulit
halus itu dengan tangannya, nampaknya ragu-ragu. "Akan tetapi, bagaimana
kita dapat mengadakan hubungan?"
"Aku akan menyuruh anak buahku, harap kau suka tulis surat untuk
disampaikan
kepada An Lu Shan. Sebaiknya begini
isinya." Wanita cerdik Kiam-mo Cai-li berunding dengan The Kwat Lin,
mengulurkan tangan kepada An Lu Shan
mengajak bersekutu melalui sehelai surat yang ditulis oleh tangan halus
The Kwat Lin. Dalam hal menggunakan
siasat, kiranya wanita lebih cerdik dari pada pria, dan hal ini dibuktikan
oleh The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li
Liok Si. Sebulan kemudian tampak lima orang muncul di tepi rawa yang sunyi
itu. Mereka ini terdiri dari empat orang
pria dan seorang wanita, kesemuanya kelihatan gagah perkasa dan
tangkas. Rawa ini amat luas, sunyi dan
terkenal berbahaya sekali. Kelihatannya tidak berbahaya, hanya merupakan
genangan air yang amat luas seperti
telaga besar, namun air itu tertutup oleh rumput dan bermacam tetumbuhan
kecil sehingga kadang-kadang tidak
nampak airnya. Bahkan seolah-olah tertutup oleh lapisan tanah tipis dan
inilah yang berbahaya sekali. Manusia maupun
binatang yang berani mendekati rawa dan salah injak, mengira bahwa
tanah berumput itu keras, akan
terperosok ke dalam air berlumpur yang mempunyai daya penyedot sehingga sekali
kaki terbenam, disedot ke bawah dan
sukar ditarik ke atas lagi. Air berlumpur itu dalam sekali dan karena amat
lembek, maka seolah-olah menyedot kaki,
padahal kaki orang atau binatang itu tenggelam terus secara
perlahan-lahan dan lupur itu memang
mempunyai daya lekat sehingga kaki seolah-olah disedot dan ditahan, sukar
untuk ditarik kembali ke atas. Selain
bahaya yang merupakan perangkap-perangkap maut dari alam ini, juga di
situ terdapat banyak ular dan binatang
berbisa lain yang bersembunyi di antara rumput-rumput dan tetumbuhan
lain. Jauh dari rawa, tampak
ditengah-tengah rawa itu sebuah pulau dan di situ terdapat bangunanbangunan
yang
tampak dari jauh. Namun, tidak ada
orang dari luar rawa yang berani mencoba untuk mendekati pulau ini, karena
selain jalan menuju ke situ harus
menyeberangi rawa maut itu, juga telah terkenal bahwa bangunan-bangunan itu
adalah sarang dari iblis betina yang
ditakuti semua orang, yaitu Kiam-mo cai-li. Karena seringkali terdapat
bangkai-bangkai binatang-binatang yang
terperosok ke dalam perangkap alam sekitar rawa, juga bahkan
kadang-kadang tampak mayat
mausia-manusia yang sampai membusuk dimakan lumpur, maka terkenallah rawa itu
dengan
sebutan Rawa Bangkai! Karena
Kiam-mo-Cai-li yang cerdik itu melarang para anak buahnya untuk mengganggu
rakyat
di sekitar tempat itu, maka tidak akan
ada alasan bagi alat pemerintah untuk memusuhinya, pula pembesar
setempat merasa ngeri untuk menentang
iblis betina itu. Dengan demikian, datuk kaum sesat ini hidup aman dan
teteram di kaki Pegunungan Lu-liang-san
itu, tempat ini menjadi tempat pesembunyian yang baik sekali bagi The
Kwat Lin dan anak buahnya. Kita kembali
kepada lima orang yang pada hari itu berada di tepi rawa. Tiga orang di
antara mereka laki-laki tua berusia
antara lima puluh sampai enam puluh tahun. Seorang lagi adalah laki-laki
berusia tiga puluh tahun, berwajah
tampan gagah dan bertubuh tegap, sedangkan wanita itu masih muda, seorang
gadis berusia paling banyak enam belas
tahun, tubuhnya langsing dan wajahnya manis namun sepasang matanya
mengandung sinar keras. Wanita itu
bukan lain adalah Bu Swi Nio dan laki-laki muda tampan gagah itu adalah
penolongnya ketika dia hendak membunuh
diri setelah malam itu dia diperkosa oleh Pangeran Tang Sin Ong!
Bagaimana dia sekarang bersama
laki-laki dan tiga orang kakek dapat berada di tepi Rawa Bangkai? Malam itu,
setelah diperkosa oleh Pangeran Tang
Sin Ong dalam keadaan mabok dan tidak sadar, Swi Nio hendak membunuh diri
dengan pedang, akan tetapi dia dicegah
oleh laki-laki yang ternyata adalah seorang mata-mata dari An Lu Shan.
Dia dapat diingatkan oleh laki-laki itu
bahwa membunuh diri bukanlah jalan terbaik untuk membalas sakit hati,
maka Swi Nio lalu ikut dengan orang itu
dan menjadi petunjuk jalan sehingga mata-mata itu berhasil
menyelamatkan diri bersama Swi Nio,
keluar dari tembok Bu-tong-pai. Kedua orang ini tanpa bicara melarikan diri
terus dengan cepatnya sampai matahari
naik tinggi dan mereka tiba di kaki Pegunungan Bu-tong-san, barulah
mereka berhenti mengaso di dalam sebuah
hutan lebat. Begitu duduk di bawah pohon melepaskan lelah, Swi Nio
teringat akan nasib yang menimpa
dirinya, maka serta merta dia menangis mengguguk. Laki-laki itu memandang ke
arahnya dan menghela napas panjang,
mengepal tinju dan hanya mendiamkannya saja karena pengalamannya membuat
dia mengerti bahwa dalam keadaan
berduka seperti itu, tidak ada obat yang lebih baik bagi gadis itu kecuali
tangis dan air mata yang bercucuran.
Setelah agak mereda tangis Swi Nio, dia berkata, "Nona, seperti kukatakan
pagi tadi, tidak perlulah hal yang
telah terjadi dan yang telah lalu ditangisi dan disedihkan. Yang penting,
kita melihat ke depan. Jalan hidup
masih lebar dan terbentang luas di depan kita. Mengubur diri dengan kedukaan
saja tidak ada artinya dan pula hanya
akan melemahkan semangat kita yang perlu kita pupuk untuk dapat membalas
kepada orang-orang yang telah merusak
hidup kita." Kata-kata yang dikeluarkan dengan suara gagah ini membuat
Swi Nio mengangkat mukanya yang pucat
dan basah, memandang. Mereka berdua saling pandang sejenak, kduanya baru
melihat nyata akan wajah masing-masing.
Wajah pria itu menimbulkan kepercayaan di hati Swi Nio sedangkan wajah
gadis itu membuat jantung laki-laki itu
berdebar dan tertarik. "Kau siapakah?" Akhirnya Swi Nio bertanya.
"Sudah kukatakan kepadamu, aku
adalah seorang mata-mata, seorang kepercayaan Jenderal An Lu Shan. Namaku Liem
Toan Kie. Dalam penyelidikanku di
Bu-tong-pai, aku telah mengenal namamu, Nona. Engkau adalah Nona Bu Swi Nio,
bersama kakakmu Bu Swi Liang engkau
adalah murid dari Ketua Butong- pai yang baru. Aku pun telah mengetahui
akan nasibmu semalam...."
"Ahhh....! Si Jahanam Tang Sin Ong....!" Engkau benar! Aku tidak
perlu berputus asa,
aku tidak perlu mengubur diri dalam
kedukaan, aku harus berusaha untuk membalas semua penghinaan ini. Akan
kubunuh Si Jahanam Tang Sin Ong!"
Gadis itu mengepal kedua tangannya dengan penuh kemarahan. "Nah, itu baru
gagah dan bersemangat! Akan tetapi,
tidak semudah itu membunuh seorang Pangeran apalagi dia sahabat baik Gurumu
yang amat lihai. Jalan satu-satunya,
marilah ikut aku, mengabdi kepada Jenderal An Lu Shan. Hanya itulah
jalannya sehingga kelak engkau akan
dapat membalas dendam." "Kau.... kau seorang prajurit bawahan
Jenderal
itu?" Toan Ki menggelengkan
kepalanya. "Bukan, aku bukan perajurit, aku seorang luar yang telah
menggabungkan
diri dengan An-goanswe dan mendapatkan
kepercayaannya untuk menyelidiki Bu-tongpai. Aku disuruh menyelidiki
rencana apa yang diadakan oleh Pangeran
Tang Sin Ong dan Bu-tong-pai. An-goanswe adalah seorang yang amat
cerdik. Dia biarkan pemberontakan lain
agar kedudukan Kaisar makin lemah, namun dia harus tahu segala
gerak-gerik musuh, baik gerak-gerik
Kaisar maupun pemberontak lain. Sekarang aku tahu bahwa rencana mereka
adalah melemahkan Kaisar melalui Yang
Kui Hui, dan sekarang aku akan kembali dan melaporkan hasil
penyelidikanku kepada An-goanswe. kau
ikutlah, akan kuperkenalkan dan engkau tentu akan diterima, karena engkau
memiliki kepandaian yang lumayan di
samping dendammu kepada Tang Sin Ong." "Aku.... aku tidak suka
menjadi
pemberontak." "Hemm,apakah
kaukira aku suka menjadi pemberontak,Nona? tidak,aku membantu An Lu Shan bukan
karena aku suka menjadi pemberontak,
melainkan karena aku pun sakit hati terhadap pemerintah." "Eh?"
Swi Nio
tertarik dan memandang wajah yang gagah
itu."mengapa?" "Hampir sama nasib kita, Nona, hanya bedanya
jalannya
saja. ketahuilah, dahulu aku adalah
seorang tokoh Hoa San-Pai yang tentu saja tak mau mencampuri urusan politik
dan pemberontakan, bahkan condong untuk
setia kepada pemerintahan, akan tetapi pada suatu hari terjadilah hal
yang amat hebat... yang merubah seluruh
jalan hidupku..." Swi Nio teringat akan nasibnya sendiri. dia mendekat
lalu berkata, "Liem-twako,
kauceritakanlah!" Sejenak mereka berpandangan, lalu Toan Ki menceritakan
riwayatnya
secara singkat. Dia tinggal di kota
Ma-Kiubun, sebuah kota yang cukup ramai di tepi sungai Huangho. dia hidup
tenang dan bahagia dengan isterinya
yang baru dinikahinya selama tiga bulan. Dengan membuka toko obat dan
mengajar ilmu silat, dia hidup lumayan.
Namun isterinya merasa kecewa setelah tiga bulan menikah, belum juga
ada tanda-tanda mengandung, maka dia
mengijinkan isterinya untuk bersembahyang ke kelenteng untuk minta berkah
agar isterinya dapat memperoleh
keturunan secepatnya. "Akan tetapi mujur tak dapat diraih, malang tak
dapat
ditolak. Menjelang senja, setelah pergi
sejak pagi, barulah isterinya pulang dan turun dari joli dalam keadaan
payah, mukanya pucat dan basah air
mata. Sambil menangis sesenggukan isterinya lari ke dalam rumah, menjatuhkan
diri dan berlutut di depan kakinya
sambil menceritakan bahwa ketika tadi bersembahyang di kelenteng, kebetulan
di kelenteng itu terdapat putera
bangsawan Lui yang bermain catur dengan para hwesio. Melihat dia, putera
bangsawan menyeretnya ke dalam kamar di
kelenteng dan memperkosanya! Setelah mengucapkan pengakuan yang hebat
itu, isterinya lari ke dalam kamar
sambil menangis sesenggukan. hati Toan Ki terasa tidak enak. Tadi dia
termangu-mangu seperti patung saking
marah dan dukanya mendengar penuturan isterinya sehingga dia agak lalai
membiarkan isterinya lari. Cepat dia
mengejar dan melihat pintu kamar isterinya dipalang dari dalam, ia
menendang pecah daun pintu! Dia berdiri
pucat dan terbelalak. Apa yang dilihatnya? "Isteriku telah rebah mandi
darah di lantai! Pedangku ia pergunakan
untuk membunuh diri, menusuk dadanya hampir tembus!" Dia mengakhiri
ceritanya sambil menutupkan kedua tangan
di depan mukanya. "Ohhh....!!" Swi Nio menjadi pucat sekali dan dia
menyentuh lengan Toan Ki dengan penuh
perasaan terharu. "Putera bangsawan dan hwesio-hwesio keparat itu harus
dihukum! Dan aku akan membantumu,
Liem-twako!" Toan Ki menurunkan tangannya, memegang tangan Swi Nio dengan
erat. Mereka saling berpegangan dan
saling menggenggam tangan. "Kita senasib, Nona. Karenanya ada kecocokan di
antara kita dan karenanya aku menolongmu
pagi tadi. Akan tetapi, bicara soal bantu-membantu, akulah yang akan
membantumu kelak kalau saatnya tiba
untuk membalaskan sakit hatimu. Sedangkan sakit hatiku sendiri sudah
kubalas impas dan lunas. Pemuda
bangsawan keparat itu telah kubunuh bersama semua hwesio kelenteng itu! Karena
itu aku menjadi buronan dan aku
terpaksa lari kepada Jenderal An Lu Shan yang segera menerimaku karena dia
membutuhkan bantuan kepandaianku."
"Ahhh, engkau baik sekali, Twako. Dan engkau bernasib buruk sekali seperti
aku. Aku merasa beruntung dapat bertemu
dan dapat bersahabat denganmu. Baiklah aku akan ikut bersamamu
menghadap Jenderal An Lu Shan."
Demikianlah, Swi Nio ikut bersama Toan Ki dan benar saja seperti dikatakan
laki-laki gagah itu, dia diterima
dengan baik di dalam rombongan orang-orang gagah bukan perajurit yang menjadi
pembantupembantu An Lu Shan.
Persahabatannya dengan Liem Toan Ki menjadi makin akrab dan bahkan tumbuh
benih-benih cinta kasih di antara kedua
orang yang sama nasibnya ini, Liem Toan Ki kehilangan isterinya yang
dikawininya baru tiga bulan lamanya,
sedangkan Swi Nio kehilangan keperawanannya karena diperkosa oleh seorang
pangeran. Akhirnya keduanya bersepakat
untuk mengikat perjodohan, namun Swi Nio mengatakan bahwa dia baru mau
melangsungkan pernikahan secara resmi
apabila sakit hatinya telah terbalas semua! Maka kedua orang ini hidup
sebagai dua orang tunangan yang saling
mencinta, apalagi karena perjodohan mereka itu direstui oleh An Lu Shan
yang pandai mengambil hati orang-orang
yang memiliki ilmu kepandaian yang amat dibutuhkan bantuannya. Pada
suatu hari An Lu Shan memanggil Liem
Toan Ki dan Bu Swi Nio, bersama tiga orang tokoh lain yang merupakan
orang-orang berkepandaian tinggi di
antara para pembantu An Lu Shan. Yang seorang bernama Tan Goan Kok, seorang
kakek tinggi besar yang yang terkenal
di utara sebagai seorang ahli gwakang yang hebat. Kabarnya, Tan Goan Kok
ini biarpun usianya sudah lima puluh
tahun lebih, dapat menggunakan kekuatan otot tubuhnya untuk mengangkat
seekor kerbau bunting Di samping
tenaganya yang besar, juga dia memiliki ilmu silat toya yang sukar dicari
bandingannya. Kakek kedua adalah
pat-jiu Mokai (Pengemis Iblis Tangan Delapan), seorang kakek yang berusia enam
puluh tahun, pakaiannya penuh tambalan
biarpun bersih dan baru, selalu memegang sebatang tongkat butut dan
siapa pun, bahkan An Lu Shan sendiri,
menyebutnya Pangcu (Ketua) padahal kakek jembel ini hanyalah seorang
ketua yang tidak mempunyai anak buah!
Pat-jiu Mo-kai tidak memimpin suatu perkumpulan pengemis namun nama
besarnya sedemikian terkenal sehingga
setiap orang pengemis di manapun juga akan selalu menyebutnya Pangcu!
Sampai ketua para perkumpulan pengemis
juga menyebutnya Pangcu! Ilmu tongkatnya amat tinggi dan kabarnya belum
pernah kakek ini dikalahkan lawan
selama dalam perantauannya sampai akhirnya dia dapat dibujuk membantu An Lu
Shan. Orang ke tiga, berusia lima puluh
tahun lebih, berpakaian tosu dan memang dia seorang penganut Agama To,
seorang kakek perantau yang disebut
Siok Tojin. Berbeda dengan kedua orang kakek pertama, Siok Tojin orangnya
pendiam, tidak terkenal, namun ilmu
pedangnya amat hebat sehingga ketika dia diuji, ilmu pedangnya itu bahkan
mampu menandingi tongkat Pat-jiu
Mo-kai! Setelah Liem Toan Ki, Bu Swi Nio, dan tiga orang kakek itu menghadap
An Lu Shan yang memanggilnya, Jenderal
pemberontak ini lalu menceritakan akan surat dari The Kwat Lin bekas
ketua Bu-tong-pai yang mengajak
kerjasama dalam menentang Kaisar. "Aku sengaja mengutus Ngo-wi (kalian Berlima)
untuk menjajaki hati wanita berilmu
tinggi apakah benarbenar dia hendak bersekutu. Bu Swi Nio adalah muridnya,
maka aku mengutusnya untuk mengukur
hati gurunya. Kalau dia benar-benar hendak bersekutu, tentu dia tidak akan
marah kepada muridnya yang telah
melarikan diri dan menjadi pembantuku. kau menemani dan menjaga tunanganmu,
Toan Ki. Dan Pangcu bersama dua orang
Lo-enghiong hendaknya menguji kepandaian mereka yang hendak bersekutu, di
samping melindungi mereka berdua ini
kalau-kalau terancam bahaya." Demikianlah maka pada pagi hari itu, lima
orang kaki tangan An Lu Shan ini telah
berada di tepi Rawa Bangkai. Mereka memandang ke arah pulau di
tengah-tengah rawa yang tampak dari
tempat itu dalam jarak yang cukup jauh dan mereka memandang permukaan rawa
dengan wajah membayangkan kengerian.
Sudah banyak mereka mendengar akan bahayanya melintasi rawa itu. "Saya
hanya baru satu kali mengunjungi tempat
ini bersama Subo," terdengar Swi Nio menerangkan ketika dia ditanya
oleh teman-temannya, "dan ketika
itu kami mengikuti Kiam-mo Cai-li yang membawa kami berlompatan dari tempat
ini ke pulau itu. Setiap lompatanya
membawanya ke tanah keras dan aman, akan tetapi tentu saja aku tidak bisa
mengingat lagi karena dia
melompat-lompat ke tanah kiri, kadang-kadang membalik lagi." "Hemmm,
tentu merupakan
jalan rahasia yang sukar diketahui
orang luar," kata Pat-jiu Mo-kai sambil meraba-raba dagunya yang berjenggot
panjang. "Dan menurut Kiam-mo
Cai-li, katanya meleset sedikit saja merupakan bahaya maut karena di sepanjang
jalan penuh dengan jebakan alam.
Kadang-kadang dia membawa kami meloncat ke bagian yang ada airnya, sampai saya
merasa ngeri, akan tetapi ternyata bagian itu
airnya hanya semata kaki, sedangkan tanah yang kelihatan kering
di dekatnya, menurut keterangannya,
bahkan merupakan tempat berbahaya sekali. Ketika pulang ke Bu-tong-san,
Subo sendiri mengatakan bahwa dia tidak
akan berani lancang menempuh jalan ini sendirian saja karena dia pun
tidak dapat mengingat kembali jalan
berliku-liku itu." "Bagaimana kalau kita menggunakan tali yang
panjang?
Biar kau tidak hafal jalan itu, setidaknya
kau pernah melaluinya dan dapat kau mencarinya, Moi-moi. Kita
berempat mengikuti dari belakang,
menggunakan tali yang ditalikan di pinggangmu sehingga andaikata kau salah
jalan dan masuk perangkap, kita dapat
menolongmu dengan menarik tali itu," kata Liem Toan Ki kepada kekasihnya.
"Begitupun boleh, akan kucoba
mengingat-ingat, akan tetapi harus kau sendiri yang memegang ujung tali, Koko,
karena aku ngeri!" "Ah, aku
tidak setuju! Usul itu tidak tepat, Liem Sicu!" Tiba-tiba Tan Goan Kok
berkata
dengan suaranya yang parau dan nyaring.
"Akan tetapi aku tidak takut, Tan-lo-enghiong!" Swi Nio membantah.
"Pula, kalau Liem-koko yang
memegang ujung talinya, aku tidak takut apa-apa lagi. Andaikata aku terjeblos,
tentu akan dapat cepat ditariknya naik
lagi." "Bukan tidak setuju karena takut, melainkan karena kalau hal
itu
diketahui mereka, tentu akan menjadi
bahan ejekan. Perlu apa kita harus mencari-cari jalan rahasia yang
disembunyikan orang? Kita harus mencari
jalan masuk yang lebih gagah, tidak mencuri-curi seperti segerombolan
maling." Bu Swi Nio mengerti dan
membenarkan pendapat ini. Mereka berlima lalu duduk di tepi rawa sambil
mengerutkan alis, mencari akal bagaimana
mereka akan dapat mengunjungi pulau di tengah rawa itu sebagai
tamu-tamu yang datang secara gagah.
Karena kalau usul Liem Toan Ki dan Swi Nio tadi dilanjutkan, dan sampai
terjadi Swi Nio terjebak ke dalam
perangkap alam, tentu hal ini akan membuat mereka memandang rendah saja. Akan
tetapi, betapapun banyak pengalaman
mereka dan betapapun tinggi ilmu kepandaian mereka, belum pernah mereka
menghadapi kesukaran seperti sekarang
ini. Akhirnya Siok Tojin yang sejak tadi tidak ikut bicara, mengeluarkan
suara mengomel, kemudian berkata,
"Dapat! Aku teringat akan orang-orang Mongol yang menggunakan akal mencari
ikan di rawa-rawa seperti ini!"
Empat orang kawanannya memandang ke arah tosu ini dengan wajah gembira dan
penuh harapan. "Lekas katakan,
Totiang, bagaimanakah akal itu?" Tan Goan Kok bertanya. "Mereka
menggunakan
bambu-bambu sebagai perahu."
"ahh, mana mungkin? Menggunakan perahu menyeberangi rawa ini? Tentu akan
mogok di
tengah jalan kalau bertemu dengan air
yang tertutup tanah dan rumput," bantah Pat-jiu Mo-kai sambil memandang
ke rawa dengan alis berkerut.
"Kita jangan meniru mereka yang membuat rakit dari bambu. Kita
masing-masing
menggunakan sebatang bambu saja,
ujungnya dibikin runcing," kata Siok Tojin singkat, akan tetapi teman
temannya
sudah dapat menangkap maksudnya.
"Bagus sekali! Tentu kita berhasil! Dengan bambu runcing, kita dapat
meluncur
melalui apa saja!" Tan Goan Kok
berteriak girang. "Hemm, kusangka tidak semudah itu. Kita harus hati-hati,
benar-benar mengerahkan ginkang dan
sinkang, kalau sampai tergelincir tentu kita celaka dan akan makin menjadi
bahaya tertawan lagi. Betapapun juga,
akal itu baik sekali. Mari kita mencari bambu dan membuat dayung," kata
Pat-jiu Mo-kai yang bersama Siok Tojin
dianggap orang tertua dan tertinggi ilmunya. Tak lama kemudian,
tampaklah lima orang itu meluncur di
atas Rawa Bangkai yang terkenal sukar dilalui orang itu. Dilihat dari
jauh, seolah-olah lima orang itu
terbang meluncur di atas air rawa! Akan tetapi kalau orang melihat dari dekat
barulah tampak bahwa kaki mereka
menginjak sebatang bambu besar yang kedua ujungnya telah diperuncing dan
mereka menggunakan dayung kayu untuk
mendorong bambu yang mereka injak itu meluncur ke tengah. Orang yang tidak
memiliki ginkang dan sinkang jangan
mencoba-coba untuk menyebrang menggunakan cara seperti ini. Bambu sebatang
yang diinjak kaki itu tentu saja amat
berbahaya, selain licin juga dapat berputar sehingga kaki dapat
terpeleset. Namun, dengan kekuatan
sinkang, telapak kaki mereka seolah olah melekat pada batang bambu itu tidak
dapat berputar, dan dengan ginkang
mereka lima orang lihai kepercayaan An Lu Shan itu dapat memperingan tubuh
mereka dan bambu yang mereka injak itu
meluncur cepat ke tengah rawa. Mereka adalah orang-orang yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi. Yang paling
rendah tingkatannya di antara mereka adalah Bu Swi Nio, padahal wanita ini
sudah amat lihai karena semenjak kecil
dia telah digembleng pula oleh wanita sakti The Kwat Lin, ratu dari
Pulau Es! Diam-diam, dari tempat
persembunyian mereka, banyak pasang mata mengintai dan memandang dengan kagum
ketika lima orang itu meluncur datang
ke arah pulau di tengah Rawa Bangkai. Melihat lima orang itu menggunakan
sebatang bambu yang diinjak, melihat
mereka itu menggunakan kepandaian membunuh ular dan binatang berbisa lain
yang menghadang di tengah perjalanan
itu, orang-orang Rawa Bangkai menjadi kagum dan segera melaporkan kepada
Kiam-mo Cai-li dan The Kwat Lin akan
kedatangan lima orang itu. Kedua orang wanita sakti ini segera berunding
sambil menanti kedatangan mereka.
Melihat bahwa Bu Swi Nio berada di antara mereka, The Kwat Lin menjadi marah
sekali. "Keparat," desisnya
marah. "Murid itu mengantarkan nyawanya ke sini!" "Ahhh,
The-lihiap, mengapa marah?
Harap diingat bahwa dia bukanlah
muridmu yang dahulu, melainkan seorang pembantu An Lu Shan yang dipercaya.
Karena itu, untuk memulai dengan
hubungan persekutuan, amatlah tidak baik memusuhi utusan An Lu Shan," kata
Kiam-mo Cai-li. The Kwat Lin tercengang
dan teringat akan cita-citanya. Memang benar, urusan pribadi harus
dikesampingkan kalau dia ingin agar
cita-citanya yang amat tinggi untuk putranya itu akan dapat terlaksana.
Maka dia lalu mengajak Kiam-mo Cai-li
berunding bagaimana untuk menghadapi lima orang itu, utusan-utusan An Lu
Shan dimana termasuk bekas muridnya
itu. Kiam-mo Cai-li yang amat cerdik lalu memberi nasihat-nasihat sehingga
keduanya dapat mengatur siasat. Biarpun
penyeberangan itu amat sukar dan mereka berlima harus membunuh banyak
ular berbisa, saling bantu membantu
ketika batang bambu mereka itu menemui banyak halangan, akhirnya lima orang
itu berhasil juga melompat ke atas
pulau dimana telah berdiri serombongan orang yang ditugaskan menyambut
mereka. Melihat dua puluh lebih orang
yang berdiri seperti pasukan menyambut mereka, Pat-jiu Mo-kai segera
tertawa bergelak dan berkata,
"Ha-ha-ha, sungguh bagus sekali penyambutan Rawa Bangkai terhadap utusan
dari An
Goan-swe!" Seorang di antara
anggauta pasukan itu, yang berjenggot panjang dan bermata sipit, melangkah maju
dan memberi hormat. "Selamat
datang di Rawa Bangkai! Karena kami tidak tahu bahwa Cuwi yang terhormat datang
berkunjung maka kami tidak mengadakan
penyambutan di luar rawa. Akan tetapi Cuwi telah memperlihatkan kegagahan
yang membuat kami tunduk dan kagum.
Sekarang, silahkan Cuwi semua ikut dengan kami menghadap Hong-houw
(Ratu)."
Diam-diam lima orang itu terkejut juga
sungguhpun mereka tahu siapa yang dimaksudkan dengan sebutan ratu itu.
Benar-benar bekas ketua Bu-tong-pai
adalah seorang wanita yang angkuh dan hendak menerima mereka sebagai
seorang ratu! Akan tetapi karena mereka
berada di sarang yang berbahaya, mereka tidak banyak cakap melainkan
mengikuti pasukan itu menuju ke tengah
pulau dimana terdapat bangunan- bangunan yang kuat dan cukup indah. Lima
orang utusan An Lu Shan itu diterima
oleh The Kwat Lin, Kiam-mo Cai-li Liok Shi, dan Han Bu Ong putra The Kwat
Lin, di dalam sebuah ruangan yang luas.
Agak pucat muka Swi Nio dan otomatis dia menyentuh tangan Liem Toan Ki
yang membalas dengan genggaman seolah
olah hendak menghibur kegelisahan calon istrinya itu. Tentu saja Swi Nio
merasa takut karena dia sudah mengenal
watak subonya yang keras dan kejam, juga maklum betapa lihainya subonya
itu. Dia tahu bahwa andai kata subonya
berniat buruk, mereka berlima tentu akan tewas semua di tempat itu.
"Ibu, itu Swi-suci yang telah
minggat datang kembali!" tiba tiba Han Bu Ong berkata sambil menudingkan
telunjuknya ke muka Swi Nio. Swi Nio
tidak dapat berdiam diri lebih lama lagi, dan dia maju menjatuhkan diri
berlutut sambil berkata, "Subo,
teecu harap subo sudi mengampunkan teecu." The Kwat Lin memandang tajam
sejenak
lalu menghela napas dan menggerakkan
tangannya. Dia cukup bermata tajam untuk dapat melihat betapa empat orang
laki laki yang datang bersama Swi Nio
itu bersikap siap siaga dan kalau dia menurutkan hati panas turun tangan
mengganggu muridnya itu, tentu empat
orang utusan An Lu Shan itu akan membela Swi Nio mati matian. Hal ini sama
sekali tidak diharapkannya dan sudah
dibicarakannya tadi bersama Kiam-mo Cai-li, maka dia menekan perasaannya
dan berkata,"Bangkitlah, engkau
pergi dan menjadi kepercayaan An Goanswe, tidak terlalu mengecewakan."
Lega
bukan main hati Swi Nio dan dia bangkit
berdiri lalu berkata kepada Bu Ong, "Sute engkau baik baik saja,
bukan?" An Bu Ong yang biarpun
masih kecil namun sikapnya sudah seperti orang dewasa itu mencibirkan bibirnya,
mendengus seperti orang mengejek, lalu
berkata, "Suci, baik sekali engkau, ya? Suheng dibunuh orang, dan ibu
sampai lari ke sini, akan tetapi engkau
malah minggat dan enak enak saja!" "Bu Ong, diamlah engkau!" The
Kwat
Lin berkata, lalu melanjutkan kepada
Swi Nio, "Swi Nio, tahukah engkau bahwa kakakmu telah tewas?" Swi Nio
mengangguk dan air matanya bercucuran
dan segera diusapnya. "Teecu sudah mendengar akan hal itu, Subo."
"Kalau
begitu kita sama-sama mendendam kepada
pemerintah. Kita lupakan saja semua urusan lama, Swi Nio, dan baik
sekali kalau kita dapat bekerja sama.
Agaknya engkau kini sudah dipercaya menjadi utusan An Goanswe, ya?" Swi
Nio cepat menjawab dan memperkenalkan
teman-temannya. "Teecu hanya menjadi pembantu dan penunjuk jalan saja
bersama....dia ini...." Swi Nio
menunjuk kepada Liem Toan Ki dan mukanya menjadi merah. "Siapa dia?"
The Kwat
Lin memandang tajam kepada Liem Toan Ki
yang cepat maju menjura dengan hormat. "Maafkan, Pangcu...."
"Aku bukan
Ketua Bu-tong-pai lagi, aku adalah
bekas Ratu Pulau Es!"jawab Kwat Lin ketus. "Maaf, saya bernama Liem
Toan Ki
dan Bu-moi adalah calon istri
saya." "Ibu, dia ini yang pernah menyerbu Bu-tong-pai dan dialah
tentunya yang
membawa minggat Suci!" tibatiba Bu
Ong berkata. Toan Ki diam-diam memuji kecerdikan anak laki-laki itu dan dia
terkejut sekali. "Benar demikian,
saya yang dahulu menjadi petugas An Goanswe menyelidiki Bu-tong-pai dan
kemudian mengajak pergi Bu-moi yang
sekarang menjadi calon istri saya." The Kwat Lin mengerutkan alisnya.
Laki-laki ini sebenarnya telah
menghinanya sebagai bekas Ketua Bu-tong-pai dan sebagai guru Swi Nio, akan
tetapi diam-diam dia menerima isyarat
mata Kiam-mo Cai-li, maka dia menoleh kepada Swi Nio sambil bertanya,
"Benarkah kau menjadi calon
isterinya?" Muka Swi Nio menjadi merah sekali. "Benar, Subo. Kami
saling mencinta,
akan tetapi teecu dan dia berjanji
hanya akan melangsungkan pernikahan setelah dendam saya terbalas, yaitu
setelah kerajaan sekarang jatuh dan
dikuasai An Goanswe." "Hemm, sudahlah. Kalau kau dan calon suamimu
ini
hanya membantu, siapa yang menjadi
utusan An Goanswe menghadap padaku?" "Mereka inilah," Swi Nio
menunjuk
kepada tiga orang teman-temannya. Dia
adalah Pat-jiu Mo-kai, dan Totiang ini adalah Siok Tojin, Lo-enghiongitu
adalah Tan Goan Kok. Mereka bertiga
yang menjadi utusan An Goanswe. The Kwat Lin memandang tajam kepada tiga
orang itu seolah-olah hendak menimbang
bobot mereka dengan matanya. Pat-jiu Mo-kai yang tertua dan dianggap
pemimpin rombongan apalagi karena dia
yang pandai bicara dibandingkan Tan Goan Kok yang kasar dan jujur,
apalagi dengan Siok Tojin yang jarang
sekali membuka mulut, segera tertawa. "Ha-ha-ha, kami bertiga pun
hanyalah pembantu-pembantu rendahan
saja dari An Goanswe, akan tetapi kami menerima kehormatan untuk menjadi
utusan Beliau menghadap Toannio The
Kwat Lin yang namanya terkenal sebagai Ratu Pulau Es dan Ketua Bu-tong-pai,
juga menghadap Kiam-mo Cai-li yang juga
amat terkenal di dunia Kang-ouw sebagai seorang wanita yang amat lihai
dan cerdas sekali. Kami merasa amat
terhormat dapat menjadi tamu-tamu di Rawa Bangkai ini." Kiam-mo Cai-li
Liok
Si yang memang amat cerdas, kini
mendahului Kwat Lin dan berkata, "Tidak tahu apakah kedatangan Cuwi ada
hubungannya dengan pesan kami kepada An
Goanswe" "Dugaan Cai-li benar sekali. Kami berlima adalah utusan An
Goanswe untuk menghadap Jiwi dan untuk
bicara dengan Jiwi. An Goanswe telah menerima pesan Jiwi dan sebagai
jawaban An Goanswe mengutus kami untuk
bicara." "Lalu bagaimana keputusan An Goanswe tentang ajakan kami
untuk
bekerja sama?" The Kwat Lin
bertanya. "An Goanswe merasa amat senang menerima surat Jiwi dan tentu
saja An
Goanswe menerima dengan kedua tangan
terbuka uluran kerja sama Jiwi itu. Sudah lama An Goanswe merasa kagum,
terutama sekali melihat siasat gemilang
yang berhasil baik sehingga Jiwi sekalian dapat menyelundupkan orang
menjadi kepercayaan Yang Kui Hui. Hanya
sayang, pada saat terakhir siasat gemilang itu mengalami kegagalan
karena orang kepercayaan Jiwi tidak
dapat menahan nafsu berahinya. Kami diutus oleh An Goanswe untuk
menyampaikan pesan bahwa jika Jiwi suka
membantu dari dalam, yaitu berusaha menanam tenaga-tenaga bantuan di
dalam kota raja dan kalau mungkin di
dalam istana agar kelak memudahkan penyerbuan ke kota raja apabila saatnya
yang tepat tiba, maka An Goanswe akan
berterima kasih sekali." Mendengar pesan An Lu Shan yang di sampaikan
oleh Pat-jiu Mo-kai ini, hati kedua
orang wanita itu menjadi girang sekali sungguhpun kegirangan itu tidak
terbaca di wajah mereka. "Kami yang
tidak mempunyai pasukan besar memang tahu diri dan tentu saja hanya akan
membantu dari dalam seperti yang
diusulkan An Goanswe. Kami dapat menerima usul itu dan sebaiknya kita
rencanakan siasat-siasatnya
bersama." The Kwat Lin berkata. "Sebelum kita berunding dan mengatur
siasat agar
dapat kami sampaikan kepada An Goanswe
terlebih dahulu kami harus menyampaikan semua pesan Beliau untuk Jiwi.
Selain usul itu juga An goanswe
mengatakan bahwa pekerjaan membantu dari dalam itu merupakan pekerjaan yang
amat rumit, sulit, dan berbahaya.
Hanyalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi saja yang
akan dapat berhasil dan An Goanswe
ingin memperoleh keyakinan bahwa para pembantunya tidak akan gagal."
Mendengar kata-kata kakek berpakaian
tambalan itu, merahlah wajah The Kwat Lin dan hatinya menjadi panas.
"Hemm, ucapanmu itu berarti bahwa
kalian hendak menguji kepandaian kami?" Sambil tertawa Kiam-mo Cai-li yang
melihat kemarahan kawannya itu bangkit
berdiri dan meloncat ke tengah ruangan yang luas itu sambil berkata,
"Memang sudah seharusnya demikian!
An Goanswe adalah seorang Jenderal besar yang cerdik pandai, tentu akan
menguji setiap orang sekutu atau
pembantunya. Nah, biarlah aku yang lebih dulu memperlihatkan kepandaian.
Siapakah di antara Cuwi berlima yang
hendak menguji?" Dengan lagak memandang rendah Kiam-mo Cai-li berdiri dan
memandang ke arah lima orang utusan
itu. Tentu saja Bu Swi Nio tidak berani bergerak, juga Liem Toan Ki yang
sudah maklum akan kehebatan ilmu
kepandaian wanita Majikan Rawa Bangkai itu mengerti bahwa dia bukanlah
tandingannya. Melihat wanita yang usianya
lima puluh tahun itu masih cantik menarik dan memegang sebatang
payung, berdiri dengan sikap memandang
rendah, Siok Tojin yang sejak tadi diam saja sudah bangkit. Ilmu
kepandaian tosu ini amat tinggi
terutama ilmu pedangnya, dan di dalam rombongan itu dia merupakan orang ke dua
yang terpandai. "Biarlah pinto
yang akan menguji," katanya. Pat-jiu Mo-kai mengangguk. Memang yang akan
menjadi
tukang menguji kepandaian dua orang
wanita itu adalah mereka bertiga, dan dia mendengar bahwa kepandaian bekas
Ratu Pulau Es itu lebih hebat daripada
kepandaian Kiam-mo Cai-li, maka memang sebaiknya kalau Siok Tojin yang
menghadapi Kiam-mo Cai-li sedangkan dia
nanti yang akan menghadapi The Kwat Lin. Kiam-mo Cai-li memandang tosu
itu penuh perhatian, kemudian sambil
tersenyum dia berkata, "Kalau aku hanya mampu menandingi Siok Tojin,
agaknya belumlah patut aku menjadi
tangan kanan Ratu Pulau Es dan akan menjadi kepercayaan An Goanswe, akan
tetapi hendak kuperlihatkan bahwa aku
akan dapat mengalahkan totiang dalam sepuluh jurus. kalau sampai dalam
sepuluh jurus aku tidak mampu
mengalahkan Totiang, anggap saja aku tidak becus dan aku akan mengundurkan
diri!"
Ucapan ini mengejutkan semua utusan
itu. Biarpun mereka sudah lama mendengar nama besar datuk wanita yang
merupakan iblis betina ini, namun Siok
Tojin bukan orang sembarangan. Ilmu pedangnya amat tangkas, hebat dan
kuat. Bagaimana wanita itu berani
bersombong mengatakan hendak mengalahkannya dalam sepuluh jurus? Namun The
Kwat Lin yang dengan pandang matanya
yang tajam dapat menilai orang, tenang-tenang saja. Juga Kiam-mo Cai-li
bukanlah menyobongkan diri secara
ngawur, melainkan dia pun sudah dapat menilai kepandaian tosu itu dari
gerakanya maka dia berani menantang
akan mengalahkannya dalam sepuluh jurus. Siok Tojin mengerutkan alisnya,
perutnya terasa panas. Dia tidak pandai
bicara, maka dalam kemendongkolannya dia hanya berkata, "Hemm, seekor
kerbau diikat hidungnya, manusia diikat
mulutnya!" Ucapan ini mengandung maksud bahwa kalau Kiam-mo Cai-li
tidak memenuhi janji yang diucapkan
dengan mulut, dia sama dengan seekor kerbau! Setelah berkata demikian,
tangan kananya bergerak dan tampaklah
sinar berkilau dari pedang yang telah dicabutnya. "Tentu saja mulutku
dapat dipercaya, Siok Tojin! Aku akan
mengalahkanmu dalam waktu sembilan jurus! Kiam-mo Cai-li berkata sambil
mengejek dan tangan kanannya memegang
payung yang segera terbuka dan dipakainya, sedangkan tangan kirinya
diraba-raba sanggul rambutnya, seperti
merapikan padahal diamdiam dia melepas tali rambutnya yang panjang itu.
</P>
<P>
"Ehhh.... celaka.....!!" Siok
Tojin berseru, akan tetapi bagaimana dia dapat menghindarkan diri dari serangan
ke tiga ini? Kedua tangannya telah
menahan dua ancaman maut dan sama sekali tidak bisa dilepaskan.
"Plak-plak....!!" Seperti
ular hidup mematuk saja layaknya, ujung rambut panjang itu menotok dua kali,
membuat
ke dua lengan tangan Siok Tojin
seketika lumpuh dan pedangnya telah dirampas oleh ujung rambut yang
terayun-ayun dan berputar ke atas,
membawa pedang itu berputaran di atas kepala. "Bagaimana, Totiang?"
Kiam-mo
Cai-li bertanya. Sambil menundukan
kepalanya, Siok Tojin berkata lirih, "Pinto mengaku kalah." Dan
memang dia
tahu akan kekeliruannya sekarang, akan
tetapi dia harus mengaku bahwa dia telah dikalahkan dalam lima enam
jurus saja! Dia tahu pula bahwa lawan
tidak hendak mencelakakannya, kakau tidak, tentu ujung rambut itu dapat
melakukan totokan maut yang akan
menewaskannya. Rambut itu membawa pedang meluncur ke bawah dan melempar pedang
menancap di depan kaki Siok Tojin,
kemudian dua kali rambut menyambar, dan menotok sehingga terbebaslah tosu
itu dari totokan. Siok tojin menghela
napas, mengambil pedangnya, menjura lalu tanpa berkata-kata lagi dia
menlangkah mundur ke tempat
teman-temannya. "Ha-ha-ha, bukan main hebatnya Kiam-mo Cai-li. Pedang
payung lihai,
kukunya berbahaya, rambutnya hebat,
akan tetapi yang lebih hebat lagi adalah kecerdikannya yang memancing
kemarahan Siok Tojin! Memang kecerdikan
seperti itu amat dibutuhkan dalam tugas bekerja dari dalam yang
membutuhkan kecerdikan seperti yang
dimiliki Kiam-mo Cai-li. (Kionghi (Selamat)! An Goanswe tentu akan girang
sekali mendengar laporan kami tentang
diri Kiam-mo Cai-lil!" Kiam-mo Cai-li yang sudah duduk kembali, tersenyum
girang. Aihh, Loenghiong Pat-jiu Mo-kai
terlalu memuji! katanya dengan bangga dan girang. "Sekarang untuk
melengkapi tugas kami yang diberikan
oleh An Goanswe, kuharap The-toanio suka memperlihatkan kepandaian," kata
pula Pat-jiu Mo-kai sambil melangkah
maju menyeret tongkat bututnya. "Dan agaknya terpaksa aku sendiri yang
harus maju melayani Toanio." The
Kwat Lin masih tetap duduk dan memandang kakek pengemis itu dengan sinar mata
tajam penuh selidik, kemudian dengan
suar tenang dia berkata, "Siapa lagi yang diutus oleh An Goanswe untuk
menguji kami?" "Hanya kami
bertiga, dan karena Siok Tojin sudah kalah....." "maka tinggal engkau
dan Tan
Lo-enghiong itu. Nah, kaulihat Tan
Lo-enghiong juga telah membawa senjatanya, membawa sebatang toya, maka
sebaiknya kalau kalian berdua maju dan
mengeroyokku!" Pat-jiu Mo-kai tertawa bergelak. "Ha-ha-ha,
The-toannio,
apakah Toanio juga hendak menggunakan
siasat seperti Kiam-mo Cai-li tadi? Ingat, tidaklah mudah untuk memancing
kemarahanku!" The Kwat Lin
mengerutkan alisnya, lalu melangkah maju. "Siapa yang menggunakan siasat?
Tanpa
siasat pun, menghadapi kalian berdua
aku masih sanggup." Tiba-tiba terdengar suara Han Bu Ong, "Ibu,
berikan
dia kepadaku! Biar aku yang menandingi
pengemis tua itu!" Pat-jiu Mo-kai diam-diam terkejut. Kalau seorang anak
belasan tahun berani menghadapinya,
tentu ibunya memiliki kepandaian yang hebat sekali. Akan tetapi The Kwat
Lin menoleh kepada puteranya dan
berkata, "Bu Ong, kita tidak sedang menghadapi musuh, dan pertandingan ini
hanya untuk menguji kepandaian saja.
Jangan kau ikut-ikut!" Han BU Ong cemberut lalu berkata, "Apalagi
hanya
dikeroyok dua, biar kalian berlima maju
semua, ibu akan dapat mengalahkan kalian dengan satu tangan saja!"
Kembali Pat-jiu Mo-kai terkejut. Bocah
itu, putera The Kwat Lin, tidak lebih dianggap seperti bocah biasa, dan
tentu telah memiliki kepandaian tinggi
pula, maka kata-katanya tidak boleh dianggap kosong belaka. Lenyaplah
keraguannya dan dia berkata kepada The
Kwat Lin, "Memang sesungguhnya aku sendiri dan Tan Goan Kok merupakan
orang-orang yang diutus menguji
kepandaian Toanio, apakah kami boleh maju bersama menghadapi kelihaian
Toanio?"
Dengan sikap tak acuh The Kwat Lin
berkata sambil menggerakan tangan kirinya, "Majulah, jangan
sungkan-sungkan!" Tan Goan Kok
yang berwatak kasar itu melompat ke depan. "Hemm, tentu Nyonya rumah
memiliki
kelihaian yang luar biasa maka
menantang kita maju berdua, Pat-jiu Mo-kai!" Pat-jiu Mo-kai
mengangguk-angguk.
"Hati-hatilah, Tan-sicu."
Mereka berdua lalu memasang kuda-kuda di sebelah kanan kiri The Kwat Lin.
Pat-jiu
Mo-kai memegang tongkat butut dengan
tangan kanan seperti memegang sebatang pedang, tongkat itu menuding ke
depan dari dadanya, lurus ke depan,
sedangkan tangan kirinya menjaga di depan pusar, kedua kaki ditekuk
sedikit, agak merapat di depan dan
belakang. Tan Goan Kok memegang toyanya dengan kedua tangan, kuda-kudanya
kuat sekali, kokoh seperti batu karang
dan toya di kedua tangannya itu sedikit pun tidak bergoyang. Melihat dua
orang itu sudah memasang kuda-kuda, The
Kwat Lin lalu mencabut pedangnya, yaitu Angbwe- kiam dan melangkah maju
sambil berkata, Nah silahkan kalian
mulai!" "Kami adalah tamu-tamu dan kami maju berdua, tidak pantas kalau
kami mulai, silahkan Toanio
mulai," kata Pat-jiu Mo-kai yang tidak mau membuka serangan karena dia
ingin lawan
maju menyerang lebih dulu agar dia atau
temannya dapat mengacaukan pertahanan lawan dengan serangan mendadak.
The Kwat Lin tersenyum, maklum akan
siasat kakek jembel itu. "Nah, sambutlah!" teriaknya dan Pat-jiu
Mo-kai
kecele kalau hendak melanjutkan
siasatnya karena tiba-tiba pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar
yang menyambar ke arah mereka seperti
kilat cepatnya sehingga sekali bergerak, pedang itu telah menyerang
mereka berdua dalam waktu yang hampir
bersamaan! Tentu saja mereka terkejut sekali dan cepat menggerakkan
tongkat dan toya untuk menangkis.
"Trang...! Cringggg....!!" Pat-jiu Mo-kai dan Tan Goan Kok terhuyung
ke
belakang. Tenaga yang keluar dari
Ang-bwe-kiam sungguh dahsyat, membuat telapak tangan mereka terasa panas dan
hampir saja senjata mereka terlepas.
Terkejutlah kedua orang itu dan The Kwat Lin diam-diam mentertawakan
mereka karena dia memang hendak
mengukur lebih dulu kekuatan lawan. Karena merasa penasaran, kini ke dua orang
itu maju dari kanan kiri dan mulailah
mereka menyerang dengan ganas. Kwat Lin sudah dapat mengetahui bahwa di
antara kedua orang pengeroyoknya,
tongkat kakek jembel itulah yang lebih lihai maka dia selalu mendahulukan
tangkisannya terhadap tongkat itu, baru
dia menangkis toya yang menyambar. Dia tahu bahwa kakek Tan Goan Kok
yang kasar itu hanyalah menggandalkan
tenaga gwakang yang besar, namun makin besar tenaga kasar lawan, makin
mudah dia menghadapinya karena sedikit
getarkan pedang yang dilakukan dengan pengerahan sinkang cukup membuat
telapak tangan Tan Goan Kok terpukul
sendiri oleh tangannya. Lewat sepuluh jurus, setelah dia yakin akan ukuran
tenaga kedua orang lawannya, Tiba-tiba
The Kwat Lin menyarungkan kembali pedangnya dan menghadapi kedua lawan
itu dengan tangan kosong. Tentu saja
dua orang lawannya cepat menahan senjata dan pat-jiu Mo-kai berseru,
Heiii, The-toanio. Kami belum kalah
mengapa engkau mengakhiri pertandingan?" "Siapa Mengakhiri?
lanjutkanlah
serangan kalian, aku menyimpan pedang
karena takut rusak." "Huhhh, dengan tangan kosong pun ibu akan mudah
mengalahkan kalian!" Mendengar
teriakan bocah itu, dua orang kakek itu lalu maju lagi dan menggerakan senjata
mereka untuk menyerang. Tongkat pat-jiu
Mo-kai melayang dari atas menghantam kepala, sedangkan toya Tan Goan
Kok menyambar dari samping menghantam
lambung! Mereka terkejut setengah mati melihat lawan itu sama sekali
tidak mengelak, hanya miringkan sedikit
tubuhnya dan meloncat sedikit. "Bukkk! Bukkkk!!" Tongkat itu dengan
kerasnya menghantam leher dan toya itu
menghantam pangkal paha, akan tetapi tiba-tiba dua orang kakek itu roboh
terguling dalam keadaan lemas tertotok!
"Horeeee....!!" Han Bu Ong bersorak melihat betapa dalam segebrakan
saja setelah ibunya menyimpan pedang, dua
orang pengeroyok itu dapat dirobohkan. Sementara itu, The Kwat Lin
cepat membebaskan totokannya dan dua
orang kakek itu dapat bangkit sambil memungkut senjata mereka dan
memandang dengan mata terbelalak kagum
kepada wanita itu. Hampir mereka tidak dapat percaya bahwa mereka dapat
dirobohkan hanya dalam segebrakan saja,
namun kenyataannya memang demikian dan mengingat akan siasat lawan ini,
mereka bergidik dan kagum sekali. Ternyata
ketika tadi dia menggunakan pedang, The Kwat Lin hanya ingin
mengukur sampai di mana kekuatan dua
orang lawannya. Setelah yakin benar, dia menyimpan pedang dan sengaja
menerima hantaman yang sudah dia ukur
akan dapat diterima oleh leher dan pinggulnnya, kemudian pada saat kedua
senjata itu tiba di tubuhnya,
menggunakan kesempatan selagi kedua orang kakek itu terkejut melihat lawan
tidak
mengelak dan menerima pukulan, cepat
seperti kilat kedua tangan The Kwat Lin bergerak dan berhasil menotok
roboh dua orang kakek yang sama sekali
tidak menduga bahwa lawan yang terkena hantaman dua kali itu akan
menotok mereka! "Bukan
Main!!!" Tan Goan Kok berseru dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Belum
pernah selama
hidupnya dia bertemu tanding sehebat
itu. "Kami mengaku kalah! Kiranya The toanio memiliki kelihaian yang amat
luar biasa dan kami akan melaporkan
semua ini kelak kepada An Goanswe," kata pat-jiu Mo-kai. The Kwat Lin dan
Kiam-mo Cai-li girang sekali setelah
dapat menundukan para utusan itu, maka pesta lalu diadakan untuk menyambut
utusan-utusan An Lu Shan dan sambil
makan minum mereka lalu merundingkan dan merencanakan siasat untuk bekerja
sama. Dalam kesempatan ini, Pat-jiu
Mo-kai mengeluarkan sebuah peti hitam kecil dan menyerahkannya kepada The
Kwat Lin sambil berkata, "Harap
Toanio suka menerima hadiah tanda persahabatan dari An Goanswe ini." The
Kwat
Lin menyatakan terima kasih, lalu bersama
Kiam-mo Cai-li membuka peti yang terisi emas dan perak dalam jumlah
yang cukup banyak. The Kwat Lin lalu
melepaskan rantai kalungnya dan menyerahkannya kepada Pat-jiu Mo-kai
sambil berkata, "kami tidak
mempunyai apa-apa untuk dipersembahkan kepada An Goanswe sebagai tanda
persahabatan
ini, harap Mo-kai suka menerima dan
menyampaikan kepada Beliau." Pat-jiu Mo-kai menerima kalung itu dan mereka
berlima terbelalak kagum melihat mata
kalung yang amat besar dan indah penuh batu permata yang amat luar biasa.
Biarpun mereka bukanlah ahli, namun
pengalaman mereka membuat mereka, terutama tiga orang kakek itu dapat
menduga bahwa harga kalung ini tidak
kalah mahalnya dengan peti dan isinya, hadiah dari An Lu Shan tadi!
"Hendaknya di antara pelaporan
Cuwi, diberitahukan kepada An Goanswe bahwa kami sama sekali tidak membutuhkan
harta benda, melainkan hendaknya An
Goanswe mengingat bahwa saya adalah bekas Ratu Pulau Es dan puteraku adalah
seorang Pangeran, sedangkan Kiam-mo Cai-li
adalah majikan Rawa Bangkai sehingga kelak kalau perjuangan kita
berhasil, sudah sepatutnya kalau kami
memperoleh kedudukan yang setingkat dengan keadaan dan dengan bantuan
kami." Mengertilah tiga orang
kakek itu bahwa wanita lihai bekas ratu ini ternyata memiliki ambisi untuk
kedudukan tinggi bagi puteranya. Sudah
terlalu lama kita meninggalkan Lui Bwee, Ratu Pulau Es yang bernasib
sengsara, ibu dari Swat Hong itu.
Seoerti telah diceritakan di bagian depan, Liu Bwee meninggalkan Pulau Es,
naik perahu dan mencari atau menyusul
puterinya, Han Swat Hong yang lebih dulu meninggalkan Pulau Es menuju ke
Pulau Neraka hendak menggantikan
hukuman yang dijatuhkan oleh Raja Pulau Es atau diri Liu Bwee. Sambil menahan
tangisnya, wanita yang menderita
sengsara karena madunya ini mendayung perahu secepatnya meninggalkan Pulau Es.
Akan tetapi, biarpun semenjak kecil
berada di Pulau Es, namun dia belum pernah pergi Ke Pulau Neraka. Siapakah
orangnya yang berani pergi ke Pulau
Neraka, kecuali mereka yang memang dihukum buang ke pulau terkutuk itu?
Karena tidak mengenal jalan, Lui Bwee
menjadi bingung, apalagi karena tidak lagi melihat bayangan puterinya.
Dia adalah puteri nelayan Pulau Es,
tentu saja dia pandai mengemudikan perahu, akan tetapi karena tidak tahu di
mana letaknya Pulau Neraka, dia menjadi
bingung dan meluncurkan perahunya tanpa arah tertentu, asal
meninggalkan Pulau Es sejauh-jauhnya
saja. Dia ingin menjauhkan diri dari suaminya yang amat tercinta, dan
terutama dari The Kwat Lin, madunya
yang telah menghancurkan hidupnya. Setelah sehari semalam berputaran tanpa
tujuan dan sama sekali tidak melihat
Pulau Neraka atau puterinya, bahkan tidak melihat seorang pun manusia yang
dapat dia tanyai di antara
gumpalan-gumpalan es yang mengambang di laut dan pulau-pulau kosong yang banyak
terdapat di situ, tanpa makan tanpa
tidur, akhirnya Liu Bwee terpaksa mendarat di sebuah pulau kosong yang
subur. Dia mencari makanan untuk
memenuhi tuntutan perutnya yang lapar, kemudian melihat bahwa pulau ini cukup
subur dan baik hawanya, dia mengambil
keputusan untuk tinggal di pulau itu, betapa selama hidupnya sampai hari
akhir. Dia sudah merasa bosan dengan
urusan dunia yang hanya mendatangkan kesengsaraan batin belaka. Mulailah
`
0 comments:
Post a Comment