Saturday, July 28, 2012

BUKEK SIANSU : Seri Kedelapan

BUKEK SIANSU : Seri Kedelapan -
kerajaan yang luas sekali wilayahnya. Di jaman pemerintahannya inilah (712-756) di Tiongkok bermunculan
        sastrawan-sastrawan dan pelukis-pelukis yang menjadi terkenal sekali dalam sejarah, seperti Li Tai-po, Tu Fu,
        Wang Wei dan lain-lain. Namun, disayangkan bahwa kebijaksanaan Beng Ong dalam mengemudikan roda pemerintahan
        ini mengalami godaan hebat yang meruntuhkan segala-galanya. Seperti telah terjadi seringkali, di jaman apa pun
        dan di negara manapun juga, Beng Ong yang hatinya teguh menghadapi godaan segala macam keduniawian, ternyata
        lumpuh ketika menghadapi seorang wanita! Betapa banyaknya sudah dibuktikan oleh sejarah, betapa pria-pria yang
        hebat, pandai, gagah perkasa dan kuat hatinya, menjadi luluh dan tak berdaya begitu bertemu dengan seorang
        wanita yang berkenan di hatinya. Peristiwa itu terjadi dalam tahun 745. Ketika itu, Raja Beng Ong sudah berusia
        enam puluh tahun lebih. Sebenarnya sudah tua dan sudah kakek-kakek, namun seperti telah terbukti dari jaman
        dahulu sampai sekarang, laki-laki, betapapun tuanya dalam menghadapi wanita menjadi seperti seorang kanak-kanak
        yang hijau dan lemah. Seorang di antara banyak pangeran, yaitu putera Kaisar yang terlahir dari banyak selirnya
        adalah Pangeran Su. Pangeran ini mempunayi seorang isteri yang amat cantik jelita, dan menurut kabar angin,
        wanita ini cantiknya melebihi bidadari kahyangan. Wanita ini bernama Yang Kui Hui, dan memang wanita ini
        memiliki kecantikan yang amat luar biasa sehingga terkenal di seluruh penjuru dunia. Ketika Kaisar Beng Ong
        dalam suatu kesempatan bertemu dan melihat Yang Kui Hui, seketika hati Kaisar tua itu tergila-gila. Ratusan
        orang selir cantik dan pelayan-pelayan muda dan perawan tidak lagi menarik hatinya dan setiap saat yang tampak
        di depan matanya hanyalah wajah Yang Kui Hui yang cantik jelita. Akhirnya, Kaisar tidak lagi dapat menahan
        nafsu hatinya. Dengan kekerasan dia memaksa puteranya sendiri, Pangeran Su, untuk menceraikan isterinya dan
        mengawinkan pangeran ini dengan seorang wanita lain. Adapun Yang Kui Hui, tentu saja, segera dimasukan ke dalam
        istana, di dalam kumpulan harem (rombongan selir) di istana. Setelah Yang Kui Hui pada malam pertama melayani
        Kaisar Beng Ong, bekas ayah mertuanya, sejak saat itulah terjadi lembar baru dalam sejarah Kerajaan Tang.
        Kaisar Beng Ong yang tadinya giat mengurus pemerintahan, memperhatikan segala urusan pemerintahan sampai ke
        soal yang sekecil-kecilnya, kini mulai tidak acuh dan menyerahkan semua urusan ke tangan para Thaikam (Orang
        Kebiri, Kepercayaan Raja) dan para pembesar yang berwenang. Dia sendiri dari pagi sampai jauh malam tak pernah
        meninggalkan tempat tidur di mana Yang Kui Hui menghiburnya dengan penuh kemesraan. Dalam beberapa bulan saja,
        selir yang tercinta ini berhasil menguasai hati Kaisar seluruhnya sehingga apa pun yang dilakukan oleh Yang Kui
        Hui selalu benar, dan apa pun yang diminta oleh selir ini, tidak ada yang ditolak oleh Kaisar tua yang sudah
        dimabok cinta itu. Yang Kui Hui bukanlah seorang wanita bodoh. Sama sekali bukan. Tentu saja hatinya menaruh
        dendam kepada kaisar Beng Ong karena dia dipisahkan dari suaminya yang tercinta. Sudah pasti sekali dalam
        melayani semua nafsu berahi Kaisar tua itu, ada tersembunyi niat yang lain lagi, bukan semata-mata karena dia
        membalas cinta kasih Kaisar yang sudah tua itu. Dia tidak menyia-nyikan kesempatan amat baik itu. Setelah
        membuat Kaisar tergila-gila dan seolah-olah bertekuk lutut di depan kakinya yang kecil mungil, mulailah Yang
        Kui Hui memetik hasil pengorbanan diri dan hatinya. Dia menggunakan pengaruhnya terhadap Kaisar, menarik
        keluarganya menduduki tempat-tempat penting dalam pemerintahan! Bahkan kakaknya yang bernama Yang Kok Tiong
        diangkat menjadi menteri pertama dari Kerajaan Tang setelah menteri yang lama dicopot secara menyedihkan oleh
        Kaisar, tentu saja atas bujukan Yang Kui Hui! Dan masih banyak lagi anggota keluarga selir yang cantik jelilta
        ini memperoleh kedudukan yang tinggi sekali yang sebelumnya tak pernah termimpikan oleh mereka. Pada jaman
        itulah muncul seorang yang akan menjadi terkenal sekali dalam sejarah Tiongkok. Orang ini bukan lain adalah An
        Lu San, seorang yang tadinya dari keturunan tak berarti. An Lu San dilahirkan di Mancuria Selatan, di luar
        Tembok Besar, yaitu Di Liao-tung. Orang tuanya berdarah Turki dari suku bangsa Khitan, keturunan keluarga yang
        bersahaja dan terbelakang. Ketika An Lu San menjadi seorang pemuda remaja, sebagai seorang budak belian dia
        dijual kepada seorang perwira Kerajaan Tang yang bertugas di utara, di Tembok Besar. Mulai saat itulah
        bintangnya menjadi terang. Sebagai kacung perwira itu, dia ikut pula ke medan perang dan ternyata bocah ini
        membuktikan dirinya sebagai seorang yang gagah berani dan cerdik sekali, memiliki keahlian dalam pertempuran
        sehingga beberapa kali dia membuat jasa pada pasukan yang dipimpin oleh majikannya. Maka diangkatlah dia
        menjadi prajurit dan dalam waktu singkat saja dia membuat jasa-jasa besar sehingga dia diangkat terus,
        dinaikkan menjadi perwira dan akhirnya, beberapa tahun kemudian setelah dia memenangkan beberapa peperangan
        melawan musuh dari luar sehingga dia berjasa besar bagi Kerajaan Tang, dia diangkat menjadi jenderal! Mulailah
        jenderal An Lu Sun ini mendekati Kaisar. Setelah pangkatnya setinggi itu, tentu saja terbuka kemungkinan
        baginya untuk berhadapan dengan Kaisar yang waktu itu sedang tergila-gila kepada Yang Kui Hui yang telah
        memperoleh kedudukan tinggi. An Lu San memang seorang yang amat cerdik. Menyaksikan pengaruh dan kekuasaan
        selir yang cantik jelita itu terhadap Kaisar, dia melihat kesempatan baik sekali untuk mengangkat diri sendiri
        ke tempat yang lebih tinggi. Dengan sikapnya yang lucu dan ugal-ugalan, pembawaan watak liarnya, dia berhasil
        menyenangkan hati Kaisar dan memancing kegembiraan Yang Kui Hui sendiri. Selir ini, yang setiap hari harus
        melayani seorang pria yang sudah tua dan sudah lemah, tentu saja bangkit gairahnya melihat jenderal yang tegap,
        gembira dan kasar liar itu! Terjadilah "main mata" antara kedua insan ini, dan akhirnya, dengan bujukan dan
        rayuannya, Yanh Kui Hui memuji-muji kesetiaan dan jasa-jasa An Lu San sehingga Kaisar menjadi semakin suka
        kepada jenderal ini. Bahkan Yang Kui Hui dengan akalnya yang licik telah mengangkat An Lu San sebagai "putera
        angkatnya". Hal ini tidak dijadikan keberatan oleh Kaisar, bahkan Kaisar memuji selirnya sebagai seorang selir
        yang cerdik, selir yang mencinta dan yang setia karena perbuatan Yang Kui Hui itu dianggapnya sebagai taktik
        selir untuk menyenangkan hati seorang pahlawan sehingga dengan demikian memperkuat kedudukan Kaisar. Kaisar
        Beng Ong yang terkenal pandai dan bijaksana itu ternyata menjadi lemah tak berdaya, sama lemahnya dengan
        seuntai rambut lemas hitam dari Yang Kui Hui yang setiap saat dapat dipermainkan oleh jari-jari tangan halus
        dari selir yang cantik jelita itu. Tentu saja setiap sukses dari seseorang, bail didapatkan dengan jalan apa
        pun juga melahirkan iri hati kepada orang-orang lain. Biarpun tidak ada yang berani secara terang-terangan
        menentang selir cantik yang amat dikasihi Kaisar tua itu, namun diam-diam banyak anggauta keluarga kerajaan
        yang merasa iri hati dan membenci Yang Kui Hui, terutama sekali para selir lainnya yang kini seolah-olah
        diabaikan oleh Kaisar yang setiap malam selalu dibuai dalam pelukan Yang Kui Hui. Pada suatu malam Kaisar
        beristirahat di dalam kamarnya sendiri. Betapapun dia tergila-gila kepada Yang Kui Hui, namun karena dia sudah
        tua sekali, tenaganya tidak mengijinkan dia setiap malam mengunjungi selirnya yang masih muda, penuh nafsu dan
        panas itu. Malam itu merupakan malam istirahatnya dan dia tidak mendekati selirnya yang tercinta. Tubuhnya
        terasa lelah setelah sore tadi dia berpesta makan minum dan menikmati tari-tarian yang disuguhkan untuk
        kehormatan jenderal An Lu San yang datang berkunjung ke istana. Setelah mengijinkan jenderal perkasa itu
        mengundurkan diri ke kamar tamu yang disediakan, Kaisar yang merasa lelah itu berbisik kepada selirnya tercinta
        bahwa malam itu dia ingin beristirahat karena merasa lelah, kemudian langsung menuju ke kamarnya sendiri.
        Menjelang tengah malam, kaisar terbangun dan ternyata yang mengganggu tidurnya adalah seorang selir muda belia
        yang cantik seperti selir-selir lain. Selir ini bernama Yauw Cui, masih berdarah bangsawan dan termasuk selir
        termuda sebelum Kaisar mengambil Yang Kui Hui yang merupakan selir terakhir. "Hemmm, apa maksudmu datang
        mengganggu?" Kaisar berkata, tidak marah karena dia pun pernah mencinta selir yang cantik ini, bahkan tangannya
        lalu diulur untuk membelai dagu yang berkulit putih halus itu. "Hamba mohon Sri Baginda mengampunkan hamba,"
        selir itu berkata dengan suara agak gemetar, "Sebetulnya hamba tidak berani mengganggu paduka yang sedang
        beristirahat, akan tetapi...." Kaisar yang tua itu tersenyum dan salah menyangka. Dikiranya selir muda ini
        merindukan curahan kasihnya karena sudah lama dia tidak mengunjungi kamar selirnya ini dan tidak pula
        memerintahkan selirnya itu datang melayaninya. "Aihh, manis, naiklah ke sini dan kau pijiti punggungku..."
        katanya sebagai uluran tangankarena membayangkan hasrat selirnya ini, sudah bangkit pula berahinya. Yauw Cui
        tidak berani membantah, bangkit dari lantai di mana dia berlutut, dan jari-jari tangannya yang halus mulai
        menari-nari di atas punggung tua yang pegal-pegal itu. Akan tetapi selir ini berkata lagi, "Rasa penasaran
        memaksa hamba memberanikan diri mengujungi Paduka. Hamba tidak ingin melihat Paduka yang hamba junjung tinggi
        ditipu dan dihina orang!" Tangan Kaisar yang mulai membelai tubuh selirnya itu tiba-tiba terhenti dan dengan
        pandang mata penuh selidik Kaisar Beng Ong bertanya, "Apa maksudmu? Siapa yang berani menipu dan menghinaku?"
        Yauw Cui menangis dan suara terisakisak dia berkata, "Hamba.... secara tidak sengaja... mendengar ....
        Angoanswe (jenderal An) berada di dalam kamar.... Yang Kui Hui...." Seketika Kaisar bangkit duduk dengan mata
        terbelalak. Dengan alis berkerut dia memandang selirnya itu yang masih menangis, hatinya tidak percaya sama
        sekali karena memang sudah seringkali Yang Kui Hui difitnah orang lain yang merasa iri hati. "Hammm, jangan
        bicara sembarangan saja terdorong iri hati." "Tidak.... hamba rela untuk dihukum mati, rela diapakan saja kalau
        hamba membohong.... tidak berani hamba menjatuhkan fitnah.... hamba hanya merasa penasaran melihat Paduka
        dihina maka hamba memberanikan diri melapor...." "Pengawal....!!" kaisar berseru sambil mendorong selirnya
        turun dari pembaringan. Pintu terbuka dan enam orang pengawal pribadi meloncat masuk dan langsung berlutut
        setelah mereka melihat bahwa Kaisar tidak dalam bahaya. Kaisar menyambar jubah luarnya. "Antar kami ke kamar
        yang Kui Hui." kata Kaisar singkat sambil memberi isyarat dengan matanya agar Yauw Cui ikut pula bersamanya.
        Pada saat Yauw Cui melapor kepada Kaisar, kamar Yauw Kui Hui sudah gelap remang-remang dan pada saat itu memang
        selir yang cantik jelita ini sedang bersama An Lu San. Mereka seperti mabok nafsu berahi dan tentu saja segala
        pertahanan di hati Yang Kui Hui runtuh menghadapi jenderal yang tegap dan gagah perkasa ini, yang masih
        memiliki sifat-sifat liar dan kasar dari tempat asalnya. Selama tujuh tahun Yang Kui Hui menekan kekecewaan
        hatinya melayani seorang kakek-kakek lemah. Kini bertemu dengan An Lu San dan berkesempatan menikmati rayuan
        laki-laki yang jantan dan jauh lebih muda dari kaisar ini, tentu saja dia terbuai dan lupa segalanya. Sesosok
        bayangan menyelinap ke dalam kamar itu dan berisik di luar kelambu pembaringan. Bisikan itu merobah suasana di
        dalam kamar itu. Yang Kui Hui dan An Lu San dalam waktu beberapa menit saja telah memakai pakaian yang rapi,
        duduk menghadapi meja yang diterangi dengan beberapa batang lilin, dan di atas meja terdapat gambar peta daerah
        utara. Di ujung-ujung Kamar itu terdapat mengawal dan pelayan berdiri seperti patung, hanya memandang saja
        ketika An Lu San dengan suara lantang sedang menjelaskan tentang situasi dan keadaan pertahanan di perbatasan
        utara. Demikianlah, ketika Kaisar yang diiringkan Yauw Cui dan para pengawal memasuki kamar itu dengan sikap
        kasar, dia melihat selirnya yang tercinta itu memang benar duduk berdua dengan An Lu San, akan tetapi bukanlah
        berjinah seperti yang dilaporkan Yauw Cui, melainkan sedang bicara urusan pertahanan! "Hamba sedang mempelajari
        keadaan kekuatan pertahanan kita di utara dari An Lu San," antara lain Yang Kui Hui membela diri ketika Kaisar
        menyatakan kecurigaannya. "Paduka terlalu mempercayai mulut seorang wanita yang cemburu dan iri hati setengah
        mati kepada hamba." Karena semua pengawal dan pelayan yang berada di kamar itu merupakan saksi yang kuat bahwa
        selir tercinta itu tidak bermain gila dengan putera angkatnya tentu saja Kaisar menjadi marah kepada Yauw Cui.
        Selir muda ini mengerti bahwa dia berbalik kena fitnah oleh madunya yang lihai itu, maka maklum bahwa tidak ada
        lagi harapan baginya, dia menudingkan telunjuknya kepada Yang Kui Hui sambil berteriak nyaring, "Kau Wanita
        Iblis! Karena engkaulah kerajaan ini akan hancur!" Dan sebelum para pengawal yang diperintah oleh Kaisar yang
        marah-marah itu sempat menangkapnya, Yauw Cui lari membenturkan kepalanya di dinding kamar itu sehingga
        kepalanya pecah dan dia tewas disaat itu juga! Tentu saja pada hari berikutnya, ada seorang pelayan yang
        menerima hadiah banyak sekali dari Yang Kui Hui, yaitu pelayan yang membisikinya semalam sehingga
        menyelamatkannya. Semenjak peristiwa itu, kepercayaan Kaisar terhadap Yang Kui Hui dan An Lu San makin besar.
        Tentu saja kesempatan baik ini tidak dibiarkan lewat percuma oleh Yang Kui Hui dan An Lu San yang mengadakan
        hubungan gelap sepuas hati mereka. Karena pengaruh Yang Kui Hui di depan Kaisar, maka An Lu San memperoleh
        kehormatan yang besar, bahkan diangkat menjadi Gubernur di Propinsi Liao Tung. Menguasai pasukan-pasukan
        terbaik dari kerajaan dan menjaga di propinsi yang merupakan perbatasan timur. Kehormatan ke dua diterimanya
        tak lama kemudian, tentu saja atas desakan dan bujukan Yang Kui Hui yaitu ketika dia dianugrahi gelar Pangeran
        Tingkat Dua. Kehormatan yang besar sekali karena biasanya, gelar ini hanya diberikan kepada keluarga kerajaan
        yang berdarah bangsawan! Memang An Lu San seorang yang berasal dari suku bangsa terbelakang, namun dia
        diberkahi dengan kecerdikan luar biasa. Melihat betapa kaisar bertekuk lutut di depan kedua kaki yang mungil
        dari selir kaisar Yang Kui Hui, dia mengeluarkan semua kepandaian untuk mengambil hati selir ini dan ternyata
        semua muslihatnya berhasil baik dan dia memperoleh kedudukan yang tinggi sekali. Akan tetapi, tentu saja banyak
        pula orang merasa iri hati dan tidak suka kepada An Lu San. Di antara mereka ini adalah kakak kandung Yang Kui
        Hui sendiri, yaitu Yang Kok Tiong yang menjadi Menteri Pertama. Dengan kedudukanya yang tingi, Yang Kok Tiong
        melakukan penyelidikan dan ketika dia memperoleh berita bahwa An Lu San mempersiapkan pemberontakan, segera dia
        berunding dengan Putera Mahkota dan melapor kepada Kaisar. Kaisar tidak percaya dan menganggap pelaporan ini
        omong kosong belaka, akan tetapi karena para pangeran mendesaknya, akhirnya Kaisar memanggil An Lu San yang
        merasa keadaannya belum kuat betul untuk memulai pembrontakan yang memang benar telah dipersiapkannya, tidak
        membantah. Dia menghadap Kaisar dan dengan air mata bercucuran dia memprotes, menyatakan kesetiaanya terhadap
        Kaisar dan dalam hal ini kembali pengaruh Yang Kui Hui membantunya. Selir ini pun mencela Kaisar yang mudah
        saja dipermainkan orang yang merasa iri hati bahkan Yang Kui Hui mengambil contoh selir Yauw Cui yang irir hati
        kepadanya. "hendaknya Paduka ingat bahwa An Lu San adalah seorang pahlawan kerajaan yang jasanya sudah amat
        besar. Tidak mungkin dia memberontak, dan andaikata dia benar mempunyai niat memberontak tentu dia tidak akan
        datang memenuhi panggilan Paduka! Kedatangannya ini sudah merupakan bukti akan kebersihan dan kesetiaanya!
        Kabar tentang niat pembrontakan itu tentu ditiup-tiupkan oleh mereka yang merasa iri hati kepadanya." Seperti
        biasa, hati kaisar luluh dan lenyaplah semua kecurigaan dan keraguannya. Dia malah menjamu An Lu San dan malam
        itu dengan amat pandainya An Lu San "membalas budi" Yang Kui Hui, dengan sepenuh hatinya, di dalam kamar selir
        Kaisar itu, aman karena terjaga oleh orang-orang kepercayaan mereka. Demikianlah, pada saat cerita ini terjadi
        An Lu San sudah kembali ke utara dengan penuh kebesaran dan kebanggaan, dan diam-diam dia makin mempercepat
        persiapannya untuk memberontak! Dan demikian pula dengan keadaan kerajaan Tang pada waktu itu. Kelemahan Kaisar
        yang jatuh di bawah telapak kaki halus dari Yang Kui Hui, menimbulkan ketidakpuasan kepada banyak pembesar
        sehingga di sana-sini timbul niat untuk memberontak. Kesempatan keadaan yang lemah dari kerajaan Tang inilah
        dipergunakan oleh The Kwat Lin untuk mulai dengan petualangannya, untuk memenuhi cita-citanya mencarikan
        kedudukan tinggi untuk puteranya! Pada suatu hari, datanglah seorang utusan dari kota raja mendaki Pegunungan
        Bu-tong-san, menghadap Ketua Bu-tong-pai. Melihat bahwa utusan ini adalah utusan dari Pangeran Tang Sin Ong
        dari kota raja, Kwat Lin cepat menerimanya di kamar rahasia. Setelah utusan itu menyampaikan tugasnya dia cepat
        pergi lagi meninggalkan Bu-tong-pai dan terjadilah kesibukan di Bu-tong-pai. Pangeran Tang Sin Ong, yaitu
        seorang pangeran di kota raja yang mempersiapkan pemberontakan pula, sebagai saingan besar dari An Lu San,
        pangeran yang dihubungi oleh Kwat Lin, mengirim berita tentang hari dan tempat di mana Yang Kui Hui akan ikut
        dengan Kaisar yang hendak berburu binatang dalam hutan, sebuah di antara kesenangan Kaisar. saat inilah yang
        dinanti-nanti oleh The Kwat Lin dan Pangeran Tang Sin Ong untuk menjalankan siasat mereka yan telah lama mereka
        rencanakan. Beberapa hari kemudian, tibalah saatnya Kaisar bersama Yang Kui Hui bersenang-senang di dalam hutan
        di kaki Pegunungan Funiu-san, tidak jauh dari kota raja. Seperti biasa, di waktu mengadakan perburuan ini,
        tempat itu dijaga oleh para pengawal dan ada pula pasukan yang tugasnya hanya mencari dan menggiring binatang
        hutan sehingga binatang-binatang yang ketakutan itu menuju ke dekat tempat Kaisar dan Permaisurinya menanti
        sehingga dengan mudah Kaisar dapat melepaskan anak panah ke arah binatangbinatang itu. Sekali ini, selain
        beberapa orang pembesar penting, yang menemani Kaisar terdapat juga Pangeran Tang Sin Ong.
      </P>
      <P>
        Seperti biasa, Kaisar dan selirnya yang tercinta menanti di dalam pondok yang memang tersedia di situ, di
        tengah-tengah hutan. Para pembesar dan Pangeran Tang Sin Ong menanti di luar pondok sambil bercakap-cakap.
        Mereka menanti sampai datangnya binatang-binatang yang akan digiring oleh pasukan yang sudah menyusup-nyusup ke
        dalam hutan lebat di depan. para pengawal menjaga di sekeliling tempat itu, pengawal Kaisar dan pengawal
        Pangeran Tang Sin Ong karena pangeran ini mempunyai pasukan pengawal sendiri. Mereka tidak usah lama menanti.
        Segera terdengar sorak-sorai dari jauh, makin lama makin mendekat. itulah suara pasukan yang bertugas
        menggiring binatang hutan menuju ke tempat penyembelihan itu, di mana para pembesar telah menanti dengan
        gendewa bersama dengan anak panahnya siap di tangan. Mendengar suara ini, kaisar sudah keluar dari pondok
        sambil tersenyum-senyum gembira membawa sebatang gendewa. Seorang thaikam yang menjadi kepercayan dan
        pelayannya mengikuti Kaisar sambil membawa tempat anak panah. Tak lama kemudian, mulailah bermunculan
        binatang-binatang hutan yang panik ketakutan karena dikejarkejar dan digiring oleh pasukan di belakang mereka
        yang bersorak-sorai itu. Dan mulailah Kaisar bersama Pangeran Tang Sin Ong dan para pembesar lainnya
        menghujankan anak panah mereka ke arah binatangbinatang itu. Tidak ada seorang pun melihat ketika dari
        rombongan pengawal Pangeran tang Sin Ong, seorang pengawal menyelinap kedalam semak-semak, menanggalkan pakaian
        biasa menyelinap dan memasuki pondok Kaisar dari samping, meloncat masuk dari jendela yang terbuka. Dengan
        kecepatan kilat, laki-laki setengah tua ini menyergap Yang Kui Hui yang sedang berdiri menonton di ambang pintu
        depan. Terdengar selir cantik itu menerit, akan tetapi tubuhnya menjadi lemas ketika dia tertotok dan ketika
        semua orang menoleh medengar jeritan itu, Yang kui Hui telah dipondong dan dibawa lari oleh laki-laki itu.
        "Penculik.....!" "penjahat....!" "Jangan lepas anak panah, bisa salah sasaran....!!" Tiba-tiba Pangeran tang
        Sin Ong berseru keras. Mendengar ini, Kaisar yang sudah pucat mukanya cepat berseru, "Benar! Jangan lepas anak
        panah. Kejar dan tangkap! Selamatkan dia....!" Semua orang, pengawal, pembesar, pangeran tang Sin Ong, bahkan
        Kaisar sediri, mengejar penculik yang memiliki gerakan yang amat gesit itu. Dengan beberapa loncatan saja
        penculik itu telah lari jauh sekali. "Cepat kejar.... tolong dia.... ahhhh, Kui Hui....!!" kaisar berteriak
        dengan muka pucat. Tiba-tiba tampak dua sosok bayangan orang berkelebat menghadang penculik itu. Dari jauh
        kelihatan jelas bahwa dua orang itu adalah wanita-wanita cantik yang gerakannya cepat luar biasa. Wanita yang
        lebih tua sudah menerjang maju dan dengan serangan mendadak berhasil memukul roboh penculik dan merampas Yang
        Kui Hui, kemudian wanita ke dua yang muda dan cantik menggerakan pedangnya menusuk. Terdengar jerit melengking
        yang nyaring sekali ketika pedang itu menembus dada penculik itu yang berkelojotan, terbelalak dan menudingkan
        telunjuknya kepada wanita pertama seolah-olah hendak berkata sesuatu, akan tetapi sebuah tendangan yang
        mengenai kepalanya membuat penculik itu tak dapat bergerak lagi dan tewas seketika! Kaisar dan rombongannya
        sudah tiba di situ. Dengan tepukan perlahan wanita perkasa yang lebih tua itu membebaskan totokan Yang Kui Hui.
        Selir ini mengeluh dan menangis sambil menubruk Kaisar yang memeluknya. kaisar memandang kepada dua orang
        wanita cantik yang sudah berlutut di depan kakinya dengan perasaan bersyukur dan berterima kasih. "Untung
        sekali kalian berdua yang gagah perkasa datang menolong!" kata kaisar dengan penuh rasa syukur, suaranya masih
        gemetar karena ketegangan hebat yang baru saja dialaminya. "Siapakah kalian?" "Hamba adalah Ketua Bu-tong-pai
        bernama The Kwat Lin," berkata wanita cantik itu lalu menuding kepada dara muda yang cantik jelita dan tinggi
        semampai di sebelahnya, "dan ini adalah Bu Liang-cu murid hamba." "Ahhh, kiranya ketua Bu-tong-pai yang
        terkenal!" Kata Kaisar sambil tersenyum lebar. "Pantas saja demikian lihai! Kalian telah berjasa, telah
        menyelamatkan kekasih kami dan membunuh penculik jahat. Kalian pantas diberi hadiah besar." Yang Kui Hui sudah
        menghentikan tangisnya dan kini dia pun memandang kedua orang wanita itu dengan mata berseri. "Kalian datanglah
        ke istana, aku akan memberi hadiah kepada kalian." The Kwat Lin menyembah dengan hormat. "Hamba berdua hanya
        melakukan tugas hamba sebagai rakyat yang setia kepada junjungannya. hamba berdua tidak mengharapkan balas
        jasa, hanya apabila paduka sudi menerima, biarlah murid hamba ini bekerja sebagai pengawal pribadi paduka.
        Sekarang banyak orang jahat, tanpa pengawalan yang kuat tentu membahayakan Paduka. Girang bukan main hati Yang
        Kui Hui. "Baik sekali! Siapa namamu tadi?" tanyakan kepada gadis cantik yang menunduk sejak tadi. Gadis itu
        kini mengangkat mukannya dan dengan sepasang mata yang bersinarsinar dia menjawab, "Nama hamba Bu Liang-cu.
        Saking girangnya, yang Kui Hui mencabut tusuk konde dari emas berhiaskan permata dan menghadiakan benda itu
        kepada The Kwat Lin, dan dia menerima pula gadis murid Bu-tong-pai itu sebagai pengawal pribadinya. Mulai saat
        ini gadis yang bernama Bu Liang-cu itu ikut bersama rombongan Kaisar, selalu mengawal di belakang Yang Kui Hui,
        kembli ke istana. Ada pun The Kwat lin segera kembali ke Bu-tongsan dengan hati girang karena siasatnya
        berjalan dengan baik sekali, sungguhpun untuk itu dia terpaksa harus mengorbankan nyawa seorang anggautanya.
        Penculik itu bukan lain adalah seorang anggautanya sendiri, seorang bekas penjahat yang memiliki ginkang
        tinggi. Penculik itu hanya diperintah untuk melarikan diri Yang Kui Hui dengan janji akan dibantunya kalau
        sampai mengalami bahaya. Akan tetapi, penculik itu baru tahu bahwa dia dikhianati oleh ketuanya sendiri setelah
        dia roboh dengan pedang menembus dadanya. Baru ia tahu bahwa dia dikorbankan untuk suatu siasat licik dari The
        Kwat Lin, namun pengetahuan ini tiada gunanya karena dia keburu mati sebelum dapat mengeluarkan suara. Siapakah
        gadis cantik yang kini menjadi pengawal Yang Kui Hui? Tadinya, untuk tugas ini The Kwat Lin menunjuk muridnya,
        Bu Swi Nio. Akan tetapi, betapa marahnya ketika dia menghadapi penolakan muridnya! "Teecu tidak berani, Subo.
        Perintahlah teecu untuk melakukan hal lainnya, biar disuruh membasmi penjahat yang bagaimanapun, biar harus
        mempertaruhkan nyawa, teecu tidak akan mundur dan pasti akan memenuhi perintah Subo! Akan tetapi ini... ah,
        teecu tidak mau terlibat dalam.... pemberontakan....." jawab Swi Nio sambil berlutut dan menundukan mukanya.
        Hampir saja Kwat Lin menampar kepala muridnya itu saking marah dan kecewanya. Dan pada saat itu, Swi Liang yang
        melihat adiknya terancam bahaya kemarahan subonya, cepat maju dan berkata, "Subo, kalau Moi-moi tidak berani,
        biarlah teecu melakukannya." "Kau seorang pria.... mana mungkin....?" "Teecu bisa saja menyamar sebagai seorang
        gadis. Dahulu di waktu kecil seringkali teecu mengenakan pakaian Moi-moi dan bermain-main seperti seorang anak
        perempuan ." Mendengar ini, Kwat Lin termenung. Betapapun juga dia lebih percaya kepada muridnya dan juga
        kekasihnya ini. Selama ini, Swi Nio delalu memperlihatkan sikap dingin dan kdang-kadang menentang. Berbeda
        dengan Swi Liang yang selalu menuruti kehendaknya, bahkan pemuda itu mau pula melayani nafsu berahinya!
        Pekerjaan yang direncanakan ini amat berbahaya kalau sampai bocor, maka sebaiknya kalau dilakukan oleh orang
        yang paling dipercayanya. Memaksa Swi Nio amat berbahaya karena siapa tahu kalau-kalau murid perempuan ini akan
        mengkhianatinya kelak. "Hemm, kita coba saja!" katanya dan setelah melihat Swi Liang berpakaian wanita dan
        bergaya, Kwat Lin menjadi girang sekali. Agaknya murid itu memang mempunyai bakat sandiwara maka ketika
        berpakaian wanita dan beraksi, dia sendiri hampir pangling dan mengira bahwa Swi Liang adalah Sawi Nio!
        Demikian, rencana siasat itu dijalankan dengan baik dan Swi Liang yang menyamar sebagai seorang gadis cantik
        bernama Bu Liang-cu, berhasil menyusup ke dalam istana sebagai pengawal pribadi dari Yang Kui Hui! Memang
        itulah tujuan pokok dari siasat Kwat Lin, yaitu memikat hati Yang Kui Hui. Pemikatan dengan jalan menolong
        selir itu dari bahaya cukup baik, akan tetapi akan lebih berhasil lagi kalau muridnya itu berhasil menjatuhkan
        hati selir itu dengan ketampanannya! Kalau sampai berhasil Swi Liang menjadi kekasih Yang Kui Hui, hemm, akan
        mudah saja melakukan gerakan pemberontakan dari dalam! Inilah sebabnya maka dia setuju muridnya itu menyamar
        sebagai wanita. Dia rela memberikan kekasihnya ini kepada Yang Kui Hui demi tercapainya cita-citanya. Berbeda
        dengan kakaknya yang telah mabok bujukan gurunya, Swi Nio makin lama merasa makin tidak enak tinggal di
        Bu-tong-san. Dia sama sekali tidak senang dan hatinya menentang menyaksikan semua perbuatan subonya. Tadinya
        memang dia rela menjadi murid wanita sakti, karena wanita itu yang menolong dia dan kakaknya, juga yang telah
        membunuh Pat-jiu Kai-ong musuh besar yang telah membunuh ayah mereka. Akan tetapi semenjak menyaksikan betapa
        subonya itu menguasai Bu-tong-pai dengan kekerasan, melihat subonya melawan susiok sendiri dan bahkan membuat
        para tokoh Bu-tong-pai mengundurkan diri dari Bu-tong-pai, hatinya sudah merasa tidak senang. Apalagi melihat
        masuknya orangorang kasar dan yang dia ketahui adalah bekas-bekas penjahat menjadi anggauta Bu-tong-pai dia
        merasa penasaran. Semua itu masih ditambah lagi kenyataan yang membuatnya merasa malu dan hina, yaitu melihat
        kakaknya menjadi kekasih subonya. Seringkali secara diam-diam Swi Nio menasihati kakaknya, bahkan menganjurkan
        kakaknya untuk bersama dia melarikan diri saja dari Bu-tong-pai, namun semua itu tidak diacuhkan oleh Swi
        Liang. Swi Nio menderita batin seorang diri, seringkali menangis di dalam kamarnya. Melihat munculnya Kiam-mo
        Cai-li, hatinya menjadi makin gelisah. Dia dahulu sudah mendengar dari mendiang ayahnya bahwa Kiam-mo Cai-li
        adalah seorang datuk kaum sesat yang amat kejam. Namun kenyataannya, subonya menjadi sekutu iblis itu, bahkan
        diakui sebagai pemimpin! Pagi hari itu, setelah merasa kehilangan kakaknya yang pergi tampa pamit bersama
        subonya dan kemudian melihat subonya pulang sendiri tanpa kakaknya, Swi Nio tak dapat menahan kegelisahan
        hatinya lagi dan dia memberanikan diri memasuki kamar subonya di mana subonya sedang bercakap-cakap dengan
        Kiam-mo Cai-li yang kebetulan datang ke Bu-tong-san. "Subo, teecu (murid) tidak melihat adanya Liang-koko yang
        tadinya pergi bersama Subo selama beberapa hari lamanya. Ke manakah dia, Subo? Apakah yang terjadi dengan
        kakakku itu?" tanyanya dengan wajah agak pucat karena beberapa malam dia kurang tidur memikirkan kakaknya. The
        Kwat Lin mengerutkan alisnya. Hatinya memang sudah tidak senang pada muridnya ini, apalagi ketika Swi Nio
        terang-terangan berani menolak perintahnya sehingga tugas itu digantikan oleh Swi Liang biarpun pemuda itu
        berhasil baik, betapapun juga The Kwat Lin merasa kehilangan, apalagi di waktu malam yang sunyi dan dingin!
        "Kau tidak perlu tahu!" jawabnya membentak. "Tapi.... Subo, dia adalah kakak teecu......" Swi Nio membantah.
        "Hemm, dia bertugas di kota raja. Sudah, pergilah dan jangan kau mengganggu kami yang sedang bicara!" Swi Nio
        bangkit berdiri dari atas lantai dan memandang gurunya dengan mata terbelalak dan muka pucat. "Jadi....dia....
        dia telah menyelundup ke dalam istana....?" The Kwat Lin bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke muka
        Swi Nio sambil membentak marah, "Gara-gara engkaulah! Apa kaukira kalau tidak terpaksa aku suka membiarkan dia
        melakukan tugas berbahaya itu? Mestinya engkau yang bertugas, akan tetapi engkau telah menolak. Dia seorang
        murid yang amat baik, tidak seperti engkau yang tak mengenal budi!" Swi Nio membalikan tubuhnya, menutupi muka
        dan menangis sambil mengeluh, "Liang-koko..... ah, Koko....!" Setelah dara itu berlari pergi, Kwat Lin duduk
        kembali, wajahnya keruh dan dia mengomel, "Murid yang murtad! Sungguh menjengkelkan saja dia itu!"
        Kiam-mo-Cai-li tersenyum. "Mengapa pusing-pusing menghadapi seorang gadis seperti itu? Kalau dibiarkan saja,
        tentu dia akan terus merongrongmu dan boleh jadi kelak akan membahayakan perjuangan kita. Dia harus
        ditundukkan!" "Hemm, maksudmu menggunakan kekerasan?" "ah, aku mengenal gadis seperti itu. Wataknya keras dan
        kalau digunakan kekerasan, sampai mati pun dia tidak akan tunduk. Kalau sampai dia mati, amat tidak baik bagi
        kakaknya yang kita butuhkan tenaganya. Dia harus dilawan dengan cara halus." "Bagaimana maksudmu? Membujuknya?"
        Kiam-mo Cai-li menggeleng kepalanya. "Dibujukpun takkan berhasil. Akan tetapi sekali dia telah jadi isteri
        orang, tentu dia akan menurut segala kehendak suaminya." "Ihhh! Aku tidak pernah memikirkan hal itu. Dengan
        siapa?" "Kita harus cerdik, kita harus memakai siasat sekali tepuk memperoleh dua ekor lalat atau menggunakan
        pedang yang bermata dua. Di satu fihak, kita harus menyenangkan hati Pangeran Tang Sin Ong yang aku tahu
        memiliki watak mata keranjang sehingga dia akan tentu berterima kasih sekali kepadamu kalau kau rela memberikan
        muridmu yang cantik manis itu kepadanya, menjadi seorang selirnya yang tercinta dan dapat diandalkan. Ke dua,
        kalau muridmu itu sudah menjadi selir Pangeran Tang Sin Ong, tentu dia akan tidak banyak bantahan lagi!" The
        Kwat Lin mengangguk-angguk dan diam-diam dia memuji kecerdikan temannya ini. "Siasatmu memang baik sekali,
        Cai-li! Akan tetapi.... biarapun sudah pasti sekali Pangeran akan menerima penawaran ini dengan kedua tangan
        terbuka, kukira belum tentu Swi Nio akan mau dijadikan selir pangeran itu. Kalau dia menolak, lalu bagaimana?"
        Kiam-mo Cai-li tertawa. "Hi-hi-hik, tidak usah khawatir, Pangcu. Aku yang tanggung jawab dia tentu tidak akan
        menolak." Dia lalu mendekatkan mulutnya ketelinga The Kwat Lin berbisik-bisik. Kwat Lin mengangguk-angguk. "
        Hemm, kalau dia merupakan seorang murid yang baik dan taat, tentu aku tidak tega, akan tetapi.... demi
        suksesnya perjuangan kita, agar dia tidak menjadi penghalang malah kelak mungkin dapat membantu, biarlah....
        kita atur secepatnya agar Pangeran dapat berkunjung ke sini." "Tentu mudah saja dan tidak menimbulkan
        kecurigaan. Bukankah peristiwa di hutan itu membuat nama Bu-tong-pai terangkat tinggi dalam pandangan kerajaan?
        Kalau seorang Pangeran berkunjung ke sini, menemui penolong selir Yang Kui Hui, hal itu sudah semestinya!
        Hi-hi-hik." "Kau memang cerdik sekali, Cai-li!" The Kwat Lin memuji dan kedua orang wanita berkepandaian tinggi
        itu sambil tersenyum-senyum minum arak wangi yang berada di dalam cawan-cawan perak mereka. Beberapa hari
        kemudian, sesuai dengan siasat mereka itu, datangalah rombongan tamu agung dari kota raja. Pangeran Tang Sin
        Ong! Inilah hasil pertama dari siasat The Kwat Lin menolong Yang Kui Hui. Sebelum peritiwa itu, hubunganya
        dengan pangeran itu dilakukan secara sembunyi dan pertemuan rahasia yang diadakan hanya melalui kurir (utusan).
        Akan tetapi sekarang, setelah siasat di hutan itu sekaligus mengangkat nama Bu-tong-pai, Pangeran Tang Sin Ong
        berani datang secara berterang, bahkan sebelum berangkat pangeran itu menerima titipan bingkisan hadiah yang
        dikirim oleh Yang Kui Hui sendiri melalui pangeran itu. Tentu saja keadaan di Bu-tong-san seperti dalam pesta.
        Semua anak buah Bu-tong-pai mengenakan pakaian baru dan rombongan tamu agung itu disambut dengan meriah seperti
        sambutan terhadap seorang pengantin. Dengan penuh kehormatan para tamu agung dijamu di ruangan yang lebar dari
        Bu-tong-pai, dan pesta pora diadakan diruangan yang biasa dipergunakan untuk Lian-bu-thia (ruang belajar
        silat). Sambutan resmi dilakukan dan pangeran menyerahkan bingkisan dari Yang Kui Hui dan menyerahkan pula
        bingkisan dari dirinya sendiri kepada ketua Bu-tong-pai. Malam harinya, sebagai penghormatan khusus, Pangeran
        Tang Sin Ong seorang diri dijamu oleh The Kwat Lin diruangan dalam dan ketua ini ditemani oleh Kiam-mo Cai-li
        dan Bu Swi Nio! Dara ini setengah dipaksa oleh subonya untuk menemaninya menjamu pangeran itu dan biarpun di
        dalam hatinya Bu Swi Nio tidak setuju, namun dia tidak berani membantah. Pula, di dalam hatinya dia ingin
        sekali mendengar percakapan mereka yang tentu akan menyangkut pula keadaan kakaknya di kota raja. Ketika
        pengeran ini dipersilahkan duduk menghadapi meja yang sudah penuh hidangan, The Kwat Lin memperkenalkan Kiam-mo
        Cai-li Liok Si sebagai pemilik istana Rawa Bangkai, dan memperkenalkan muridnya pula Bu Swi Nio sebagai
        muridnya yang terkasih. Pangeran itu memandang Kiam-mo Cai-li dan Bu Swi Nio, lalu tertawa gembira dan berkata,
        "Sungguh beruntung sekali Pangcu mendapatkan seorang pembantu seperti Liok Toanio ini yang saya yakin tentu
        memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan muridmu ini....aaihh... penerangan ini menjadi makin bercahaya, suasana
        menjadi makin gembira dan segar, hidangan menjadi bertambah lezat. Sungguh saya merasa berbahagia sekali bahwa
        Nona Bu suka menemani saya makan minum, untuk ini saya harus menghaturkan arak penghormatan sebagai tiga
        cawan!" Pangeran itu tentu saja tadinya sudah diberitahu oleh Kwat Lin bahwa ketua ini hendak menghadiahkan
        muridnya kepadanya. Maka begitu melihat Swi Nio yang masih amat muda dan cantik jelita itu, hati Sang Pangeran
        sudah jatuh dan gairahnya sudah bernyala-nyala. Wajah Swi Nio menjadi merah padam. Dia merasa malu sekali
        menyaksikan sikap dan mendengar kata-kata yang penuh pujian ini. Dia tidak biasa berhadapan dengan pria seperti
        ini. Hatinya berdebar tegang dan khawatir, akan tetapi untuk menolak, tentu saja dia tidak berani. Sambil
        menunduk dan membisikan kata-kata terima ksih dia menerima tiga cawa arak berturut-turut. Biarpun dia tidak
        biasa minum banyak arak, akan tetapi terpaksa tiga cawan arak itu diminumnya tanpa banyak membantah. Melihat
        ini The Kwat lin dan Kiam-mo Cai-li tertawa girang dan dari seberang meja, The Kwat Lin mengedipkan sebelah
        matanya kepada Sang Pangeran.Tang Sin Ong mengerti akan isyarat ini, maka dia lalu melepas seuntai kalung emas
        bertaburan permata yang tergantung di lehernya, bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan yang memegang
        kalung itu kepada Swi Nio sambil berkata, "Nona Bu, kalung ini sama sekali tidak dapat mengimbangi kecantikan
        Nona, akan tetapi karena pada saat ini yang ada pada saya hanya kalung ini, maka sudilah Nona menerimanya
        sebagai tanda penghormatan saya kepada seorang Nona secantik dewi!" Bu Swi Nio terkejut sekali dan cepat dia
        menoleh kepada subonya. Menurutkan kata hatinya, ingin dia menolak keras dan mencela sikap pangeran yang
        terlalu berani itu. Akan tetapi dia melihat subonya mengangguk dan berkata, "Swi Nio, Pangeran telah bermurah
        hati kepadamu, mengapa tidak lekas menerima dan menghaturkan terima kasih?" Bu Swi Nio merasa terdesak dan
        dengan suara gemetar dia berkata, "Hamba...., hamba...., tidak berani menerimanya....." "Swi Nio....!" The Kwat
        Lin menegur "Bu Swi Nio, mengapa kau menolak kemurahan hati Pangeran?" Kiam-mo Cai-li juga ikut menegur.
        Pangeran Tang Sin Ong tertawa. "Ahh, tentu saja Nona Bu merasa malu-malu, tidak seperti gadis-gadis yang haus
        akan harta benda. Hal ini malah menonjolkan kecemerlangan watak seorang gadis yang cantik jelita dan gagah
        perkasa! Nona, biarlah aku mengalungkan hadiah ini di lehermu." Berkata demikian, Sang Pangeran lalu bangkit
        berdiri dan mengalungkan kalung emas itu melingkari leher Swi Nio yang menundukan kepalanya. Karena tak dapat
        menolak lagi dan kalung yang lebar itu sudah mengalungi lehernya, dengan muka sebentar pucat, Swi Nio menjura,
        "Banyak terima kasih hamba haturkan..." "Aaaahhh, jangan sungkan-sungkan." Dia tertawa, kedua orang wanita
        sakti itupun tertawa dan mereka bergantian menyuguhkan arak kepada Sang Pangeran dan juga Bu Swi Nio. "Muridku,
        karena pangeran telah bermurah hati kepadamu, tidak saja menyuguhkan arak tetapi juga menghadiahkan kalung,
        mengapa kau tidak bersikap sebagai seorang muridku yang tahu aturan dan mengenal budi. Hayo cepat suguhkan tiga
        cawan kepada Pangeran sebagai penghormatanmu!" Muka Swi Nio menjadi merah. Dia tidak membantah kebenaran ucapan
        ini, maka secara terpaksa dia bangkit berdiri, dipandang oleh pangeran yang tersenyum-senyum dan mengelus
        jenggotnya, menghampiri pangeran dan menuangkan arak ke cawan Sang Pangeran dari guci emas. "Silahkan Paduka
        minum arak sebagai tanda kehormatan hamba, Pangeran," kata Swi Nio dengan malu-malu. "Ha-ha-ha, terima kasih,
        Nona. Akan tetapi, aku tidak mau minum kalau tidak aku temani. Hayo untukmu juga secawan!" Kembali Kwat Lin dan
        Kiam-mo Cai-li ikut membujuk dan terpaksa akhirnya Swi Nio kembali minum tiga cawan arak bersama Sang Pangeran.
        Karena tidak biasa minum arak, kini diloloh banyak arak yang diamdiam telah dicampuri bubuk putih dilepas
        secara lihai oleh Kiam-mo Cai-li ke dalan cawan gadis itu, akhirnya Swi Nio menjadi mabok. Dia mulai tersenyum
        dengan lepas, memperlihatkan deretan gigi yang putih, dan mulai berani mengangkat muka memandang pangeran yang
        pandai bicara itu. "Ha-ha-ha, setelah ditemani makan minum oleh Nona Bu, aku lupa semua wanita di istanaku!
        Hemm, bagaimana aku dapat berpisah lagi darimu, Nona?" kata Pangeran itu. Mendengar ini Swi Nio mengerutkan
        alisnya, akan tetapi karena kepalanya sudah pening dan pandang matanya sudah berkunang, hanya sebentar saja dia
        merasa betapa kata-kata itu tidak pada tempatnya dan dia hanya tersenyum! "Bu Swi Nio muridku yang baik.
        Pangeran telah berkenan mencintaimu! Kau akan diambilnya sebagai selir yang tercinta. Cepat kau berlutut dan
        haturkan terima kasih, muridku." Sepasang mata dara itu terbelalak. "Tidak....! Ah, tidak......!" Terdengar
        suara pangeran, "Nona, kau cantik sekali.... kau gagah perkasa, aku cinta padamu dan marilah kau ikut bersamaku
        ke kota ke kota raja. Kau akan menjadi selirku yang paling tercinta, menjdi pengawal pribadiku...." "Tidak....!
        Ahhh, tidak mau.... oughh.......!" Swi Nio yang tadinya bangkit berdiri serentak itu, tiba-tiba terhuyung dan
        kembali menjatuhkan diri di atas bangku karena melihat betapa kamar itu berpuatr-putar dan dia merasa seperti
        terayun-ayun. Karena tidak tahan lagi, Swi Nio merebahkan kepalanya di atas kedua lengan yang berada di atas
        meja, hanya menggoyang kepalanya tanda menolak. Terdengar olehnya lapat-lapat suara gurunya, "Jangan bodoh, Swi
        Nio. Engkau akan menjadi seorang nyonya Pangeran yan terhormat, dan di kota raja kau dapat bekerja sama dengan
        kakakmu........" "aku tidak mau.... ah, tidak mau....." Swi Nio membuka matanya dan melihat wajah yang dekat
        sekali dengan mukanya. Wajah Sang Pangeran Tang Sin Ong, wajah seorang laki-laki yang cukup tampan gagah, akan
        tetapi sudah tua, sedikitnya lima puluh tahun usianya. Dia merasa ngeri, takut dan akhirnya dia tidak ingat
        apa-apa lagi. Obat bubuk yang dicampurkan di raknya oleh Kiam-mo Cai-li telah bekerja dengan baik, dia tertidur
        dan tidak merasa apa-apa lagi. Swi Nio mengeluh dan mengerang. Dia mimpi. Seolah-olah dia berada di dalam
        sebuah perahu berdua saja bersama Pangeran Tang Sin Ong. Lalu perahu itu diserang badai, terguling dan dia
        merontaronta hendak melawan gulungan ombak yang menggelutnya. Namun dia merasa tubuhnya lemas, dia terseret,
        tenggelam, gelagapan dan seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit, kepalanya pening. Sebentar dia timbul, lalu
        tenggelam lagi, dan lapat-lapat dia mendengar suara Pangeran Tang Sin Ong yang menyatakan cinta kasihnya. Jauh
        lewat tengah malam Swi Nio mengeluh dan merintih perlahan, lalu membuka matanya Mimpi itu teringat lagi
        olehnya, membuat dia bergidik ngeri. Untung hanya mimpi, pikirnya ketika dia membuka mata mendapatkan dirinya,
        telah rebah di atas pembaringannya sendiri di dalam kamarnya. "Ouh....!" Kepalanya masih pening sekali. Dia
        bangkit duduk dan hampir dia menjerit kaget ketika melihat bahwa dia tidak berpakaian sama sekali! Dia teringat
        bahwa dia menemani subonya, Kiam-mo Cai-li, dan Pangeran Tang Sin Ong makan minum. Teringat betapa dia terlalu
        banyak minum dan mabuk. Mengapa dia tahu-tahu berda di pembaringannya tanpa pakaian? Dia memeriksa keadaan
        tubuhnya, melihat kalung yang masih bergantung di lehernya, dan tiba-tiba tahulah dia akan semua yang telah
        terjadi atas dirinya! "Keparat....!" Dia bangkit akan tetapi terguling lagi karena selain kepalanya pening
        sekali, tubuhnya juga panas dan lemas seolah-olah kehabisan tenaga. Dia tidak tahu bahwa itulah pengaruh obat
        bubuk, racun yang diminumnya bersama arak, yang membuat dia pulas sehingga tidak dapat melawan ketika Pangeran
        Tang Sin Ong membawanya ke dalam kamar dan menggagahinya. Tiba-tiba pintu kamar terbuka dari luar. Swi Nio
        menahan napas, mengambil keputusan untuk mengerahkan seluruh tenaganya membunuh Pangeran itu. Dia sudah maklum
        bahwa dirinya diperkosa Pangeran itu. "Selamat, muridku. Engkau telah menjadi isteri Pangeran! Besok Pangeran
        Tang Sin Ong akan menjemputmu secara resmi membawanya ke kota raja sebagai selirnya terkasih...." "Tidak sudi!
        Aku harus membunuhnya!" Swi Nio meloncat turun tanpa mempedulikan tubuhnya yang telanjang bulat, kedua tanganya
        dikepal. "Plak!" Swi Nio terlempar dan terbanting di atas pembaringannya lagi ketika kena tamparan tangan
        gurunya. "Swi Nio, apa yang kauucapkan itu? Engkau suka sendiri melayani Pangeran, engkau menerima kalungnya,
        engkau tersenyum-senyum kepadanya. Setelah engkau dan dia bersenang-senang di dalam kamar ini, semestinya aku
        mengutukmu. Akan tetapi aku sayang kepadamu, aku tidak marah malah bersyukur bahwa engkau akan menjadi isteri
        muda seorang pangeran. Dan sekarang kau hendak memberontak? Hendak membikin malu Gurumu? Kau mau membunuh
        kekasihmu sendiri? Bocah setan tak kenal budi! Kalau tidak aku robah pendirianmu, aku sendiri yang akan
        membunuhmu! Pikirkan ini baik-baik. Engkau sudah bukan perawan lagi, engkau milik Pangeran Tang Sin Ong!" The
        Kwat Lin meninggalkan kamar itu dan membanting keras-keras daun pintu kamar. Swi Nio menutupi mukanya dan
        menangis mengguguk. Tak tahu apa yang harus dilakukannya. Dengan terisak-isak dan jari-jari tangan gemetar dia
        mengenakan pakaiannya yang bertumpuk di sudut pembaringan. Kepalanya masih pening dan tenaganya habis. Tak
        mungkin dalam keadaan seperti itu dia melarikan diri. Tentu akan mudak tertangkap kembali oleh gurunya. Melawan
        pun tidak mampu, apa lagi dia benar-benar merasa seperti tidak bertenaga lagi. Apa lagi hendak membunuh
        pangeran itu yang selalu terkawal kuat! "Ta Tuhan....!" Dia menangis lagi sesenggukan. "Ayah.... Koko...., apa
        yang harus kulakukan......?" Dia sudah ternoda. Mau atau tidak, dia harus menjadi selir Pangeran itu. Dia tidak
        sudi! Lebih baik mati! Mati!! Ya, matilah jalan satu-satunya, demikian pikiran yang ruwet itu mengambil.
        Dirabanya ikat pinggangnya. Tidak, dia seorang gadis gagah perkasa, tidak semestinya mati menggantung diri
        seperti wanita-wanita lemah. Dihampirinya pedangnya yang tergantung di dinding. Biarpun tangannya gemetar dan
        tidak bertenaga dipaksanya tangan itu mencabut pedangnya, lalu sambil memejamkan matanya, dia mengayun pedang
        itu ke lehernya. "Plakkkk!!" Lengan kanannya dipegang orang dan pedang itu dirampasnya. Tadinya dia mengira
        bahwa subonya yang mencegahnya membuuh diri, maka dia terisak dan membalik. Betapa kagetnya ketika dia melihat
        bahwa yang mencegahnya membunuh diri itu adalah seorang laki-laki muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya.
        Laki-laki ini tersenyum, wajahnya cukup tampan dan membayangkan kegagahan. "Membunuh diri bukan perbuatan
        seorang gagah." Bisik laki-laki itu. "Kalau sudah mati, mana mungkin dapat menghilangkan penasaran? Kalau masih
        hidup, selalu terbuka harapan untuk membalas dendam!" Ucapan ini menyadarkan Swi Nio. "Siapa kau....?"
        "Ssssttt...., bisik pula laki-laki itu. "Aku seorang mata-mata yang dikirim oleh Jenderal An Lu San. Nona,
        daripada engkau membunuh diri, mari kubantu kau keluar dari tempat ini dan kau ikut bersamaku. Dengan bekerja
        untuk An-goanswe, kelak kau berkesempatan untuk membalas kepada semua orang yang telah mendatangkan malapetaka
        ini kepadamu." Seperti kilat masuknya pikiran ini ke dalam kepala Swi Nio. Mengapa tidak? Mati bukan merupakan
        jalan yang memecahkan persoalan! Dia harus membalas kepada Pangeran itu! Dan kini, dia dapat menduga bahwa dia
        tentu pingsan karena pengaruh obat dari Kiam-mo Cai-li. Dia tahu bahwa wanita itu adalah seorang ahli tentang
        racun. Kini dia mengerti semua. Dia sengaja dikorbankan oleh gurunya dan oleh wanita iblis itu, seperti seekor
        domba yang sengaja dikorbankan menjadi mangsa serigala, Si Pangeran itu! Dendamnya bertumpuk, kini terbuka
        jalan baginya, perlu apa mengambil jalan pendek membunuh diri? "Baik, mari ikut aku...." bisiknya dan dengan
        berindap-indap Swi Nio mengajak laki-laki itu melalui jalan rahasia dan akhirnya, menjelang pagi, mereka berdua
        berhasil keluar dari tembok pagar Butong- pai. "Haiii....!!" tiba-tiba terdengar bentakan dan lima orang
        anggauta Bu-tong-pai muncul dari tempat penjagaan tersembunyi. Akan tetapi ketika mereka melihat Swi Nio,
        mereka terheran-heran, memandang kepada gadis itu lalu kepada orang asing yang keluar dari jalan rahasia
        bersama murid utama ketua mereka. Malam itu memang banyak datang tamu dari kota raja yang ikut dalam rombongan
        Pangeran, maka mereka mengira bahwa tentu orang ini adalah anggauta rombongan pula. Akan tetapi sepagi itu,
        masih gelap, apakah yang akan dilakukan tamu ini bersama Swi Nio keluar dari Bu-tong-pai dengan diam-diam?"
        Tiba-tiba terdengar teriakan berturut-turut dan lima orang itu roboh dan tewas seketika. Mereka hanya mampu
        satu kali saja mengeluarkan teriakan karena tenggorokan mereka hampir putus disambar jari-jari yang amat kuat
        dari mata-mata itu yang bergerak dengan cepat luar biasa menyerang mereka. Melihat kelihaian orang itu, Swi Nio
        tercengang. Dia makin kagum. Kiranya mata-mata ini bukan orang biasa dan andaikata ketahuan pun akan merupakan
        lawan tangguh, sungguhpun tentu saja dia sangsi apakah orang ini akan mampu lolos kalau Kiam-mo Cai-li dan
        subonya turun tangan. "Mari cepat....!" Orang laki-laki itu berkata dan melihat keadaan Swi Nio yang masih
        lemas, dia tanpa ragu-ragu lagi lalu menyambar tubuh gadis itu, dipanggulnya dan berlarilah dia dengan amat
        cepatnya meninggalkan tempat yang berbahaya baginya itu. Gadis bernama Liang-cu yang sebenarnya adalah
        penyamaran Bu Swi Liang, bekerja di dalam istana sebagai pengawal pribadi Yang Kui Hui. Dia bertugas memikat
        hati selir Kaisar yang cantik jelita ini. Dapat dibayangkan betapa tersiksa hati pemuda itu menyaksikan semua
        yang terjadi di dalam kamar Yang Kui Hui, melihat selir yang cantik jelita itu beristirahat, mandi, berganti
        pakaian dan lain-lain di depan matanya begitu saja karena dia dianggap wanita pula! Betapa tersiksa hati orang
        muda ini hidup di antara wanita-wanita cantik, yaitu para pelayan Yang Kui Hui. Di istana bagian puteri ini
        tidak ada prianya, karena para thaikam yang bertugas di situ biarpun kelihatan seperti orang pria, namun
        sesunguhnya tidak lagi dapat disebut sebagai pria. Swi Liang adalah seorang pemuda yang sedang berkobar
        nafsunya karena Bu-tong-san dia diseret ke dalam kekuasaan nafsu berahi oleh subonya sendiri. Sebagai seorang
        pemuda yang baru gila berahi, kini berada ditengah-tengah para wanita cantik itu, tentu saja dia tidak kuat
        bertahan terlalu lama. Untuk melakukan tugasnya memikat Yang Kui Hui, dia belum berani karena kesempatanya
        belum tiba. Dia tidak berani bersikap kasar dan membuka rahasia penyamarannya begitu saja. Karena sekali gagal,
        dia tentu akan mati konyol. Akan tetapi untuk menunda lebih lama lagi menguasai nafsunya, dia tidak sanggup!
        Akan tetapi, Swi Liang menahan gelora hatinya sedapat mungkin. Dia harus bersabar menanti kesempatan baik.
        Tugasnya amat penting bagi perjuangan subonya Sama sekali tidak boleh gagal karena taruhannya adalah nyawanya.
        Pada suatu senja belasan hari kemudian Swi Liang diperbolehkan mengaso karena malam itu kaisar akan mengunjungi
        selirnya yang tercinta dan tempat itu penuh dengan pengawal-pengawal pribadi Kaisar sendiri. Swi Liang lalu
        mengundurkan diri ke dalam kamarnya, sebuah kamar yang amat indah dan berdekatan dengan kamar para pelayan
        utama atau pelayan pribadi selir Kaisar itu. Selagi duduk melamun sendiri di dalam kamarnya, mencari akal
        bagaimana untuk memulai tugasnya, merayu dan memikat Hati Yang Kui Hui, dia membayangkan keadaan selir itu dan
        jantungnya berdebar penuh nafsu dan gairah. Selir itu memang cantik luar biasa, dan ketika mandi atau bertukar
        pakaian, dia dapat menyaksikan seluruh bagian tubuh yang padat dan amat menggaerahkan itu. Pernah dia membantu
        pelayan menyelimutkan kain setelah selir itu mandi dan jari-jari tangannyamenyentuh kulit yang halus, lunak,
        dan hangat, dan tercium olehnya bau semerbak harum dari tibuh selir itu. Keharuman yang khas dan alangkah jauh
        bedanya antara kecantikan dan tubuh indah selir itu dibandingkan dengan subonya! "Enci Liang-cu! kenapa melamun
        saja?" Seorang gadis cantik berbaju hijau menegurnya sambil tertawatawa, di belakangnya masuk pula seorang
        gadis cantik berbaju merah. Mereka itu adalah dua orang pelayan pribadi Yang Kui Hui, dua orang gadis cantik
        jelita yang genit-genit "Ah, Enci Liang-cu orangnya pendiam amat sih, tidak mau bersendaugurau dengan kami? Swi
        Liang tersenyum menekan jantungnya yang berdebar-debar dan menahan matanya agar jangan terlalu melotot melahap
        kecantikan dua orang gadis itu. "Ahh, aku lelah dan sedang beristirahat. Jarang ada kesempatan beristirahat
        seperti ini...." kata Swi Liang. "Mari temani kami main thio-ki (kartu) di kamarku, Enci Liang-cu!" kata Si
        Baju Hijau. "Ya, marilah, Enci Liang-cu. Tidak enak hanya bermain berdua. Marilah, sambil kita berkenalan lebih
        erat lagi. Kenapa sih? Bukankah kita ini rekan-rekan yang berkerja di sini?" kata Si Baju Merah sambil menarik
        tangan Swi Liang. Tak dapat Swi Liang menolak karena hal ini mendatangkan kecurigaan apalagi memang dia sudah
        rindu sekali akan sentuhan tangan wanita cantik setelah belasan hari berpisah dari subonya. Kedua orang gadis
        itu tertawa-tawa, menggandeng kedua tangan Swi Liang dan membawanya kedalam kamar Si Baju Hijau yang berbau
        harum. Sebuah meja bundar rendah telah dipersiapkan di tengah kamar, di dekat pembaringan di sekeliling meja
        itu terdapat tikar yang ditilami kasur dan bantal. Selain kartu untuk main, juga di atas meja terdapat seguci
        arak wangi dan cawan-cawan kecil, juga beberapa macam kuih kering. "Duduklah, Enci Liang-cu. Mari kita,
        main-main. kau bermalam saja di sini malam ini, ya?" Si Baju Hijauberkata sambil merangkul. "Dan tubuhmu begini
        tegap dan kelihatan kuat, Enci Liang-cu," kata Si Baju Merah memegang-megang lengan pemuda itu. "Aihhh, tangan
        Enci Liang-cu kuat dan kasar!" kata Si Baju Merah menghelus telapak tangan pemuda itu. Swi Liang menarik
        tangannya. "Aahh, aku sejak kecil berlatih silat. Tentu saja aku seorang gadis yang kasar, mana bisa
        dibandingkan dengan kalian yang halus mungil?" "Hi-hik, kau terlalu memuji, Enci!" kata Si Baju Merah sambil
        mencubit paha Swi Liang. "Kalau engkau menjadi seorang laki-laki, tentu tampan dan gagah, Enci Liang-cu!" kata
        Si Baju Hilau. Dapat dibayangkan betapa tubuh Swi Liang terasa panas dingin menghadapi godaan-godaan ini, maka
        cepat-cepat mengajak mereka bermain kartu, karena kalau dilanjutkan godaan mereka itu, tentu dia takkan kuat
        lagi bertahan! Sudah timbul keinginan keras di hatinya untuk merangkul dan mendekap mereka, menciumi bibir yang
        merah dan lincah itu! "Eh, untuk apa arak ini?" katanya setelah Si Baju Merah menuangkan secawan arak yang
        berbau wangi. "Hi-hik, bermain thioki tanpa taruhan tidak menyenangkan. Siapa kalah harus menebus kekalahannya
        dengan minum secawan arak wangi!" kata Si Baju Hijau. Meeka mulai bermain thioki sambil bercakap-cakap dan
        bersendau gurau, atau lebih tepat lagi, kedua orang gadis itu yang bercakap-cakap dan bersendau gurau sedangkan
        Swi Liang hanya mendengarkan dan kadang-kadang tersenyum saja. Karena dia tidak ingin dilolohi arak sehingga
        rahasianya dapat terbuka, maka Swi Liang bermain sungguh-sungguh sehingga dia jarang kalah dan yang kebagian
        minum arak adalah kedua orang gadis itulah! Mereka bermain terus sampai menjelang tengah malam dan akhirnya
        arak dalam guci kecil itu habis! "Ahhh, hawanya panas sekali ....!" kata Si Baju Hijau. "Bukan panas, hanya
        engkau terlalu banyak minum maka terasa panas, " kata Swi Liang. "Hemm, mungkin... aihhh, gerahnya." Si Baju
        Hijau membuka kancing bajunya dan mengebut-ngebut dengan kipas. Swi Liang menelan ludah, matanya memandang ke
        arah dada yang hanya tertutup pakaian dalam yang tipis sehingga membayangkan tonjolan-tonjolan yang memikat
        hati. Karena pandang matanya selalu tertarik ke arah dada Si Baju Hijau, maka permainan Swi Liang menjadi kalut
        dan sekali ini dia kalah. Akan tetapi arak telah habis! "Wah, Enci Liang-cu jarang kalah, sekarang telah kalah
        araknya habis. Mana dia bisa menebus kekalahannya?" kata Si Baju Merah cemberut. "Hi-hik, kalau arak habis dia
        harus membayar dengan ciuman!" kata Si Baju Hijau. "Hi-hi-hik, benar! Dia harus didenda dengan ciuman dan mulai
        sekarang, taruhannya dirobah. karena arak habis, siapa kalah harus membayar dengan ciuman!" kata Si Baju Merah.
        Kedua orang gadis itu dari kanan kiri lalu menyerbu dan mencium pipi Swi Liang dengan hidung mereka. Swi Liang
        memejamkan kedua matanya! "Eh.... eh...., kalian ini bagaimana? Ihh... malu, kan....?" katanya gelagapan. "Enci
        Liang-cu, mengapa kau begitu kejam? Kita bertahun-tahun dikurung di tempat ini dan hanya dapat menyaksikan
        orang lain bermain cinta. Bertemu dengan pria pun merupakan hal yang tak mungkin bagi kita. Apa salahnya di
        antara kita saling menghibur dan saling mencumbu? Sekedar menghilangkan rindu......" kata Si Baju Merah.
        Permainan dilanjutkan dan makin lama Swi Liang makin terseret oleh gelora nafsu berahinya sendiri. Ketika dia
        menang dan harus mencium, dia tidak mencium seperti biasa dengan hidung kepipi, melainkan mencium mulut dua
        orang gadis itu dengan mulutnya! Dua orang gadis itu mengeluh dan balas mencium sehingga tanpa diperintah lagi
        permainan kartu itu bubar dan dilanjutkan dengan permainan saling mencumbu, saling peluk dan saling cium antara
        tiga orang itu! "Aihh, Enci Liang-cu.... kau hebat sekali ....." keluh Si Baju Hijau. "Enci Liang-cu.... kalau
        saja engkau seorang pria....." bisik Si Baju Merah "Kalian senang?" Swi Liang berkata, terengah-engah sedikit.
        "Matikanlah lampunya, barangkali di dalam gelap aku akan dapat pian-hoa (bermain rupa) menjadi pria, siapa
        tahu?" Sambil terkekeh genit, Si Baju Hijau meniup pandam lampu di meja dan mereka bertiga pindah ke
        pembaringan, melanjutkan permainan mereka yang mengasyikkan hati mereka itu. Mereka merasa semakin bebas
        setelah keadaan di dalam kamar itu menjadi gelap, mereka dapat mencurahkan seluruh nafsu mereka tanpa malu-malu
        lagi. Tak lama kemudian terdengar jerit tertahan, disusul teriakan-teriakan yang lebih menyerupai bisikan kaget
        bercampur girang, "Eh... kau...?" "Hemm, diamlah sayang....." terdengar suara Swi Liang dan selanjutnya kamar
        itu sunyi, tidak terdengar keras lagi sehingga kalau didengar dari luar kamar, seolah-olah tiga orang "gadis"
        itu sedang tidur pulas, padahal tentu saja keadaanya jauh dari pada itu, bahkan sebaliknya. Menjelang pagi,
        terdengar suara Si Baju Hijau, suara yang berbisik dan agak serak karena semalam tidak tidur rupanya,
        "...engkau.... setiap malam harus menemani kami.... ya, koko yang baik?" "....harus, kalau tidak.... hemm, kami
        akan melaporkan bahwa kau adalah seorang pria sejati......" bisik pula Si Baju Merah dengan nada manja
        mengancam. Sunyi mengikuti kata-kata bisikan itu, kemudian terdengar jerit tertahan dan tak lama kemudian,
        tampak Swi Liang dalam pakaian seperti liang-cu, meloncat keluar dari dalam kamar itu memondong tubuh dua orang
        pelayan itu yang sudah menjadi mayat! Dengan tergesa-gesa Swi Liang membawa dua mayat itu ke kebun, menggali
        lubang, mengubur dengan cepat sekali, kemudian kembali ke kamarnya dengan badan penuh keringat dan muka pucat.
        Akan tetapi hatinya lega dan diam-diam dia menyesali perbuatannya sendiri. Mengapa dia begitu lemah sehingga
        tidak dapat menahan diri terjatuh ke dalam rayuan dua orang gadis cantik itu? Dia terpaksa membunuh mereka,
        sungguhpun hal itu dilakukannya dengan perasaan penuh penyesalan. Tugasnya lebih penting dan kalau sampai
        gagal, dia akan tewas, akan mati konyol. Dengan membuka rahasianya kepada dua orang gadis itu, keadaannya tentu
        saja terancam hebat. Belum apa-apa dua orang gadis itu telah "memerasnya" untuk setiap malam melayani mereka
        dengan ancaman akan dibuka rahasianya! Tentu saja dia terpaksa harus membunuh mereka demi keselamatan dirinya
        sendiri. Lenyapnya dua orang pelayan itu hanya menimbulkan sedikit keributan di istana bagian puteri. Betapapun
        juga, mereka itu hanyalah dua orang pelayan dan akhirnya Yang Kui Hui hanya memerintahkan para pengawal untuk
        melakukan pengejaran karena dikira bahwa mereka itu tentu melarikan diri, dan kalau sampai dapat ditangkap agar
        supaya dijatuhi hukuman berat. Mengertilah kini Swi Liang bahwa dia harus cepat-cepat turun tangan kalau tidak
        mau terjadi gangguan lain lagi. Mulailah dia mendekati Yang Kui Hui, membantu pada setiap kali ada kesempatan,
        membantu para pelayan yang memandikan selir jelita itu, menggosok punggungnya, mengeringkan tubuhnya dan
        mengenakan pakaiannya. Bahkan pada suatu malam, ketika Yang Kui Hui merebahkan diri seorang diri dengan mata
        merem melek seperti seekor kucing malas, ia mendekatinya, berlutut dan menggunakan tangannya untuk
        memijit-mijit kaki selir itu dengan perlahan, meniru perbuatan pelayan yang suka memijit tubuh selir itu.
        Jantungnya berdebar keras sekali. Nafsu hatinya ditekannya keras sekali dia merasa betapa api berahi telah
        membakar dadanya dan api itu menyala dari ujung jari tangannya yang bersentuhan dengan kulit kaki yang halus
        lunak dan hangat. "Ehhmmm...." Yang Kui Hui menggeliat seperti seekor kucing dan membuka sedikit matanya untuk
        melihat siapa yang memijit kakinya. Matanya terbuka agak lebar dan tersenyum. "Aihhh, kiranya engkau, Liang-cu?
        Engkau pandai pula memijit? Ahhhh, tanganmu kuat sekali, nah, kaulanjutkanlah, tubuhku memang sedang
        pegal-pegal....." Dan selir itu sudah memejamkan matanya kembali rebah terlentang di depan Swi Liang. Pemuda
        itu melanjutkan pekerjaannya memijit betis mengendurkan urat yang kaku dan pandang matanya melahap wajah yang
        menengadah itu. Betapa cantik jelitanya, demikian rangsangan hatinya. Rambut yang hitam agak mengeriting itu
        terurai di atas bantal, anak rambut yang melingkar-lingkar menghias dahi dan pelipis sampai ke bawah telinga.
        Dahi yang melengkung halus sekali seperti lilin diraut, berkulit putih bersih itu nampak makin putih terhias
        anak rambut yang menghitam dan sepasang alis yang hitam sekali melengkuk seperti dilukis, melindungi mata yang
        terpejam sehingga tampak bulu mata yang panjang. Bayangan bulu mata menggelapkan pipi sebelah atas,
        menyembunyikan warna kemerahan yang menyegarkan. Hidung yang mancung, dengan dua cuping hidung yang tipis, agak
        bergerak terdorong napas yang keluar masuk, dan dibawah hidung itu, sepasang bibir yang kemerahan dan agak
        basah, kelihatan menebal sebelah bawahnya karena selir itu tersenyum, sebuah lesung pipit menghias di ujung
        mulut sebelah kiri. Manis dan cantik jelita! Kemudian leher itu, dan dada itu, pinggang itu....! Swi Liang
        menelan ludahnya berkali-kali dan jari-jari tangannya yang memijit kaki itu agak menggigil. Agaknya Yang Kui
        Hui dapat merasakan tangan yang menggigil ini, maka dia membuka sedikit matanya dan bertanya, "Ada apakah
        Liang-cu? Tanganmu gemetar..." "Ahhh.... tidak apa-apa, hanya.... paduka demikian cantik jelita..... hamba
        sampai merasa terharu memandangi Paduka....." "Aihhh...., hi-hik, kau aneh, Liang-cu Coba kau tutup dan kunci
        pintu kamar itu, dan beritahukan kepada penjaga di luar bahwa aku tidak ingin diganggu malam ini, hendak
        beristirahat. Oya, suruh penghubung pelaporkan kepada Sri Baginda tidak datang ke kamarku. Setelah itu,
        kautemani aku di sini, pijati tubuhku sampai aku tidur." Dengan jantung berdebar penuh ketegangan dan gairah,
        Swi Liang mentaati perintah itu. Setelah selesai dan dia sudah menutupkan dan memalang daun pintu sehingga
        mereka hanya berdua saja di dalam kamar yang mewah dan harum itu, Swi Liang segera berlutut lagi di depan
        pembaringan dan melanjutkan pekerjaannya memijit betis yang berdaging gempal, lunak, halus dan hangat itu.
        "Nanti dulu, Liang-cu. Coba kaubantu aku membuka pakaian luarku. Setelah pintu ditutup, kamar ini menjadi agak
        panas...." kata Yang Kui Hui sambil bangkit duduk di atas pembaringannya yang bertilam sutera merah berkembang.
        Swi Liang tidak mampu menjawab karena merasa lehernya seperti tercekik. Dengan jari-jari tangan gemetar dia
        membantu puteri itu membuka pakaian luarnya sehingga kini Yang Kui Hui hanya memakai pakaian dalam yang amat
        tipis dan tembus pandang sehingga terbayanglah lekuk lengkung yang amat menggairahkan. Begitu pakaian luarnya
        dibuka, Swi Liang memejamkan mata sebentar sambil menarik napas panjang. Tercium olehnya bau harum yang
        memabukan, keharuman yang membuat selir Kaisar itu terkenal sekali si samping kecantikannya yang sukar dicari
        bandingnya. "Hi-hik... mengapa kau seperti patung dan memejamkan matamu, Liangcu?" Suara terkekeh halus dan
        teguran itu menyadarkan Swi Liang yang segera membuka matanya. "Ampunkan hamba.... hamba.... silau, seolah-olah
        melihat bidadari turun dari langit...." Selir Kaisar itu tertawa senang. "Aihh, kata-katamu seperti seorang
        laki-laki saja! Hayo pijiti aku lagi dan jangan bersikap seperti orang gila!" Swi Liang segera melakukan
        perintah ini dengan penuh gairah. Jari-jari tangannya kembali memijit betis dan paha, makin ke atas makin
        tersiksalah hatinya apalagi mendengar puteri itu terkekeh kegelian. "Hi-hi-hik, kau begitu kuat, jari tanganmu
        juga tegang dan kuat seperti tangan laki-laki membelai....!" Yang Kui Hui membalikan tubuhnya dan kini rebah
        terlentang, karena pakaian dalam yang tipis itu tersingkap membuat Swi Liang hampir tidak kuat menahan lagi.
        Cahaya kemerahan dari lampu merah di dalam kamar membuat tubuh yang membayang di balik pakaian tipis itu
        seolah-olah telanjang bulat di depannya! "Nah kau pijiti pahaku, pegal-pegal rasanya. Akan tetapi jangan
        kuat-kuat, perlahan saja, Liang-cu." Dapat dibayangkan betapa tersiksa hati seorang pemuda yang sudah menjadi
        lemah karena dikuasai nafsu berahi seperti Swi Liang menghadapi Yang Kui Hui yang tanpa disengaja telah
        menimbulkan godaan dan tantangan yang demikian menggairahkan hati pria. Namun tentu saja Swi Liang tidak berani
        bertindak sembrono, dan sambil menguatkan hatinya dan menundukan mukanya yang menjadi merah, menyembunyikan
        dadanya yang bergelombang dengan menunduk dan menahan nafsunya yang memburu, dia memijit paha yang gempal itu
        dan jari-jari tangannya seolah-olah bertemu langsung dengan kulit paha karena hanya tertutup sutera tipis.
        Setiap sentuhan jarinya seolah-olah mendatangkan aliran hawa panas yang menjalar naik ke dada dan kepala
        melalui lengannya. Makin lama dia makin gelisah, tubuhnya panas dingin dan sama sekali dia tidak berani
        memandang wajah puteri itu karen takut kalau-kalau Sang Puteri marah. Betapapun nafsu berahi telah menyundul
        sampai ke ubun-ubunnya, namun Swi Liang tidaklah demikian nekat untuk berani bertindak kurang ajar, tidak
        berani melakukan langkah pertama dan hanya menanti uluran tangan Sang Puteri, karena dia maklum bahwa sekali
        keliru bertindak tebusannya adalah nyawanya di samping kegagalan tugasnya. "Kau memang aneh, Liang-cu. Benar
        kata-kata beberapa orang pelayan yang selama ini tidak kau perhatikan. Sekarang baru aku melihat sendiri. Kau
        seorang gadis yang aneh. Apakah seorang gadis kalau sudah mempelajari ilmu silat tinggi lalu berubah sifatnya,
        menjadi kejantan-jantanan? Kau patut menjadi seorang laki-laki. Suaramu agak berat, gerak-gerikmu kaku,
        tanganmu kuat dan kasar, dan pandang matamu..... hemmm..... engkau seolah-olah hedak menelanku bulat-bulat
        setiap kali kau melihatku! Hi-hik, aku sampai merasa sungkan dan malu!" Swi Liang terkejut sekali, akan tetapi
        sambil membungkuk rendah dia berkata dan berusaha sedapatnya untuk meningikan nada suaranya, "Harap Paduka
        ampunkan semua kekurangan hamba." "Ah, tidak apa-apa, Liang-cu. Engkau sudah berjasa besar, dan....hem.....
        keadaanmu yang kejantanjantanan itu bukanlah hal yang tidak menyenangkan. Sayang sekali, kau seorang wanita dan
        sifat kejantananmu hanya karena kau seorang gadis kang-ouw yang berkepandaian silat tinggi. kalau engkau
        seorang pria sejati, hi-hik, betapa lucunya...... tentu akan lebih menyenangkan hatiku....." Seketika terhenti
        jari-jari tangan yang tadi menari-nari dan memijiti paha kenyal itu. Jantung Swi Liang seperti berhenti
        berdetak mendengar ucapan Sang Puteri, kemudian berdebar-debar dengan kerasnya sehingga suara detak jantungnya
        memasuki kedua telinganya dengan amat nyaring. Kesempatan baik telah terbuka! Selir jelita ini telah membuka
        rahasia hatinya! Begitu menantang, seperti setangkai bunga yang tinggal memetik saja, tinggal mengulur tangan
        dan akan terpenuhilah kedua cita-citanya, yaitu menikmati tubuh yang telah membuat tergila-gila ini dan
        sekaligus menyempurnakan tugasnya memikat hati Yang Kui Hui demi suksesnya siasat yang sedang dilakukan oleh
        subonya! Tiba-tiba Swi Liang berlutut dan menempelkan dahinya di lantai dekat pembaringan. "Hamba.... hamba
        rela mengorbankan nyawa demi Paduka, dan hamba siap sedia melalukan apa saja untuk menyenangkan hati Paduka.
        Akan hamba lakukan dengan taruhan nyawa dan hamba siap menanti perintah Paduka...." Hi-hik, Liang-cu. Engkau
        memang aneh. Betapapun juga, mana mungkin engkau menjadi laki-laki sejati?" "Kalau Paduka kehendaki, pasti
        dapat terjadi. Perintah Paduka merupakan keputusan bagi hamba, seperti perintah dari langit." Yang Kui Hui
        menjadi terheran-heran dan bangkit duduk, membiarkan pakaian dalamnya tersingkap lebar, tidak hanya pada
        pahanya, akan tetapi juga pada pundaknya sehingga setengah dadanya tampak jelas, putih halus membusung.
        "Apa....,apa maksudmu, Liang-cu?" "Hamba telah mempelajari ilmu kesaktian dari Subo, sehingga kalau Paduka
        menghendaki, hamba dapat pian-hoa (mengubah diri) menjadi seorang pria sejati." Ehhh...?" Mata yang bening
        indah itu terbelalak, mulut yang kecil itu ternganga sehingga bibir merah membasah itu membentuk lingkaran
        memperlihatkan lidah yang meruncing merah dan rongga mulut yang lebih merah lagi terhias deretan gigi seperti
        mutiara. Sinar mata Yang Kui Hui menjelajahi tubuh pembantunya yang berlutut itu, akhirnya dia dapat berkata,
        "Benarkah itu? Suguh aneh dan luar biasa! Coba kaubuktikan omonganmu, Liang-cu. Coba kau pian-hoa menjadi
        seorang pria!" Swi Liang menekan jantungnya yang berdebar tegang, mengangkat mukanya dan berkata, "Hamba....
        hamba .... mana berani kurang ajar....?" "Lakukanlah! ini merupakan perintah. Berdirilah dan pian-hoalah!" Yang
        Kui Hui berkata penuh nafsu karena dia ingin sekali menyaksikan apakah benar gadis ini dapat pian-hoa menjadi
        pria, hal yang hanya pernah didengar dalam dongeng kuno saja. "kalau Paduka memerintahkan, hamba tidak berani
        membantah." Swi Liang lalu bangkit berdiri dan membungkuk. "Maafkan hamba...." Dia lalu melepas gelung
        rambutnnya, menggosok bedak dan yanci dari mukanya, kemudian dengan wajah merah berseri dia berkata, "Hamba
        telah berubah menjadi seorang pria." Suaranya kini besar, suara seorang laki-laki tulen! Yang Kui Hui memandang
        terbelalak. "Aihhh, mana aku bisa percaya? Hanya suaramu yang berubah, dan mukamu tanpa bedak dan yanci memang
        seperti muka pria, akan tetapi mana buktinya bahwa kau pria?" Swi Liang mengerutkan alisnya. "Paduka ingin
        bukti? Baiklah, maafkan kelancangan hamba!" Dia lalu merenggut pakaiannya, baju di bagian atas sehingga tanggal
        kancing-kancingnya dan terbukalah dadanya. Sebuah dada yang tegap dan bidang, tidak berbuah, dada seorang
        laki-laki tulen! Wajah Yang Kui Hui berseri-seri, mulutnya tersenyum lebar ketika dia memandang dada yang
        bidang, tegap dan berkulit putih bersih itu. "Memang tidak salah lagi, tubuhmu bagian atas memang tubuh seorang
        pria. Akan tetapi aku belum puas, Liang-cu. Buka semua pakaianmu!" Perintah ini sama sekali tidak
        disangka-sangka oleh Swi Liang. Biarpun sudah lama dia menghedaki terjadinya hal yang hanya dalam mimpi ini,
        namun sebagai seorang laki-laki, dia merasa jengah dan malu juga menerima perintah agar dia bertelanjang bulat
        seperti itu! Akan tetapi, gairah yang meluap-luap dan kegembiraannya mengusir semua rasa malu dan dengan jari
        tangan gemetar Swi Liang menanggalkan semua sisa pakaiannya sehingga tak lama kemudian dia telah berdiri
        membuktikan bahwa dirinya adalah seorang pria sejati di depan selir jelita itu. "Ahhh...., Liang-cu... ke
        sinilah kau! Sungguh hebat.... tak kusangka sama sekali. Rebahlah kau di sini, di sisiku, manis!" Tanpa
        diperitah kedua kalinya karena memang itulah yang diinginkannya selama ini. Swi Liang lalu naik ke pembaringan
        dan merebahkan dirinya di sisi selir cantik itu. Yang Kui Hui terkekeh genit lalu menyambutnya dengan peluk
        cium ganas, menerkamnya seperti seekor harimau kelaparan, atau seperti seekor ular yang memagutnya dan
        membelit-belitnya. Manusia, baik laki-laki atau wanita, kaya atau miskin, dari golongan ningrat maupun jembel
        terlantar, sekali dikuasai nafsu berahi akan menjadi lupa diri dan lupa segala. Pada saat seperti itu,
        lenyaplah duka, lenyap pula takut, hilang segala pertimbangan dan akal, yang ada hanyalah tindakan sebagai
        akibat dorongan nafsu birahi yang minta dilampiaskan
      </P>
      <P>
        Hebatnya, makin dipenuhi dorongan nafsu, makin hebatlah, seperti nyala api, makin dibiarkan makin membesar dan
        takkan padam sebelum habis bahan bakarnya! Hanyalah manusia yang selalu sadar akan keadaan dirinya, akan
        gerak-gerik dirinya lahir maupun batin, takkan kehilangan kewaspadaan dan kebijaksanaan, takkan dapat
        dicengkeram oleh nafsu dalam bentuk apa pun. Hal ini bukan berarti bahwa manusia bijaksana menolak nikmat hidup
        yang didatangkan oleh gairah nafsu, sama sekali tidak. Bahkan hanya manusia sadar sajalah yang bebar-bebar akan
        dapat menikmati hidup karena baginya nafsu kesenangan hanyalah pelengkap hidup, bukan hal yang mutlak dan tidak
        dikejar-kejarnya. Dialah orang menguasai nafsu, bukan nafsu yang menguasai dia. Menguasai nafsu dengan
        kewaspadaan dan memngenal akan keadaan diri sendiri seperti apa adanya, lahir maupun batinnya, bukan menguasai
        nafsu dengan cara pengekangan dan penyiksaan diri. Dengan cara pengamatan yang sewajarnya, penuh kesadaran,
        pengamatan terhadap nafsu dan gerak-geriknya, tanpa celaan tanpa pujian, maka nafsu akan kehilangan
        kekuasaannya sendiri terhadap diri pribadi. Sebaliknya, menggunakan kemauan untuk menekan dan mengekang nafsu,
        tidak akan ada gunanya, karena, boleh jadi nafsu akan dapat dibendung pada saat itu, manun sewaktu-waktu nafsu
        yang masih menguasai diri itu meluap. Bagaikan api dalam sekam, sewaktuwaktu akan dapat menyala lagi,
        demikianlah kalau orang menguasai nafsu dengan pengekangan yang berarti menguasainya dengan kekerasan. Dengan
        pengamatan waspada, nafsu yang seperti api itu akan padam dengan sendirinya. Namun dengan pengekangan, api itu
        hanya membara dan tidak tampak untuk sewaktu-waktu bernyala lagi, karena YANG MENGEKANG NAFSU ADALAH NAFSU
        JUGA. Mengekang berarti menggunakan kekerasan menuruti keinginan! Menjelang pagi, yang Kui Hui yang kekenyangan
        melampiaskan nafsu berahinya, terlena di pembaringan, wajahnya yang agak pucat menoleh kepada Swi Liang yang
        tidur pulas di sampingnya, lalu wanita cantik itu tersenyum. Jari-jari tangannya yang halus itu bergerak
        membelai dada telanjang dari pemuda itu, lalu ditariknya kembali tangannya dan dia menghela nafas panjang.
        Setelah kekenyangan, barulah dia dapat berfikir dan barulah selir Kaisar ini sadar betapa bodohnya dia
        membiarkan dirinya terseret oleh nafsu berahi. Pemuda ini tentu seorang pria sejati yang menyamar sebagai
        wanita. Hal ini sudah jelas! Dan di balik penyamaran ini tentulah ada suatu rahasia! Kesadaran ini mengejutkan
        hatinya dan menimbulkan kekhawatirannya. Dia adalah selir yang cerdik sekali. Yang Kui Hui bangkit duduk dan
        perlahan-lahan, agar jangan membangunkan pemuda itu, dia mengenakan pakaiannya. Matanya tak pernah berpindah
        dari wajah Swi Liang dan sambil memakai pakaiannya, dia mengenangkan semua yang mereka lakukan semalam ketika
        mereka bermain cinta tanpa mengenal puas sampai akhirnya tertidur kelelahan. Betapapun juga, pemuda itu terlalu
        halus. Bagi wanita macam Yang Kui Hui yang sudah banyak pengalaman bermain cinta dengan pria, kejantanan Swi
        Liang kurang memuaskan hatinya. Betapa jauhnya dibandingkan dengan An Lu San! An Lu San barulah boleh disebut
        seorang laik-laki sejati! Dengan kekudukannya yang tinggi dan pengaruhnya yang besar, dengan tubuhnya yang
        tinggi besar, tenaganya yang seperti singa, dengan permainan cintanya yang liar kasar dan wajar, menonjolkan
        kejantanan yang amat hebat! Sedangkan pemuda ini, terlalu halus, masih hijau dan kurang pengalaman, dan yang
        lebih berbahaya lagi, pemuda ini tentulah seorang mata-mata musuh! Yang Kui Hui bergidik ngeri. Betapa bodohnya
        dia, mudah terbujuk dan terseret oleh nafsunya sendiri dan terkena rayuan seorang mata-mata. Untung mata-mata
        ini belum bertindak terlalu jauh. Bagaimana kalau semalam dia dibunuhnya? Yang Kui Hui bergidik dan bergegas
        turun dari pembaringan, dengan hati-hati dia mengambil pedang bersarung indah yang diletakan oleh Swi Liang di
        atas tumpukan pakaiannya, kemudian selir Kaisar itu berindap-indap menuju ke pintu kamar, membuka pintu dan
        keluar setelah menutupkan kembali daun pintu perlahan-lahan. Tak lama kemudian dia telah berbisik-bisik dengan
        beberapa orang pengawal pribadinya, kemudian memasuki kamar lain setelah merasa yakin bahwa para pengawalnya
        yang kini telah berkumpul itu akan melaksanakan perintahnya dengan baik. Swi Liang terbagun dari tidur nyenyak,
        menggeliat dan tersenyum penuh bahagia ketika dia teringat akan keadaan dirinya. Dirabanya kasur di mana dia
        rebah dan hidungnya kembang kempis, masih penuh oleh keharuman tubuh Yang Kui Hui. Baru saja terbangun dari
        tidur, teringat akan wanita cantik itu, berkobar lagi nafsunya, lenyap semua kelelahan tubuhnya dan dia
        membalik ke kanan, lengan kirinya dan kaki kirinya merangkul memeluk. Dai membuka matanya ketika tangan dan
        kakinya bertemu dengan kasur yang kosong, lalu bangkit duduk, menoleh ke kanan kiri, mencari-cari. yang Kui Hui
        telah pergi dari kamar itu! Swi Liang merasa heran dan juga terkejut, kemudian timbul kekhawatiran di dalam
        hatinya. Ke manakah perginya wanita itu sepagi ini, pikirnya. Karena khawatir kalau-kalau ada pelayan memasuki
        kamar dan memergoki keadaanya, bergegas dia menyambar pakaiannya, dan cepat mengenakan pakaiannya, pakaian
        wanita penyamarannya. Dengan tergesa-gesa dia menghampiri meja rias Yang Kui Hui, menggunakan bedak dan yanci
        untuk memulas mukanya yang semalam telah menjadi muka pria aslinya dan sia-sia bedak dimukanya telah terhapus
        sama sekali oleh ciuma-ciuman Yang Kui Hui. Kemudian dia mencari pedangnya dan betapa heran dan terkejut
        hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa pedangnya tidak berada di dalam kamar itu! Akan tetapi dia segera
        tersenyum menenangkan hatinya sendiri. Tentu Yang Kui Hui sengaja hendak main-main dengan dia! Tak mungkin
        wanita itu melakukan hal yang bukan-bukan dan merugikannya setelah apa yang mereka nikmati bersama semalam!
        Tentu Yang Kui Hui sudah bertekuk lutut dan mencintanya setelah dia membuktikan kejantanannya semalam, pikir
        Swi Liang dengan bangga. Dengan hati ringan dia lalu melangkah ke pintu, membuka daun pintu hendak mencari
        kekasihnya itu. Sunyi di luar kamar itu, padahal biasanya penuh dengan pengawal. Kemudian muncul seorang
        pelayan wanita yang bertugas membersihkan kamar Yang Kui Hui setiap pagi. Melihat pelayan ini, Swi Liang dengan
        suara biasa lalu menanyakan di mana adanya majikan mereka yang cantik itu. "Beliau tadi memerintahkan bahwa
        kalau Liang-lihiap sudah bangun agar Lihiap suka pergi menyusul ke dalam pondok di taman. Beliau menanti di
        sana." Mendengar kata-kata ini, Swi Liang bergegas pergi ke taman, hatinya girang sekali. Tak salah dugaannya.
        Yang Kui Hui telah bertekuk lutut di depan kakinya! Selir yang angkuh dan cantik itu telah jatuh cinta
        kepadanya sehingga kini selir itu ingin melanjutkan permainan cinta mereka di dalam pondok taman, tentu agar
        jangan sampai menimbulkan kecurigaan para pelayan lain! "Ha-ha, kau cerdik sekali, mais," kata hatinya penuh
        kegembiraan, "untuk kecerdikanmu itu akan kuberi upah ciuman hangat!" Sambil tersenyum-senyum membayangkan
        segala kemesraan yang akan dialaminya sebentar lagi di dalam pondok taman, Swi Liang melangkah lebar ke dalam
        taman yang indah dan luas itu. Taman itu sunyi karena hari masih amat pagi dan memang biasanya pun taman itu
        hanya dikunjungi para puteri istana setelah matahari naik tinggi sehingga mereka dapat menghirup hawa segar di
        situ. Bahkan tidak tampak seorang pun juru taman yang biasanya sepagi itu tentu telah membersihkan taman.
        Ketika melewati tempat di mana dia malam-malam beberapa hari yang lalu mengubur mayat dua orang pelayan wanita,
        Swi Liang menggerakan pundaknya untuk menenteramkan hatinya yang agak terguncang. Salah kalian sendiri,
        pikirnya dan untuk menekan perasaanya, dia telah menginjak kuburan yang tidak kentara dan tidak dikenal orang
        lain kecuali dia itu. Dia kini sudah berdiri di depan pintu pondok, lalu mengetuk pintu pondok sambil berkata
        dengan suara biasa, suara pria, halus dan penuh rayuan, "Dewiku yang cantik jelita, bidadari dari sorga manis,
        bukalah pintu, aku sudah amat rindu kepadamu....!" Daun pintu pondok merah itu terbuka dari dalam dan.... Swi
        Liang meloncat ke belakang sambil menahan seruan kagetnya ketika dia melihat bahwa dari dalam pondok itu keluar
        dua puluh orang lebih pengawal yang memegang senjata di tangan! "Menyerahlah engkau, Liang-cu. Kami mendapat
        perintah untuk menangkapmu!" komandan pengawal berkata keren. Seketika pucat muka Swi Liang dan otomatis tangan
        kanannya meraba pinggang, hanya untuk diingatkan bahwa pedangnya telah lenyap dari dalam kamar tadi! "Apa...
        apa... dosaku....?" Dia bertanya gagap, saking bingungnya dia lupa menyembunyikan suara laki-laki yang keluar
        dari mulutnya. Dua puluh lebih pengawal itu tertawa dan Sang Komandan membentak. "Lekas berlutut dan menyerah!"
        Swi Liang maklum bahwa rahasianya tentu telah terbuka. Dia tidak tahu apa yang terjadi dan siapa yang telah
        membuka rahasianya. Sampai saat itu dia sama sekali tidak menyangka bahwa Yang Kui Hui yang telah
        mengkhianatinya. Akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia tertangkap, tentu dia akan celaka. "Mampuslah!" bentaknya
        sambil menerjang ke depan, menghantam komandan dengan kepalan tangan kanan sedangkan kepalan tangan kiri
        menghantam pengawal ke dua yang berdiri dekat. Komandan itu memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi, maka
        dia dapat menangkis biarpun dia menjadi terhuyung- huyung, akan tetapi pengawal yang terkena hantaman tangan
        kiri Swi Liang, mengeluarkan teriakan keras dan roboh terguling, muntah-muntah darah karena pukulan yang
        mengenai dadanya tadi amat kuat. Segera Swi Liang dikeroyok oleh dua puluh orang lebih. Para pengawal itu
        rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh, karena mereka semua bersenjata. Repot jugalah Swi Liang yang
        harus membela diri dengan tangan kosong! "Jangan bunuh dia! kita harus menangkapnya hidup-hidup!" beberapa kali
        komandan berteriak. Swi Liang mengamuk sekuatnya, namun setelah tubuhnya terkena beberapa kali bacokan dan
        tusukan, akhirnya dia terguling dan teringkus. Dalam keadaan luka-luka dan setengah pingsan dia diseret ke
        dalam kamar tahanan. Sementara itu, yang Kui Hui segera mengadu kepada Kaisar bahwa pelayan wanita yang dahulu
        menolongnya itu ternyata adalah seorang pemuda dan mungkin mata-mata musuh yang sengaja menyelundup. Mendengar
        ini, kaisar memerintahkan agar Swi Liang disiksa dan dipaksa untuk mengakui keadaannya. Pada hari itu juga, di
        dalam kamar tahanan yang dirahasiakan, Swi Liang dikompres untuk mengaku. Ada beberapa macam semangat yang
        mendorong seseorang menjadi prajurit. Semangat patriotik sebagai pengabdian kepada negara dan bangsa, semangat
        mencari kedudukan dan kemuliaan, dan semangat yang timbul dari keadaan lain pula. Di antara semua itu, hanya
        prajurit yang didorong semangat mengabdi kepada negara dan bangsa sajalah yang akan berani mempertaruhkan nyawa
        dengan rela, karena dia merasa yakin bahwa apa yang diperjuangkan dalam hidupnya itu benar! Kebenaran seseorang
        yang tentu saja mengharapkan sesuatu, misalnya nama sebagai seorang pahlawan atau "tempat baik" di alam baka!
        Betapapun juga, lepas daripada tepat tidaknya kebenaran semacam itu, harus diakui bahwa hanya prajurit yang
        bersemangat demikian sajalah yang akan menghadapi kematian dan siksaan dengan berani dan gagah. Tidaklah
        demikian dengan Swi Liang. Dia melakukan tugasnya karena dorongan subonya yang juga menjadi kekasihnya, karena
        keinginannya untuk kelak memperoleh kedudukan tinggi jika cita-cita subonya terlaksana. Kalau putera subonya
        sampai biasa menjadi kaisar seperti yang dicita-citakan subonya, dia tentu setidaknya akan menjadi seorang
        menteri! Karena semangat seperti ini yang mendorongnya berjuang, maka begitu gagal patahlah semangatnya. Begitu
        dia disiksa, keluarlah pengakuan dari mulut Swi Liang bahwa dia adalah kaki tangan subonya, The Kwat Lin Ratu
        Pulau Es yang kini menjadi Ketua Bu-tong-pai dan yang bersekutu dengan Pangeran tang Sin Ong, dan tugasnya
        adalah memikat hati Yang Kui Hui agar selir itu kelak mau membantu pemberontakan mereka. Pengakuan ini tentu
        saja menimbulkan geger. Pangeran Tang Sin Ong ditangkap dan beberapa hari kemudian, Swi Liang dan Pangeran Tang
        Sin Ong dijatuhi hukuman penggal kepala di tempat umum agar menjadi peringatan bagi siapa saja yang hendak
        memberontak. Kaisar lalu mengirim pasukan untuk menangkap Ketua Bu-tong-pai yang memberontak. Habislah riwayat
        hidup Bu Swi Liang, putera Lu-san lojin Bu Si Kang yang gagah perkasa itu. Memang patut disayangkan karena
        sebenarnya dahulu Bu Swi Liang adalah seorang pemuda yang baik dan gagah perkasa, yang dididik oleh ayahnya
        sejak kecil agar menjadi seorang pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan. Memang, keadaan
        sekeliling amat mempengaruhi jalan hidup seseorang. Hal ini tidaklah berarti bahwa sekeliling yang bersalah
        sehingga menyeret seseorang ke jalan sesat seperti halnya Bu Swi Liang.Sebetulnya, yang bersalah adalah dirinya
        sendiri! Orang yang mengenal diri sendiri akan selalu dalam keadaan waspada dan sadar sehingga berada di dalam
        lingkungan apa pun juga dia akan selalu mengamati tingkah laku sendiri lahir batin setiap saat, tak mungkin
        terseret atau ternoda, seperti emas murni atau bunga teratai, biar berada di lumpur akan tetapi tetap bersih!
        Sebaliknya, orang yang tidak mau mengamati dirinya sendiri setiap saat, akan mudah lupa karena "akunya"menonjol
        dan Si Aku ini memang selalu ingin menang sendiri, ingin enak dan senang sendiri, sehingga untuk memenuhi
        segala keinginannya itu, diri terseret dan mudah terjeblos ke dalam jurang penuh dengan ular-ular berbisa
        bernama iri, dendam, benci, sombong, duka, dan lain-lain yang kesemuanya berakhir dengan kesengsaraan. Pasukan
        yang kuat dipimpin seorang perwira tinggi membawa perintah penangkapan dari Kaisar sendiri, tiba di
        Bu-tong-san. Namun mereka terlambat. The Kwat Lin, Ketua Bu-tong-pai yang baru dan hendak ditangkap itu, telah
        melarikan diri bersama anak buah yang setia kepadanya. Hal ini tidaklah mengherankan. Sebelum Swi Liang membuka
        rahasia pemberontakannya, The Kwat Lin telah lebih dulu mendengar bahwa muridnya telah gagal dan ditangkap. Dia
        merasa kecewa sekali, akan tetapi dia juga maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Kalau sampai pasukan
        pemerintah menyerang Bu-tong-pai, tentu saja dia tidak mungkin dapat melawan pasukan yang besar itu. Maka
        diamdiam dia lalu lolos dari Bu-tong-san, bersama anak buahnya yang setia dia lalu melarikan diri ke Rawa
        Bangkai yang menjadi markas ke dua dari komplotan ini. Seperti di ketahui, Kiam-mo Cai-li Liok Si yang menjadi
        datuk kaum sesat itu telah ditaklukannya dan telah menjadi sekutunya, dan tempat tinggal datuk wanita ini, Rawa
        Bangkai, di kaki Pengunungan Luliang-san, menjadi markas ke dua. Ketika menghadapi bahaya penangkapan dari kota
        raja, tentu saja Kwat Lin lalu melarikan diri ke tempat yang merupakan daerah berbahaya dan rahasia itu.
        Pelarian dari Bu-tong-pai ini diterima dengan baik oleh Kiam-mo Cai-li Liok Si yang memperoleh kesempatan
        menonjolkan jasanya. Segera Rawa Bangkai dijaga dengan kuat sekali dan Liok Si menghibur The Kwat Lin atas
        kegagalan muridnya. "Aku hanya merasa kecewa sekali mengenangkan muridmuridku," kata The Kwat Lin dengan suara
        gemas. "Swi Nio telah mengkhianatiku, lari dengan seorang mata-mata musuh entah dari mana dan pengharapanku
        tadinya tinggal kepada Swi Liang. Dia sampai terbuka rahasianya dan tertangkap, hal itu katakanlah sebagai
        suatu kegagalan yang menyedihkan. Akan tetapi mengapa dia membocorkan rahasia Pangeran Tang Sin Ong sehingga
        Pangeran itu pun dihukum mati. Dengan matinya Pangeran Tang Sin Ong habislah harapan kita!" The Kwat Lin
        menghela napas panjang dan mengepal tinjunya dengan hati gemas. "Aihhh, seorang yang memiliki ilmu kepandaian
        seperti Pangcu, mengapa mudah sekali putus asa?" Liok Si mencela. "Hem, Cai-li, jangan kau menyebutku Pangcu
        lagi. Aku bukan lagi Ketua Bu-tong-pai setelah kini menjadi pelarian pemerintah. Dan aku tidak membutuhkan
        perkumpulan itu. Siapa yang tidak akan putus asa? Citacita kita kandas setengah jalan. Betapapun tinggi
        kepandaian kita, menghadapi pasukan pemerintah yang puluhan laksa banyaknya, kita dapat berbuat apakah?"
        Kiam-mo Cai-li tersenyum. Dia maklum bahwa wanita yang amat lihai ini memiliki cita-cita yang besar sekali.
        "The-pangcu.... eh, Lihiap, seorang dengan kepandaian seperti engkau tentu dapat mencari kedudukan dengan mudah
        sekali." "Hemm, mana mungkin? Pemerintah telah menganggapku sebagai pemberontak dan aku akan selalu menjadi
        pelarian dan buruan pemerintah. Pula, aku adalah seorang bekas ratu, oleh karena itu. Cita-citaku hanya satu,
        ialah aku akan berusaha sekuat tenaga agar puteraku memperoleh kedudukan yang sepadan dengan darah
        keturunannya." Kiam-mo Cai-li mengangguk-angguk. "Memang sepatutnya.... sepatutnya...., dan aku bersedia
        membantumu asal kelak kau tidak akan melupakan bantuanku." The Kwat Lin memegang tangan datuk wanita itu dan
        memandang tajam. "Kiam-mo Cai-li, kita bukan anak-anak kecil lagi, kita sama-sama wanita dan kita saling
        mengetahui isi hati masing-masing. Engkau sudah banyak menolongku, masihkah engkau menyangsikan bahwa aku
        menganggapmu sebagai tangan dan kaki sendiri dan kita akan senasib sependeritaan, bahkan sehidup semati?"
        Kiam-mo Cai-li tersenyum dan mengangguk. "Aku tahu bahwa engkau adalah seorang wanita yang selain berilmu
        tinggi, juga berkemauan keras dan bercita-cita tinggi, The-lihiap. Kita tidak perlu putus asa dengan kegagalan
        muridmu. Masih ada jalan lain yang kurasa akan lebih menguntungkan kita." "Bagaimana?" "Bersekutu dengan An Lu
        Shan!" The Kwat Lin memandang wajah Kiam-mo Cai-li dengan alis berkerut. Majikan Rawa Bangkai itu tersenyum dan
        diam-diam The Kwat Lin harus memuji bahwa wanita yang usianya sudah lima puluh tahun itu kalau tersenyum
        kelihatan masih muda dan masih cantik. Kata-kata Kiam-mo Cai-li mengejutkan hatinya dan sekaligus menimbulkan
        kecurigaannya. Sudah terang bahwa mereka menjadi saingan An Lu Shan, bagaimana sekarang dapat bersekutu dengan
        Panglima itu? Bahkan yang menyalakan api pemberontakan dalam dada Pangeran Tang Sin Ong adalah karena merasa
        iri hati kepada An Lu Shan yang disuka oleh Laisar dan selalu dibela oleh Yang Kui Hui. Dan sekarang, sekutunya
        ini mengusulkan untuk bersekutu dengan An Lu Shan! "Cai-li, apa maksudmu?" tanyanya, suaranya membentak dan
        matanya memandang tajam menyelidik. "Aih, The-lihiap, aku tahu mengapa engkau terkejut. Akan tetapi bukankah
        para cerdik pandai jaman dahulu pernah berkata bahwa orang cerdik harus pandai memilih kawan?Demi tercapainya
        cita-cita, kalau perlu kawan menjadi lawan dan lawan berbalik menjadi kawan!" Berseri wajah The Kwat Lin dan
        dia memandang kagum. "kau benar, Cai-li. Kau benar dan cerdik sekali! Akan tetapi, mungkinkah dia mau?" "Jangan
        khawatir. Aku sudah lama mengenal baik Panglima kasar itu. Di balik semua langkahnya menjilat Kaisar dan Yang
        Kui Hui, dia bercita-cita merebut kekuasaan Kaisar. Dan pada waktu ini dia amat membutuhkan bantuan orang-orang
        pandai, tentu saja dia akan menerima kita dengan tangan terbuka." The Kwat Lin berdebar-debar dan
        menggosok-gosok pipinya yang berkulit halus itu dengan tangannya, nampaknya ragu-ragu. "Akan tetapi, bagaimana
        kita dapat mengadakan hubungan?" "Aku akan menyuruh anak buahku, harap kau suka tulis surat untuk disampaikan
        kepada An Lu Shan. Sebaiknya begini isinya." Wanita cerdik Kiam-mo Cai-li berunding dengan The Kwat Lin,
        mengulurkan tangan kepada An Lu Shan mengajak bersekutu melalui sehelai surat yang ditulis oleh tangan halus
        The Kwat Lin. Dalam hal menggunakan siasat, kiranya wanita lebih cerdik dari pada pria, dan hal ini dibuktikan
        oleh The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li Liok Si. Sebulan kemudian tampak lima orang muncul di tepi rawa yang sunyi
        itu. Mereka ini terdiri dari empat orang pria dan seorang wanita, kesemuanya kelihatan gagah perkasa dan
        tangkas. Rawa ini amat luas, sunyi dan terkenal berbahaya sekali. Kelihatannya tidak berbahaya, hanya merupakan
        genangan air yang amat luas seperti telaga besar, namun air itu tertutup oleh rumput dan bermacam tetumbuhan
        kecil sehingga kadang-kadang tidak nampak airnya. Bahkan seolah-olah tertutup oleh lapisan tanah tipis dan
        inilah yang berbahaya sekali. Manusia maupun binatang yang berani mendekati rawa dan salah injak, mengira bahwa
        tanah berumput itu keras, akan terperosok ke dalam air berlumpur yang mempunyai daya penyedot sehingga sekali
        kaki terbenam, disedot ke bawah dan sukar ditarik ke atas lagi. Air berlumpur itu dalam sekali dan karena amat
        lembek, maka seolah-olah menyedot kaki, padahal kaki orang atau binatang itu tenggelam terus secara
        perlahan-lahan dan lupur itu memang mempunyai daya lekat sehingga kaki seolah-olah disedot dan ditahan, sukar
        untuk ditarik kembali ke atas. Selain bahaya yang merupakan perangkap-perangkap maut dari alam ini, juga di
        situ terdapat banyak ular dan binatang berbisa lain yang bersembunyi di antara rumput-rumput dan tetumbuhan
        lain. Jauh dari rawa, tampak ditengah-tengah rawa itu sebuah pulau dan di situ terdapat bangunanbangunan yang
        tampak dari jauh. Namun, tidak ada orang dari luar rawa yang berani mencoba untuk mendekati pulau ini, karena
        selain jalan menuju ke situ harus menyeberangi rawa maut itu, juga telah terkenal bahwa bangunan-bangunan itu
        adalah sarang dari iblis betina yang ditakuti semua orang, yaitu Kiam-mo cai-li. Karena seringkali terdapat
        bangkai-bangkai binatang-binatang yang terperosok ke dalam perangkap alam sekitar rawa, juga bahkan
        kadang-kadang tampak mayat mausia-manusia yang sampai membusuk dimakan lumpur, maka terkenallah rawa itu dengan
        sebutan Rawa Bangkai! Karena Kiam-mo-Cai-li yang cerdik itu melarang para anak buahnya untuk mengganggu rakyat
        di sekitar tempat itu, maka tidak akan ada alasan bagi alat pemerintah untuk memusuhinya, pula pembesar
        setempat merasa ngeri untuk menentang iblis betina itu. Dengan demikian, datuk kaum sesat ini hidup aman dan
        teteram di kaki Pegunungan Lu-liang-san itu, tempat ini menjadi tempat pesembunyian yang baik sekali bagi The
        Kwat Lin dan anak buahnya. Kita kembali kepada lima orang yang pada hari itu berada di tepi rawa. Tiga orang di
        antara mereka laki-laki tua berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun. Seorang lagi adalah laki-laki
        berusia tiga puluh tahun, berwajah tampan gagah dan bertubuh tegap, sedangkan wanita itu masih muda, seorang
        gadis berusia paling banyak enam belas tahun, tubuhnya langsing dan wajahnya manis namun sepasang matanya
        mengandung sinar keras. Wanita itu bukan lain adalah Bu Swi Nio dan laki-laki muda tampan gagah itu adalah
        penolongnya ketika dia hendak membunuh diri setelah malam itu dia diperkosa oleh Pangeran Tang Sin Ong!
        Bagaimana dia sekarang bersama laki-laki dan tiga orang kakek dapat berada di tepi Rawa Bangkai? Malam itu,
        setelah diperkosa oleh Pangeran Tang Sin Ong dalam keadaan mabok dan tidak sadar, Swi Nio hendak membunuh diri
        dengan pedang, akan tetapi dia dicegah oleh laki-laki yang ternyata adalah seorang mata-mata dari An Lu Shan.
        Dia dapat diingatkan oleh laki-laki itu bahwa membunuh diri bukanlah jalan terbaik untuk membalas sakit hati,
        maka Swi Nio lalu ikut dengan orang itu dan menjadi petunjuk jalan sehingga mata-mata itu berhasil
        menyelamatkan diri bersama Swi Nio, keluar dari tembok Bu-tong-pai. Kedua orang ini tanpa bicara melarikan diri
        terus dengan cepatnya sampai matahari naik tinggi dan mereka tiba di kaki Pegunungan Bu-tong-san, barulah
        mereka berhenti mengaso di dalam sebuah hutan lebat. Begitu duduk di bawah pohon melepaskan lelah, Swi Nio
        teringat akan nasib yang menimpa dirinya, maka serta merta dia menangis mengguguk. Laki-laki itu memandang ke
        arahnya dan menghela napas panjang, mengepal tinju dan hanya mendiamkannya saja karena pengalamannya membuat
        dia mengerti bahwa dalam keadaan berduka seperti itu, tidak ada obat yang lebih baik bagi gadis itu kecuali
        tangis dan air mata yang bercucuran. Setelah agak mereda tangis Swi Nio, dia berkata, "Nona, seperti kukatakan
        pagi tadi, tidak perlulah hal yang telah terjadi dan yang telah lalu ditangisi dan disedihkan. Yang penting,
        kita melihat ke depan. Jalan hidup masih lebar dan terbentang luas di depan kita. Mengubur diri dengan kedukaan
        saja tidak ada artinya dan pula hanya akan melemahkan semangat kita yang perlu kita pupuk untuk dapat membalas
        kepada orang-orang yang telah merusak hidup kita." Kata-kata yang dikeluarkan dengan suara gagah ini membuat
        Swi Nio mengangkat mukanya yang pucat dan basah, memandang. Mereka berdua saling pandang sejenak, kduanya baru
        melihat nyata akan wajah masing-masing. Wajah pria itu menimbulkan kepercayaan di hati Swi Nio sedangkan wajah
        gadis itu membuat jantung laki-laki itu berdebar dan tertarik. "Kau siapakah?" Akhirnya Swi Nio bertanya.
        "Sudah kukatakan kepadamu, aku adalah seorang mata-mata, seorang kepercayaan Jenderal An Lu Shan. Namaku Liem
        Toan Kie. Dalam penyelidikanku di Bu-tong-pai, aku telah mengenal namamu, Nona. Engkau adalah Nona Bu Swi Nio,
        bersama kakakmu Bu Swi Liang engkau adalah murid dari Ketua Butong- pai yang baru. Aku pun telah mengetahui
        akan nasibmu semalam...." "Ahhh....! Si Jahanam Tang Sin Ong....!" Engkau benar! Aku tidak perlu berputus asa,
        aku tidak perlu mengubur diri dalam kedukaan, aku harus berusaha untuk membalas semua penghinaan ini. Akan
        kubunuh Si Jahanam Tang Sin Ong!" Gadis itu mengepal kedua tangannya dengan penuh kemarahan. "Nah, itu baru
        gagah dan bersemangat! Akan tetapi, tidak semudah itu membunuh seorang Pangeran apalagi dia sahabat baik Gurumu
        yang amat lihai. Jalan satu-satunya, marilah ikut aku, mengabdi kepada Jenderal An Lu Shan. Hanya itulah
        jalannya sehingga kelak engkau akan dapat membalas dendam." "Kau.... kau seorang prajurit bawahan Jenderal
        itu?" Toan Ki menggelengkan kepalanya. "Bukan, aku bukan perajurit, aku seorang luar yang telah menggabungkan
        diri dengan An-goanswe dan mendapatkan kepercayaannya untuk menyelidiki Bu-tongpai. Aku disuruh menyelidiki
        rencana apa yang diadakan oleh Pangeran Tang Sin Ong dan Bu-tong-pai. An-goanswe adalah seorang yang amat
        cerdik. Dia biarkan pemberontakan lain agar kedudukan Kaisar makin lemah, namun dia harus tahu segala
        gerak-gerik musuh, baik gerak-gerik Kaisar maupun pemberontak lain. Sekarang aku tahu bahwa rencana mereka
        adalah melemahkan Kaisar melalui Yang Kui Hui, dan sekarang aku akan kembali dan melaporkan hasil
        penyelidikanku kepada An-goanswe. kau ikutlah, akan kuperkenalkan dan engkau tentu akan diterima, karena engkau
        memiliki kepandaian yang lumayan di samping dendammu kepada Tang Sin Ong." "Aku.... aku tidak suka menjadi
        pemberontak." "Hemm,apakah kaukira aku suka menjadi pemberontak,Nona? tidak,aku membantu An Lu Shan bukan
        karena aku suka menjadi pemberontak, melainkan karena aku pun sakit hati terhadap pemerintah." "Eh?" Swi Nio
        tertarik dan memandang wajah yang gagah itu."mengapa?" "Hampir sama nasib kita, Nona, hanya bedanya jalannya
        saja. ketahuilah, dahulu aku adalah seorang tokoh Hoa San-Pai yang tentu saja tak mau mencampuri urusan politik
        dan pemberontakan, bahkan condong untuk setia kepada pemerintahan, akan tetapi pada suatu hari terjadilah hal
        yang amat hebat... yang merubah seluruh jalan hidupku..." Swi Nio teringat akan nasibnya sendiri. dia mendekat
        lalu berkata, "Liem-twako, kauceritakanlah!" Sejenak mereka berpandangan, lalu Toan Ki menceritakan riwayatnya
        secara singkat. Dia tinggal di kota Ma-Kiubun, sebuah kota yang cukup ramai di tepi sungai Huangho. dia hidup
        tenang dan bahagia dengan isterinya yang baru dinikahinya selama tiga bulan. Dengan membuka toko obat dan
        mengajar ilmu silat, dia hidup lumayan. Namun isterinya merasa kecewa setelah tiga bulan menikah, belum juga
        ada tanda-tanda mengandung, maka dia mengijinkan isterinya untuk bersembahyang ke kelenteng untuk minta berkah
        agar isterinya dapat memperoleh keturunan secepatnya. "Akan tetapi mujur tak dapat diraih, malang tak dapat
        ditolak. Menjelang senja, setelah pergi sejak pagi, barulah isterinya pulang dan turun dari joli dalam keadaan
        payah, mukanya pucat dan basah air mata. Sambil menangis sesenggukan isterinya lari ke dalam rumah, menjatuhkan
        diri dan berlutut di depan kakinya sambil menceritakan bahwa ketika tadi bersembahyang di kelenteng, kebetulan
        di kelenteng itu terdapat putera bangsawan Lui yang bermain catur dengan para hwesio. Melihat dia, putera
        bangsawan menyeretnya ke dalam kamar di kelenteng dan memperkosanya! Setelah mengucapkan pengakuan yang hebat
        itu, isterinya lari ke dalam kamar sambil menangis sesenggukan. hati Toan Ki terasa tidak enak. Tadi dia
        termangu-mangu seperti patung saking marah dan dukanya mendengar penuturan isterinya sehingga dia agak lalai
        membiarkan isterinya lari. Cepat dia mengejar dan melihat pintu kamar isterinya dipalang dari dalam, ia
        menendang pecah daun pintu! Dia berdiri pucat dan terbelalak. Apa yang dilihatnya? "Isteriku telah rebah mandi
        darah di lantai! Pedangku ia pergunakan untuk membunuh diri, menusuk dadanya hampir tembus!" Dia mengakhiri
        ceritanya sambil menutupkan kedua tangan di depan mukanya. "Ohhh....!!" Swi Nio menjadi pucat sekali dan dia
        menyentuh lengan Toan Ki dengan penuh perasaan terharu. "Putera bangsawan dan hwesio-hwesio keparat itu harus
        dihukum! Dan aku akan membantumu, Liem-twako!" Toan Ki menurunkan tangannya, memegang tangan Swi Nio dengan
        erat. Mereka saling berpegangan dan saling menggenggam tangan. "Kita senasib, Nona. Karenanya ada kecocokan di
        antara kita dan karenanya aku menolongmu pagi tadi. Akan tetapi, bicara soal bantu-membantu, akulah yang akan
        membantumu kelak kalau saatnya tiba untuk membalaskan sakit hatimu. Sedangkan sakit hatiku sendiri sudah
        kubalas impas dan lunas. Pemuda bangsawan keparat itu telah kubunuh bersama semua hwesio kelenteng itu! Karena
        itu aku menjadi buronan dan aku terpaksa lari kepada Jenderal An Lu Shan yang segera menerimaku karena dia
        membutuhkan bantuan kepandaianku." "Ahhh, engkau baik sekali, Twako. Dan engkau bernasib buruk sekali seperti
        aku. Aku merasa beruntung dapat bertemu dan dapat bersahabat denganmu. Baiklah aku akan ikut bersamamu
        menghadap Jenderal An Lu Shan." Demikianlah, Swi Nio ikut bersama Toan Ki dan benar saja seperti dikatakan
        laki-laki gagah itu, dia diterima dengan baik di dalam rombongan orang-orang gagah bukan perajurit yang menjadi
        pembantupembantu An Lu Shan. Persahabatannya dengan Liem Toan Ki menjadi makin akrab dan bahkan tumbuh
        benih-benih cinta kasih di antara kedua orang yang sama nasibnya ini, Liem Toan Ki kehilangan isterinya yang
        dikawininya baru tiga bulan lamanya, sedangkan Swi Nio kehilangan keperawanannya karena diperkosa oleh seorang
        pangeran. Akhirnya keduanya bersepakat untuk mengikat perjodohan, namun Swi Nio mengatakan bahwa dia baru mau
        melangsungkan pernikahan secara resmi apabila sakit hatinya telah terbalas semua! Maka kedua orang ini hidup
        sebagai dua orang tunangan yang saling mencinta, apalagi karena perjodohan mereka itu direstui oleh An Lu Shan
        yang pandai mengambil hati orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat dibutuhkan bantuannya. Pada
        suatu hari An Lu Shan memanggil Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio, bersama tiga orang tokoh lain yang merupakan
        orang-orang berkepandaian tinggi di antara para pembantu An Lu Shan. Yang seorang bernama Tan Goan Kok, seorang
        kakek tinggi besar yang yang terkenal di utara sebagai seorang ahli gwakang yang hebat. Kabarnya, Tan Goan Kok
        ini biarpun usianya sudah lima puluh tahun lebih, dapat menggunakan kekuatan otot tubuhnya untuk mengangkat
        seekor kerbau bunting Di samping tenaganya yang besar, juga dia memiliki ilmu silat toya yang sukar dicari
        bandingannya. Kakek kedua adalah pat-jiu Mokai (Pengemis Iblis Tangan Delapan), seorang kakek yang berusia enam
        puluh tahun, pakaiannya penuh tambalan biarpun bersih dan baru, selalu memegang sebatang tongkat butut dan
        siapa pun, bahkan An Lu Shan sendiri, menyebutnya Pangcu (Ketua) padahal kakek jembel ini hanyalah seorang
        ketua yang tidak mempunyai anak buah! Pat-jiu Mo-kai tidak memimpin suatu perkumpulan pengemis namun nama
        besarnya sedemikian terkenal sehingga setiap orang pengemis di manapun juga akan selalu menyebutnya Pangcu!
        Sampai ketua para perkumpulan pengemis juga menyebutnya Pangcu! Ilmu tongkatnya amat tinggi dan kabarnya belum
        pernah kakek ini dikalahkan lawan selama dalam perantauannya sampai akhirnya dia dapat dibujuk membantu An Lu
        Shan. Orang ke tiga, berusia lima puluh tahun lebih, berpakaian tosu dan memang dia seorang penganut Agama To,
        seorang kakek perantau yang disebut Siok Tojin. Berbeda dengan kedua orang kakek pertama, Siok Tojin orangnya
        pendiam, tidak terkenal, namun ilmu pedangnya amat hebat sehingga ketika dia diuji, ilmu pedangnya itu bahkan
        mampu menandingi tongkat Pat-jiu Mo-kai! Setelah Liem Toan Ki, Bu Swi Nio, dan tiga orang kakek itu menghadap
        An Lu Shan yang memanggilnya, Jenderal pemberontak ini lalu menceritakan akan surat dari The Kwat Lin bekas
        ketua Bu-tong-pai yang mengajak kerjasama dalam menentang Kaisar. "Aku sengaja mengutus Ngo-wi (kalian Berlima)
        untuk menjajaki hati wanita berilmu tinggi apakah benarbenar dia hendak bersekutu. Bu Swi Nio adalah muridnya,
        maka aku mengutusnya untuk mengukur hati gurunya. Kalau dia benar-benar hendak bersekutu, tentu dia tidak akan
        marah kepada muridnya yang telah melarikan diri dan menjadi pembantuku. kau menemani dan menjaga tunanganmu,
        Toan Ki. Dan Pangcu bersama dua orang Lo-enghiong hendaknya menguji kepandaian mereka yang hendak bersekutu, di
        samping melindungi mereka berdua ini kalau-kalau terancam bahaya." Demikianlah maka pada pagi hari itu, lima
        orang kaki tangan An Lu Shan ini telah berada di tepi Rawa Bangkai. Mereka memandang ke arah pulau di
        tengah-tengah rawa yang tampak dari tempat itu dalam jarak yang cukup jauh dan mereka memandang permukaan rawa
        dengan wajah membayangkan kengerian. Sudah banyak mereka mendengar akan bahayanya melintasi rawa itu. "Saya
        hanya baru satu kali mengunjungi tempat ini bersama Subo," terdengar Swi Nio menerangkan ketika dia ditanya
        oleh teman-temannya, "dan ketika itu kami mengikuti Kiam-mo Cai-li yang membawa kami berlompatan dari tempat
        ini ke pulau itu. Setiap lompatanya membawanya ke tanah keras dan aman, akan tetapi tentu saja aku tidak bisa
        mengingat lagi karena dia melompat-lompat ke tanah kiri, kadang-kadang membalik lagi." "Hemmm, tentu merupakan
        jalan rahasia yang sukar diketahui orang luar," kata Pat-jiu Mo-kai sambil meraba-raba dagunya yang berjenggot
        panjang. "Dan menurut Kiam-mo Cai-li, katanya meleset sedikit saja merupakan bahaya maut karena di sepanjang
        jalan penuh dengan jebakan alam. Kadang-kadang dia membawa kami meloncat ke bagian yang ada airnya, sampai saya
        merasa ngeri, akan tetapi ternyata bagian itu airnya hanya semata kaki, sedangkan tanah yang kelihatan kering
        di dekatnya, menurut keterangannya, bahkan merupakan tempat berbahaya sekali. Ketika pulang ke Bu-tong-san,
        Subo sendiri mengatakan bahwa dia tidak akan berani lancang menempuh jalan ini sendirian saja karena dia pun
        tidak dapat mengingat kembali jalan berliku-liku itu." "Bagaimana kalau kita menggunakan tali yang panjang?
        Biar kau tidak hafal jalan itu, setidaknya kau pernah melaluinya dan dapat kau mencarinya, Moi-moi. Kita
        berempat mengikuti dari belakang, menggunakan tali yang ditalikan di pinggangmu sehingga andaikata kau salah
        jalan dan masuk perangkap, kita dapat menolongmu dengan menarik tali itu," kata Liem Toan Ki kepada kekasihnya.
        "Begitupun boleh, akan kucoba mengingat-ingat, akan tetapi harus kau sendiri yang memegang ujung tali, Koko,
        karena aku ngeri!" "Ah, aku tidak setuju! Usul itu tidak tepat, Liem Sicu!" Tiba-tiba Tan Goan Kok berkata
        dengan suaranya yang parau dan nyaring. "Akan tetapi aku tidak takut, Tan-lo-enghiong!" Swi Nio membantah.
        "Pula, kalau Liem-koko yang memegang ujung talinya, aku tidak takut apa-apa lagi. Andaikata aku terjeblos,
        tentu akan dapat cepat ditariknya naik lagi." "Bukan tidak setuju karena takut, melainkan karena kalau hal itu
        diketahui mereka, tentu akan menjadi bahan ejekan. Perlu apa kita harus mencari-cari jalan rahasia yang
        disembunyikan orang? Kita harus mencari jalan masuk yang lebih gagah, tidak mencuri-curi seperti segerombolan
        maling." Bu Swi Nio mengerti dan membenarkan pendapat ini. Mereka berlima lalu duduk di tepi rawa sambil
        mengerutkan alis, mencari akal bagaimana mereka akan dapat mengunjungi pulau di tengah rawa itu sebagai
        tamu-tamu yang datang secara gagah. Karena kalau usul Liem Toan Ki dan Swi Nio tadi dilanjutkan, dan sampai
        terjadi Swi Nio terjebak ke dalam perangkap alam, tentu hal ini akan membuat mereka memandang rendah saja. Akan
        tetapi, betapapun banyak pengalaman mereka dan betapapun tinggi ilmu kepandaian mereka, belum pernah mereka
        menghadapi kesukaran seperti sekarang ini. Akhirnya Siok Tojin yang sejak tadi tidak ikut bicara, mengeluarkan
        suara mengomel, kemudian berkata, "Dapat! Aku teringat akan orang-orang Mongol yang menggunakan akal mencari
        ikan di rawa-rawa seperti ini!" Empat orang kawanannya memandang ke arah tosu ini dengan wajah gembira dan
        penuh harapan. "Lekas katakan, Totiang, bagaimanakah akal itu?" Tan Goan Kok bertanya. "Mereka menggunakan
        bambu-bambu sebagai perahu." "ahh, mana mungkin? Menggunakan perahu menyeberangi rawa ini? Tentu akan mogok di
        tengah jalan kalau bertemu dengan air yang tertutup tanah dan rumput," bantah Pat-jiu Mo-kai sambil memandang
        ke rawa dengan alis berkerut. "Kita jangan meniru mereka yang membuat rakit dari bambu. Kita masing-masing
        menggunakan sebatang bambu saja, ujungnya dibikin runcing," kata Siok Tojin singkat, akan tetapi teman temannya
        sudah dapat menangkap maksudnya. "Bagus sekali! Tentu kita berhasil! Dengan bambu runcing, kita dapat meluncur
        melalui apa saja!" Tan Goan Kok berteriak girang. "Hemm, kusangka tidak semudah itu. Kita harus hati-hati,
        benar-benar mengerahkan ginkang dan sinkang, kalau sampai tergelincir tentu kita celaka dan akan makin menjadi
        bahaya tertawan lagi. Betapapun juga, akal itu baik sekali. Mari kita mencari bambu dan membuat dayung," kata
        Pat-jiu Mo-kai yang bersama Siok Tojin dianggap orang tertua dan tertinggi ilmunya. Tak lama kemudian,
        tampaklah lima orang itu meluncur di atas Rawa Bangkai yang terkenal sukar dilalui orang itu. Dilihat dari
        jauh, seolah-olah lima orang itu terbang meluncur di atas air rawa! Akan tetapi kalau orang melihat dari dekat
        barulah tampak bahwa kaki mereka menginjak sebatang bambu besar yang kedua ujungnya telah diperuncing dan
        mereka menggunakan dayung kayu untuk mendorong bambu yang mereka injak itu meluncur ke tengah. Orang yang tidak
        memiliki ginkang dan sinkang jangan mencoba-coba untuk menyebrang menggunakan cara seperti ini. Bambu sebatang
        yang diinjak kaki itu tentu saja amat berbahaya, selain licin juga dapat berputar sehingga kaki dapat
        terpeleset. Namun, dengan kekuatan sinkang, telapak kaki mereka seolah olah melekat pada batang bambu itu tidak
        dapat berputar, dan dengan ginkang mereka lima orang lihai kepercayaan An Lu Shan itu dapat memperingan tubuh
        mereka dan bambu yang mereka injak itu meluncur cepat ke tengah rawa. Mereka adalah orang-orang yang memiliki
        ilmu kepandaian tinggi. Yang paling rendah tingkatannya di antara mereka adalah Bu Swi Nio, padahal wanita ini
        sudah amat lihai karena semenjak kecil dia telah digembleng pula oleh wanita sakti The Kwat Lin, ratu dari
        Pulau Es! Diam-diam, dari tempat persembunyian mereka, banyak pasang mata mengintai dan memandang dengan kagum
        ketika lima orang itu meluncur datang ke arah pulau di tengah Rawa Bangkai. Melihat lima orang itu menggunakan
        sebatang bambu yang diinjak, melihat mereka itu menggunakan kepandaian membunuh ular dan binatang berbisa lain
        yang menghadang di tengah perjalanan itu, orang-orang Rawa Bangkai menjadi kagum dan segera melaporkan kepada
        Kiam-mo Cai-li dan The Kwat Lin akan kedatangan lima orang itu. Kedua orang wanita sakti ini segera berunding
        sambil menanti kedatangan mereka. Melihat bahwa Bu Swi Nio berada di antara mereka, The Kwat Lin menjadi marah
        sekali. "Keparat," desisnya marah. "Murid itu mengantarkan nyawanya ke sini!" "Ahhh, The-lihiap, mengapa marah?
        Harap diingat bahwa dia bukanlah muridmu yang dahulu, melainkan seorang pembantu An Lu Shan yang dipercaya.
        Karena itu, untuk memulai dengan hubungan persekutuan, amatlah tidak baik memusuhi utusan An Lu Shan," kata
        Kiam-mo Cai-li. The Kwat Lin tercengang dan teringat akan cita-citanya. Memang benar, urusan pribadi harus
        dikesampingkan kalau dia ingin agar cita-citanya yang amat tinggi untuk putranya itu akan dapat terlaksana.
        Maka dia lalu mengajak Kiam-mo Cai-li berunding bagaimana untuk menghadapi lima orang itu, utusan-utusan An Lu
        Shan dimana termasuk bekas muridnya itu. Kiam-mo Cai-li yang amat cerdik lalu memberi nasihat-nasihat sehingga
        keduanya dapat mengatur siasat. Biarpun penyeberangan itu amat sukar dan mereka berlima harus membunuh banyak
        ular berbisa, saling bantu membantu ketika batang bambu mereka itu menemui banyak halangan, akhirnya lima orang
        itu berhasil juga melompat ke atas pulau dimana telah berdiri serombongan orang yang ditugaskan menyambut
        mereka. Melihat dua puluh lebih orang yang berdiri seperti pasukan menyambut mereka, Pat-jiu Mo-kai segera
        tertawa bergelak dan berkata, "Ha-ha-ha, sungguh bagus sekali penyambutan Rawa Bangkai terhadap utusan dari An
        Goan-swe!" Seorang di antara anggauta pasukan itu, yang berjenggot panjang dan bermata sipit, melangkah maju
        dan memberi hormat. "Selamat datang di Rawa Bangkai! Karena kami tidak tahu bahwa Cuwi yang terhormat datang
        berkunjung maka kami tidak mengadakan penyambutan di luar rawa. Akan tetapi Cuwi telah memperlihatkan kegagahan
        yang membuat kami tunduk dan kagum. Sekarang, silahkan Cuwi semua ikut dengan kami menghadap Hong-houw (Ratu)."
        Diam-diam lima orang itu terkejut juga sungguhpun mereka tahu siapa yang dimaksudkan dengan sebutan ratu itu.
        Benar-benar bekas ketua Bu-tong-pai adalah seorang wanita yang angkuh dan hendak menerima mereka sebagai
        seorang ratu! Akan tetapi karena mereka berada di sarang yang berbahaya, mereka tidak banyak cakap melainkan
        mengikuti pasukan itu menuju ke tengah pulau dimana terdapat bangunan- bangunan yang kuat dan cukup indah. Lima
        orang utusan An Lu Shan itu diterima oleh The Kwat Lin, Kiam-mo Cai-li Liok Shi, dan Han Bu Ong putra The Kwat
        Lin, di dalam sebuah ruangan yang luas. Agak pucat muka Swi Nio dan otomatis dia menyentuh tangan Liem Toan Ki
        yang membalas dengan genggaman seolah olah hendak menghibur kegelisahan calon istrinya itu. Tentu saja Swi Nio
        merasa takut karena dia sudah mengenal watak subonya yang keras dan kejam, juga maklum betapa lihainya subonya
        itu. Dia tahu bahwa andai kata subonya berniat buruk, mereka berlima tentu akan tewas semua di tempat itu.
        "Ibu, itu Swi-suci yang telah minggat datang kembali!" tiba tiba Han Bu Ong berkata sambil menudingkan
        telunjuknya ke muka Swi Nio. Swi Nio tidak dapat berdiam diri lebih lama lagi, dan dia maju menjatuhkan diri
        berlutut sambil berkata, "Subo, teecu harap subo sudi mengampunkan teecu." The Kwat Lin memandang tajam sejenak
        lalu menghela napas dan menggerakkan tangannya. Dia cukup bermata tajam untuk dapat melihat betapa empat orang
        laki laki yang datang bersama Swi Nio itu bersikap siap siaga dan kalau dia menurutkan hati panas turun tangan
        mengganggu muridnya itu, tentu empat orang utusan An Lu Shan itu akan membela Swi Nio mati matian. Hal ini sama
        sekali tidak diharapkannya dan sudah dibicarakannya tadi bersama Kiam-mo Cai-li, maka dia menekan perasaannya
        dan berkata,"Bangkitlah, engkau pergi dan menjadi kepercayaan An Goanswe, tidak terlalu mengecewakan." Lega
        bukan main hati Swi Nio dan dia bangkit berdiri lalu berkata kepada Bu Ong, "Sute engkau baik baik saja,
        bukan?" An Bu Ong yang biarpun masih kecil namun sikapnya sudah seperti orang dewasa itu mencibirkan bibirnya,
        mendengus seperti orang mengejek, lalu berkata, "Suci, baik sekali engkau, ya? Suheng dibunuh orang, dan ibu
        sampai lari ke sini, akan tetapi engkau malah minggat dan enak enak saja!" "Bu Ong, diamlah engkau!" The Kwat
        Lin berkata, lalu melanjutkan kepada Swi Nio, "Swi Nio, tahukah engkau bahwa kakakmu telah tewas?" Swi Nio
        mengangguk dan air matanya bercucuran dan segera diusapnya. "Teecu sudah mendengar akan hal itu, Subo." "Kalau
        begitu kita sama-sama mendendam kepada pemerintah. Kita lupakan saja semua urusan lama, Swi Nio, dan baik
        sekali kalau kita dapat bekerja sama. Agaknya engkau kini sudah dipercaya menjadi utusan An Goanswe, ya?" Swi
        Nio cepat menjawab dan memperkenalkan teman-temannya. "Teecu hanya menjadi pembantu dan penunjuk jalan saja
        bersama....dia ini...." Swi Nio menunjuk kepada Liem Toan Ki dan mukanya menjadi merah. "Siapa dia?" The Kwat
        Lin memandang tajam kepada Liem Toan Ki yang cepat maju menjura dengan hormat. "Maafkan, Pangcu...." "Aku bukan
        Ketua Bu-tong-pai lagi, aku adalah bekas Ratu Pulau Es!"jawab Kwat Lin ketus. "Maaf, saya bernama Liem Toan Ki
        dan Bu-moi adalah calon istri saya." "Ibu, dia ini yang pernah menyerbu Bu-tong-pai dan dialah tentunya yang
        membawa minggat Suci!" tibatiba Bu Ong berkata. Toan Ki diam-diam memuji kecerdikan anak laki-laki itu dan dia
        terkejut sekali. "Benar demikian, saya yang dahulu menjadi petugas An Goanswe menyelidiki Bu-tong-pai dan
        kemudian mengajak pergi Bu-moi yang sekarang menjadi calon istri saya." The Kwat Lin mengerutkan alisnya.
        Laki-laki ini sebenarnya telah menghinanya sebagai bekas Ketua Bu-tong-pai dan sebagai guru Swi Nio, akan
        tetapi diam-diam dia menerima isyarat mata Kiam-mo Cai-li, maka dia menoleh kepada Swi Nio sambil bertanya,
        "Benarkah kau menjadi calon isterinya?" Muka Swi Nio menjadi merah sekali. "Benar, Subo. Kami saling mencinta,
        akan tetapi teecu dan dia berjanji hanya akan melangsungkan pernikahan setelah dendam saya terbalas, yaitu
        setelah kerajaan sekarang jatuh dan dikuasai An Goanswe." "Hemm, sudahlah. Kalau kau dan calon suamimu ini
        hanya membantu, siapa yang menjadi utusan An Goanswe menghadap padaku?" "Mereka inilah," Swi Nio menunjuk
        kepada tiga orang teman-temannya. Dia adalah Pat-jiu Mo-kai, dan Totiang ini adalah Siok Tojin, Lo-enghiongitu
        adalah Tan Goan Kok. Mereka bertiga yang menjadi utusan An Goanswe. The Kwat Lin memandang tajam kepada tiga
        orang itu seolah-olah hendak menimbang bobot mereka dengan matanya. Pat-jiu Mo-kai yang tertua dan dianggap
        pemimpin rombongan apalagi karena dia yang pandai bicara dibandingkan Tan Goan Kok yang kasar dan jujur,
        apalagi dengan Siok Tojin yang jarang sekali membuka mulut, segera tertawa. "Ha-ha-ha, kami bertiga pun
        hanyalah pembantu-pembantu rendahan saja dari An Goanswe, akan tetapi kami menerima kehormatan untuk menjadi
        utusan Beliau menghadap Toannio The Kwat Lin yang namanya terkenal sebagai Ratu Pulau Es dan Ketua Bu-tong-pai,
        juga menghadap Kiam-mo Cai-li yang juga amat terkenal di dunia Kang-ouw sebagai seorang wanita yang amat lihai
        dan cerdas sekali. Kami merasa amat terhormat dapat menjadi tamu-tamu di Rawa Bangkai ini." Kiam-mo Cai-li Liok
        Si yang memang amat cerdas, kini mendahului Kwat Lin dan berkata, "Tidak tahu apakah kedatangan Cuwi ada
        hubungannya dengan pesan kami kepada An Goanswe" "Dugaan Cai-li benar sekali. Kami berlima adalah utusan An
        Goanswe untuk menghadap Jiwi dan untuk bicara dengan Jiwi. An Goanswe telah menerima pesan Jiwi dan sebagai
        jawaban An Goanswe mengutus kami untuk bicara." "Lalu bagaimana keputusan An Goanswe tentang ajakan kami untuk
        bekerja sama?" The Kwat Lin bertanya. "An Goanswe merasa amat senang menerima surat Jiwi dan tentu saja An
        Goanswe menerima dengan kedua tangan terbuka uluran kerja sama Jiwi itu. Sudah lama An Goanswe merasa kagum,
        terutama sekali melihat siasat gemilang yang berhasil baik sehingga Jiwi sekalian dapat menyelundupkan orang
        menjadi kepercayaan Yang Kui Hui. Hanya sayang, pada saat terakhir siasat gemilang itu mengalami kegagalan
        karena orang kepercayaan Jiwi tidak dapat menahan nafsu berahinya. Kami diutus oleh An Goanswe untuk
        menyampaikan pesan bahwa jika Jiwi suka membantu dari dalam, yaitu berusaha menanam tenaga-tenaga bantuan di
        dalam kota raja dan kalau mungkin di dalam istana agar kelak memudahkan penyerbuan ke kota raja apabila saatnya
        yang tepat tiba, maka An Goanswe akan berterima kasih sekali." Mendengar pesan An Lu Shan yang di sampaikan
        oleh Pat-jiu Mo-kai ini, hati kedua orang wanita itu menjadi girang sekali sungguhpun kegirangan itu tidak
        terbaca di wajah mereka. "Kami yang tidak mempunyai pasukan besar memang tahu diri dan tentu saja hanya akan
        membantu dari dalam seperti yang diusulkan An Goanswe. Kami dapat menerima usul itu dan sebaiknya kita
        rencanakan siasat-siasatnya bersama." The Kwat Lin berkata. "Sebelum kita berunding dan mengatur siasat agar
        dapat kami sampaikan kepada An Goanswe terlebih dahulu kami harus menyampaikan semua pesan Beliau untuk Jiwi.
        Selain usul itu juga An goanswe mengatakan bahwa pekerjaan membantu dari dalam itu merupakan pekerjaan yang
        amat rumit, sulit, dan berbahaya. Hanyalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi saja yang
        akan dapat berhasil dan An Goanswe ingin memperoleh keyakinan bahwa para pembantunya tidak akan gagal."
        Mendengar kata-kata kakek berpakaian tambalan itu, merahlah wajah The Kwat Lin dan hatinya menjadi panas.
        "Hemm, ucapanmu itu berarti bahwa kalian hendak menguji kepandaian kami?" Sambil tertawa Kiam-mo Cai-li yang
        melihat kemarahan kawannya itu bangkit berdiri dan meloncat ke tengah ruangan yang luas itu sambil berkata,
        "Memang sudah seharusnya demikian! An Goanswe adalah seorang Jenderal besar yang cerdik pandai, tentu akan
        menguji setiap orang sekutu atau pembantunya. Nah, biarlah aku yang lebih dulu memperlihatkan kepandaian.
        Siapakah di antara Cuwi berlima yang hendak menguji?" Dengan lagak memandang rendah Kiam-mo Cai-li berdiri dan
        memandang ke arah lima orang utusan itu. Tentu saja Bu Swi Nio tidak berani bergerak, juga Liem Toan Ki yang
        sudah maklum akan kehebatan ilmu kepandaian wanita Majikan Rawa Bangkai itu mengerti bahwa dia bukanlah
        tandingannya. Melihat wanita yang usianya lima puluh tahun itu masih cantik menarik dan memegang sebatang
        payung, berdiri dengan sikap memandang rendah, Siok Tojin yang sejak tadi diam saja sudah bangkit. Ilmu
        kepandaian tosu ini amat tinggi terutama ilmu pedangnya, dan di dalam rombongan itu dia merupakan orang ke dua
        yang terpandai. "Biarlah pinto yang akan menguji," katanya. Pat-jiu Mo-kai mengangguk. Memang yang akan menjadi
        tukang menguji kepandaian dua orang wanita itu adalah mereka bertiga, dan dia mendengar bahwa kepandaian bekas
        Ratu Pulau Es itu lebih hebat daripada kepandaian Kiam-mo Cai-li, maka memang sebaiknya kalau Siok Tojin yang
        menghadapi Kiam-mo Cai-li sedangkan dia nanti yang akan menghadapi The Kwat Lin. Kiam-mo Cai-li memandang tosu
        itu penuh perhatian, kemudian sambil tersenyum dia berkata, "Kalau aku hanya mampu menandingi Siok Tojin,
        agaknya belumlah patut aku menjadi tangan kanan Ratu Pulau Es dan akan menjadi kepercayaan An Goanswe, akan
        tetapi hendak kuperlihatkan bahwa aku akan dapat mengalahkan totiang dalam sepuluh jurus. kalau sampai dalam
        sepuluh jurus aku tidak mampu mengalahkan Totiang, anggap saja aku tidak becus dan aku akan mengundurkan diri!"
        Ucapan ini mengejutkan semua utusan itu. Biarpun mereka sudah lama mendengar nama besar datuk wanita yang
        merupakan iblis betina ini, namun Siok Tojin bukan orang sembarangan. Ilmu pedangnya amat tangkas, hebat dan
        kuat. Bagaimana wanita itu berani bersombong mengatakan hendak mengalahkannya dalam sepuluh jurus? Namun The
        Kwat Lin yang dengan pandang matanya yang tajam dapat menilai orang, tenang-tenang saja. Juga Kiam-mo Cai-li
        bukanlah menyobongkan diri secara ngawur, melainkan dia pun sudah dapat menilai kepandaian tosu itu dari
        gerakanya maka dia berani menantang akan mengalahkannya dalam sepuluh jurus. Siok Tojin mengerutkan alisnya,
        perutnya terasa panas. Dia tidak pandai bicara, maka dalam kemendongkolannya dia hanya berkata, "Hemm, seekor
        kerbau diikat hidungnya, manusia diikat mulutnya!" Ucapan ini mengandung maksud bahwa kalau Kiam-mo Cai-li
        tidak memenuhi janji yang diucapkan dengan mulut, dia sama dengan seekor kerbau! Setelah berkata demikian,
        tangan kananya bergerak dan tampaklah sinar berkilau dari pedang yang telah dicabutnya. "Tentu saja mulutku
        dapat dipercaya, Siok Tojin! Aku akan mengalahkanmu dalam waktu sembilan jurus! Kiam-mo Cai-li berkata sambil
        mengejek dan tangan kanannya memegang payung yang segera terbuka dan dipakainya, sedangkan tangan kirinya
        diraba-raba sanggul rambutnya, seperti merapikan padahal diamdiam dia melepas tali rambutnya yang panjang itu.
      </P>
      <P>
        "Ehhh.... celaka.....!!" Siok Tojin berseru, akan tetapi bagaimana dia dapat menghindarkan diri dari serangan
        ke tiga ini? Kedua tangannya telah menahan dua ancaman maut dan sama sekali tidak bisa dilepaskan.
        "Plak-plak....!!" Seperti ular hidup mematuk saja layaknya, ujung rambut panjang itu menotok dua kali, membuat
        ke dua lengan tangan Siok Tojin seketika lumpuh dan pedangnya telah dirampas oleh ujung rambut yang
        terayun-ayun dan berputar ke atas, membawa pedang itu berputaran di atas kepala. "Bagaimana, Totiang?" Kiam-mo
        Cai-li bertanya. Sambil menundukan kepalanya, Siok Tojin berkata lirih, "Pinto mengaku kalah." Dan memang dia
        tahu akan kekeliruannya sekarang, akan tetapi dia harus mengaku bahwa dia telah dikalahkan dalam lima enam
        jurus saja! Dia tahu pula bahwa lawan tidak hendak mencelakakannya, kakau tidak, tentu ujung rambut itu dapat
        melakukan totokan maut yang akan menewaskannya. Rambut itu membawa pedang meluncur ke bawah dan melempar pedang
        menancap di depan kaki Siok Tojin, kemudian dua kali rambut menyambar, dan menotok sehingga terbebaslah tosu
        itu dari totokan. Siok tojin menghela napas, mengambil pedangnya, menjura lalu tanpa berkata-kata lagi dia
        menlangkah mundur ke tempat teman-temannya. "Ha-ha-ha, bukan main hebatnya Kiam-mo Cai-li. Pedang payung lihai,
        kukunya berbahaya, rambutnya hebat, akan tetapi yang lebih hebat lagi adalah kecerdikannya yang memancing
        kemarahan Siok Tojin! Memang kecerdikan seperti itu amat dibutuhkan dalam tugas bekerja dari dalam yang
        membutuhkan kecerdikan seperti yang dimiliki Kiam-mo Cai-li. (Kionghi (Selamat)! An Goanswe tentu akan girang
        sekali mendengar laporan kami tentang diri Kiam-mo Cai-lil!" Kiam-mo Cai-li yang sudah duduk kembali, tersenyum
        girang. Aihh, Loenghiong Pat-jiu Mo-kai terlalu memuji! katanya dengan bangga dan girang. "Sekarang untuk
        melengkapi tugas kami yang diberikan oleh An Goanswe, kuharap The-toanio suka memperlihatkan kepandaian," kata
        pula Pat-jiu Mo-kai sambil melangkah maju menyeret tongkat bututnya. "Dan agaknya terpaksa aku sendiri yang
        harus maju melayani Toanio." The Kwat Lin masih tetap duduk dan memandang kakek pengemis itu dengan sinar mata
        tajam penuh selidik, kemudian dengan suar tenang dia berkata, "Siapa lagi yang diutus oleh An Goanswe untuk
        menguji kami?" "Hanya kami bertiga, dan karena Siok Tojin sudah kalah....." "maka tinggal engkau dan Tan
        Lo-enghiong itu. Nah, kaulihat Tan Lo-enghiong juga telah membawa senjatanya, membawa sebatang toya, maka
        sebaiknya kalau kalian berdua maju dan mengeroyokku!" Pat-jiu Mo-kai tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, The-toannio,
        apakah Toanio juga hendak menggunakan siasat seperti Kiam-mo Cai-li tadi? Ingat, tidaklah mudah untuk memancing
        kemarahanku!" The Kwat Lin mengerutkan alisnya, lalu melangkah maju. "Siapa yang menggunakan siasat? Tanpa
        siasat pun, menghadapi kalian berdua aku masih sanggup." Tiba-tiba terdengar suara Han Bu Ong, "Ibu, berikan
        dia kepadaku! Biar aku yang menandingi pengemis tua itu!" Pat-jiu Mo-kai diam-diam terkejut. Kalau seorang anak
        belasan tahun berani menghadapinya, tentu ibunya memiliki kepandaian yang hebat sekali. Akan tetapi The Kwat
        Lin menoleh kepada puteranya dan berkata, "Bu Ong, kita tidak sedang menghadapi musuh, dan pertandingan ini
        hanya untuk menguji kepandaian saja. Jangan kau ikut-ikut!" Han BU Ong cemberut lalu berkata, "Apalagi hanya
        dikeroyok dua, biar kalian berlima maju semua, ibu akan dapat mengalahkan kalian dengan satu tangan saja!"
        Kembali Pat-jiu Mo-kai terkejut. Bocah itu, putera The Kwat Lin, tidak lebih dianggap seperti bocah biasa, dan
        tentu telah memiliki kepandaian tinggi pula, maka kata-katanya tidak boleh dianggap kosong belaka. Lenyaplah
        keraguannya dan dia berkata kepada The Kwat Lin, "Memang sesungguhnya aku sendiri dan Tan Goan Kok merupakan
        orang-orang yang diutus menguji kepandaian Toanio, apakah kami boleh maju bersama menghadapi kelihaian Toanio?"
        Dengan sikap tak acuh The Kwat Lin berkata sambil menggerakan tangan kirinya, "Majulah, jangan
        sungkan-sungkan!" Tan Goan Kok yang berwatak kasar itu melompat ke depan. "Hemm, tentu Nyonya rumah memiliki
        kelihaian yang luar biasa maka menantang kita maju berdua, Pat-jiu Mo-kai!" Pat-jiu Mo-kai mengangguk-angguk.
        "Hati-hatilah, Tan-sicu." Mereka berdua lalu memasang kuda-kuda di sebelah kanan kiri The Kwat Lin. Pat-jiu
        Mo-kai memegang tongkat butut dengan tangan kanan seperti memegang sebatang pedang, tongkat itu menuding ke
        depan dari dadanya, lurus ke depan, sedangkan tangan kirinya menjaga di depan pusar, kedua kaki ditekuk
        sedikit, agak merapat di depan dan belakang. Tan Goan Kok memegang toyanya dengan kedua tangan, kuda-kudanya
        kuat sekali, kokoh seperti batu karang dan toya di kedua tangannya itu sedikit pun tidak bergoyang. Melihat dua
        orang itu sudah memasang kuda-kuda, The Kwat Lin lalu mencabut pedangnya, yaitu Angbwe- kiam dan melangkah maju
        sambil berkata, Nah silahkan kalian mulai!" "Kami adalah tamu-tamu dan kami maju berdua, tidak pantas kalau
        kami mulai, silahkan Toanio mulai," kata Pat-jiu Mo-kai yang tidak mau membuka serangan karena dia ingin lawan
        maju menyerang lebih dulu agar dia atau temannya dapat mengacaukan pertahanan lawan dengan serangan mendadak.
        The Kwat Lin tersenyum, maklum akan siasat kakek jembel itu. "Nah, sambutlah!" teriaknya dan Pat-jiu Mo-kai
        kecele kalau hendak melanjutkan siasatnya karena tiba-tiba pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar
        yang menyambar ke arah mereka seperti kilat cepatnya sehingga sekali bergerak, pedang itu telah menyerang
        mereka berdua dalam waktu yang hampir bersamaan! Tentu saja mereka terkejut sekali dan cepat menggerakkan
        tongkat dan toya untuk menangkis. "Trang...! Cringggg....!!" Pat-jiu Mo-kai dan Tan Goan Kok terhuyung ke
        belakang. Tenaga yang keluar dari Ang-bwe-kiam sungguh dahsyat, membuat telapak tangan mereka terasa panas dan
        hampir saja senjata mereka terlepas. Terkejutlah kedua orang itu dan The Kwat Lin diam-diam mentertawakan
        mereka karena dia memang hendak mengukur lebih dulu kekuatan lawan. Karena merasa penasaran, kini ke dua orang
        itu maju dari kanan kiri dan mulailah mereka menyerang dengan ganas. Kwat Lin sudah dapat mengetahui bahwa di
        antara kedua orang pengeroyoknya, tongkat kakek jembel itulah yang lebih lihai maka dia selalu mendahulukan
        tangkisannya terhadap tongkat itu, baru dia menangkis toya yang menyambar. Dia tahu bahwa kakek Tan Goan Kok
        yang kasar itu hanyalah menggandalkan tenaga gwakang yang besar, namun makin besar tenaga kasar lawan, makin
        mudah dia menghadapinya karena sedikit getarkan pedang yang dilakukan dengan pengerahan sinkang cukup membuat
        telapak tangan Tan Goan Kok terpukul sendiri oleh tangannya. Lewat sepuluh jurus, setelah dia yakin akan ukuran
        tenaga kedua orang lawannya, Tiba-tiba The Kwat Lin menyarungkan kembali pedangnya dan menghadapi kedua lawan
        itu dengan tangan kosong. Tentu saja dua orang lawannya cepat menahan senjata dan pat-jiu Mo-kai berseru,
        Heiii, The-toanio. Kami belum kalah mengapa engkau mengakhiri pertandingan?" "Siapa Mengakhiri? lanjutkanlah
        serangan kalian, aku menyimpan pedang karena takut rusak." "Huhhh, dengan tangan kosong pun ibu akan mudah
        mengalahkan kalian!" Mendengar teriakan bocah itu, dua orang kakek itu lalu maju lagi dan menggerakan senjata
        mereka untuk menyerang. Tongkat pat-jiu Mo-kai melayang dari atas menghantam kepala, sedangkan toya Tan Goan
        Kok menyambar dari samping menghantam lambung! Mereka terkejut setengah mati melihat lawan itu sama sekali
        tidak mengelak, hanya miringkan sedikit tubuhnya dan meloncat sedikit. "Bukkk! Bukkkk!!" Tongkat itu dengan
        kerasnya menghantam leher dan toya itu menghantam pangkal paha, akan tetapi tiba-tiba dua orang kakek itu roboh
        terguling dalam keadaan lemas tertotok! "Horeeee....!!" Han Bu Ong bersorak melihat betapa dalam segebrakan
        saja setelah ibunya menyimpan pedang, dua orang pengeroyok itu dapat dirobohkan. Sementara itu, The Kwat Lin
        cepat membebaskan totokannya dan dua orang kakek itu dapat bangkit sambil memungkut senjata mereka dan
        memandang dengan mata terbelalak kagum kepada wanita itu. Hampir mereka tidak dapat percaya bahwa mereka dapat
        dirobohkan hanya dalam segebrakan saja, namun kenyataannya memang demikian dan mengingat akan siasat lawan ini,
        mereka bergidik dan kagum sekali. Ternyata ketika tadi dia menggunakan pedang, The Kwat Lin hanya ingin
        mengukur sampai di mana kekuatan dua orang lawannya. Setelah yakin benar, dia menyimpan pedang dan sengaja
        menerima hantaman yang sudah dia ukur akan dapat diterima oleh leher dan pinggulnnya, kemudian pada saat kedua
        senjata itu tiba di tubuhnya, menggunakan kesempatan selagi kedua orang kakek itu terkejut melihat lawan tidak
        mengelak dan menerima pukulan, cepat seperti kilat kedua tangan The Kwat Lin bergerak dan berhasil menotok
        roboh dua orang kakek yang sama sekali tidak menduga bahwa lawan yang terkena hantaman dua kali itu akan
        menotok mereka! "Bukan Main!!!" Tan Goan Kok berseru dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Belum pernah selama
        hidupnya dia bertemu tanding sehebat itu. "Kami mengaku kalah! Kiranya The toanio memiliki kelihaian yang amat
        luar biasa dan kami akan melaporkan semua ini kelak kepada An Goanswe," kata pat-jiu Mo-kai. The Kwat Lin dan
        Kiam-mo Cai-li girang sekali setelah dapat menundukan para utusan itu, maka pesta lalu diadakan untuk menyambut
        utusan-utusan An Lu Shan dan sambil makan minum mereka lalu merundingkan dan merencanakan siasat untuk bekerja
        sama. Dalam kesempatan ini, Pat-jiu Mo-kai mengeluarkan sebuah peti hitam kecil dan menyerahkannya kepada The
        Kwat Lin sambil berkata, "Harap Toanio suka menerima hadiah tanda persahabatan dari An Goanswe ini." The Kwat
        Lin menyatakan terima kasih, lalu bersama Kiam-mo Cai-li membuka peti yang terisi emas dan perak dalam jumlah
        yang cukup banyak. The Kwat Lin lalu melepaskan rantai kalungnya dan menyerahkannya kepada Pat-jiu Mo-kai
        sambil berkata, "kami tidak mempunyai apa-apa untuk dipersembahkan kepada An Goanswe sebagai tanda persahabatan
        ini, harap Mo-kai suka menerima dan menyampaikan kepada Beliau." Pat-jiu Mo-kai menerima kalung itu dan mereka
        berlima terbelalak kagum melihat mata kalung yang amat besar dan indah penuh batu permata yang amat luar biasa.
        Biarpun mereka bukanlah ahli, namun pengalaman mereka membuat mereka, terutama tiga orang kakek itu dapat
        menduga bahwa harga kalung ini tidak kalah mahalnya dengan peti dan isinya, hadiah dari An Lu Shan tadi!
        "Hendaknya di antara pelaporan Cuwi, diberitahukan kepada An Goanswe bahwa kami sama sekali tidak membutuhkan
        harta benda, melainkan hendaknya An Goanswe mengingat bahwa saya adalah bekas Ratu Pulau Es dan puteraku adalah
        seorang Pangeran, sedangkan Kiam-mo Cai-li adalah majikan Rawa Bangkai sehingga kelak kalau perjuangan kita
        berhasil, sudah sepatutnya kalau kami memperoleh kedudukan yang setingkat dengan keadaan dan dengan bantuan
        kami." Mengertilah tiga orang kakek itu bahwa wanita lihai bekas ratu ini ternyata memiliki ambisi untuk
        kedudukan tinggi bagi puteranya. Sudah terlalu lama kita meninggalkan Lui Bwee, Ratu Pulau Es yang bernasib
        sengsara, ibu dari Swat Hong itu. Seoerti telah diceritakan di bagian depan, Liu Bwee meninggalkan Pulau Es,
        naik perahu dan mencari atau menyusul puterinya, Han Swat Hong yang lebih dulu meninggalkan Pulau Es menuju ke
        Pulau Neraka hendak menggantikan hukuman yang dijatuhkan oleh Raja Pulau Es atau diri Liu Bwee. Sambil menahan
        tangisnya, wanita yang menderita sengsara karena madunya ini mendayung perahu secepatnya meninggalkan Pulau Es.
        Akan tetapi, biarpun semenjak kecil berada di Pulau Es, namun dia belum pernah pergi Ke Pulau Neraka. Siapakah
        orangnya yang berani pergi ke Pulau Neraka, kecuali mereka yang memang dihukum buang ke pulau terkutuk itu?
        Karena tidak mengenal jalan, Lui Bwee menjadi bingung, apalagi karena tidak lagi melihat bayangan puterinya.
        Dia adalah puteri nelayan Pulau Es, tentu saja dia pandai mengemudikan perahu, akan tetapi karena tidak tahu di
        mana letaknya Pulau Neraka, dia menjadi bingung dan meluncurkan perahunya tanpa arah tertentu, asal
        meninggalkan Pulau Es sejauh-jauhnya saja. Dia ingin menjauhkan diri dari suaminya yang amat tercinta, dan
        terutama dari The Kwat Lin, madunya yang telah menghancurkan hidupnya. Setelah sehari semalam berputaran tanpa
        tujuan dan sama sekali tidak melihat Pulau Neraka atau puterinya, bahkan tidak melihat seorang pun manusia yang
        dapat dia tanyai di antara gumpalan-gumpalan es yang mengambang di laut dan pulau-pulau kosong yang banyak
        terdapat di situ, tanpa makan tanpa tidur, akhirnya Liu Bwee terpaksa mendarat di sebuah pulau kosong yang
        subur. Dia mencari makanan untuk memenuhi tuntutan perutnya yang lapar, kemudian melihat bahwa pulau ini cukup
        subur dan baik hawanya, dia mengambil keputusan untuk tinggal di pulau itu, betapa selama hidupnya sampai hari
        akhir. Dia sudah merasa bosan dengan urusan dunia yang hanya mendatangkan kesengsaraan batin belaka. Mulailah
`Pemula Punya Blog

Ditulis Oleh : Unknown // 2:27 AM
Kategori:

Ditulis Oleh : Unknown ~ PEMULA PUNYA BLOG ~

Artikel BUKEK SIANSU : Seri Kedelapan ini diposting oleh Unknown Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel BUKEK SIANSU : Seri Kedelapan ini.Di Posting Saturday, July 28, 2012. Tak Lengkap Rasanya Jika Kunjungan Anda di Blog ini Tanpa Meninggalkan Komentar Untuk Itu Silahkan Berikan Komentar Anda Apa Aja Pada Kotak Komentar Di Bawah. Semoga Artikel BUKEK SIANSU : Seri Kedelapan dapat Memberi manfaat untuk Anda ..Trima Kasih.. HAPPY BLOGGING :)

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.