asing yang bertubuh jangkung, bersikap
gagah dan berkulit coklat gelap, bermata tajam dan bercambang bauk
berkeliaran di daerah itu. Di tengah
jalan, dia melihat seorang laki-laki asing yang tinggi besar dan gagah,
memegang gandewa dan akan panah
dikelilingi prajurit-prajurit Han dan Arab sambil tertawa-tawa. Laki-laki
berusia tiga puluh tahun lebih yang
gagah itu berkata
dalam bahasa Han yang kaku, "Lihat burung-burung itu!
Aku
akan menurunkannya sekaligus tiga ekor.
Yang mana kalian pilih?" Swat Hong tertarik , berhenti dan memandang ke
atas. Diam-diam dia terkejut dan
menganggap orang itu sombong. Mana bisa menjatuhkan burung-burung yang terbang
begitu tinggi sekaligus tiga ekor kalau
orang ini bukan seorang ahli panah yang sakti? "Tiga ekor dari
depan!"
terdengar teriakan. "Tidak, yang
paling belakang adalah paling sukar!" kata orang lain. Perwira bangsa Arab
itu
tersenyum dan tampaklah giginya yang
rata dan putih berkilauan, kumisnya bergerak-gerak. "Biar kujatuhkan dua
terdepan dan burung terakhir!"
Kelompok burung yang terbang tinggi sudah tiba tepat di atas mereka. Perwira
itu
memasang tiga batang anak panah pada
gendewanya, lalu menarik tali gendewa . Terdengar suara menjepret dan
meluncurlah tiga batang anak panah
seperti tiga sinar berkilauan ke atas. Dari bawah tidak kelihatan bagaimana
burungburung itu terkena anak panah,
namun jelas tampak betapa dua ekor burung terdepan dan seekor paling
belakang tiba-tiba runtuh ke bawah.
Ketika tiga ekor burung itu jatuh ke tanah dan semua orang melihat bahwa
dada burung itu tertusuk anak panah,
mereka bersorak dan bertepuk tangan memuji. "Boleh juga dia," pikir
Swat
Hong sungguhpun dia maklum bahwa
kepandaiannya memanah seperti itu hanyalah berguna untuk pertempuran jarak
jauh dan sama sekali tidak ada artinya
untuk pertandingan berdepan. Tentu kalah cepat oleh am-gi (senjata
rahasia) seperti jarum, paku, piauw dan
lain-lain. "Hai, Nona! Tepuk tangan untuk kelihaian Perwira Ahmed!"
Tiba-tiba ada seorang laki-laki menegur
Swat Hong. Laki-laki ini adalah seorang perajurit Han dan sambil
menyeringai dia bertepuk tangan dan
mendesak Swat Hong untuk ikut bertepuk tangan.
<CENTER>
JILID 23
</CENTER>
Akan tetapi Swat Hong tidak mau
melayaninya, membuang muka dan melanjutkan langkahnya. Akan tetapi laki-laki
itu melompat dan menghadang didepannya
sambil bertolak pinggang. "Eitt..... nanti dulu! Berani kau menghina
Perwira Ahmed? Dia bukan hanya lihai
dan menembak tepat, juga banyak wanita tergila-gila kepadanya! Dan kau
berani memandang rendah?" Swat
Hong memandang dengan mata melotot lalu mendengus, "Pergilah!" sambil
melangkah
terus. "Dan kau laki-laki kurang
ajar!" Swat Hong berkata dan sekali dia menggerakan lengannya yang
terpegang,
dia berbalik sudah memegang pergelangan
tangan laki-laki itu dan begitu dia membetot, laki-laki itu jatuh
tersungkur mencium tanah! "Aihhh,
berani kau memukulku?" Prajurit itu marah sekali dan cepat melompat dan
menubruk. "Plakkk!
Augghhh....!" Perajurit itu terlempar dan mengaduh-aduh, mukanya
membengkak. Melihat ini,
lima orang perajurit kawan orang
pertama itu menjadi marah dan menerjang maju. "Tangkap, dia tentu
mata-mata!"
Swat Hong merasa muak sekali dan juga
marah. Melihat lima orang itu menerjang dan hendak berlumba menangkap dan
merangkulnya, kaki tangannya bergerak
dan dalam segebrakan saja, lima orang itu pun roboh tersungkur dan tidak
dapat berlagak lagi karena
mengaduh-aduh kesakitan. Tentu saja keadaan menjadi ribut dan banyak anak buah
pasukan mengurung, akan tetapi
tiba-tiba perwira yang ahli menggunakan anak panah tadi meloncat maju dan
menghadik. "Mundur semua!"
Setelah orang-orang mundur tidak melanjutkan gerakan mereka untuk mengeroyok,
perwira itu membungkuk di depan Swat
Hong sambil berkata, "Harap Nona maafkan. Sudah lazim bahwa anak buah
pasukan selalu bersikap kasar. Nona
tentu bukan orang sini, kalau boleh bertanya hendak ke manakah?"
"Hemm,
pikir Swat Hong. Pantas kalau banyak
wanita tergila-gila. Memang perwira yang bernama Ahmed ini gagah sekali,
gagah dan tampan, amat keras daya
tariknya terhadap wanita terutama sekali sepasang matanya yang tajam dengan
bulu mata panjang lentik dan alis yang
tebal itu. Juga dagunya berlekuk dan menambah kejantanannya. Selain
tampan dan gagah, juga laki-laki ini
pandai bersikap manis terhadap wanita. "Sudahlah," kata Swat Hong.
Aku pun
tidak ingin mencari permusuhan, asal
mereka jangan kurang ajar. Bahkan aku ingin menghadap Kaisar untuk
membantu perjuangannya. Di manakah aku
dapat menghadap Kaisar?" Mendengar ucapan gadis yang cantik jelita dan
gagah itu, seketika lenyaplah kemarahan
para prajurit. "Aih, kiranya seorang lihiap (pendekar wanita)!"
"Tentu
tokoh kang-ouw kenamaan!" Perwira
Ahmed menghentikan ribut-ribut itu dan kembali dia tersenyum, manis dan
menarik sekali. "Untuk membantu
perjuangan, tidak perlu menghadap Sri Baginda, Nona. Tidak mudah menghadap Sri
Baginda yang sedang sibuk. Kebetulan di
sini juga merupakan markas dan dipimpin Bouw-ciangkun. Banyak pula
orang-orang kang-ouw yang telah
diterima menjadi sukarelawan. Akan tetapi baru sekarang datang seorang
sukarelawati seperti Nona. Ahh,
terimalah hormat dan rasa kagumku, Nona. Engkau tentulah yang disebut pendekar
wanita dari dunia kang-ouw,
bukan?" Swat Hong tidak peduli, yang penting adalah membantu perjuangan
untuk
membasmi An Lu Shan dan keturunan atau
penggantinya. "Dapatkah aku bertemu dengan Bouw-ciangkun?"
"Tentu saja.
Akan tetapi, perkenankanlah aku
memuaskan keinginan hatiku yang sudah terpendam bertahun-tahun untuk
menyaksikan kelihaian seorang pendekar
wanita dari timur, Nona." Perwira Ahmed memperlihatkan gendewanya.
"Dapatkah Nona mainkan gendewa dan
anak panah?" Swat Hong maklum bahwa dia hendak diuji, dan siapa tahu,
mungkin perwira ini termasuk seorang di
antara para pengujinya. "Senjata ini kurang praktis untuk pertandingan
jarak dekat dan terang-terangan."
Perwira Ahmed mengerutkan alisnya, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum
manis. "Benarkah? Nona, dengan
gendewa ini aku dapat merobohkan musuh dalam jarak seratus langkah, biarpun
musuh itu menggunakan senajta apa pn
untuk melindungi dirinya. Aku dapat melepaskan anak panah terus-menerus
dan bertubi-tubi sampai puluhan
batang!" "Hemm, mungkin berhasil merobohkan segala burung dan manusia
yang
bodoh saja." "Wah....!"
Ahmed membelalakkan matanya. "Apakan di dunia ini ada orang yang sanggup
menyelamatkan
diri dalam jarak seratus langkah dari
gendewaku?" "Boleh kaucoba. Aku bersedia." "Eiiiihhh,
jangan, Nona! Aku
akan menyesal selama hidupku kalau
sampai melukaimu, apalagi membunuhmu!" "Tidak perlu khawatir, aku
malah akan
menghadapi hujan anak panahmu itu
dengan tangan kosong!" "Mustahil!" Orang Han yang pertama kali
dirobohkan
Swat Hong, kini mendekat dan karena dia
maklum akan kelihaian dara itu, kini dia hendak mencari muka dan
berkata, "Saudara Ahmed, jangan
memandang rendah seorang lihiap. Dia pasti akan sanggup memenuhi
kata-katanya."
Atas dorongan dan desakan banyak orang,
akhirnya Ahmed mau juga mencoba kepandaian wanita cantik jelita itu.
Dengan tenang Swat Hong melangkah
sambil menghitung sampai seratus, langkah pendekpendek saja, kemudian
membalik dan menghadapi Ahmed dengan
mata tak berkedip. "Wah, terlalu dekat....! Terlalu dekat sekali!
langkahmu begitu pendek-pendek, Nona. Ini
hanyalah lima puluh langkah, tidak ada seratus!" Ahmed berteriak
sambil melangkah mundur sampai lima
puluh langkah. Diam-diam Swat Hong memuji kejujuran dan niat baik di hati
perwira asing itu. "Terserah
kepadamu. Nah, aku sudah siap." katanya. Ahmed ragu-ragu, mukanya agak
pucat.
"Tapi...... tapi, setidaknya kau
harus membawa pedang untuk menangkis atau sebuah perisai." "Tidak
perlu.
Seranglah!" Didesak oleh orang
banyak, dan memang di dalam hatinya dia juga merasa penasaran sekali, Ahmed
lalu
memasang lima batang anak panah di
gendewanya, dan masih ada puluhan batang di tempat anak panah yang siap
untuk disambar tangan kanan menyusul
rombongan anak panah terdahulu. "Nona, siap dan hati-hatilah!"
teriaknya
dan terdengar suara menjepret ketika
tampak lima sinar berturutturut meluncur ke arah Swat Hong, diikuti oleh
puluhan pasang mata yang tidak berkedip
dan dengan hati penuh ketegangan. Swat Hong melihat betapa lima batang
anak panah itu meluncur disekeliling
tubuhnya. Tahulah dia bahwa orang itu memang amat hebat ilmu panahnya akan
tetapi juga amat lembut hatinya
terhadap wanita sehingga sengaja membuat anak panah rombongan pertama
menyeleweng. Dia diam saja tidak
bergerak membiarkan lima batang anak panah itu lewat, diikuti seruan menahan
napas dari semua orang yang sudah
merasa ngeri melihat nona itu sama sekali tidak mengelak! Ahmed membelalakkan
matanya. hampir dia tidak percaya. Anak
panahnya itu hanya sedikit saja selisihnya dari kulit tubuh wanita itu,
namun wanita itu dengan tenang saja
berdiri diam tidak bergerak! "Tidak perlu sungkan, bidik yang tepat!"
Swat
Hong berkata setelah dia merasa yakin
bahwa luncuran anak panah itu dapat diikuti dengan pandang matanya
sehingga mudah bagi dia untuk menjaga
diri. Lima batang lagi anak panah sudah berada di gendewa Ahmed dengan
cepat bukan main dan kembali terdengar
suara menjepret ketika lima batang anak panah itu menyambar seperti
kilat ke arah Swat Hong. Dara itu
melihat betapa lima batang ini menyambar ke arah kakinya semua, maka dia
mengerti bahwa Ahmed masih saja
khawatir kalau-kalau mencelakainya, maka dia meloncat dan sekaligus menendang
ke bawah sehingga dia bukan hanya
mengelak, bahkan berhasil menendang runtuh semua anak panah itu! Ahmed
mengeluarkan seruan kagum dan kini dia
pun tidak ragu-ragu lagi akan kehebatan pendekar wanita itu. Anak
panahnya meluncur bertubi-tubi seperti
hujan derasnya, susul menyusul ke arah tubuh Swat Hong dan dara ini pun
memperlihatkan kepandaiannya. Sambil
mengelak berloncatan ke sana-sini, tangannya menyambar dan dua batang anak
panah ditangkapnya dengan kedua
tangannya, lalu dia menggunakan dua batang anak panah itu untuk menangkis semua
anak panah yang datang menyambar,
kemudian dengan cepat dan tak terduga-duga dia menyambitkan sebatang anak
panah yang meluncur cepat ke arah
Ahmed. Auhhh....!" Ahmed berteriak kaget dan gendewanya terlepas dari
tangan
kirinya karena tangan kirinya itu kena
sambar sebatang anak panah. Gendewanya terlepas akan tetapi tangan
kirinya tidak terluka karena anak panah
yang menyambar tangannya itu dilepas dengan cara dibalik sehingga bukan
ujung yang runcing yang mengenai
tangannya, melainkan ujung belakang yang bulu-bulunya telah dibuang . Ahmed
segera lari menghampiri Swat Hong,
memandang penuh kagum, kemudian dia membungkuk sampai dalam sambil berkata,
"Duhai....., Nona adalah setangkai
bunga di tengah padang pasir! Satu di antara puluhan ribu wanita belum tentu
ada yang seperti Nona...... saya merasa
kagum dan hormat sekali.......!" Wajah Swat Hong menadi merah. Bukan
main hebatnya pujian yang keluar dari
mulut pria ini, pujian yang aneh dan istimewa. Akan tetapi sebelum dia
menjawab terdengar kaki kuda berderap
dan muncullah seorang panglima sebangsa Ahmed naik kuda. Usianya tentu
sudah empat puluhan tahun, tinggi besar
dan berwibawa, gagah dan juga tampan, akan tetapi begitu bertemu
pandang, Swat Hong merasa tidak suka
kepada panglima ini karena pandang mata itu seolah-olah hendak
menelanjangi dan sinar mata orang itu
seperti dapat menembus pakaiannya! Ahmed cepat berdiri dengan tegak
memberi hormat kepada atasannya.
Panglima itu lalu bertanya kepada Ahmed dalam bahasa mereka sendiri yang tidak
dimengerti oleh Swat Hong, dijawab pula
oleh Ahmed. Panglima itu mengangguk-angguk, bicara lagi lalu memutar
kudanya pergi dari tempat itu setelah
melempar kerling penuh gairah dan kagum ke arah Swat Hong. "Nona,
Komandanku tadi bertanya tentang Nona
dan menyuruh Nona langsung saja menghadap Bouw-ciangkun untuk melapor.
Tentu saja bantuan tenaga seorang yang
berkepandaian tinggi seperti Nona amat dihargai dan dibutuhkan. Mari
Nona, saya antar." "kau baik
sekali, terima kasih," jawab Swat Hong yang merasa memperoleh seorang
sahabat
dalam diri perwira yang simpatik ini.
"Nama saya Ahmed, Nona." Swat Hong tersenyum, mengerti bahwa itulah
cara
yang sopan dari sahabat barunya untuk
menanyakan namanya. "Dan namaku Han Swat Hong." Mereka memasuki
sebuah
bangunan besar dan di ruangan dalam,
Ahmed membawa Swat Hong ke dalam sebuah kamar di mana duduk seorang tua
berpakaian panglima perang. Orang ini
berusia lima puluh tahun lebih, mukanya bulat dan matanya sipit menjadi
agak lebar ketika dia memandang Swat
Hong yang datang bersama Ahmed. Setelah memberi hormat, Ahmed berkata
"Nona Han Swat Hong ini ingin
menjadi sukarelawati." "Hemm, aku sudah mendengar dari komandanmu.
Kau boleh
pergi meninggalkan Nona ini di
sini," jawab Panglima Bouw dengan sikap angkuh. Menyaksikan sikapnya ini
saja
Swat Hong sudah merasa kurang senang.
Ahmed memberi hormat, melirik kepada Swat Hong lalu melangkah keluar
dengan tegap. Setelah derap kaki Ahmed
tidak terdengar lagi, kamar itu menjadi sunyi sekali biarpun di situ,
selain Bouwciangkun dan Swat Hong,
masih terdapat empat orang pengawal yang berdiri di sudut kamar seperti
arca. "Silahkan duduk, Nona."
Suara Bouw-ciangkun berubah, tidak singkat dan keras seperti tadi, melainkan
lunak dan manis. Hal ini membuat Swat
Hong makin tidak senang lagi, akan tetapi karena kedatangannya hendak
membantu kerajaan melawan pemberontak,
bukan hendak berhubungan dengan orang ini, dia tidak banyak cakap, lalu
duduk. "Kami telah mendengar akan
kelihaian Nona yang mendemonstrasikan kepandaian di luar tadi. Kebetulan
sekali kedatangan Nona, karena Kaisar
memang membutuhkan seorang pengawal wanita untuk menjaga keselamatan
keluarga Kaisar. Oleh karena itu, harap
Nona menanti di dalam pesanggrahan, kalau kesempatan sudah terbuka,
kami akan mengantarkan Nona untuk
menghadap Kaisar sendiri." Girang juga hati Swat Hong karena dia lebih
senang
untuk bekerja dekat dengan keluarga
Kaisar daripada bekerja sama dengan para prajurit Kaisar itu. Pula, memang
karena merasa bahwa ayahnya adalah
masih sedarah dengan keluarga Kaisar maka dia berkeinginan membantu keluarga
Kaisar, maka pekerjaan menjadi pengawal
untuk melindungi keselamatan keluarga Kaisar amatlah cocok baginya.
"Baik, saya akan menanti,"
jawabnya. Setelah mencatatkan nama Swat Hong, Bouw-ciangkun sendiri lalu
mengantarkan dara itu pergi ke pesanggrahan,
yaitu sebuah bangunan yang terpencil, berada di pinggir gunung,
bangunan yang bentuknya indah dan
mungil. Ketika menuju ke bangunan ini, Swat Hong melihat beberapa orang
penjaga yang jumlahnya hanya belasan
orang akan tetapi senjata mereka aneh, yaitu sebatang pedang yang
bengkak-bengkok seperti ular dan
memegang perisai yang bentuknya seperti batok kura-kura. "Mereka ini
adalah
pasukan istimewa, pasukan
pengawalku." kata Bouw-ciangkun menjelaskan dengan nada suara bangga
ketika Swat Hong
memandang mereka itu yang berdiri tegak
dan memebri hormat kepada Bouwciangkun dengan gagah. Setelah mereka
memasuki pesanggrahan, Bouw-ciangkun
melanjutkan, "Mereka terdiri dari orang-orang pilihan, bermacam suku
bangsa di barat dan utara." Akan
tetapi Swat Hong sudah tidak memperhatikan lagi cerita tentang pasukan
pengawal tadi, karena dia sedang
memperhatikan keadaan pesanggrahan yang cukup mewah itu. "Rumah ini
kosong?"
tanyanya. "Memang di kosongkan dan
disediakan untuk tamu agung. Karena sekarang tidak ada tamu, maka Nona boleh
beristirahat di sini barang sehari dua
hari untuk menanti kesempatan Kaisar dapat menerima Nona menghadap. saya
akan mengirim dua orang pelayan wanita
untuk melayani segala keperluan Nona, dan sekarang juga saya akan
berusaha melaporkan kedatangan Nona
kepada kaisar." Swat Hong hanya memangguk dan pembesar itu pergi
meninggalkannya. Ketika Swat Hong
sedang memeriksa keadaan pesangrahan itu yang ternyata mewah dan lengkap
dengan kamar tidur yang indah, masuklah
dua orang pelayan wanita membawa perlengkapan dan bahan masakan. "Kami
menerima perintah untuk melayani Nona
di sini," kata mereka dan segera mereka sibuk di dapur. Swat Hong merasa
tidak enak hatinya. Dia melamar untuk
menjadi pejuang membantu Kaisar, akan tetapi dia diterima seperti seorang
tamu agung, ditempatkan di rumah mungil
dan dilayani dengan istimewa seperti dimanja! Apakah karena dia wanita?
Ataukah karena dia memperlihatkan
kepandaiannya tadi dan dipilih menjadi pengawal keluarga Kaisar? Dia ingin
melihat-lihat keadaan di luar. Akan
tetapi baru saja dia meninggalkan pondok itu sejauh belasan langkah,
tiba-tiba muncullah tiga orang mengawal
istimewa yang bersenjata pedang berbentuk ular dan perisai kura-kura
tadi. "Harap Nona jangan
meninggalkan pondok . Kami diperintah untuk menjaga pesanggrahan dan kalau Nona
memaksa pergi kami harus mengawal
Nona." Swat Hong mengerutkan alisnya. Akan tetapi karena maksud itu baik,
biarpun dianggapnya tidak ada gunanya,
aneh dan menyebalkan, dia tidak menjawab melainkan kembali memasuki
pondok, terus ke kamar dan merebahkan
diri di atas pembaringan. Dia merasa seperti seorang asing di situ.
Tiba-tiba dia tersenyum teringat kepada
Ahmed. Untung ada orang yang simpatik itu. Setidaknya, dia yakin bahwa
dia mempunyai seorang sahabat yang
boleh dipercaya. Akan tetapi baru saja dia beristirahat di atas tempat tidur
yang lunak itu, terdengar suara hiruk
pikuk di luar. Swat Hong yang memang selalu merasa tidak enak itu
meloncat dan berlari ke luar. Kagetlah
dia ketika melihat bahwa yang datang adalah Bouw-ciangkun dan Panglima
Arab tinggi besar yang menjadi atasan
Ahmed tadi, diiringkan oleh tujuh orang pelayan pria yang membawa baki
tertutup. Begitu berhadapan,
Bouw-ciangkun menjura dengan hormat sambil berkata, "Kiong-hi (selamat),
Nona Han.
Kami telah menghadap Kaisar dan karena
Beliau masih sibuk, mulai besok lusa Nona boleh menghadap sendiri.
Sementara itu, Beliau mengirim kami
berdua untuk menemani Nona menerima hidangan yang dikirim dari dapur
keluarga Kaisar!" Hati Swat Hong
tidak senang dan curiga, akan tetapi karena nama Kaisar disebut-sebut, dia
tidak berani menolak. Dia tahu bahwa
penolakan hadiah dari Kaisar dapat diartikan penghinaan dan pemberontakan!
Banyak dia mengerti tentang peraturan
kerajaan, karena selain dia sendiri adalah puteri raja di Pulau Es juga
dia banyak membaca kitab-kitab ayahnya
tentang penghidupan keluarga Raja di daratan besar. Terpaksa dia
membalas dengan menjura penuh hormat,
kemudian bersama dua orang panglima itu dia memasuki pondok dan duduk
menghadapi meja besar bersama mereka
berdua. Setelah hidangan yang lengkap dan masih panas diatur di atas meja
dan para pelayan mudur berdiri di
sudut, dua orang pelayan wanita muncul melayani mereka makan minum.
Bouw-ciangkun memperkenalkan panglima
itu sebagai panglima yang menjadi komandan dari pasukan Arab yang
membantu. "kami mengandalkan
bantuan sahabat-sahabat dari barat ini untuk merampas kembali kota raja." antara
lain Bouw-ciangkun berkata, akan tetapi
urusan itu hanya didengarkan sepintas lalu saja oleh Swat Hong yang
menghendaki agar pertemuan ini cepat
selesai. Dengan tangannya sendiri Bouw-ciangkun lalu mengisi cawan-cawan
kosong di depan Swat Hong, Panglima
Arab, dan dia sendiri, lalu mengangkat cawan arak sambil berkata, "mari
kita mulai makan minum bersama dengan
mengucapkan terima kasih kepada Sri Baginda dengan mengangkat cawan
penghormatan untuk kejayaan Sri Baginda
Kaisar!" Swat Hong mengangkat cawan dan minum bersama mereka, kemudian
Bouw-ciangkun mempersilahkan Swat Hong
dan Panglima Arab itu untuk mulai makan. Sambil makan, Bouw-ciangkun
dengan gembira menceritakan keadaan
mereka, kekuatan yang sedang mereka susun, juga menceritakan kekacauan di
kota raja sebagai akibat perebutan
kekuasaan di antara para peberontak sendiri. Betapa An Lu Shan dan puteranya
tewas dan sekarang Shi Su Beng yang
berkuasa juga menghadapi bersaingan dari bekas kawan-kawannya sendiri.
"Ha-ha-ha, seperti sekumpulan
anjing memperebutkan tulang!" Dia menutup ceritanya sambil tertawatawa.
Panglima
Arab itu yang diperkenalkan tadi
bernama Hussin bin Siddik, mengeluarkan sebuah guci yang bentuknya seperti
tanduk kerbau, membuka tutupnya dan
mencium bau harum yang aneh. Sambil tertawa dia mengacungkan guci tanduk
kerbau itu sambil berkata, "Nona
adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi dan dipilih untuk menjadi pengawal
Sri Baginda. karena itu sudah
sepatutnya menerima penghormatan kami dengan anggur padang pasir ini! Marilah
kita minum tiga cawan untuk pertama,
demi keselamatan Sri Baginda sekeluarga!" Dia mengisi cawan arak di depan
Swat Hong dengan minum dari guci tanduk
kerbau itu, tidak banyak, hanya setengah cawan kurang. karena dia
diajak minum demi keselamatan keluarga
kaisar, tentu saja Swat Hong tidak menolak, apalagi karena dia melihar
betapa Bouwciangkun dan Panglima Hussin
sendiri juga minum. Diminumnya cawannya dan ternyata anggur itu enak
dan tidak begitu keras, manis dan harum
sungguhpun agak aneh harumnya. "Secawan lagi kita minum demi
persahabatan kita!" Kembali Swat
Hong minum dari cawan araknya yang sudah diisi lagi setengahnya. "Dan
cawan
terakhir kita minum untuk kemenangan
perjuangan kita!" Sekali ini cawan itu dipenuhi dan karena anggur itu sama
sekali tidak mendatangkan pengaruh
apa-apa, Swat Hong tidak khawatir dan minum anggur sampai habis. panglima
Hussin dan Bouw-ciangkun tertawa girang
dan melanjutkan makan minum sepuas-puasnya. Setelah kenyang, kedua
orang panglima itu berpamit dan sambil
tertawa Bouw-ciangkun berkata, "Harap Nona jangan pergi meninggalkan
pesanggrahan ini karena siapa tahu
tiba-tiba saja Sri Baginda Kaisar telah siap menerima kunjungan Nona. hal
itu bisa saja terjadi di siang hari
atau di malam hari. Sebaiknya kalau Nona mengaso saja dalam pesanggrahan
dan sewaktu-waktu, kalau Sri Baginda
menghendaki, aku sendiri atau Panglima Hussin yang akan datang menjemput
Nona." Swat Hong mengangguk dan
setelah dua orang panglima itu pergi dan meja dibersihkan lalu ditinggal pergi
oleh para pelayan, dia lalu minta
kepada wanita pelayan untuk menyediakan air. Setelah mandi dan tukar pakaian,
Swat Hong kembali beristirahat di dalam
kamar yang indah itu. Berada di dalam kamar ini teringatlah dia akan
kamarnya sendiri di Pulau Es, kamar
yang lebih indah dan lebih menyenangkan lagi. Dia menutup mulut dengan
tangan dan menguap..... goyang-goyang
kepalanya. Mengapa dia begini mengantuk? Dia menguap lagi. Bukan main!
Rasa kantuk sukar dipertahankannya
lagi. Aneh sekali! Hari baru menjelang senja, belum malam. Pula habis makan
dan mandi, mana bisa mengantuk? Kembali
dia menguap dan Swat hong meloncat bangun, duduk sambil memegangi kedua
pelipisnya. Ini tidak wajar, pikirnya!
Rasa kantuk yang amat hebat dan terbayanglah wajah Panglima Hussin yang
mengajaknya minum sampai tiga kali,
kemudian terbayanglah dan terdengar lagi kata-kata Bouw-ciangkun yang
menyatakan bahwa kalau Kaisar
menghendaki, sewaktu-waktu dia atau Panglima Hussin akan datang menjenguknya.
Semua ini dilakukan sambil tertawa-tawa
dan seakan-akan ada "main mata" di antara kedua orang panglima itu!
"Celaka....!" dia mengeluh,
ingin dia turun membasahi muka denan air, akan tetapi dia tidak kuat, baru saja
dia
turun, dia sudah terguling ke atas
lantai karena kepalanya pening dan Swat Hong sudah tidur di atas lantai
dengan pulasnya! Tak lama kemudian,
setelah matahari mulai condong ke barat, sesosok bayangn seorang pemuda
berkelebat dan mengintai pesangrahan
itu dari balik batu-batu gunung. pemuda ini tinggi besar, gagah dan
tampan, dengan sebatang pedang di
punggungnya, berpakaian sederhana dan matanya bersinar-sinar penuh kemarahan.
Pemuda ini adalah Kwee Lun! Bagaimana
dia dapat datang di tempat jauh itu? Seperti telah dituturkan di bagian
depan, dua tahun yang lalu pemuda ini
berpisah dari Swat Hong dan langsung dia pulang ke Pulau Kura-kura di
Lam-hai. Tepat seperti dugaannya
semula, gurunya, Lam-hai Seng-jin, terheran-heran dan kagum mendengar
penuturan muridnya terutama pengalaman
muridnya yang bertemu dan bersahabat dengan penghuni Pulau Es! Setelah
muridnya selesai menceritakan semua
pengalamannya, juga tentang kematian Ouw Soan Cu, gadis Pulau Neraka yang
dicintainya dengan suara berduka, kakek
itu berkata, "Pengalamanmu sudah cukup, muridku. Sekarang biarlah aku
memperdalam ilmumu dan menerima
sisa-sisa dari semua kepandaianku. Setelah itu, berangkatlah kau lagi ke
daratan besar. Negara sedang kacau
balau dilanda oleh para pemberontak. Tenagamu dibutuhkan. Kabarnya kaisar
mengungsi ke Secuan, maka sebaiknya
kalau kau kelak menyusul ke sana untuk membantu kaisar, jangan membiarkan
dirimu terbujuk oleh kaum pemberontak."
Demikianlah, Kwee Lun berlatih silat untuk yang terakhir dari gurunya,
terutama sekali memperhebat ilmu pedang
yang dimainkan bersama dengan kipas di tangan kirinya. Setahun kemudian
berangkatlah dia meninggalkan Pulau
Kura-kura untuk kedua kalinya, mendarat di daratan besar dan langsung dia
pergi ke barat, ke Secuan! Kebetulan
sekali dia tiba pada hari itu juga, berbareng dengan datangnya Swat Hong!
Hanya bedanya, kalau Swat Hong datang
dari timur, adalah Kwee Lun datang dari selatan, akan tetapi mereka
memasuki daerah yang sama yaitu yang
dikuasai oleh Bouw-ciangkun. Kwee Lun terus melaporkan diri dan langsung
diterima sebagai sukarelawan. Dia tidak
tahu bahwa pada siang hari itu juga Swat Hong datang dan bertemu dengan
perwira Ahmed dari pasukan Arab yang
diperbantukan. Tanpa disengaja, ketika Kwee Lun berjalan-jalan dan bertemu
dengan para perajurit Han,
bertanya-tanya tentang keadaan, dia mendengar kelakar seorang di antara para
prajurit itu. "Wah, enak juga
menjadi panglima tentara asing! Selain jaminannya lebih hebat, juga hiburannya
lebih luar biasa lagi. Bayangkan saja,
dara perkasa yang mengebohkan siang tadi, kabarnya akan diserahkan
sebagai hadiah kepada Panglima
Hussin!" "Ah, masa?" "Hem, jelita sekali dia!"
"Dan masih perawan hijau lagi!"
"Akan tetapi ilmu silatnya hebat!
jangan-jangan panglima itu akan mampus olehnya!" "Mudah-mudahan
begitu!"
"tapi panglima itu terkenal pandai, dan
lihat saja Perwira Ahmed itu, dimana-mana para wanita tergila-gila
kepadanya. Agaknya mereka memiliki
jimat untuk menundukan hati wanita." Mendengar ini, Kwee Lun mengerutkan
alisnya. Tak disangkanya, di tempat
seperti ini dia mendengarkan peristiwa yang sepantasnya terjadi di dunia
penjahat. Seorang dara dihadiahkan
begitu saja! Mendengar bahwa dara itu lihai ilmu silatnya, dia tertarik.
"Kalau wanita itu lihai, mana bisa
dia dihadiahkan begitu saja?" dia ikut bicara sambil tersenyum. "Aha,
kau
tidak tahu, kawan. Banyak jalan yang
dapat dilakukan oleh Bouw-ciangkun. Dan kabarnya, tidak pernah ada wanita
yang dapat melawan apabila dikehendaki
oleh Panglima Hussin itu. Apalagi kalau Bouw-ciangkun sudah
mengijinkannya, dan dalam hal ini,
agaknya Bouw-ciangkun selalu berusaha mengambil hati orang-orang berkulit
hitam itu!" Kwee Lun makin tak
senang hatinya. Dia mendengarkan dengan teliti dan akhirnya memperoleh
keterangan bahwa dara yang hendak
dihadiahkan itu kabarnya telah dikurung di dalam pesanggerahan, yaitu rumah
kecil terpencil yang oleh para
perajurut diberi nama tempat penjagalan perawan! "Hem, semenjak kecil suhu
menanamkan sifat pendekar, membela
keadilan dan kebenaran kepadaku." Kwee Lun berpikir, "Biarpun
sekarang aku
menjadi seorang pejuang, tetap aku
harus menentang kejahatan, dari siapapun juga datangnya! Dengan pikiran ini,
Kwee Lun mulai melakukan penyelidikan
dan pada sore hari itu dia sudah mendekati rumah pesanggerahan itu dan
menyelinap untuk menyelidiki dari jarak
dekat, kalau mungkin memasuki rumah itu dan menolong si gadis yang
hendak dijadikan korban. Melihat betapa
di empat penjuru terdapat empat orang penjaga yang selalu melakukan
perondaan mengelilingi pesanggerahan
itu, Kwee Lun bersembunyi dan mengintai. Penjaga-penjaga yang memegang
pedang ular dan perisai kura-kura itu
kelihatanya bukan penjaga-penjaga sembarangan. Dia harus menanti sampai
malam tiba, barulah ada harapan baginya
untuk dapat memasuki pesanggrahan itu tanpa diketahui orang. Asal saja
dia tdak terlambat, pikirnya. Akan
tetapi, tiba-tiba dia melihat seorang perwira Arab yang berkumis rapi datang
menghampiri pesanggerahan itu. Empat
orang penjaga menghadangnya, mereka bercakap-cakap dan perwira itu
dibiarkan oleh para penjaga memasuki
pesanggrahan. Hemm, ini agaknya pembesar yang di "hadiahi" gadis itu,
pikir Kwee Lun dengan marah sekali.
Kalau dia harus menanti lebih lama lagi , mungkin dia akan terlambat.
Kebetulan sekali terdapat seorang
penjaga meronda di dekat tempat dia bersembunyi, "Keparat busuk!"
Kwee Lun
berseru marah dan dia meloncat dari
tempat sembunyinya. Penjaga itu terkejut cepat menarik perisai kura-kura di
depan dadanya dan mengangkat pedangnya,
siap untuk menyerang. "Haaaaiiiiittttt!!!" Tubuh Kwee Lun yang
meloncat
ke atas itu langsung menendang dengan
tumit kaki kanan di depan. "Bresss....!!" Perisai kura-kura itu
ternyata
kuat menahan tendangan Kwee Lun, akan
tetapi pemegangnya terdorong dan terjengkang bergulingan. Mendengar suara
berisik ini, berdatanganlah para penjaga
lain dan dalam waktu sebentar saja Kwee Lun terpaksa harus mencabut
pedang dan kipasnya, mengamuk dikepung
oleh belasan orang penjaga yang bersenjata pedang ular dan perisai
kukra-kura itu. Sementara itu, perwira
berkumis yang bukan lain adalah Perwira Ahmed tadi, setelah berhasil
meyakinkan para penjaga bahwa dia
datang untuk memeriksa apakah dara itu masih berada di pesanggrahan, terkejut
mendengar ribut-ribut dan ketika dia
menengok, dia melihat seorang pemuda perkasa sedang dikepung para penjaga.
Perwira yang cerdik ini menduga bahwa
tentu pemuda itu datang untuk menolong Swat Hong, maka dia bergegas
memasuki rumah itu. Dua orang pelayan
wanita dibentaknya untuk minggir. "Aku harus menjaga dia, ada orang jahat
datang! Didorongnya dau pintu kamar dan
cepat ditutupnya dari dalam. Melihat Swat Hong rebah terlentang dan
tidur pulas di atas lantai, Ahmed cepat
berlutut dan mengeluarkan sebuah botol hijau dari sakunya. "Huh, benar
jahat! Mengorbankan siapa saja tanpa pilih
bulu!" gerutunya sambil membuka tutup botol hijau yang cepat dia
tempelkan di depan hidung Swat Hong.
Tak lama kemudian dara itu terbangun, mengeluh dan merintih,
"Aduhh....pening kepalaku....."
"Sttt..... Nona Swat Hong...... sadarlah...... aku datang
menolongmu......"
Ahmed mengguncang-guncang dara itu.
Swat Hong membuka matanya dan terkejut melihat Ahmed berlutut di dekatnya.
"Lekas kaucium ini....."
Ahmed kembali mendekatkan botol di depan hidung Swat Hong. Gadis itu memang
sudah
mempunyai kesan baik terhadap diri
Ahmed, maka dia tidak membantah dan disedotnya botol itu. Tercium bau keras
dan dia tersedak lalu berbangkis.
Apa.... apa yang terjadi......?" Swat Hong bertanya, kepalanya masih agak
pening. "Lekas kau telan
ini...." Ahmed memberikan sebutir pil hitam. "Engkau telah terkena
racun Hashish yang
dicampurkan di dalam anggur. Ini obat
penawarnya." Teringatlah Swat Hong dan tahulah dia mengapa dia tertidur
di lantai. Tanpa bertanya lagi dia lalu
menelan pel kecil itu dan benar saja, peningnya hilang dan pikirannya
terang kembali. "Nona, aku
mendengar bahwa siang tadi kau dijamu oleh mereka. Tahulah aku bahwa kau tentu
diberi anggur bercampur hashish. Lekas
kau keluar, di luar sedang terjadi pertempuran. Seorang pemuda agaknya
datang hendak menolongmu, dia
bersenjata pedang dan kipas...." "Kwee Lun.....!" Swat Hong
berseru kaget,
menyambar pedangnya di atas meja dan
hendak lari keluar. "Nanti dulu, Nona." Swat Hong berhenti. "kau
baik
sekali, Saudara Ahmed. Aku berterima
kasih kepadamu." "Bukan itu. kau....kau harus lukai aku dengan pedang
itu.
Kalau tidak, aku akan dihukum mati
sebagai pengkhianat." Barulah sadar Swat Hong betapa perwira ini telah
menolongnya dengan taruhan nyawa
sendiri. "Kau adalah seorang yang amat baik, bagaimana mungkin aku tega
untuk
melukaimu? Kau sahabatku..... dan
ternyata di segala bangasa, ada saja manusianya yang jahat dan baik, tidak
ada bedanya dengan bangsa lain. Aku
mengerti maksudmu, saudara Ahmed, nah, biar kurobohkan kau dengan
totokan!"
Swat Hong bergerak cepat sekali, dan
tahu-tahu dua jalan darah di tubuh Ahmed telah di totoknya dan perwira itu
terguling roboh dan tak mampu bergerak
karena kaki tangannya menjadi lumpuh, tubuhnya lemas tak mampu bergerak.
Swat Hong cepat menyambar botol dan
sisa obat penawar, memasukannya di dalam sakunya, kemudian dia menendang
meja kursi sampai terpelanting ke kanan
kiri sehingga menimbulkan kesan seolah-olah di kamar itu telah terjadi
pertempuran, mencabut pedang dari
pinggang Ahmed dan melemparkan pedang di lantai, kemudian dia memegang tangan
Ahmed dan berkata, suaranya terharu,
"Selamat tinggal!" Saudara Ahmed. Sekali lagi terima kasih dan kita
takkan
bertemu kembali." Hanya dengan
bibir dan pandang matanya saja Ahmed tersenyum penuh kagum, mulutnya hanya
dapat
berkata," Kau..... setangkai bunga di padang pasir........"
Swat Hong melompat dan berlari ke luar. Dua orang
pelayan wanita yang lari mendatangi dia
tendang terguling dan menjerit-jerit, kemudian dia terus lari ke luar.
Heran juga ketika dia melihat bahwa
dugaannya tadi benar ketika mendengar penuturan Ahmed tentang seorang
pemuda bersenjata kipas dan pedang.
Kwee Lun telah datang dan mengamuk di luar pesanggrahan! Gerakan pemuda itu
hebat bukan main karena memang selama
satu tahun dia berlatih dengan tekun. Akan tetapi ternyata para
pengeroyoknya juga merupakan pasukan
yang terlatih dan memiliki keistimewaan. Bukan hanya senjata mereka yang
aneh, yaitu pedang ular dan perisai
kura-kura, akan tetapi juga mereka itu membentuk barisan yang kokoh kuat,
saling membantu dan banyak menggunakan
perisai untuk berlindung, kemudian pedang ular itu meluncur dari depan
perisai, persis gerakan seekor
kura-kura menyerang dan menyembunyikan kepala di dalam batoknya. Menghadapi
kepungan yang ketat ini, Kwee Lun
merasa kewalahan juga. Akan tetapi dia mengamuk dengan penuh keberanian dan
akhirnya dia dapat membobolkan kepungan
dengan jalan berloncatan ke sana-sini, kemudian mendadak dia meloncat
melewati kepala pengepung yang berada
di belakangnya dan begitu berada di luar kepungan dia berhasil merobohkan
dua orang pengeroyok dengan pedang dan
kipasnya. Empat belas orang sisa pasukan itu sudah mengepung lagi, akan
tetapi mendadak terdengar lengking
nyaring dan robohlah empat orang diserang oleh Swat Hong dari luar kepungan.
"Nona Han....!"
"Kwee-toako, mari kita basmi mereka ini!" seru Swat Hong. Kwee Lun
girang bukan main, tak
pernah disangkanya bahwa dara yang
hendak dijadikan korban itu adalah Han Swat Hong. Dia merasa kecelik juga,
karena ternyata bahwa gadis yang akan
ditolongnya itu berbalik malah menolongnya! "Kita lari saja, Nona. tidak
perlu melawan tentara yang amat
banyak!" "Tidak aku harus bunuh dulu si keparat she Bouw....!"
Pada saat itu
terdengar suara hiruk pikuk dan
berbondong-bondong datanglah pasukan besar dipimpin oleh Bouw-ciangkun sendiri!
Melihat Bouw-ciangkun, Swat Hong
menjadi marah sekali. Dari mulutnya terdengar suara melengking nayring dan
tubuhnya melesat seperti terbang
cepatnya, pedangnya menyambar sebagai sinar kilat ke arah Bouw-ciangkun.
panglima ini terkejut, menggerakan
pedang menangkis. Terdengar suara berdencing nyaring dan pedang di tangan
panglima itu patah disusul robohnya
tubuhnya yang berkelojotan karena ternyata lehernya hampir putus terbabat
pedang di tangan Swat Hong! "Nona,
jangan...." Kwee Lun lari mendekat dan mereka sudah dikepung oleh ratusan
orang perajurit yang menjadi bengong
menyaksikan kematian komandan mereka secara yang sama sekali tidak
disangka-sangka itu. Semua orang
menduga bahwa tentu nona yang tadinya melamar sebagai sukarelawati dan pemuda
yang menjadi sukarelawan ini tentulah mata-mata dari pihak pemberontak!
"Tangkap mata-mata!" "Bunuh mereka!"
"Tahan semua senjata....!!"
Kwee Lun berteriak dan suaranya mengatasi semua keributan itu, semua orang
menahan
senjata dan memandang kepada pemuda itu
dengan marah. Mau bicara apa lagi mata-mata yang sudah membunuh
komandan mereka ini?
"Saudara-saudara sekalian! Kami berdua bukan mata-mata pemberontak, sama
sekali bukan!
Bahkan kami adalah musuh-musuh pemberontak.
Kami berdua adalah sungguh-sungguh hendak membantu gerakan Sri
Baginda Kaisar untuk menghalau
pemberontak dari kota raja. Akan tetapi celakanya, Nona Han Swat Hong yang
beriktikad baik ini dicurangi oleh
Bouw-ciangkun. Sukarelawati yang gagah perkasa ini, yang akan dapat membantu
banyak sekali kepada Sri Baginda, oleh
Bouw-ciangkun hendak dikorbankan sebagai hadiah kepada panglima Arab,
untuk diperkosa! Tentu saja kami
melawan kejahatan ini!" "Tangkap......!" "Bunuh.....! Dia
telah membunuh
Bouw-ciangkun......!" "Jangan
percaya hasutan mulut mata-mata pemberontak!" Kini tempat itu penuh dengan
perajurit, tidak hanya ratusan, bahkan
ribuan banyaknya. Mereka sudah marah semua karena biarpun di antara
mereka ada yang dapat memaklumi
kebenaran ucapan Kwee Lun, namun kenyataan dibunuhnya Bouw-ciangkun tentu saja
menggegerkan dan mengacaukan mereka.
Dengan senjata di tangan mereka sudah mengeroyok dua orang itu. "Menyesal
tidak berhasil, Nona." "Tidak
apa, Toako. Mati di sampingmu membesarkan hati." "Benarkah?"
"Tentu saja, karena
engkau seorang yang baik sekali,
Kwee-toako." "Kalau begitu, marilah mati bersama!" Pemuda itu
dengan wajah
berseri sudah siap dengan sepasang
senjatanya, mereka saling membelakangi dan saling melindungi. Para perajurit
sudah berdesak-desakan hendak menyerbu.
Tiba-tiba terdengar suara yang halus dan tenang, namun penuh wibawa,
"Harap Cu-wi sekalian tidak
menggerakkan senjata.......!" Sungguh ajaib sekali. Biarpun ada di antara
mereka
yang tidak mempedulikan kata-kata ini
dan hendak tetap menyerang, tiba-tiba saja merasa bahwa tangan mereka
tidak mampu bergerak! Terdengar
seruanseruan kaget dan heran, dan kini semua mata memandang kepada seorang
pemuda yang dengan tenangnya berjalan
memasuki kepungan itu, dengan membuka jalan di antara para perajurit.
Juga Kwee Lun dan Swat Hong
mengeluarkan seruan tertahan. Mereka berdua pun merasa betapa tangan mereka
tidak
dapat digerakkan! Otomatis mereka pun
menoleh dan melihat pula seorang pemuda yang memasuki kepungan itu dengan
sikap tenang sekali. Seorang pemuda
yang berpakaiannya sederhana, agak kurus, matanya memancarkan sinar yang
luar biasa, pemuda yang memandang
kepada Swat Hong dengan senyum di bibir. "Su.... Suhenggggg.....!"
Tiba-tiba
Swat Hong menjerit, pedangnya terlepas
dari pegangan dan sambil terisak dia lari menghampiri lalu menubruk
pemuda itu yang bukan lain adalah Kwa
Sin Liong! "Suheng..... aihhh, Suheng...... Ibuku....."
"Tenanglah,
Sumoi, tenanglah........" Suara
Sin Liong mengandung wibawa yang luar biasa sehingga Swat Hong yang dilanda
kekagetan dan keharuan hebat karena
sama sekali tidak menyangka bahwa suhengnya masih hidup itu, dapat
menenangkan hatinya. "Suheng.....
betapa bahagia rasa hatiku! Suheng, jangan kautinggalkan aku lagi....."
"Tidak, Sumoi. Tidak lagi."
"Aku cinta padamu, Suheng! Aku cnta padamu!" Tanpa malu-malu Swat
Hong meneriakkan
suara hatinya ini di tengah-tengah
kepungan ratusan, bahkan ribuan orang perajurit! Kwee Lun memandang semua
itu dan dua titik air mata membasahi
bulu matanya. Dia merasa terharu, juga girang sekali, girang melihat
kebahagian Swat Hong dan sekaligus dia
teringat kepada Soan Cu. Dia pun sudah dapat bergerak, melangkah maju
dan berkata, "Kwa-taihiap, syukur
bahwa engkau masih dalam keadaan selamat. Sungguh aku ikut merasa
girang...."
Sin Liong tersenyum kepadanya.
"Kwee-toako, engkau seorang sahabat yang baik. Simpanlah pedang dan
kipasmu,
tidak perlu melanjutkan pembunuhan yang
tidak ada gunanya ini." Kwee Lun menurut, akan tetapi matanya memandang
ragu dan sambil menyarungkan pedang dan
menyimpan kipasnya, dia bertanya, "Akan tetapi.... mereka itu....?"
Terdengar teriakan-teriakan dari para
pengepung. "Tangkap mata-mata musuh!" "Bunuh pemberontak!"
"Tangkap
pembunuh Bouw-ciangkun!" Ribuan
orang perajurit sudah bergerak lagi. Swat Hong memegang lengan suhengnya dan
Kwee Lun juga mendekati Sin Liong.
Betapapun juga, gentar dia menghadapi ribuan orang yang berteriak itu,
apalagi dia tidak boleh melawan.
Ketenangan Sin Liong membuat dia mencari perlindungan dekat pemuda ini. Sin
Liong memegang lengan sumoinya dan
terdengarlah suaranya penuh kesabaran dan ketenangan yang wajar, "Cu-wi
sekalian tahu bahwa mereka berdua ini
bukan mata-mata, dan Cu-wi tahu apa yang telah terjadi. Maka harap Cu-wi
perkenankan kami pergi, kemudian
sebaiknya melaporkan kepada Sri Baginda apa yang telah terjadi sehingga dapat
diambil tidakan tepat, demi
ketertiban." Suara ini demikian halus, akan tetapi mengatasi semua
teriakan dan
anehnya orang-orang itu tidak
berteriak-teriak lagi. "Kami hendak pergi sekarang!" Sin Liong
memegang lengan
Swat Hong dengan tangan kanannya,
memegang lengan Kwee Lun dengan tangan kiri, lalu menarik kedua orang itu
keluar dari kepungan. Swat Hong dan
Kwee Lun melangkah dengan bengong, merasa seperti dalam mimpi saja karena
ketika mereka melangkah pergi melalui
ribuan orang pasukan itu, tidak ada seorang pun di antara para perajurit
yang mencoba untuk menghalangi mereka,
bahkan ajaibnya, tidak ada seorang pun yang memandang mereka,
seolah-olah para perajurit itu tidak
melihat mereka! Dan memang begitulah. Para perajurit itu pun bengong
ketika secara tiba-tiba setelah pemuda
tampan halus itu berpamit, tiga orang itu tiba-tiba saja lenyap dari
situ tanpa meninggalkan bekas! Setelah
Sin Liong dan dua orang temannya pergi jauh, barulah gempar di tempat
itu dan akhirnya Kaisar memperoleh
laporan tentang semua peristiwa yang terjadi. Panglima Hussin dikirim pulang
dan pimpinan pasukannya diserahkan
kepada Ahmed! Sementara itu, Sin Liong, Kwee Lun dan Swat Hong pergi
meninggalkan Secuan. Ketika mereka tiba
jauh dari daerah itu, mereka berhenti dan Swat Hong berkata, "Suheng,
mengapa kita meninggalkan Secuan? Aku
ingin sekali menjadi sukarelawati, membantu Kaisar dan membasmi
pemberontak yang telah mengakibatkan
kematian Ibu, kematian Soan Cu dan Ayahnya, bahkan kematian kakek
buyutku!" "Benar apa yang
dikatakan Nona Swat Hong, Kwa-taihiap. Perjuangan menanti tenaga kita. Marilah
kita
bertiga membantu kerajaan membasmi
pemberontak." Sin Liong menarik napas panjang, memegang tangan sumoinya
dan
diajak duduk di atas rumput. Swat Hong
duduk dekat suhengnya dan memandang wajah suhengnya dengan penuh kagum
dan kasih sayang. "Kwee-toako,
benarkah engkau tertarik dengan perang, dengan saling bunuh membunuh antara
manusia, antara bangsa sendiri itu?
Betapa mengerikan, Toako. Menggunakan ilmu silat untuk membela yang lemah,
untuk menentang yang jahat masih dapat
dimengerti dan masih mending. Akan tetapi bunuh-membunuh hanya untuk
membela sekelompok manusia lain saling
memperebutkan kemuliaan duniawi, sungguh patut disesalkan. Mereka itu
hanya ingin mempergunakan orang lain
demi mencapai cita-cita sendiri. "Aih, apa yang dikatakan Suheng memang
tepat, Kwee-toako. Ingat saja
pengalamanku. Aku jauh-jauh datang untuk menjadi sukarelawati, membantu mereka,
akan tetapi belum apa-apa aku sudah
akan dikorbankan demi untuk menyenangkan hati panglima asing itu." Swat
Hong berkata kemudian dia menceritakan
pengalamannya kepada Sin Liong, semenjak mereka berpisah dan dia
ditolong oleh kakek buyutnya, sampai
dia berpisah dari Kwee Lun meninggalkan ibunya yang menghadapi maut. "Aku
tidak berhasil mencari Swi Nio dan Toan
Ki yang kutitipi pusaka-pusaka Pulau Es. Maka aku berniat membantu
Kaisar sekaligus mencari mereka yang kurasa melarikan diri membawa
pusaka-pusaka itu untuk mereka sendiri.
Sungguh menggemaskan!"
"Jangan tergesa-gesa berperasangka buruk terhadap orang lain, Sumoi. Kelak
kita memang
harus mencari mereka dan meminta
kembali pusaka-pusaka itu untuk kita bawa kembali ke Pulau Es." Kwee Lun
juga
menceritakan riwayatnya semenjak dia
berpisah dari Swat Hong. Kemudian mereka minta agar Sin Liong suka
menceritakan riwayatnya.
"Bagaimana engkau yang menurut cerita Kakek buyut dilempar ke sumur ular
dan ditutup
dengan reruntuhan guha, dapat
menyelamatkan diri, Suheng?" dan selama ini engkau kemana saja?" Sin
Liong
tersenyum. "Aku memang nyaris
tewas di sumur itu, akan tetapi memang agaknya belum tiba saatnya aku mati,
maka
batu mustika hijau kepunyaanmu ini
telah menolongku, Sumoi." Sin Liong mengeluarkan mustika hijau itu. Swat
Hong menerima batu itu dan menciumnya.
"Terima kasih, kau telah menyelamatkan Suheng!" katanya girang. Sin
Liong lalu menuturkan dengan singkat
keadaannya selama dua tahun di dalam sumur ular sampai dia berhasil keluar
ketika sumur itu dibongkar oleh Han Bu
Ong dan orang-orang kerdil. "Ahh, Ibunya yang mencelakanmu, anaknya yang
tanpa sengaja menolongmu!" Swat
Hong berseru heran. "lalu bagaimana kau bisa datang ke Secuan dan
menyelamatkan
aku dan Kwee-toako?"
"Mula-mula aku pergi ke kota raja dan mendengar betapa Ibumu, juga Soan Cu
telah tewas di
sana, akan tetapi juga bahwa ibu tirimu
The Kwat Lin juga tewas pula. Karena aku menduga bahwa peristiwa itu
tentu membuat engkau dimusuhi oleh para
pemberontak, maka aku yakin bahwa kau tentu membantu Kaisar di Secuan,
maka aku segera menyusul ke sini dan
kebetulan sekali melihat engkau dan Kwee-toako dikeroyok para perajurit."
Sin Liong tidak memberitahukan bahwa
sesungguhnya telah terjadi keajaiban pada dirinya sehingga seolah-olah dia
tahu bahwa sumoinya berada di Secuan.
Seolah-olah apa yang terjadi bukan merupakan rahasia lagi baginya!
Tiba-tiba Kwee Lun bertanya nada
suaranya hati-hati dan penuh sungkan, "Kwa-taihiap, sejak dulu saya tahu
bahwa
Taihiap memiliki kepandaian luar biasa.
Akan tetapi..... tadi di sana seruan taihiap membuat ribuan orang
berhenti bergerak, bahkan aku pun.....
tidak mampu bergerak. Kemudian....... ketika kita pergi, terjadi
keajaiban, seolah-olah mereka itu sama
sekali tidak melihat kita pergi....." Sin Ling hanya tersenyum dan
mengangkat pundak tanpa menjawab.
"Benar! Apa yang telah kau lakukan tadi, Suheng?" Swat Hong juga
bertanya.
"Tidak apa-apa, Sumoi. Engkau pun
melihat sendiri. Kita pergi dari mereka, dan karena tidak ada permusuhan atau
kebencian di hatiku, tentu saja mereka
pun tidak melakukan apa-apa." Swat Hong memang sejak dahulu sudah tahu
akan keanehan watak Suhengnya dan
kadang-kadang ucapan suhengnya tidak dimengerti sama sekali, maka jawaban
sederhana ini cukup baginya. Tidak demikian
dengan Kwee Lun. Pemuda ini menduga bahwa Pemuda Pulau Es itu
bukanlah manusia biasa, maka cepat dia
berkata, "Kwa-taihaip, jika Taihiap berkenan, saya....... saya mohon
petunjuk......" Sin Liong menoleh,
memandang. Mereka bertemu pandang dan Sin Liong tersenyum lagi. "Kau
sebaiknya pulang saja ke Pulau
Kura-kura, Kwee-toako. Dan mengingat engkau suka sekali akan ilmu silat dan aku
yakin bahwa engkau tidak akan
menggunakan ilmu itu untuk berbuat jahat, maka mungkin aku dapat menambahkan
sedikit tingkat ilmumu itu. Harap kau
coba-coba mainkan pedang dan kipasmu itu sebaik mungkin." Bukan main
girangnya hati Kwee Lun. Dia menjura
dengan hormat sambil mengucapkan terima kasih, kemudian dia mencabut
pedang dan kipasnya lalu bermain silat
di depan Sin Ling dan Swat Hong. Seperti kita ketahui, dari kitab kuno
Sin Liong memperoleh ilmu luar biasa,
yaitu mengenal semua inti ilmu silat dari gerakan pertama saja. Maka
setelah Kwee Lun mainkan jurus-jurus
simpanan yang paling lihai dan menghentikan permainan silatnya, Swat Hong
bertepuk tangan memuji, sedangkan Sin
Liong berkata, "Ada kelemahan-kelemahan di dalam beberapa jurusmu,
Toako." Pemuda luar biasa ini lalu
memberi petunjuk kepada Kwee Lun yang menjadi terheran-heran, kagum dan
girang sekali. Petunjuk-petunjuk itu
merupakan penyempurnaan dari semua ilmu silatnya.Dia menerima dan melatih
petunjuk-petunjuk ini dan demikianlah,
sampai hampir sebulan lamanya, tiga orang ini melakukan perjalanan ke
timur dan disepanjang perjalanan, Kwee
Lun menerima petunjuk-petunjuk dari Sin Liong, bahkan Kwee Lun menerima
pelajaran latihan untuk menghimpun
tenaga sinkang. Selama sebulan itu, Kwee Lun memperoleh keyakinan bahwa
pemuda Pulau Es ini benar-benar bukan
seorang manusia biasa. Tidak tanduknya, bicaranya, pandang matanya, dan
betapa pemuda itu dapat mengerti ilmu
silatnya lebih sempurna daripada dia sendiri! Maka ketika tiba saatnya
berpisah, dia tanpa ragu-ragu
menjatuhkan diri berlutut di depan Sin Liong! "Harap jangan berlebihan,
Kwee-toako," kata Sin Liong.
"Wah, Toako. Apa-apaan ini?" Swat Hong juga mencela.
"Kwa-taihiap, saya boleh
dibilang adalah murid Taihiap. Dan
Han-lihiap, agaknya belum tentu selama hidupku akan dapat bertemu lagi
dengan Ji-wi (Kalian). Perkenankan
saya, Kwee Lun, menghaturkan terima kasih dan selama hidup saya tidak akan
melupakan Ji-wi!"
"Hushhhh..... sudahlah, Toako. Kita berpisah di sini. Engkau ke selatan
dan kami akan terus
ke timur. Mari, Sumoi, kita lanjutkan
perjalanan," kata Sin Long dengan suara tenang dan biasa saja, lalu
mengajak sumoinya pergi dari situ. Swat
Hong beberapa kali menengok dan melihat Kwee Lun masih berlutut dengan
mata basah air mata! Dia pun terharu,
akan tetapi tidak lagi merasa sengsara seperti ketika dia berpisah dari
Kwee Lun hampir dua tahun yang lalu.
Kini Sin Liong, suhengnya, pria yang dicintainya, berada di sampingnya.
Tidak ada lagi perkara apa pun di dunia
ini yang dapat menyusahkan hatinya lagi! Sudah terlalu lama kita
meninggalkan Bu Swi Nio dan Lie Toan
Ki, dua orang muda yang dipercaya oleh Swat Hong untuk menyelamatkan
pusaka-pusaka Pulau Es. Benarkah dugaan
Swat Hong bahwa mereka itu bertindak curang, mengangkangi sendiri
pusaka-pusaka yang secara kebetulan
terjatuh ketangan mereka itu? Sama sekali tidak demikian dan mari kita
mengikuti perjalanan mereka semenjak
mereka meninggalkan kota raja. Malam hari itu, mereka berhasil lolos
keluar dari kota raja dan semalam
suntuk terus melarikan diri ke barat. Pada keesokan harinya, dengan tubuh
lesu dan lelah, mereka sudah tiba jauh
dari kota raja dan selagi mereka hendak mengaso, tiba-tiba terdengar
derap kaki kuda dari belakang. Mereka
terkejut dan cepat menyelinap ke dalam semak-semak untuk bersembunyi.
Akan tetapi, empat orang yang menunggu
kuda itu sudah melihat mereka dan begitu tiba di tempat itu, mereka
meloncat turun, mencabut senjata dan
seorang di antara mereka berseru, "Dua orang pengkhianat rendah,
keluarlah!" Dari tempat
persembunyian mereka, Swi Nio dan Toan Ki mengenal empat orang itu. Mereka
adalah
bekas-bekas teman mereka ketika masih
membantu An Lu Shan dahulu di masa "perjuangan". Karena mengenal
mereka
dan tahu bahwa mereka itu adalah
orang-orang kang-ouw yang dahulu juga membantu pemberontakan karena sakit hati
kepada kelaliman Kaisar, Swi Nio dan
Toan Ki meloncat keluar. Liem Toan Ki tersenyum memandang kepada kakek
berusia lima puluh tahun yang memimpin
rombongan empat orang itu. Kakek ini bernama Thio Sek Bi, murid dari
seorang tokoh kang-ouw kenamaan, yaitu
Thian-tok Bhong Sek Bin! Adapun tiga orang yang lain adalah orang-orang
kang-ouw yang agaknya tunduk kepada
Thio Sek Bi ini, namun menurut pengetahuan Toan Ki, kepandaian mereka
tidaklah perlu dikhawatirkan. Hanya
orang she Thio ini lihai. "Thio-twako, kita sama mengerti bahwa perjuangan
kita hanya untuk menghalau Kaisar
lalim. Urusan kami di istana The Kwat Lin sama sekali tidak ada hubungannya
dengan urusan perjuangan. Harap Toako tidak
mencampuri urusan pribadi dan suka mengalah, membiarkan kami pergi
dengan aman." "ha-ha-ha-ha!
Liem Toan Ki, enak saja kau bicara! Setelah berhasil memperoleh pusaka-pusaka
keramat, mau lolos begitu saja dan
melupakan teman! Kami berempat tentu akan menerima uluran tanganmu yang
bersahabat kalau saja persahabatan itu
kau buktikan dengan membagikan sebagian pusaka itu. Demikian banyaknya,
buat apa bagi kalian? Membagi sedikit
kepada kawan, sudah sepatutnya, ha-ha!" Thio Sek Bi berkata sambil
menudingkan senjata toya ditangannya ke
arah punggung Toan Ki, di mana terdapat buntalan pusaka yang dititipkan
kepadanya oleh Swat Hong. "Ya,
sebaiknnya bagi rata, bagi rata antara teman sendiri, Saudara Liem Toan Ki dan
Nona Bu Swi Nio!" kata orang ke
dua sedangkan teman-temannya juga mengangguk setuju. Toan Ki terkejut.
Mengertilah dia bahwa tentu empat ini
malam tadi ikut mengepung dan mereka mendengar penitipan pusaka itu oleh
Swat Hong , maka mereka lalu diam-diam
mengejar sampai di hutan ini. "Hem, saudara-saudara. Kalau kalian tahu
bahwa ini adalah pusaka tentu kalian
tahu pula bahwa ini bukanlah milikku, dan aku hanya dititipi saja dan
tidak berhak membagi-bagikan kepada
siapapun juga." Ha-ha-ha! Lagaknya! Siapa mau percaya omonganmu?
Pusaka-pusaka dari Pulau Es yang hanya
dikenal di dunia kang-ouw sebagai dalam dongeng telah berada di tangan
kalian dan kalian benar-benar tidak
menghendakinya? Bohong!" kata Thio Sek Bi sambil tertawa mengejek. Bohong
atau tidak, apa yang dikatakan oleh
Ki-koko adalah tepat! kami tidak kan membagi pusaka kepada kalian atau
siapapun juga. Habis kalian mau apa?"
Bu Swi Nio membentak sambil mencabut pedangnya. "Ha-ha, wah lagaknya!
Kalau begitu, pusaka itu akan kami
rampas dan kalian berdua, mati atau hidup, akan kami seret kembali ke kota
raja!" kata Thio Sek Bi sambil
memutar toyanya, diikuti oleh tiga orang kawannya. Swi Nio dan Toan Ki
menggerakan senjata dan melawan dengan
mati-matian. Ilmu toya yang dimainkan oleh Thio Sek Bi amat hebat dan
aneh karena dia adalah murid dari
Thian-tok. Thian-tok (Racun langit) terkenal sebagai seorang ahli racun dan
sebagai pemuja tokoh dongeng
Kauw-cee-thian Si Raja Monyet, maka yang paling hebat di antara ilmu silatnya
adalah ilmu silat toya panjang yang
disebut Kim-kauw-pang seperti senjata tokoh dongeng Kau-cee-thian sendiri!
Muridnya ini, biarpun senjatanya toya,
namun dimainkan dengan gerakan yang amat aneh dan sebentar saja Toan Ki
sudah terdesak olehnya. Namun, Liem
Toan Ki adalah seorang murid Hoa-san-pai yang memiliki dasar ilmu yang
bersih dan kuat. Selain itu, dia sudah
mempunyai banyak pengalaman, bahkan tidak ada yang tahu bahwa dia adalah
murid Hoa-san-pai karena selain dia
tidak pernah mengaku karena takut membawa-bawa nama Hoasan- pai dengan
pemberontakan, juga ilmu silatnya sudah
dia campur dengan ilmu silat lain sehingga tidak kentara benar. Dengan
gerakan pedang yang indah dan cepat,
dia dapat menjaga diri dari desakan toya di tangan Thio Sek Bi. Di lain
pihak, Swi Nio yang menghadapi pengeroyokan
tiga orang itu, tidak mengalami banyak kesulitan. Wanita muda ini
pernah digembleng oleh The Kwat Lin,
sedikit banyaknya telah mewarisi ilmu yang dahsyat dari wanita itu, maka
kini dikeroyok oleh tiga orang lawan
yang tingkatnya dibawah dia, tentu saja dia dengan mudah dapat
mempermainkan mereka. Terdengar Swi Nio
mengeluarkan suara melengking berturut-turut seperti yang biasa
dikeluarkan oleh The Kwat Lin, dan tiga
orang lawannya roboh berturut-turut dan terluka parah, tidak mampu
melawan lagi. Sambil melengking keras,
Swi Nio meloncat dan membantu kekasihnya yang terdesak oleh toya Thio
Sek Bi. "Cring!
Tranggggg......!" Swi Nio terhuyung, akan tetapi Thio Sek Bi merasa betapa
telapak tangannya
panas. Liem Toan Ki tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, menubruk maju
dan memutar pedangnya kemudian dibantu
oleh kekasihnya dia terus mendesak
sehingga permainan toya dari murid Thian-tok itu menjadi kacau. Akhirnya,
tiga puluh jurus kemudian, robohlah
Thio Sek Bi, lengan kanannya terbacok dan terluka parah, juga pundak
kirinya terobek ujung pedang Swi Nio.
<CENTER>
JILID 24
</CENTER>
"Lekas.....! Kita pakai kuda mereka!"
Liem Toan Ki berkata kepada kekasihnya. Swi Nio menyambar kendali dua
ekor kuda terbaik, sedangkan Toan Ki
lalu mencambuk dua ekor kuda yang lain sehingga binatang-binatang itu
kabur ketakutan. Kemudian mereka
meloncat ke atas punggung kuda rampasan itu dan membalapkan kuda meninggalkan
tempat itu. "Mestinya mereka itu
dibunuh, akan tetapi aku tidak tega melakukannya," kata Toan Ki.
"Benar, belum
tentu mereka itu jahat."
"Moi-moi, berhenti dulu," tiba-tiba Toan Ki berkata. Swi Nio menahan
kudanya dan
melihat kekasihnya seperti orang
bingung. "Ada apakah?" "Tidak baik kalau kita menuruti
permintaan Nona Han
Swat Hong pergi ke Awan Merah." Bu
Swi Nio mengerutkan alisnya dan memandang kepada kekasihnya dengan penuh
selidik. Selama ini, dia selain
mencinta, juga kagum dan percaya penuh kepada kekasihnya yang dianggapnya
seorang pria yang gagah perkasa dan
patut dibanggakan. Akan tetapi sekarang dia memandang penuh curiga.
jangan-jangan kekasihnya juga ketularan
penyakit seperti empat orang tadi, menginginkan pusaka Pulau Es!
Biarpun dia sendiri belum pernah
membuka-buka pusaka-pusaka itu, namun dia maklum bahwa pusaka-pusaka Pulau Es
yang berada di tangan gurunya adalah
pusaka yang tak ternilai harganya, benda keramat yang tentu mengandung
ilmu-ilmu mujijat! "Kok, apa.....
apa maksudmu?" Mendengar nada suara kekasihnya, Toan Ki mengangkat muka
memandang. Mereka bertemu pandang dan
Toan Ki tersenyum, memegang tangan kekasihnya dan mencium tangan itu.
"Ihhhh! kau berdosa padaku,
memandang penuh curiga seperti itu!" katanya tertawa. "Tidak,
Moi-moi, tidak ada
pikiran yang bukan-bukan di dalam
hatiku. Aku hanya teringat akan bahaya besar kalau kita ke Awan Merah. Thio
Sek Bi tadi adalah murid Thian-kok,
sedangkan Thian-kok adalah suheng dari Puncak Awan Merah di tai-hang-san!
Kalau murid dari Sang Suheng seperti
Thio Sek Bi tadi, apakah kita dapat mengharapkan sute akan lebih baik?
Jangan-jangan kita seperti ular-ular
menghampiri penggebuk!" "Sialan! Kausamakan aku dengan ular? Koko,
kalau
begitu, bagaimana baiknya
sekarang?" Swi Nio menghentikan kelakarnya karena menjadi khawatir juga.
"Swi-moi,
tugas yang kita pikul bukanlah ringan. Apalagi karena agaknya sudah
banyak yang tahu bahwa kita berdualah yang
memegang pusaka-pusaka Pulau Es, maka
kurasa langkah-langkah kita tentu akan dibayangi orang-orang kang-ouw
yang ingin merampas Pusaka Pulau Es. Ke
mana pun kita pergi, kita tentu akan dicari oleh mereka." Swi Nio
menjadi pucat. Baru dia sadar betapa
berat dan berbahaya tugas mereka. "Aihh, kalau begitu bagaimana baiknya?'
"Tidak ada jalan lain kecuali berlindung
ke Hoa-san. Aku akan minta bantuan Hoa-san-pai agar suka menerima kita
bersembunyi di sana dan menyembunyikan
pusaka di sana. Hanya Hoa-sa n-pai saja yang dapat kupercaya dan kiranya
tidak sembarangan orang berani main
gila di Hoa-san-pai." "Engkau benar, Koko dan aku setuju sekali. Akan
tetapi, bagaimana nanti kalau yang
mempunyai pusaka ini menyusul kita ke Puncak Awan Merah dan tidak
mendapatkan kita di sana?"
"Lebih baik begitu daripada mendapatkan kita di sana tanpa pusaka lagi,
atau
mendengar bahwa kita tewas dan pusaka
dirampas orang! Sebagai orang-orang yang sakti, tentu mereka akan dapat
mencari kita atau menduga bahwa aku
berlindung ke Hoa-san-pai. Mari kita berangkat, Moi-moi, hatiku tidak enak
sebelum kita tiba di Hoa-san."
Demikianlah, dua orang itu lalu bergegas melanjutkan perjalanan ke Hoa-san.
Setelah tanpa halangan mereka tiba di
bukit itu, Toan Ki mengajak kekasihnya langsung menghadap ketua
Hoa-san-pai yang terhitung twa-supeknya
(uwak guru pertama) sendiri yang tidak pernah dijumpainya. Setelah
bertemu dengan Kong Thian Cu, ketua
Hoa-san-pai pada waktu itu, seorang kakek tinggi kurus yang bersikap lemah
lembut dan rambutnya sudah putih semua,
serta merta kedua orang muda itu menjatuhkan diri berlutut. "Teecu Liem
Toan Ki menghaturkan hormat kepada
Twa-supek," kata Toan Ki. "Teecu Bu Swi Nio menghaturkan hormat
kepada
Locianpwe," kata Swi Nio penuh
hormat. Kakek itu mengangguk-angguk. "Duduklah dan bagaimana engkau dapat
menyebut pinto sebagai Twasupek, orang
muda?" "Teecu adalah murid dari Suhu Tan Kiat yang membuka perguruan
silat di Kun-min dan menurut Suhu,
katanya beliau adalah sute dari Twa-supek yang menjadi ketua di Hoa-san-pai,
sungguhpun Suhu berpesan agar teecu
tidak menyebut-nyebut nama Hoa-san-pai kepada siapapun juga." Kakek itu
kelihatan terkejut, lalu menarik napas
panjang, mengelus jenggotnya dan kembali mengangguk-angguk. "Tan-sute
memang murid Suhu, akan tetapi sayang,
pernah dia membuat mendiang Suhu marah dan mengusirnya. Padahal bakatnya
baik sekalli. Kiranya dia membuka
perguruan silat? Dan dia pesan agar muridnya tidak membawa nama Hoa-san-pai?
Bagus, ternyata dia jantan juga. Di
manakah dia sekarang dan bagaimana keadaannya?" "Suhu telah tewas
dalam
keadaan penasaran, difitnah pembesar
sebagai pemberontak dan dijatuhi hukuman mati." "Ahhh....!"
"Karena itulah
maka teecu sebagai muridnya yang juga
menderita karena orang tua teecu juga menjadi korban keganasan pembesar
pemerintah, lalu ikut berjuang bersama
An Lu Shan, kemudian setelah berhasil tecu mengundurkan diri karena
teecu tidak menghendaki kedudukan
apa-apa. Apalagi melihat betapa Angoanswe menerima bantuan orang-orang dari
kaum sesat, maka teecu mengundurkan
diri." "Bagus, baik sekali engkau mengambil keputusan itu, karena
biarpun
engkau tidak menyebut nama Hoasan- pai,
namun pinto akan ikut merasa menyesal kalau ada orang yang mewarisi
kepandain Hoa-san-pai mempergunakan
kepandaian itu untuk urusan pemberontak. Sekarang engkau bersama Nona ini
datang menghadap pinto ada keperluan
apakah?" "Teecu datang untuk mohon pertolongan Twa-supek. Nona ini
adalah
tunangan teecu, dia puteri dari
mendiang Lu-san Lojin." "Siancai....! Lu-san Lojin sudah meninggal?
Pinto
pernah bertemu satu kali dengan ayahmu,
Nona. Seorang yang gagah perkasa!" Kemudian kakek ini menoleh kepada
Liem Toan Ki dan bertanya,
"Pertolongan apakah yang kalian harapkan dari pinto?" Dengan terus
terang tanpa
menyembunyikan sesuatu Liem Toan Ki
lalu menceritakan tentang penyerbuannya bersama para penghuni Pulau Es,
betapa kemudian puteri Pulau Es telah
menitipkan Pusaka Pulau Es kepada mereka berdua, kemudian betapa mereka
dihadang orang jahat yang hendak
merampas pusaka dan mereka mengambil keputusan untuk bersembunyi di
Hoa-san-pai. Kakek itu menjadi bengong
mendengar penuturan panjang lebar itu, beberapa kali memandang ke arah
buntalan di punggung Toan Ki dan
memandang wajah mereka berdua seperti orang yang kurang percaya.
"Siancai....
kalau tidak melihat wajah kalian berdua
yang agaknya bukan orang gila dan bukan pembohong, pinto sukar untuk
percaya bahwa kalian telah bertemu
bahkan bertanding bahu-membahu dengan orang-orang Pulau Es! Pinto kira bahwa
nama Pulau Es hanay terdapat dalam
dongeng belaka." "Karena teecu yakin bahwa tentu orang-orang di dunia
kang-ouw akan saling berebut untuk
merampas pusaka-pusaka ini, maka teecu berdua mengambil keputusan untuk
berlindung di Hoa-san-pai sampai yang
berhak atas pusaka-pusaka itu datang mengambilnya." Sampai lama kakek itu
termenung dan menundukan kepalanya,
dipandang dengan hati gelisah dan tegang oleh Toan Ki dan Swi Nio. Akhirnya
kakek itu mengangkat mukanya memandang
dan berkata, suaranya bersungguh-sungguh. "Selamanya Hoa-san-pai menjaga
nama dan kehormatan sebagai partai
orang-orang gagah. Entah berapa banyak anak murid Hoa-san-pai tewas dalam
mempertahankan kebenaran dan keadilan,
bahkan ada pula yang tewas tanpa pinto ketahui apa sebabnya dan di mana
tewasnya seperti Keesan Ngo-han, lima
orang murid pinto yang dahulu bertugas melindungi Sin-tong....."
"Aihhhh....!!" Tiba-tiba Swi
Nio mengeluarkan teriakan tertahan dan ketika kakek itu memandang kepadanya,
dia
cepat berkata, "Mendiang Subo
adalah bekas ratu Pulau Es yang menyeleweng dan bersekutu dengan Kiam-mo Cai-li
Liok Si memberontak kepada pemerintah.
Pernah teecu mendengar penuturan Subi ketika menceritakan kelihaian
Kiam-mo Cai-li bahwa Kee-san Ngo-hohan
terbunuh oleh Kiam-mo Cai-li itu." Ketua Hoa-san-pai itu kelihatan
terkejut dan sinar matanya menjadi
keras, "Hemm, kiranya iblis betina itu yang membunuh murid-murid
pinto....!
"Akan tetapi iblis itu telah tewas
di tangan Nona Han Swat Hong puteri Pulau Es yang menitipkan pusaka kepada
teecu berdua, Twa-supek," Toan Ki
berkata. Kakek itu mengangguk-angguk dan mendengarkan penuturan mereka berdua
tentang penyerbuan hebat di kota raja,
di dalam istana dari The Kwat Lin, bekas Ratu Pulau Es yang minggat dan
melarikan Pusaka-pusaka Pulau Es itu.
"Kalau begitu, sudah sepatutnya kalau Hoa-san-pai membantu para penghuni
Pulau Es. Kalian boleh tinggal di sini
dan biarlah Hoa-san-pai yang melindungi kalian dan pusaka-pusaka itu
sampai yang berhak datang
mengambilnya." "Sebelumnya teecu berdua menghaturkan banyak terima
kasih atas
kebijaksanan dan kemuliaan hati
Twasupek. dan teecu ingin mengajukan permohonan ke dua......" Kakek itu
tersenyum. "Permohonanmu yang
paling hebat, menegangkan dan berbahaya telah pinto terima dan urusan pusaka
ini
hanya kita bertiga saja yang
mengetahuinya, tidak boleh kalian bocorkan keluar agar tidak menimbulkan
keributan. Sekarang, ada permohonan apa
lagi yang hendak kaukemukakan?" "Teecu...... mohon .....karena teecu
berdua sudah tidak mempunyai keluarga
lagi, dan teecu berdua sudah cukup lama bertunangan, maka.... teecu mohon
berkah dan doa restu Twa-supek untuk
menikah di sini." Toan Ki yang hidupnya sudah penuh dengan segala macam
pengalaman hebat itu, tidak urung
tergagap ketika mengucapkan permintaan ini, sedangkan Bu Swi Nio menundukkan
mukanya yang menjadi mereh sekali. Kong
Thian-cu tertawa bergelak, lalu berkata, "Pernikahan adalah peristiwa
amat menggembirakan. Tentu saja pinto
suka sekali memenuhi permintaan ini. Liem Toan Ki, engkau adalah murid
Hoa-san-pai pula, tentu saja engkau
berhak untuk menikah di sini, disaksikan oleh semua murid Hoa-san-pai yang
berada di sini." Demikianlah,
Pusaka-pusaka Pulau Es yang di rahasiakan itu disimpan oleh Kong Thian-cu
sendiri
di dalam kamar pusaka yang tersembunyi,
tidak ada anggauta Hoa-san-pai lain yang mengetahuinya dan sebulan
kemudian diadakanlah perayaan sederhana
namun khidmat untuk melangsungkan upacara pernikahan antara Liem Toan
Ki dan Bu Swi Nio. Pada malam pertama
pernikahan itu Bu Swi Nio menangis di atas dada suaminya, menangis dengan
penuh keharuan, kedukaan yang bercampur
dengan kegembiraan mengenangkan semua pengalamannya, kematian ayahnya
dan kakaknya, malapetaka yang menimpa
dirinya ketika dalam keadaan mabok dan tidak ingin diri dia diperkosa
oleh Pangeran Tan Sin Ong. Dia memeluk
suaminya dan berterima kasih sekali karena dia dapat membayangkan bahwa
kalau tidak ada pria yang kini menjadi
suaminya dengan syah dan terhormat ini tentu dia sudah membunuh diri dan
andai kata dalam keadaan hiduppun ia
akan mendrita aib dan terhina. Sampai dua tahun suami isteri yang saling
mencinta dan berbahagia ini hidup di
Hoa-san-pai, menjadi anggota-anggota dan anak murid Hoa-san-pai yang tekun
berlatih dan rajin bekerja. Akan tetapi
mereka gelisah sekalli karena sampai selama ini, Han Swat Hong atau
lain tokoh Pulau Es tidak ada yang
muncul bahkan gadis luar biasa dari Pulau Neraka, Ouw Soan Cu, juga tidak
muncul. Tentu saja hati mereka akan
menjadi lebih lega dan bebas dari kekhawatiran kalau saja pusaka-pusaka
Pulau Es itu sudah diambil oleh yang
berhak dan tidak menjadi tanggung jawab mereka.. Lebih hebat lagi
kegelisahan hati mereka ketika pada
suatu hari Ketua Hoa-san-pai, Kong Thian-cu yang sudah tua itu, meninggal
dunia karena sakit. Sebelum meninggal
dunia, Kong Thian-cu memberitahukan di mana dia menyembunyikan
pusaka-pusaka itu yang tidak diketahui
orang lain. Setelah Kong Thian-cu meninggal dunia, kedudukan Ketua
Hoa-san-pai digantikan oleh seorang
tokoh Hoa-san-pai lain, terhitung sute dari Kong Thian-cu yang telah
menjadi seorang tosu yang saleh,
berjuluk Pek Sim Tojin. Ketua yang baru ini pun tidak tahu akan rahasia Pusaka
Pulau Es, sehingga kini rahasia pusaka
itu seluruhnya menjadi tangung jawab Liem Toan Ki dan isterinya. Biarpun
selama dua tahun itu tidak terjadi
sesuatu, namun hati suami isteri ini selalu merasa tidak tenteram. Bahkan
mereka berdua seringkali merundingkan
bagaimana baiknya. Hendak meninggalkan Hoa-san-pai dan mencari Swat Hong,
mereka tidak berani meninggalkan
Hoa-san-pai di mana pusaka itu disimpan, juga mereka tidak tahu ke mana harus
mencari Han Swat Hong. Tinggal diam
saja di Hoa-san mereka merasa makin lama makin gelisah. Selama itu, tidak
ada satu kali pun mereka berani
memeriksa pusaka yang disimpan di tempat yang amat rapat di kamar pusaka oleh
mendiang Kong Thian-cu. Akhirnya mereka
terpaksa menahan diri, dan saling berjanji bahwa kalau setahun lagi
pemilik pusaka yang sah tidak muncul,
mereka akan menghadap Pek Sim Tojin, menceritakan dengan terus terang dan
menyerahkan pusaka itu untuk dipelajari
bersama sehingga dengan demikian pusaka itu ada manfaatnya demi
kemajuan dan kebaikan Hoa-san-pai
sendiri. "Suheng, kita berhenti istirahat dulu di sini!" Swat Hong
berkata.
Sin Liong menoleh kepada dara itu,
tersenyum dan berkata, "Engkau lelah, Sumoi?" Swat Hong mengangguk
dan Sin
Liong menghentikan langkahnya, lalu
keduanya duduk dibawah sebatang pohon besar di lereng bukit itu. Tempat
perhentian mereka itu ditepi jalan yang
merupakan lorong setapak, di sebelah kiri terdapat dinding bukit, di
sebelah kanan jurang yang amat curam.
Pemandangan di seberang jurang amatlah indahnya, tamasya alam yang
tergelar di bawah kaki mereka, sehelai
permadani hidup yang permai dengan segala macam warna berselang-seling,
kelihatan kacau namun menyedapkan
pandangan karena di dalam kekacauan itu terdapat keselarasan yang wajar.
Sawah ladang bekas hasil tangan manusia
berpetak-petak, digaris oleh sebatang sungai yang berbelok-belok,
dengan rumpun di sana-sini diseling
pohon-pohon besar yang masih bertahan di antara perobahan yang dilakukan
oleh tangan-tangan manusia. Sebatang
pohon yang daun-daunnyatelah menguning dan banyak yang rontok, kelihatan
menyendiri dan menonjol di antara
segala tumbuh-tumbuhan menghijau , dan seolah-olah segala keindahan berpusak
kepada pohon menguning hampir mati itu.
Matahari yang berada di atas kepala tidak menimbulkan bayangan-bayangan
sehingga hari tampak cerah sekali.
Sinar matahari dengan langsung dan bebas menyinari bumi dan segala yang
berada di atasnya, terang menderang
tidak ada gangguan awan. Di dalam keheningan itu, Swat Hong dapat melihat
ini semua. Ketika tanpa disengaja
tangannya yang digerakkan untuk menyeka keringat bertemu dengan lengan Sin
Liong, barulah dia sadar akan dirinya
dan sekelilingnya. Dan dia terheran. Semenjak dia bertemu dengan
suhengnya dan melakukan perjalanan ini,
seringkali dia tenggelam ke dalam keindahan yang amat luar bias, yang
sukar dia ceritakan dengan kata-kata.
Dia merasa tenteram, tenang dan penuh damai sungguhpun suhengnya jarang
mengeluarkan kata-kata. Dia seperti
merasa betapa diri pribadi suhengnya bersinar cahaya yang hangat dan aneh,
terasa ada getaran yang ajaib keluar
dari pribadi suhengnya yang mempengaruhinya dan mendatangkan suatu
perasaan yang menakjubkan, yang
mengusir segala kekesalan, segala kerisauan, dan segala kedukaan. Sudah
beberapa kali dia ingin mengutarakan
ini kepada suhengnya, namun setiap kali dia hendak bicara, mulutnya
seperti dibungkamnya sendiri oleh
keseganan yang timbul dari perasaan halus dan lembut terhadap suhengnya itu,
sesuatu yang belum pernah dirasakannya
semula. Dia mencinta suhengnya, ini sudah jelas. Namun sekarang timbul
perasaan lain yang lebih agung daripada
sekedar cinta biasa, perasaan yang membuat dia penuh damai.
"Suheng......." Dia
memberanikan hatinya berkata. "Ya......?" Sin Liong mengangkat muka
memandangnya sambil
tersenyum. Senyumnya begitu lembut
penuh kasih, pandang matanya begitu bersinar penuh pengertian sehingga Swat
Hong merasa betapa seolah-olah sebelum
dia bicara, suhengnya itu telah tahu apa yang terkandung di dalam
hatinya! Inilah yang biasanya membuat
membungkam dan tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Kini dia mengeraskan
hati dan berkata dengan suara lirih,
"Suheng, kita akan ke manakah?" "Ke Hoa-san, sudah kuberitahukan
kepadamu," jawabnya sederhana.
"Bagaimana kau bisa tahu bahwa mereka berada di Hoa-san?" Sin Liong
tersenyum,
senyum cerah, secerah sinar matahari di
saat itu, senyum yang bebas dan wajar tidak menyembunyikan sesuatu
tidak membawa arti sesuatu.
"Sumoi, pusaka itu kau berikan kepada Liem Toan Ki dan tunangannya, dan
karena Liem
Toan Ki adalah murid Hoa-san-pai, maka
tentu saja mereka berada di Hoa-san." Swat Hong mengangguk-angguk,
memang dia tahu bahwa Toan Ki adalah
murid Hoa-san, akan tetapi dia lupa bahwa dia tidak pernah menceritakan
hal ini kepada suhenngya!
"Bagaimana kalau mereka tidak berada si sana, Suheng?" Kembali senyum
itu. Senyum
seorang yang begitu pasti akan segala
sesuatu, senyum penuh pengertian, seperti senyum seorang tua yang melihat
kenakalan anak-anak dan maklum pengapa
anak itu nakal! "Sumoi, apakah gunanya memikirkan hal-hal yang belum
terjadi? Membayangkan hal-hal yang
belum terjadi adalah permainan buruk dari pikiran, karena hal itu hanya akan
menghasilkan kecemasan dan kekhawatiran
belaka. Apa yang akan terjadi kelak kita hadapi sebagaimana mestinya
kalau sudah terjadi di depan
kita." Swat Hong tertarik sekali. "Apakah rasa cemas itu timbul dari
pikiran yang
membayangkan masa depan, Suheng?"
"Agaknya jelas demikian, bukan? Yang takut akan sakit tentulah dia yang
belum
terkena penyakit itu, kalau sudah
sakit, dia tidak takut lagi kepada sakit, melainkan takut kepada kematian
yang belum tiba. Perlukah hidup dicekam
rasa takut dan rasa kekhawatiran? Pikiran yang bertanggung jawab atas
timbulnya rasa takut. Pikiran
mengingat-ingat kesenangan di masa lalu, dan mengharapkan terulangnya
kesenangan
itu di masa depan, maka timbullah
kekhawatiran kalau-kalau kesenangan itu tidak akan terulang. Pikiran
mengenang penderitaan masa lalu dan
ingin menjauhinya, ingin agar di masa depan hal itu tidak terulang kembali
maka timbulah kekhawatiran kalau-kalau
dia tertimpa penderitaan itu lagi!" "Habis bagaimana, Suheng?"
"Hiduplah
saat ini, curahkan seluruh perhatian,
seluruh hati dan pikiran, untuk menghadapi saat ini, apa yang terjadi
kepadamu di saat ini, bukan apa yang
boleh terjadi di masa depan, bukan pula mengenang apa yang telah terjadi
di masa lalu." "Kalau begitu
kita menjadi tidak acuh dan bersikap masa bodoh....." "Justru
biasanya kita
bersikap masa bodoh dan tidak acuh,
tidak menaruh perhatian yang mendalam terhadap saat ini, karena seluruh
perhatian kita sudah dihabiskan untuk
mengingat-ingat masa lalu dan untuk membayang-bayangkan masa depan dengan
seluruh pengharapannya, seluruh
cita-citanya, seluruh nafsu keinginannya, seluruh kesenangan dan kekecewaannya.
Justeru kalau bebas dari masa lalu
tidak lagi ada bayangan masa depan dan kita hidup saat demi saat penuh
perhatian, dan ini barulah di namakan
hidup sepenuhnya, hidup sempurna dan lengkap karena kita menghayati hidup
dengan penuh kewajaran, tidak terbuai
dalam aalam kenangan dan harapan yang muluk-muluk namun sesungguhnya
kosong belaka." Sampai lama hening
di situ. Pengertian yang mendalam meresap di hati sanubari Swat Hong dan di
dalam keheningan itu tercakup seluruh
alam mayapada. "Suheng, telah dua tahun pusaka itu berada di tangan
mereka. Aku telah mencari ke mana-mana,
hanya ke Hoa-san-pai yang belum. Kurasa mereka itu tidak jujur, dan
agaknya tentu mereka telah
menyembunyikan pusaka itu. Kalau tidak demikian mengapa mereka tidak pergi
menanti
aku di Puncak Awan Merah seperti yang
kupesankan? Memang hati manusia tidak atau jarang sekali ada yang jujur.
Sekali saja melihat sesuatu yang dapat
menguntungkan diri pribadi, maka terlupalah semua pelajaran tentang
kegagahan dan kebaikan. Aku ingin mencari dan
menghajar mereka itu!" "Sumoi, prasangka adalah satu di antara
racun-racun yang merusak kehidupan
kita. Prasangka di lahirkan oleh pikiran yang mengada-ada, yang membayangkan
sesuatu yang direka-reka, yang timbul
karena kekhawatiran. Prasangka adalah suatu kebodohan yang menyiksa diri
sendiri. Kalau kita sudah bertemu
dengan mereka dan sudah melihat keadaan yang sesungguhnya, apakah kegunaannya
prasangka? Prasangka dan sebagainnya
lenyap setelah kita membuka mata melihat kenyataan apa adanya, dan sebelum
itu, berprasangka berarti membiarkan
pikiran mempermainkan diri. Apakah kegunaannya bagi kehidupan kita?"
Kembali hening. Swat Hong tak mampu
menjawab karena dia dihadapkan dengan keadaan yang nyata. Memang, dia
memikirkan hal-hal yang belum terjadi,
maka timbullah kekhawatiran, dan dari kekhawatiran ini timbulah
prasangka yang bukan-bukan. Yang salah
dalam semua itu adalah pikiran! Setelah tubuh mereka beristirahat dengan
cukup, keduanya lalu melanjutkan
perjalanan menuju ke Hoasan. Makin lama Swat Hong makin mendapat kesan bahwa
suhengnya benar-benar telah berubah,
jahu bedanya dengan dahulu. Pada suatu hari, ketika mereka tiba di kaki
Pegunungan Hoa-san dan beristirahat,
Swat Hong tidak dapat menahan rasa keinginan tahunya dan dia berkata,
"Suheng, setelah dua tahun
berpisah denganmu dan berjumpa kembali, aku memperoleh kenyataan bahwa engkau
telah
berubah sekali!" "Begitukah,
Sumoi?" "Aku tidak tahu apanya yang berubah, memang kelihatannya
engkau masih
biasa sepeti dulu, Suhengku yang sabar,
tenang dan bijaksana. Akan tetapi entahlah, engkau berubah benar,
sungguhpun aku sendiri tidak dapat
mengatakan apanya yang berubah." Sin Liong tersenyum dan sinar matanya
berseri. "Memang setiap manusia
seyogianya mengalami perubahan, Sumoi. Kita masing-masing haruslah berubah,
tidak terikat dengan masa lalu, dengan
segala macam kebiasaan masa lalu, setiap hari, setiap detik kita
haruslah baru! Kalau demikian, barulah
hidup ada artinya!" Swat Hong hendak berkata lagi, akan tetapi tiba-tiba
Sin Liong memegang tangannya dan
mengajaknya bangkit berdiri lalu berlahan-lahan melanjukan perjalanan mulai
mendaki bukit pertama. Ketika Swat Hong
hendak menanyakan sikap yang tiba-tiba ini dari suhengnya, dia
mendengar suara orang dan tampaklah
olehnya banyak orang berbondong-bondong naik ke pegunungan Hoa-san,
datangnya dari berbagai penjuru. Mereka
itu terdiri dari bermacam orang, dengan pakaian yang bermacam-macam
pula, namun jelas bahwa rata-rata
memiliki gerakan yang ringan dan tangkas dan mudah bagi Swat Hong untuk
mengetahui bahwa mereka adalah
orang-orang kang-ouw! Melihat kenyataan bahwa tidak ada di antara mereka yang
memperhatikan Sin Liong dan Swat Hong,
hanya memandang sepintas lalu saja seperti mereka itu saling memandang,
tahulah Swat Hong bahwa mereka itu
bukan merupakan satu rombongan, melainkan terdiri dari banyak rombngan
sehingga tentu saja mereka mengira
bahwa dia dan suhengnya adalah anggauta rombongan lain. Hati Swat Hong
diliputi penuh pertanyaan. Siapakah
mereka dan apa kehendak mereka itu? Apakah di Puncak Hoa-san terdapat
perayaan dan mereka ini adalah para
tamu yang berkujung ke Hoa-san-pai"Akan tetapi melihat sikap suhengnya
diam
dan tenang saja, Swat Hong merasa malu
untuk bertanya dan teringatlah dia akan kata-kata suhengnya tentang
permainan pikiran yang membayangkan
masa depan yang menimbulkan kekhawatiran belaka. Mau tidak mau dia harus
membenarkan karena kini dia merasakan
sendiri. Biarlah dia hadapi apa yang sedang terjadi sebagaimana mestinya
dan sebagai apa adanya tanpa merisaukan
hal-hal yang belum terjadi! Ketia akhirnya mereka tiba di Puncak
Hoa-san, di depan markas perkumpulan
Hoa-san-pai yang besar, Swat Hong menjadi terkejut. Di tempat itu ternyata
tidak terdapat perayaan apa-apa dan
kini banyak tosu dan anggauta Hoa-san-pai berkumpul dan berdiri di ruangan
depan yang tinggi, sedangkan di bawah
anak tangga, di halaman depan penuh dengan orang-orang kang-ouw yang
bersikap menantang! Ketika dia melirik
ke arah suhengnya, dia melihat Sin Liong bersikap masih biasa dan
tenang, dan suhengnya ini pun memandang
ke depan dengan perhatian sepenuhnya. Maka dia pun lalu memandang lagi
dan dia melihat seorang tosu berambut
putih dengan tenang berdiri menghadapi para orang-orang kang-ouw itu
sambil menjura dengan sikap hormat lalu
berkata dengan suara halus namun cukup nyaring, "Harap Cu-wi sekalian
sudi memaafkan kami yang tidak tahu
akan kedatangan Cu-wi maka tidak mengadakan penyambutan sebagaimana
mestinya. Pinto melihat bahwa Cu-wi
adalah tokoh-tokoh kangouw dari bermacam golongan dan tingkat, dan pada
hari ini berbondong datang mengunjungi
Hoa-san-pai, tidak tahu ada keperluan apakah?" Swat Hong memandang para
orang kang-ouw itu dan diantaranya
banyak tokoh aneh yang tidak dikenalnya itu, dengan heran dia melihat adanya
Siang-koan Houw Tee Tok, tokoh yang
tinggal di Puncak Awan Merah di tai-hang-san itu! "Suheng, itu Tee Tok
berada pula di sini," bisikannya
sambil menyentuh lengan suhengnya. "Aku sudah melihatnya," kata Sin
Liong
perlahan, "dan yang di sebelah
sana itu adalah Bhong Sek Bin yang berjuluk Thian-tok (Racun Langit). Bekas
suheng dari Tee Tok, dan itu adalah
Thian-he Tee-it Ciang Ham Ketua kang-jiu-pang di Secuan. yang di sana itu
adalah Lam-hai Seng-jin, tosu majikan
Pulau Kura-kura di Lamhai....." "Guru Kwee-toako?" Sin Liong
mengangguk.
Swat Hong memandang penuh perhatian dan
terheran-heran melihat suhengnya mengenal orang-orang yang memiliki
julukan aneh-aneh itu. Thian-he Tee-it
berarti Di Kolong Langit Nomer Satu! Dan Lam-hai Seng-jin berarti
Manusia dari laut Selatan! "Dan
itu adalah Gin-siauw Siucai (Pelajar Bersuling Perak), seorang bertapa di Bukit
Bengsan dan yang di ujung itu adalah
seorang yang pernah menyerang Pulau Neraka seperti yang pernah kuceritakan
kepadamu, Sumoi. Dialah Tok-gan
Hai-liong (Naga Laut Mata Satu) Koan Sek, seorang bekas bajak laut."
"Wah,
begitu banyak orang pandai mendatangi
Hoa-san-pai, ada apakah, Suheng?" "Kita melihat dan mendengarkan
saja."
Sementara itu, ucapan dan pertanyaan
Ketua Hoa-san-pai tadi mendatangkan suasana berisik ketika para pendatang
yang jumlahnya ada lima puluhan orang
itu saling bicara sendiri tanpa ada yang menjawab langsung pertanyaan
Ketua Hoa-san-pai. Agaknya mereka itu
merasa sungkan dan saling menanti, menyerahkan jawaban kepada orang lain
yang hadir di situ. Betapapun juga,
para tokoh kang-ouw itu merasa segan juga karena Hoa-san-pai terkenal
sebagai sebuah perkumpulan atau partai
persilatan yang besar, yang selama ini tidak pernah mencampuri urusan
perebutan kekuasaan atau tidak pernah
pula mencampuri urusan kang-ouw yang tidak ada hubungannya dengan mereka.
Orang-orang Hoa-san-pai terkenal
sebagai orang-orang gagah yang disegani di dunia persilatan, maka tentu saja
mereka itu diliputi perasaan sungkan.
Pek Sim Tojin yang berambut putih dan bersikap tenang itu melihat seorang
kakek tinggi besar bermuka tengkorak
yang menyeramkan maju ke depan, maka melihat bahwa belum juga ada yang mau
menjawab, dia lalu berkata ditujukan
kepada kakek tinggi besar bermuka tengkorak itu. "Kalau pinto tidak salah
mengenal orang, Sicu adalah Thian-tok
Bhong Sek Bin. Sicu adalah seorang yang amat terkenal di dunia kang-ouw
dan mengingat bahwa kedatangan Sicu
pasti mempunyai kepentingan besar, maka pinti harap Sicu suka berterus
terang mengatakan apa keperluan
itu." Thian-tok Bhong Sek Bin menyeringai penuh ejekan. "Ha-ha-ha,
engkau
benar, Totiang! Aku adalah Bhong Sek
Bin dan memang bukan percuma jauh-jauh aku datang mengunjungi Hoa-san-pai.
Tentang mereka semua ini aku tidak
tahu, akan tetapi kedatanganku adalah untuk bicara dengan dua orang yang
bernama Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio.
Suruh mereka berdua keluara bicara dengan aku dan aku tidak akan
membawa-bawa Hoa-san-pai!" Ucapan
ini disambut oleh suara berisik lagi di antara para tamu, bahkan banyak
kepala dianggukan tanda setuju dan di
sana sini terdengar teriakan, "Suruh mereka keluar!" Pek Sim Tojin
mengerutkan alisnya dan mengelus
jenggotnya yang putih. "Pinto tidak menyangkal bahwa di antara anak murid
Hoa-san-pai terdapat dua orang yang
bernama Liem Toan Ki dan isterinya bernama Bu Swi Nio. Akan tetapi, selama
ini mereka adalah murid-murid
Hoa-san-pai yang tekun dan baik, bahkan tidak pernah turun dari Hoa-san, tidak
pernah melakukan keonaran di luar,
apalagi membuat permusuhan dengan golongan manapun. Kini Cu-wi sekalian
berbondong datang, agaknya bersatu
tujuan untuk menemui mereka! Pinto sebagai ketua Hoa-san-pai yang
bertanggung jawab atas semua sepak
terjang murid-murid Hoa-san-pai, berhak mengetahui apa yang terjadi antara
Cu-wi dengan mereka!" hening
sejenak dan agaknya semua tamu kembali merasa sungkan dan ragu-ragu untuk
menjawab. Sementara itu, hati Swat Hong
terasa tegang begitu mendengar nama Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio
disebut-sebut. Dia menunjukan pandang
matanya ke atas ruangan depan, namun di antara para anggauta Hoa-san-pai,
dia tidak meliahat adanya kedua orang
itu. "Suheng...., agaknya mereka benar berada di sini seperti yang Suheng
duga...." bisik Swat Hong dengan
hati tegang, akan tetapi suhengnya memberi isyarat agar dia tenang saja.
"Sumoi, aku berpesan, kalau nanti
terjadi apa-apa, kau serahkan saja kepadaku dan jangankau ikut turun tangan,
ya!" Dengan penuh kepercayaan akan
kemampuan suhengnya, Swat Hong mengangguk akan tetapi hatinya berdebar penuh
ketegangan. Tidak salah lagi, pikirnya
yang menduga-duga, tentu orang-orang kang-ouw ini mencari Liem Toan Ki
dan Bu Swi Nio berhubung dengan
Pusaka-pusaka Pulau Es itu! Kalau tidak demikian apalagi? Melihat bahwa tidak
ada orang yang menjawab pertanyaan
Ketua Hoa-san-pai itu, Thian-he Tee-it Ciang Ham yang datang bersama lima
orang muridnya, mengacungkan tombak di
tangan kanannya, ke atas dan berteriak. "Totiang, sebagai Ketua
Hoa-san-pai tentu saja kau berhak
mengetahui sepak terjang muridmu, akan tetapi kalau urusan ini tidak
menyangkut Hoa-san-pai, bagaiman kami
dapat bicara denganmu? Ini adalah urusan pribadi, urusan Liem Toan Ki
sendiri, maka suruh dia keluar agar
kami dapat bicara dengan dia! Kalau Totiang bersikeras, berarti Hoa-san-pai
akan mencampuri urusan pribadi!"
Berkerut alis Ketua Hoa-san-pai itu. Ucapan tadi, biarpun tidak secara
langsung, sudah merupakan tantangan dan
hanya terserah kepada Hoa-san-pai untuk melayani tantangan itu ataukah
tidak. Maka dia tidak mau bertindak
sembrono dan ingin melihat dulu bagaimana duduk perkaranya. Ketua
Hoa-san-pai ini memang belum sempat
diberi tahu oleh Liem Toan Ki dan isterinya tentang pusaka Pulau Es itu.
"Supek, biarlah teecu berdua yang
menghadapi mereka!" Tiba-tiba terdengar suara orang dan muncullah Liem
Toan
Ki dan isterinya dari dalam, mereka
sudah kelihatan mempersiapkan diri dengan senjata pedang di pinggang dan
pakaian ringkas. Wajah mereka agak
pucat, namun sikap mereka gagah dan tidak jerih. Liem Toan Ki meloncat ke
depan, Di atas ruangan depan itu
berdampingan dengan istrinya, menghadapi orang-orang kang-ouw itu sambil
berkata, "Sayalah Liem Toan Ki dan
isteri saya Bu Swi Nio. Tidak tahu urusan apakah yang membawa Cu-wi sekalian
datang mencari kami di Hoa-san?"
Hiruk pikuklah para tamu itu setelah mereka melihat sepasang suami isteri muda
muncul dari dalam. Pertama-tama yang
berteriak adalah Thian-tok Bhong Sek Bin, "Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio,
kalian telah berani melukai muridku!
Aku baru bisa mengampuni kalian kalau kalian menyerahkan pusakapusaka yang
kaubawa itu!" Liem Toan Ki
tersenyum. "hemm, kami terpaksa melukai muridmu karena dia menyerang kami,
Locianpwe. Pusaka apa yang Locianpwe
maksudkan?" "Pura-pura lagi, keparat! Pusaka Pulau Es!" teriak
Thian-tok
marah. "Serahkan Pusaka Pulau Es
kepada kami!" "Kepada kami!" "Bagi-bagi rata!"
"Dijadikan sayembara!"
Macam-macam teriakan para tokoh
kang-ouw dan Liem Toan Ki mengangkat kedua lengannya ke atas. "Cu-wi
sekalian,
apa buktinya bahwa kami berdua
menyimpan Pusaka Pulau Es?" "Orang she Liem, kau masih berpura-pura
lagi
bertanya? Aku dan banyak orang melihat
betapa gadis Pulau Es itu menyerahkan pusaka itu kepadamu!" Tiba-tiba
terdengar suara orang yang bukan lain
adalah Thio Sek Bi, murid Thiantok yang pernah berusaha merampok pusaka
itu. Mendengar ucapan ini dan melihat
munculnya murid Thian-tok dan beberapa orang bekas pengawal yang dulu
ikut bertempur di istana The Kwat Lin,
tahulah Toan Ki dan Swi Nio bahwa menyangkal tidak akan ada gunanya
lagi. "Kita harus mempertahankan
mati-matian," bisik Swi Nio kepada suaminya yang mengangguk dan berkata
dengan
suara lantang, "Cu-wi sekalian!
Kami berdua tidak menyangkal lagi bahwa memang kami telah dititipi pusaka oleh
Nona Han Swat Hong, dua tahun yang
lalu. Akan tetapi, kami tidak akan menyerahkan pusaka itu kepada siapapun
juga kecuali kepada yang berhak, yaitu
Nona Han Swat Hong!" Teriakan-teriakan hiruk pikuk menyambut ucapan
lantang ini. "Kalau begitu, kalian
akan menjadi tawananku!" Thian-tok membentak marah sambil melangkah ke
depan, akan tetapi gerakannya ini segera
diikuti oleh banyak orang dan jelas bahwa mereka hendak memperebutkan
Liem Toan Ki dan istrinya agar menjadi
orang tawanan mereka, tentu untuk dipaksa menyerahkan pusaka!
"Siancai..... harap Cu-wi bersabar
dulu.....!" Tiba-tiba dengan suara yang halus namun berpengaruh, Ketua
Hoa-san-pai berkata sambil mengangkat
kedua tangan ke atas, "Biarkan pinto bicara dulu!" "Totiang, kau
hendak
bicara apa lagi?" Thian-tok
membentak marah, alisnya berdiri dan matanya melotot. "Pinto mengaku bahwa
urusan
pusaka Pulau Es itu sama sekali tidak
ada sangkut pautnya dengan Hoa-sanpai dan Hoa-san-pai pun tidak
mengetahuinya. Maka sebagai Ketua
Hoa-san-pai, pinto hendak bertanya dulu kepada murid Liem Toan Ki. Ini adalah
urusan dalam dari Hoa-san-pai, kiranya
Cu-wi tidak akan mencampurinya!" Terdengar teriakan-teriakan,
"Silahkan!
Silahkan, tapi cepat dan serahkan
mereka kepada kami!" Pek Sim Tojin lalu menghadapi Liem Toan Ki dan
bertanya,
"Toan Ki, apa artinya ini semua?
Benarkah kalian menyembunyikan Pusaka Pulau Es di Hoa-san-pai?" Liem Toan
Ki
dan Bu Swi Nio segera menjatuhkan diri
berlutut di depan kaki Ketua Hoa-san-pai itu. Liem Toan Ki segera
berkata, "Harap Supek mengampunkan
teecu berdua. Adalah mendiang Twa-supek yang mengijinkan teecu berdua dan
Beliau yang melarang teecu berdua
menceritakan kepada siapapun juga, bahkan Beliau yang membantu teecu berdua
dalam hal ini. Karena sekarang mereka
telah mengetahuinya dan hendak menggunakan paksaan, biarlah teecu berdua
menghadapinya sendiri tanpa
membawa-bawa Hoa-san-pai." Setelah berkata demikian, Toan Ki dan Bu Swi
Nio
meloncat bangun, mencabut pedang dan
berkatalah Toan Ki dengan suara lantang, "Haiiii, kaum kang-ouw dengarlah!
Urusan ini adalah urusan kami berdua
suami isteri, bukan sebagai murid Hoa-san-pai, maka kalau kalian begitu
tidak tahu malu hendak merampas Pusaka
Pulau Es, biar kami menghadapi kalian sampai titik darah penghabisan!"
"Keparat, aku tidak membiarkan kau
mapus sebelum kalian menyerahkan pusaka itu." Thian-tok membentak.
"Tahan!"
Tiba-tiba Pek Sim Tojin membentak dan
sikapnya angker sekalil. "Cu-wi sekalian sungguh terlalu, memperebutkan
pusaka milik orang lain dan sama sekali
tidak memandang mata kepada Hoa-sanpai, hendak membikin ribut di sini.
Siapa saja tidak akan pinto ijinkan
untuk menggunakan kekerasan di Hoa-san-pai!" "Tepat sekali! Aku
Tee-tok
Siangkoan Houw pun bukan seorang yang
tak tahu malu! Aku tidak akan membolehkan siapa pun menjamah Pusaka Pulau
Es yang menjadi milik Nona Han Swat
Hong!" Tiba-tiba tokoh Tai-han-san yang tinggi besar itu sudah melompat ke
atas ruangan luar dan mendampingi Toan
Ki dan Swi Nio dengan sikap gagah! "ha-ha-ha, itu baru namanya laki-laki
sejati! Tee-tok, kau membikin aku
merasa malu saja! Aku pun tua bangka yang tidak berguna mana ingin
memperebutkan pusaka orang lain? Aku
pun tidak membiarkan siapa pun memperebutkan pusaka itu!" Lam-hai
Seng-jin, guru Kwee Lun, tosu yang
bersikap halus dengan tangan kiri memegang kipas dan tangan kanan memegang
hudtim (kebutan pertapa), telah
melangkah ke ruangan depan mendampingi Tee-tok. "Masih ada aku yang
menentang
orang-orang kang-ouw tak tahu malu
hendak merampas pusaka lain orang!" Tampak bayangan berkelebat disertai
suara halus melengking dan diruang
depan itu nampak Ginsiauw Siucai Si Sastrawan yang bersenjata suling perak
dan mauwpit! Melihat ini Thian-tok
tertawa bergelak dengan hati penuh kemarahan, apalagi melihat bekas sutenya,
Tee Tok, memelopori lebih dulu membela
Hoa-san-pai dan murid Hoa-san-pai yang membawa Pusaka Pulau Es yang amat
dikehendakinya. "Ha-ha-ha! Kalian
pura-pura menjadi pendekar budiman? Hendak kulihat sampai di mana kepandaian
kalian!" Thian-tok sudah lari ke
depan, diikuti oleh banyak tokoh kang-ouw lagi dan dapat dibayangkan betapa
tentu sebentar akan terjadi perang
kecil yang amat hebat antara para anggauta Hoa-san-pai dibantu oleh tiga
tokoh kang-ouw itu melawan para orang
kang-ouw yang memperebutkan pusaka. "Tahan....!" Seruan ini halus dan
ramah, tidak mengandung kekerasan
sesuatu pun, akan tetapi anehnya, semua orang merasa ada getaran yang membuat
mereka menghentikan gerakan mereka
mencabut senjata dan kini semua mata memandang ke arah ruangan depan itu
karena tadi ada berkelebat dua sosok
bayangan orang ke arah situ. Ternyata Sin Liong dan Swat Hong telah
berdiri di ruangan depan markas
Hoa-san-pai. Dengan sikap tenang sekali Sin Liong menghadapi semua orang,
terutama sekali memandang tokoh-tokoh
besar dunia persilatan yang hadir, dan yang semua memandang kepadanya
dengan mata terbelalak, kemudian
terdengar pemuda ini berkata, "Cu-wi Locian-pwe mengapa sejak dahulu
sampai
sekarang gemar sekali memperebutkan
sesuatu?" Thiantok Bhong Sek Bin yang berwatak kasar memandang dengan
terbelalak, demikian pula Thian-he
Tee-it Ciang Ham, Lam-hai Seng-jin, Gin-siauw Siucai dan para tokoh lain
yang belasan tahun lalu pernah hendak
memperebutkan bocah ajaib, Sin-tong yang bukan lain adalah Sin Liong
sendiri. Mereka merasa kenal dengan
pemuda ini, akan tetapi lupa lagi. "Ka...... kau siapakah.....?"
akhirnya
Thian-tok bertanya. "Ha-ha-ha,
kalian lupa lagi siapa dia ini?" Tiba-tiba Tee Tok Siangkoan Houw berseru
keras,
hatinya girang dan lega bukan main
bahwa dia tadi tidak ragu-ragu melindungi Pusaka Pulau Es. Melihat munculnya
pemuda yang dia tahu memiliki kelihaian
yang luar biasa itu, dia girang sekali. "Coba lihat dengan baik-baik,
belasan tahun yang lalu di lereng
Pegunungan jeng-hoa-san kalian juga memperebutkan sesuatu. Siapa dia?"
"Sin-tong....!" "Bocah
ajaib......!!" Teringatlah mereka semua dan kini memandang Sin Liong
dengan mata
terbelalak. "Mau apa kau datang ke
sini?" thian-tok bertanya dengan suara agak berkurang galaknya. Sin Liong
sudah menjura kepada Ketua Hoa-san-pai,
kepada Tee tok dan lain tokoh yang tadi membela Hoa-san-pai, diikuti
oleh Swat Hong kemudian Swat Hong berkata
kepada Toan Ki dan Swi Nio, "Terima kasih kami haturkan kepada Ji-wi
(Kalian Berdua) yang ternyata adalah
orang-orang gagah yang pantas dipuji dan dikagumi kesetiaan dan
kegagahannya. Sekarang saya harap Ji-wi
suka mengembalikan pusaka- pusaka itu kepadaku." Toan Ki dan Swi Nio
menjura an Toan Ki menjawab,
"Harap Lihiap suka menanti sebentar." kemudian pergilah dia bersama
Swi Nio ke
sebelah dalam, diikuti pandang mata
Ketua Hoa-sanpai yang menjadi terheran-heran. "Mau apa kalian dua orang
muda datang ke sini?" kembali
Thian-tok bertanya. "Harap Locianpwe ketahui bahwa kami berdua adalah
penghuni
Pulau Es yang datang untuk mengambil
kembali Pusaka Pulau Es. Pusaka itu adalah milik Pulau Es dan harus
dikembalikan ke sana." "Penghuni Pulau Es....??" Suara
ini bukan hanya keluar dari mulut para tamu, tetapi juga
dari pihak Hoasan- pai dan mereka yang
membelanya, kecuali Tee Tok Siangkoan Houw yang sudah tahu akan keadaan
pemuda dan pemudi itu. Tak lama
kemudian muncullah Toan Ki dan Swi Nio. Toan Ki membawa bungkusan yang dulu dia
terima dari Swat Hong, lalu menyerahkan
bungkusan itu kepada Swat Hong sambil menjura dan berkata, "Dengan ini
kami mengembalikan pusaka yang Lihiap
titipkan kepada kami dengan hati lega!" Memang hatinya lega dan girang
sekali dapat terlepas dari tanggung
jawab yang amat berat itu. Swat Hong membuka dan meneliti pusaka-pusaka
itu. Melihat bahwa pusaka itu masih
lengkap, dia makin kagum. "Suheng tidak pantas kalau kita tidak membalas
budi mereka ini." Sin Liong
tersenyum, mengangguk, kemudian dia berkata kepada Thian-tok dan lain tamu yang
masih memandang dengan bengong dan kini
dari mata mereka itu terpancar ketegangan dan keinginan besar. Setelah
Pusaka Pulau Es yang terkenal itu
tampak di depan mata, mana mungkin mereka mundur begitu saja tanpa usaha
untuk mendapatkannya? "Cu-wi
Locianpwe jauh-jauh datang ke sini, harap suka memaklumi bahwa pusaka-pusaka
ini
telah kembali ke pemiliknya dan akan
dikembalikan ke Pulau Es. Maka kami berdua mengharap sudilah Su-wi tidak
mengganggu lagi Hoa-san-pai dan suka
meninggalkan tempat ini." "Kami harus mendapatkan pusaka itu!"
"Kami
juga!" "Kami minta
bagian!" Teriakan-teriakan itu terdengar riuh rendah dan Sin Liong lalu
berkata lagi dengan
halus, "Kami berdua akan berada di
sini selama tiga hari, kemudia kami akan meninggalkan Hoa-san-pai. Kalau
kita tidak berada di sini, masih belum
terlambat bagi kita untuk bicara lagi tentang pusaka. Amatlah tidak baik
bagi nama Cu-wi Locianpwe kalau
mengganggu Hoa-san-pai yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang hal ini.
Nanti kalau kami sudah meninggalkan
Hoa-san-pai, boleh kita bicara lagi." Melihat sikap orang-orang
Hoa-san-pai, dan sekarang sudah jelas
bahwa pusaka itu berada di tangan Sintong dan dara muda itu, Thian-tok
lalu mendengus dan berkata, "Baik,
kami menanti di bawah bukit. Kalian berdua tidak akan dapat terbang lalu."
Pergilah mereka itu meninggalkan
Hoa-san-pai, akan tetapi semua orang tahu belaka bahwa mereka tentu akan
mengurung tempat itu dan tidak akan
membiarkan Sin Liong dan Swat Hong lolos dari situ membawa pergi
pusaka-pusaka Pulau Es yang amat mereka
inginkan itu. Sin Liong lalu menjura kepada Ketua Hoasan- pai, para
tokoh Hoa-san-pai, Toan Ki dan Swi Nio,
juga kepada Tee Tok dan mereka yang tadi membela Hoa-san-pai, kemudian
berkata, "Terutama kepada Saudara
Liem Toan Ki dan Nyonya, sudah sepantasnya kalau kami meninggalkan sedikit
ilmu untuk Jiwi pelajari. Dan kepada
para Locianpwe, kiranya akan ada manfaatnya kalau saya melayani para
Locianpwe main-main sedikit untuk
memperluas pengetahuan ilmu silat." Semua orang menjadi ragu-ragu karena
tidak tahu akan maksud hati pemuda yang
aneh itu, akan tetapi Tee-tok Siangkoan Houw sudah tertawa bergelak
lalu meloncat ke halaman depan. "Marilah,
ingin aku tua bangka ini memperdalam sedikit kepandaianku!" Sin Liong
tersenyum lalu melangkah perlahan ke
pekarangan. "Silahkan Siangkoan Locianpwe menggunakan Pek-liu-kun (Ilmu
Silat Tangan Geledek)!" katanya
tenang. "Harap Locianpwe jangan sungkan dan keluarkanlah jurus-jurus
simpanan
dari Pek-liu-kun!" Tee Tok sudah
maklum akan kehebatan pemuda ini, dan setelah dua tahun tidak jumpa, kini
sikap pemuda ini luar biasa sekali,
bahkan dengan kata-kata biasa saja pemuda itu sudah mengundurkan semua
orang yang tadi sudah bersitegang
hendak menggunakan kekerasan. Dia dapat menduga bahwa bukanlah percuma pemuda
ini mengajak dia berlatih silat, tentu
ada niat-niat tertentu. Karena dia merasa bahwa dia tidak mempunyai
maksud jahat dan tadi membela Pusaka
Pulau Es dengan sungguh hati, dia kini pun tanpa raguragu lagi lalu
mengeluarkan gerengan keras dan
tubuhnya berkelebat ke depan. Dengan sepenuh tenaga dan perhatiannya, dia
menyerang pemuda itu dengan jurus-jurus
simpanan dari Ilmu Silat Pek-lui-kun yang dahsyat. "Haiiittt.....
eihhh.....?" Bukan main heran dan
kagetnya ketika melihat pemuda itu menghadapi dengan gerakan-gerakan yang
sama! Tiap jurus yang dimainkannya,
dihadapi oleh Sin Liong dengan jurus yang sama pula dan dipakai sebagai
serangan balasan namun dengan cara yang
sedemikian hebatnya sehingga jurus yang dimainkannya itu tidak ada
artinya lagi! Jurus yang dimainkan oleh
pemuda itu untuk menghadapinya jauh lebih ampuh, dan sekaligus menutup
semua kelemahan yang ada, menambah daya
serang yang amat hebat sehingga dalam jurus pertama saja, kalau pemuda
itu menghendaki, tentu dia sudah
dirobohkan sungguhpun dia sudah hafal benar akan jurusnya sendiri itu! Bukan
main girang hati kakek itu. Dia terus
menyerang lagi dengan jurus lain, dan sama sekali dia menggunakan delapan
belas jurus terampuh dari Pek-lui-kun
dan yang kesemuanya selain dapat dihindarkan dengan baik oleh Sin Liong,
juga telah dengan sekaligus
"diperbaiki" dengan sempurna. Semua gerakan ini dicatat oleh Tee Tok
dan setelah
dia selesai mainkan delapan belas jurus
pilihan itu, dia melangkah mundur dan menjura sangat dalam ke arah Sin
Liong. "Astaga.... kepandaian
Taihiap seperti dewa saja......., saya...... saya menghaturkan banyak terima
kasih atas petunjuk Taihiap....."
katanya agak tergagap. "Ah, Locianpwe terlalu merendah," jawab Sin
Liong. Tee
Tok lalu menjura ke arah Ketua Hoa-san-pai
dan yang lain-lain, seketika pamit dan pergi dengan langkah lebar
dan wajah termenung karena dia masih
terpesona dan mengingat-ingat gerakan-gerakan baru yang menyempurnakan
delapan belas jurus pilihannya tadi!
Lam Hai Seng-jin bukan seorang bodoh. Dia adalah seorang tokoh kawakan
yang berilmu tinggi. Melihat peristiwa
tadi, tahulah dia bahwa pemuda ini memang bukan orang sembarangan dan
agaknya telah mewarisi ilmu mujijat yang
kabarnya dimiliki oleh penghuni Pulau Es. Maka dia tidak mau
menyianyiakan kesempatan itu dan dai
sudah meloncat maju dengan senjata hudtim dan kipasnya. "Orang muda yang
hebat, kauberilah petunjuk
kepadaku!" "Totiang, muridmu Kwee Lun Toako adalah sahabat baik kami,
harap Totiang
sudi mengajarnya baikbaik," jawab
Sin Liong dan dia pun segera menghadapi serangan kipas dan hudtim dengan
kedua tangannya. Biarpun dia tidak
menggunakan kedua senjata itu, namun kedua tangannya digerakan seperti kedua
senjata itu, dan dia pun mainkan
jurus-jurus yang sama, namun gerakannya jauh lebih hebat, bahkan sempurna.
Seperti juga tadi, kakek ini
memperhatikan dan dia telah menghafal dua puluh jurus campuran ilmu hudtim dan
kipas. "Terima kasih, terima
kasih..... Siancai, pengalaman ini takkan kulupakan selamanya." Dia
menjura kepada
yang lain lalu berlari pergi.
"Totiang, sampaikan salamku kepada Kwee-toako!" seru Swat Hong, akan
tetapi kakek
itu hanya mengangguk tanpa menoleh karena dia
pun sedang mengingat-ingat semua jurus tadi agar tidak sampai
lupa. Berturut-turut Gin-siauw Siucai
juga menerima petunjuk ilmu silat suling perak dan mauwpitnya, kemudian
Ketua Hoa-san-pai juga menerima
petunjuk ilmu pedang Hoasan-kiamsut. Para tokoh kang-ouw yang mengurung tempat
itu di lereng puncak, terheran-heran
melihat tiga orang tokoh itu meninggalkan puncak seperti orang yang
termenung. Akan tetapi diam-diam mereka
menjadi girang karena tiga orang lihai itu tidak membantu atau mengawal
muda-mudi Pulau Es yang mereka hadang.
Tiga hari lamanya Sin Liong dan Swat Hong tinggal di Hoa-san, setiap
hari menurunkan ilmuilmu tingi kepada
Toan Ki dan Swi Nio sehingga kedua orang suami isteri ini kelak akan
menjadi tokohtokoh kenamaan dan
mengangkat nama Hoa-san-pai sebagai partai persilatan yang besar dan lihai.
Pada hari ke empatnya, pagi-pagi mereka
meninggalkan markas Hoa-san-pai, diantar sampai ke pintu gerbang oleh
Ketua Hoa-san-pai, Toan Ki, Swi Nio dan
para pimpinan Hoa-san-pai. "Taihiap, Lihiap, pinto khawatir Jiwi akan
mengalami gangguan di jalan. Menurut
laporan para anak murid pinto, orang-orang kang-ouw itu masih menanti di
lereng gunung." Pek Sim Tojin
berkata dengan alis berkerut. "Bagaimana kalau kami mengantar Ji-wi sampai
melewati mereka dengan selamat?"
Sin Liong tersenyum. "Terima kasih, Locianpwe. Akan tetapi, menghindari
mereka
berarti membuat mereka terus merasa
penasaran. Sebaliknya malah kalau kami berdua menemui mereka dan
membereskan persoalan seketika
juga." Toan Ki dan Swi Nio yang selama tiga hari menerima petunjuk dari
Sin
Liong, telah menaruh kepercayaan penuh
akan kesaktian pemuda Pulau Es ini, maka mereka tidak merasa khawatir.
Mereka maklum bahwa pemuda dan gadis
dari Pulau Es itu bukanlah manusia sembarangan, apalagi pemuda itu
memiliki wibawa yang tidak lumrah
manusia, gerak-geriknya demikian penuh kelembutan, penuh belas kasih sehingga
tidaklah mungkin dapat terjadi sesuatu
yang buruk menimpa seorang manusia seperti ini! Memang benar seperti
yang dilaporkan oleh anak buah
Hoa-san-pai bahwa para tokoh kang-ouw itu, dipelopori oleh Thian-tok, masih
menghadang di lereng puncak. Thian-tok
yang tadinya mengandalkan kepandaiannya sendiri, setelah menyaksikan
betapa pemuda dan dara Pulau Es itu
telah mendapatkan kembali pusaka-pusakanya, diam-diam telah mengajak semua
tokoh lain bersekutu dengan janji bahwa
kalau pusaka dapat dirampas, dia akan memberi bagian kepada mereka
semua. Terutama yang menjadi
pembantunya sebagai orang ke dua adalah Thian-he Tee-it Ciang Ham yang tingkat
kepandaiannya hanya berselisih atau
kalah sedikit saja dibandingkan dengan kepandaian Racun Langit itu. Maka
ketika Sin Liong yang membawa pusaka di
punggungnya bersama Swat Hong berjalan berlahan dan tenang melalui
tempat itu, segera para tokoh kang-ouw
itu muncul dan telah mengurung dua orang muda itu dengan ketat,
mempersiapkan senjata masing-masing
dengan sikap mengancam. Sin Liong menggelenggelengkan kepala. "Hal itu
tidak bisa dilakukan, Cu-wi Locianpwe.
Pusaka-pusaka ini adalah milik Pulau Es turun-temurun, mana mungkin
sekarang diserahkan kepada orang lain?
Setelah kami berdua berhasil menemukannya kembali, kami harus
mengembalikannya kepada Pulau Es,
tempatnya semula. Maka harap Cu-wi suka memaklumi hal ini dan tidak memaksa
kepada kami." "Orang muda
yang keras kepala! Kalau kami memaksa, bagaimana?" "Terserah kepada
Cu-wi sekalian.
Sumoi, harap Sumoi suka pergi dulu ke
pinggir, jangan menghalangi para Locianpwe ini." Swat Hong mengangguk dan
tersenyum, kemudian tubuhnya berkelebat
dan terkejutlah semua orang kang-ouw itu ketika melihat gadis itu
meloncat seperti terbang saja, melayang
melalui kepala mereka dan kini telah berdiri di luar kepungan! Sungguh
merupakan bukti kepandaian ginkang (Ilmu
meringankan tubuh) yang amat hebat! Sin Liong sengaja menyuruh
sumoinya pergi keluar dari kepungan
karena tidak menghendaki sumoinya itu naik darah dan turun tangan
menggunakan kekerasan terhadap
orang-orang kang-ouw ini. Setelah kini melihat sumoinya keluar dari kepungan,
dia lalu menyilangkan kedua lengannya
di depan dada, berkata, "Silahkan kepada Cu-wi apa yang hendak Cu-wi
lakukan setelah jelas kukatakan bahwa
Pusaka Pulau Es tidak akan kuberikan kepada Cu-wi." Melihat sikap tenang
dan penuh tantangan ini, para tokoh
kang-ouw menjadi marah juga. Pemuda itu tidak memegang senjata, berdiri
dalam kepungan dan pusaka itu berada di
dalam buntalan yang berada di punggungnya. Maka serentak orang-orang
kang-ouw yang sudah mengilar dan ingin
sekali merampas pusaka itu menerjang maju dan berebut hendak menyerang
Sin Liong dan mengulur tangan hendak
merampas buntalan. Pemuda itu hanya berdiri tersenyum, berdiri tegak dan
menyilangkan kedua lengannya sambil
memandang tanpa berkedip mata. "Ahhh....!" "Hayaaa.....!"
"Aihhhh.....!"
Semua orang terhuyung-huyung mundur
karena belum juga tangan mereka menyentuh pemuda itu, hati mereka sudah
lemas dan luluh menghadapi wajah yang
tersenyum itu, tangan mereka seperti lumpuh dan tenaga mereka seperti
lenyap seketika membuat mereka
terhuyung dan hampir jatuh saling timpa! Thian-tok dan Thian-he Tee-it menjadi
kaget dan marah sekali melihat keadaan
teman-teman mereka itu. Kedua orang itu berilmu tinggi ini memang
membiarkan teman-teman mereka turun
tangan lebih dulu untuk menguji kepandaian pemuda yang keadaannya amat
mencurigakan karena terlampau tenang itu.
Kini melihat betapa teman-temannya mundur tanpa pemuda itu
menggerakan sebuah jari tangan pun,
kedua orang itu terkejut marah dan penasaran. Thian-tok menerjang ke depan
dengan senjata Kim-kauw-pang di
tangannya, sedangkan Ciang Ham juga sudah meloncat dekat dengan senjata tombak
di tangan. "Orang muda, serahkan
pusaka itu!" Thian-tok membentak. "Sin-tong, jangan sampai terpaksa
aku
menggunakan tombak pusakaku!"
Ciang ham juga menghardik. Akan tetapi Sin Liong tetap tidak bergerak hanya
berkata, "Terserah kepada Ji-wi
Locianpwe, Ji-wi yang melakukan dan Ji-wi pula yang menanggung akibatnya."
"Keras kepala!" Thian-tok
membentak dan tongkatnya yang panjang sudah menyambar ke arah kepala pemuda
itu. Sin
Liong sama sekali tidak mengelak,
bahkan berkedip pun tidak ketika melihat tongkat itu menyambar ke arah
kepalanya, disusul tombak di tangan
Thian-he Tee-it Ciang Ham yang menusuk ke arah lambungnya. "Desss!
Takkkk!!" "Aihhh.......!"
"Heiiii....." Thian-tok Bhong Sek Bin dan Thian-he Tee-it Ciang ham
berteriak kaget
dan meloncat ke belakang.Tongkat itu
tepat mengenai kepala dan tombak itu pun tepat menusuk lambung, namun
kedua senjata itu terpental kembali
seperti mengenai benda yang amat kuat, bahkan telapak tangan mereka terasa
panas! Tentu saja mereka merasa
penasaran, biarpun ada rasa ngeri di dalam hati mereka. Pada saat itu,
orang-orang kang-ouw lainnya yang
melihat betapa dua orang lihai itu sudah menyerang dengan senjata, juga
menyerbu ke depan. Sin Liong tetap diam
saja ketika belasan batang senjata yang bermacam-macam itu datang
bagaikan hujan menimpa tubuhnya. Semua
senjata tepat mengenai sasaran, akan tetapi tidak ada sedikit kulit
tubuh pemuda itu yang lecet, kecuali
pakaiannya yang robek-robek dan orang-orang itu terpelanting ke sana-sini,
bahkan ada yang terpukul oleh senjata
mereka sendiri yang membalik. Makin keras orang menyerang, makin keras
pula senjata mereka membalik. Bahkan Thian-tok sudah mengelus kepalanya
yang benjol terkena kemplangan
tongkatnya sendiri, sedangkan paha
Ciang ham berdarah karena tombaknya pun membalik tanpa dapat ditahannya lagi
ketika mengenai tubuh Sin Liong untuk
yang kedua kalinya. Ketika mereka memandang dengan mata terbelalak kepada
Sin Liong, mereka melihat pemuda itu
masih tersenyum-senyum, masih berdiri tegak dengan kedua lengan bersilang
di depan dada, hanya bedanya, kini
pakaiannya robek-robek dan penuh lobang. Thian-tok dan Thian-he Tee-it
adalah orang-orang yang terkenal di
dunia persilatan sebagai tokoh-tokoh besar yang sudah banyak mengalami
pertempuran. Mereka tahu pula bahwa
orang yang memiliki sinkang amat kuat dapat menjadi kebal, akan tetapi
selama hidup mereka belum pernah
menyaksikan kekebalan seperti yang dihadapi mereka sekarang ini. Kekebalan
yang agaknya tanpa disertai pengerahan
tenaga. Apalagi melihat cahaya aneh seperti melindungi tubuh pemuda itu,
mereka maklum bahwa pemuda ini bukan
orang sembarangan. Tanpa melawan saja pemuda ini telah membuat mereka
tidak berdaya, betapa hebatnya kalau
pemuda ini mengangkat tangan membalas! "Maafkan kami......!" Thian-tok
berseru lalu melompat dan berlari
pergi. "Sin-tong, maafkan......!" Ciang Ham juga berkata lalu
menyeret
tombaknya, terpincang-pincang pergi
dari situ. Tentu saja para tokoh lain yang memang sudah merasa ngeri dan
jerih, melihat kedua orang yang
diandalkan itu lari, cepat membalikkan tubuh dan berserabutan lari dari situ
meninggalkan Sin Liong yang masih
berdiri tegak di tempat itu. Swat Hong lari menghampiri suhengnya, lalu
memeluk suhengnya itu. "Suheng.......,
kau tidak apa-apa......?" tanyanya. Sin Liong menggeleng kepala dan
tersenyum. "Pakaianmu
hancur......" "Pakaian rusak mudah diganti, akhlak yang rusak lebih
menyedihkan lagi
karena mendatangkan malapetaka."
"Suheng, kau......" "Ada apakah, Sumoi......?" Swat Hong
menggelengkan kepala
dan dia melepaskan rangkulannya,
melangkah mundur dua tindak dan memandang suhengnya dengan pandang mata penuh
takjub dan juga jerih. "Suheng,
kau...... kau berbeda dari dulu......." "Aih, Sumoi, aku tetap Sin
Liong
suhengmu yang dahulu."
"Tidak, tidak.....! kau berbeda sekali. Ilmu apakah yang kau pergunakan
tadi? Mendiang
Ayahku sekalipun tidak pernah
memperlihatkan ilmu mujijat seperti itu........" "Apakah keanehannya,
Sumoi? Ilmu
yang berdasarkan kekerasan tentu hanya
mengakibatkan pertentangan dan kerusakan belaka, dan setiap bentuk
kekerasan hanya akan mecelakakan diri
sendiri." "Suheng, ajarilah aku ilmu tadi....." "Tidak ada
yang bisa
mengajar, kelak kau akan mengerti sendiri,
Sumoi. marilah kita lanjutkan perjalanan kita." Setelah berkata
demikian, Sin Liong memegang tangan
sumoinya dan terdengar jerit tertahan dara itu ketika dia merasa bahwa dia
dibawa lari oleh suhengnya dengan
kecepatan seperti terbang saja! Dia sendiri adalah seorang ahli ginkang yang
memiliki ilmu berlari cepat cukup luar
biasa, akan tetapi apa yang dialaminya sekarang ini benar-benar seperti
terbang, atau seperti terbawa oleh
angin saja! Makin yakinlah hatinya bahwa suhengnya telah menjadi seorang
yang amat luar biasa kesaktiannya,
menjadi seorang manusia dewa! Gerakan pembalasan yang dilakukan oleh Kaisar
Kerajaan Tang yang baru, yaitu kaisar
Su Tiong, yang dilakukan dari Secuan, amat hebat. Gerakan pembalasan
untuk merampas kembali ibu kota
Tiang-an dari tangan pemberontak ini dibantu oleh pasukan yang dapat
dikumpulkan di Tiongkok bagian barat,
dibantu pula oleh pasukan Turki, bahkan pasukan Arab. Dengan bala tentara
yang besar dan kuat, Kaisar Su Tiong
melakukan serangan balasan terhadap pemerintah pemberontak yang tidak lagi
dipimpin oleh An Lu Shan karena
jenderal pemberontak itu telah tewas. Perang hebat terjadi selama sepuluh
tahun, dan di dalam perang ini, para
pemberontak dapat dihancurkan dan kota demi kota dapat dirampas kembali
sampai akhirnya ibu kota dapat direbut
kembali oleh Kaisar Su Tiong. Di dalam perang ini, Han Bu Ong putera The
Kwat Lin yang bersama orang-orang kerdil
membantu pemerintah pemberontak, tewas pula dalam pertempuran hebat
sampai tidak ada orang pun orang kerdil
tinggal hidup. Dalam tahun 766 berakhirlah perang yang mengorbankan
banyak harta dan nyawa itu, namun
kerajaan Tang telah menderita hebat sekali akibat perang yang mula-mula
ditimbulkan oleh pemberontak An Lu Shan
itu. Kematian yang diderita rakyat, pembunuhan-pembunuhan biadab yang
terjadi di dalam perang selama pemberontakan
ini adalah yang terbesar menurut catatan sejarah. Menurut catatan
kuno, tidak kurang dari tiga puluh lima
juta manusia tewas selama perang yang biadab itu! Bukan hanya kerugian
harta dan nyawa saja, akan tetapi juga
setelah perang berakhir, Kerajaan Tang kehilangan banyak kekuasaan atau
kedaulatannya! Bantuan-bantuan yang
diterima oleh Kaisar di waktu merebut kembali kerajaan, membuat Kaisar
terpaksa membagi-bagi daerah kepada
para pembantu yang diangkat menjadi gubernur-gubernur yang lambat laun
makin besar kekuasaannya dan
seolah-olah menjadi raja-raja kecil yang berdaulat sediri. Di samping itu,
pemberontak An Lu Shan membentuk
pasukan-pasukan yang ketika pemberontak dihancurkan, melarikan diri ke
perbatasan dan menjadi pasukan-pasukan
liar yang selalu merupakan gangguan terhadap kekuasaan pemerintah.
Demikianlah, dengan dalih apapun juga,
pemberontakan lahiriah hanya mendatangkan kerusakan dan malapetaka,
karena tidaklah mungkin perdamaian
diciptakan oleh perang! Menurut sejarah di seluruh dunia, tidak pernah ada
revolusi jasmani mendatangkan
perdamaian dan kesejahteraan. Kiranya hanyalah revolusi batin, revolusi yang
terjadi di dalam diri setiap orang manusia,
yang akan dapat mengubah keadaan yang menyedihkan dari kehidupan
manusia di seluruh dunia ini. Dengan
tewasnya Han Bu Hong di dalam perang itu, maka habislah semua tokoh yang
keluar dari Pulau Es dan Pulau Neraka.
Yang tinggal hanyalah Sin Liong dan Swat Hong berdua saja, akan tetapi
kedua orang ini pun sudah kembali ke
Pulau Es dan semenjak peristiwa di Hoa-san-pai itu, tidak ada lagi yang
tahu bagaimana keadaan kedua orang itu
dan, di mana adanya mereka! Yang jelas, Pulau Es masih ada dan kedua
orang suheng dan sumoi yang saling
mencinta itu pun masih hidup. Buktinya, beberapa tahun kemudian
kadang-kadang mereka itu muncul sebagai
manusia-manusia sakti menyelamatkan belasan orang nelayan yang
perahunya diserang badai. Didalam
kegelapan selagi badai mengamuk dahsyat itu, ketika perahu-perahu mereka
dipermainkan badai dan nyaris
terguling, tiba-tiba muncul sebuah perahu kecil yang didayung oleh seorang pria
berpakaian putih dan seorang wanita
cantik, dan kedua orang ini dengan kesaktian luar biasa menggunakan tali
untuk menjerat perahu-perahu itu
kemudian menariknya keluar dari daerah yang diamuk badai! Apakah mereka itu
Sin Liong dan Swat Hong, tidak ada
orang yang mengetahuinya karena setiap kali muncul menolong para nelayan dan
para penghuni pulau-pulau yang berada
di utara, kedua orang itu tidak pernah memperkenalkan nama mereka. Kalau
benar mereka itu adalah Sin Liong dan
Swat Hong, bagaimanakah jadinya dengan mereka? Apakah suheng dan sumoi
yang saling mencinta dan yang telah
kembali ke Pulau Es itu langsung menjadi suami isteri? Hal ini pun tidak
ada yang tahu, karena agaknya bagi
mereka berdua, menjadi suami isteri atau bukan adalah hal yang tidak penting
lagi. Diri mereka telah dipenuhi oleh
cinta kasih, bukan cinta kasih yang biasa melekat di bibir manusia pada
umumnya, karena cinta kasih seperti itu
telah diselewengkan artinya, cinta kasih kita manusia hanya akan
mendatangkan kesenagan dan kesusahan
belaka dan justeru karena cinta kasih kita itu mendatangkan kesenangan
maka dia mendatangkan pula kesusahan
karena kesenangan dan kesusahan adalah saudara kembar yang tak mungkin
dapat dipisah. Menerima yang satu harus
menerima pula yang ke dua, yang mau menikmati kesenangan harus pula mau
menderita kesusahan. Tidak, cinta kasih
mereka bukan seperti cinta kasih palsu yang kita punyai! Pernah ada
seorang anak nelayan yang diwaktu malam
hari, ketika perahunya diayun-ayun gelombang kecil dan dia sedang
menggantikan ayahnya yang tertidur
untuk menjaga kail, mendengar nyanyian halus yang dinyanyikan oleh seorang
wanita cantik di atas perahu dan yang
kelihatan remang-remang di bawah sinar bulan purnama di malam itu. Anak
yang cerdas ini masih teringat akan
bunyi nyanyian itu seperti berikut: "Langit, Bulan dan Lautan kalian
mempunyai Cinta kasih namun tak pernah
bicara tentang Cinta kasih! Kasihanilah manusia yang miskin dan haus
akan Cinta Kasih, bertanya-tanya apakah
Cinta Kasih itu? Bilamana tidak ada ikatan tidak ada pamerih dan rasa
takut tidak memiliki atau dimiliki
tidak menuntut dan tidak merasa memberi. Tidak menguasai atau dikuasai tidak
ada cemburu, iri hati tidak ada dendam
dan amarah tidak ada benci dan ambisi. Bilamana tidak ada iba diri tidak
mementingkan diri pribadi, bilamana
tidak ada "Aku" barulah ada Cinta Kasih........" Puluhan tahun,
bahkan
seratus tahun kemudian di dunia
kang-ouw timbul semacam cerita setengah dongeng tentang seorang manusia dewa
yang mereka sebut Bu Kek Siansu,
seorang laki-laki tua yang sederhana namun yang pribadinya penuh cinta kasih,
cinta kasih terhadap siapa pun dan apa
pun. Bu Kek Siansu yang dikenal sebagai tokoh Pulau Es dan menurut
cerita tradisi dari keturunan
tokoh-tokoh seperti Tee Tok Siangkoan Houw, Lam Hai Sengjin dan muridnya, Kwee
Lun, Gin-siauw Siucai, tokoh-tokoh
Hoa-san-pai, katanya bahwa Bu Kek Siansu itu adalah anak yang dahulu disebut
Sin-tong (Anak Ajaib), yaitu pemuda Kwa
Sin Liong yang menghilang bersama sumoinya, Han Swat Hong, dan yang
kabarnya menetap di Pulau Es, tidak
pernah lagi terjun ke dunia ramai. Dan memang seorang manusia seperti Bu
Kek Siansu tidak pernah mau menonjolkan
diri, selalu bergerak tanpa pamrih, hanya digerakan oleh cinta kasih.
Maka kita pun tidak mungkin dapat
mengikuti seorang manusia seperti Bu Kek Siansu, dan hanya kadang-kadang saja
dapat melihat muncul di antara orang
banyak, dan di dalam dunia persilatan, Bu Kek Siansu akan muncul di dalam
ceritera "Suling Emas".
Demikinlah, terpaksa pengarang menutup cerita "Bu Kek Siansu" ini
yang hanya dapat
menceritakan pengalaman pemuda Kwa Sin
Liong sewaktu dia belum menjadi seorang Bu Kek Siansu, sewaktu dia belum
memiliki cinta kasih sehingga masih
diombang-ambingkan oleh suka dan duka dalam kehidupannya. Dengan
mengenangkan isi nyanyian yang
dinyanyikan oleh anak nelayan itu, penulis mengajak para Pembaca Budiman untuk
sama-sama mempelajari dan mudah-mudahan
kita pun akan memiliki Cinta Kasih melalui pengenalan diri pribadi.
Teriring salam bahagia dari pengarang dan
sampai jumpa kembali di lain cerita..
`
kho ping hoo..dulu saya kira penulis dari negara china..ternyata dari lokalan indonesia :)
ReplyDeletesaya termasuk penggemar novel silat ^_^
ReplyDeletehadir lagi menyapa kawan :)
ReplyDeletethanks for share. . .
ReplyDeleteAwesome work.Just wanted to drop a comment and say I am new to your blog and really like what I am reading.Thanks for the share
ReplyDeleteI am extremely impressed along with your writing abilities, Thanks for this great share.
ReplyDeleteJOIN NOW !!!
ReplyDeleteDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.name
dewa-lotto.com